Peranan Pemerintah terhadap Pembinaan dan Pengawasan Koperasi Koperasi Dikaitkan Dengan Aspek Hukum Administrasi Daerah.

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ahmed, Riazuddin, Cooperative Movement in South East Asia Obstacles to Development. Dalam Dr. Mauritz Bonow (Ed). The Role of Cooperatives in Social and Economic Development. London: International Cooperative Alliance, 1964.

Alderfer, Harold F, Local Government in Developing Countries, New York: Mc Graw-Hill Book Company, 1964.

Ali, Chaidir, Badan Hukum, Bandung: Alumni, 1999.

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2006.

Anoraga, Pandji dan Ninik Widiyanti, Dinamika Koperasi ,Cet. Kedua (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1997.

Arifin, Syamsul dkk, Hukum dan Koperasi, (Cooperation and Law), Medan: Universitas Medan Area Fakultas Hukum, 1985.

Djojohadikoesoemo, Margono R.M, Sepoeloeh Tahoen Koperasi. Batavia Centrum: Balai Poestaka, 1940.

Firdaus, M dan Agus Edhi Susanto, Perkoperasian: Sejarah, Teori dan Praktek, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.

Gunadi, Tom, Sistem Perekonomian Menurut Pancasila dan UUD 1945, Bandung: Angkasa, 1981.

Hadhikusuma, R.T. Sutantya Rahardja, Hukum Koperasi Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005.

Handayaningrat, S, Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen, Jakarta: CV. Haji Masagung, 1994.

Hasan, Asnawi, Koperasi dalam Pandangan Islam, Suatu Tinjauan dari Segi Falsafah Etik, dalam Membangun Sistem Ekonomi Nasional, Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi, Sri Edi Swasono (ed), Jakarta: UI Press, 1987.

Kaho, Josef Riwu, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali, 1991.


(2)

Kusumahatmadja, R. D. H, Pengantar ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, Bandung: Bina Cipta, 1979.

Manullang, M, Dasar-Dasar Manajemen, Yogyakarta: Ghalia, 2000.

Masngudi, Peranan Koperasi Sebagai Lembaga Pengantar Keuangan. Tidak diterbitkan. Disertasi Doktor pada Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 1989.

Nurcholis, Hanif, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Jakarta: Grassindo, 2005.

Nurdin, Bahri, Partisipasi Anggota dan Pemantapan Skala Usaha Sebagai Alat Penunjang Pelaksanaan Koperasi Mandiri, dalam “Ekonomi Indonesia Masalah dan Prospek 1989/1990”, Jakarta: UII Press, 1989.

Raka, I.G.Gde, Pengantar Pengetahuan Koperasi. Jakarta: Departemen Koperasi, 1983), hal. 42.

Ridho, Ali, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan,

Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, (Bandung: Alumni: 1986.

Salam, Dharma Setyawan, Otonomi Daerah dalam Perspektif Lingkungan, Nilai, dan Sumber Daya, Jakarta: Djambatan, 2007.

Soedjono, Ibnoe, The Role of Cooperatives in The Indonesian Society. Dalam H.J. Esdert (ED). Can Cooperatives Become the Motive Force in the Economic of Indonesia? Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung, 1983.

Soewartojo, J, Korupsi, Pola Kegiatan dan Penindakannya serta Peran Pengawasan dalam Penanggulangannya, Jakarta: Restu Agung, 1995. Subardi, A, Dasar-Dasar Manajemen, Yogyakarta: Bagian Penerbitan Sekolah

Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN, 1992.

Sukamdiyo, Manajemen Koperasi, Jakarta: Erlangga, 1996.

Surianingrat, Bayu, Desa dan Kelurahan menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, Jakarta: Metro Pos, 1980.

Syafruddin, Ateng, Kapsel Hakikat dan Otonomi Daerah dan desa dalam Pembanguan Daerah, Yogyakarta: Citramedia, 2006.

W, Andjar Pachta, Myra Rosana Bachtiar, Nadia Maulisa Benemay, Hukum Koperasi Indonesia: Pemahaman, Regulasi, Pendidian dan Modal Usaha, Jakarta: Kencana, 2005.


(3)

Widjaya, HAW, Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II, Jakarta: CV. Rajawali, 1992.

Widjaya, HAW, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001.

International Review if Administrative Sciences, Vol. XLV, 1979.

Jurnal

Undang-undang Dasar 1945

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian

http://eprints.ums.ac.id/106/1/1._ahmad_sinala.pdf. Diakses tanggal 23 Januari 2011.

Internet

http://ilmucomputer2.blogspot.com/2009/08/prinsip-koperasi-indonesia.html. Diakses tanggal 1 Nopember 2010.

http://www.smecda.com/deputi7/file_Infokop/EDISI%2028/eksistensi_koperasi.p df. Diakses tanggal 1 Nopember 2010.

http://community.gunadarma.ac.id/user/blogs/view/name_lntank_damar/id_6574/t itle_ pembentukan-dan-pembubaran-koperasi/. Diakses tanggal 4 Nopember 2010.

http://www.smecda.com/deputi7/file_Infokop/EDISI%2028/eksistensi_koperasi.p df. Diakses tanggal 23 Januari 2011.

http://www.kumoro.staff.ugm.ac.id/file_artikel/Akuntabilitas%20Anggaran%20P ublik. pdf. Diakses tanggal 23 Januari 2011.

Susiloadi, Priyanto, Konsep dan Isu Desentralisasi dalam Manajemen Pemerintahan di Indonesia, http://fisip.uns.ac.id/publikasi/sp3_2_priyanto. pdf. diakses pada tanggal 12 April 2010.


(4)

BAB III

OTONOMI DAERAH SEBAGAI WUJUD HUKUM ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAERAH

A. Pemerintahan Daerah di Indonesia

Pemerintahan daerah dikenal saat ini berasal dari perkembangan praktik pemerintahan di Eropa pada abad ke-11 dan 12. Pada saat itu muncul satuan-satuan wilayah di tingkat dasar yang secara alamiah membentuk suatu lembaga pemerintahan. Pada awalnya satuan-satuan wilayah tersebut merupakan suatu komunitas swakelola dari sekelompok penduduk. Satuan-satuan wilayah tersebut diberi nama municipal (kota), county (kabupaten), commune/gementee (desa). Satuan komunitas tersebut merupakan entitas kolektif yang didasarkan pada hubungan saling mengenal dan saling membantu dalam ikatan genealogis maupun teritorial. Satuan komunitas ini membentuk kesatuan masyarakat hukum yang pada asalnya bersifat komunal.39

Pada mulanya satuan-satuan komunitas tersebut terbentuk atas kebutuhan anggotanya sendiri. Untuk mempertahankan eksistensi dan kelangsungan hidupnya mereka membuat lembaga yang diperlukan. Lembaga yang dibentuk mencakup lembaga politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan. Dengan demikian, lembaga yang terbentuk sangat beragam, tergantung pada pola-model tertentu berdasarkan adat istiadat komunitas yang bersangkutan.40

Dalam perkembangan berikutnya, satuan-satuan komunitas tersebut dimasukkan ke dalam sistem administrasi negara dari suatu negar yang berdaulat.

39

Hanif Nurcholis, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, (Jakarta: Grassindo, 2005), hal. 1.

40


(5)

Untuk kepentingan administrasi, satuan-satuan komunitas tersebut lalu ditentukan kategori-kategorinya, batas-batas geografisnya, kewenangannya, dan bentuk kelembagaannya. Melalui keputusan politik, satuan komunitas tersebut lalu dibentuk menjadi unit organisasi formal dalam sistem administrasi negara pada tingkat lokal. Sesuai dengan kepentingan politik negara yang bersangkutan, organisasi pemerintahan lokal dipilah menjadi dua, yaitu satuan organisasi perantara dan satuan organisasi dasar. Misalnya di Perancis, satuan organisasi perantara adalah department dan satuan dasarnya adalah commune. Di Indonesia, satuan organisasi perantara adalah provinsi, sedangkan satuan organisasi dasarnya adalah kota, kabupaten, dan desa.41

Dari definisi yang diberikan oleh undang-undang dapat diketahui bahwa sistem pemerintahan daerah di Indonesia menganut otonomi luas. Dimana daerah diberikan kewenangan untuk mengurus diri sendiri secara mandiri

Pemerintahan daerah di Indonesia diatur dalam Pasal 18 UUD 1945. Yang diturunkan melalui Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sejak diberlakukannya Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka berlaku sistem pemerintahan daerah secara otonom dengan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Berdasarkan Undang-undang tersebut, Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

41


(6)

(menyelenggarakan pemerintahan). Dimana kewenangan pemerintah daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat sangat luas. Dalam pemerintahan daerah Indonesia menganut sistem rumah tangga formal (formale huishoundingsbe-grip). Dalam sistem rumah tangga formal urusan yang menjadi kewenangan daerah tidak ditentukan secara limitatif. Hal ini berdasarkan UUD 1945 Pasal 18 ayat 5. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintah yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada Pasal tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 10 ayat 2 UU Pemerintahan Daerah yang meliputi:

1. politik luar negeri; 2. pertahanan; 3. keamanan; 4. yustisi;

5. moneter dan fiskal nasional; 6. agama.

Berdasarkan Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsure penyelenggara pemerintahan daerah. Pemerintah daerah dapat diartikan sebagai organ atau alat yang menjalankan pemerintahan. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan oleh pemerintah daerah dan DPRD. Pemerintah daerah dapat diartikan sebagai lembaga eksekutif yang menjalankan fungsi eksekutif dengan dibantu oleh DPRD sebagai lembaga yudikatif dalam suatu daerah serta mengatur daerahnya dengan peraturan daerah


(7)

(perda). Sesuai dengan fungsinya pemerintah daerah harus manjalankan amanat UUD 1945 yaitu menyejahterakan rakyat yang dipimpinnya

Tugas dan wewenang kepala daerah menurut Pasal 25 Undang-undang Pemerintahan Daerah adalah:

a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;

b. mengajukan rancangan Perda;

c. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD; d. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD

untuk dibahas dan ditetapkan bersama;

e. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;

f. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan

g. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kepala daerah untuk provinsi disebut gubernur, untuk kabupaten disebut bupati dan untuk kota adalah walikota. Kepala daerah dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah, untuk provinsi disebut wakil Gubernur, untuk kabupaten disebut wakil bupati dan untuk kota disebut wakil walikota. Kepala daerah juga mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan pertanggungjawaban (LPJ) kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.


(8)

Semasa orde baru hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD tidak seimbang. DPRD sangat kuat karena dapat mengusulkan pengangkatan kepada Presiden serta dapat memberhentikan kepala daerah. Pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan oleh DPRD yang dianggap sebagai representasi rakyat di daerah. DPRD dapat menunjuk kepala daerah yang dianggap layak dan mampu memimpin daerah. Pada tataran konsep, prinsip perwakilan seperti ini sangat bagus dan efektif. Namun melihat kenyataan di Indonesai bahwa sebagian besar orang yang duduk dalam pemerintahan adalah orang yang cenderung menyalahgunakan jabatannya.

Seperti halnya dengan pengangkatan kepala daerah. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD sarat dengan kepentingan. Bukan sebuah rahasia lagi Kepala daerah yang akan ditunjuk oleh DPRD harus melakukan apa yang “diinginkan” oleh anggota DPRD. Praktek seperti ini akan menimbulkan sebuah budaya korupsi yang melembaga. Pemilihan kepala daerah tidak didasarkan pada kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk memimpin daerah. Melainkan kemampuan untuk memberikan uang kepada anggota DPRD.

Sejalan dengan pngangkatan kepala daerah, DPRD saat itu dapat memberhentikan kepala daerah, melalui mekanisme laporan tanggung jawab secara berkala kepada DPRD. Jika DPRD menolak laporan pertanggungjawaban dari kepala daerah maka DPRD dapat memberhentikan kepala daerah tersebut. Praktek seperti ini juga menimbulkan masalah yaitu praktek korupsi. Seringkali anggota DPRD meminta imbalan kepada kepala daerah agar LPJ yang diberikan tidak ditolak oleh anggota DPRD.


(9)

Seiring dengan semangat reformasi masyarakat menuntut diadakannya perubahan terhadap UUD 1945. Perubahan ke dua pada 18 Agustus 2000 dilakukan amandemen dengan merubah ketentuan mengenai pemerintahan daerah pada Pasal 18. Amandemen ini merubah sistem pemerintahan daerah secara menyeluruh.

B. Desentralisasi sebagai Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Organisasi yang besar dan kompleks seperti negara Indonesia tak akan efisien jika semua kewenangan politik dan administrasi diletakkan pada puncak hirarki organisasi/ pemerintah pusat, karena pemerintah pusat akan menanggung beban yang berat. Juga tidak cukup hanya jika hanya dilimpahkan secara dekonsentrasi kepada pejabat di beberapa wilayah negara. Agar kewenangan tersebut dapat diimplementasikan secara efisien dan akuntabel, maka sebagian kewenangan politik dan administrasi perlu diserahkan pada jenjang organisasi yang lebih rendah. Penyerahan sebagian kewenangan politik dan administrasi pada jenjang organisasi yang lebih rendah disebut desentralisasi. Jadi, desentralisasi adalah penyerahan wewenang politik dan administrasi dari puncak hirarki organisasi (pemerintah pusat) kepada jenjang organisasi di bawahnya (pemerintah daerah). Dua kewenangan tersebut (politik dan administrasi) diserahkan kepada pemerintah daerah.42

Henry Maddick menjelaskan, desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan secara hukum untuk menangani bidang-bidang/ fungsi-fungsi tertentu kepada daerah otonom. Rondinelli, Nellis, dan Chema mengemukakan, desentralisasi

42


(10)

merupakan penciptaan atau penguatan, baik keuangan maupun hukum, pada unit-unit pemerintahan subnasional yang penyelenggaraannya secara substansial berada di luar kontrol langsung pemerintah pusat.43

Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945, Indonesia merupakan negara yang berbentuk kesatuan (einheidstaat). Hubungan dan mekanisme antara pemerintah pusat dan daerah merupakan conditio sine qua non dalam negara yang berbentuk kesatuan seperti Negara Republik Indonesia. Dalam penjelasan Peraturan Pemerintah RI No. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan dalam penyelenggaraan pemerintahannya menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Penyelenggaran asas desentralisasi secara bulat dan utuh dilaksanakan di daerah kabupaten dan kota. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah otonom untuk dapat mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat secara bertanggung jawab menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.44

Sentralisasi, dekonsentrasi, desentralisasi, dan tugas pembantuan adalah konsep-konsep yang berhubungan dengan pengambilan keputusan dalam organisasi, termasuk organisasi negara. Menurut M. Faltas, terdapat dua kategori dalam pengambilan keputusan, yaitu keputusan politik dan keputusan administratif. Keputusan politik sering disebut juga dengan keputusan alokasi,

43

Ibid, hal. 3-4.

44

Priyanto Susiloadi, Konsep dan Isu Desentralisasi dalam Manajemen Pemerintahan di Indonesia, http://fisip.uns.ac.id/publikasi/sp3_2_priyanto.pdf. diakses pada tanggal 12 April 2010.


(11)

sedangkan keputusan administratif sering pula disebut dengan keputusan pelaksanaan.45

1. Keputusan alokasi dan keputusan pelaksanaan dilakukan pada puncak hirarki secara terpusat. Inilah yang disebut dengan sentralisasi penuh.

Dua jenis pengambilan keputusan tersebut dalam struktur organisasi dapat bervariasi:

2. Keputusan alokasi diambil pada puncak organisasi, sedangkan keputusan pelaksanaan dilakukan pada jenjang-jenjang yang lebih rendah. Inilah yang disebut dengan dekonsentrasi.

3. Keputusan alokasi dan keputusan pelaksanaan semuanya diserahkan sepenuhnya pada jenjang-jenjang organisasi yang lebih rendah. Inilah yang disebut dengan desentralisasi.46

JHA Logemann menyebut butir 2 dan 3 sebagai desentralisasi. Logemann memasukkan dekonsentrasi dalam desentralisasi. Dengan demikian, desentralisasi mempunyai arti yang luas. Logemann membagi desentralisasi menjadu dua macam, yaitu:47

1. Dekonsentrasi atau desentralisasi jabatan (ambtelijke decentalisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkatan lebih atas kepada bawahannya guna melancarkan pekerjaan di dalam melaksanakan tugas pemerintah. Misalnya pelimpahan menteri kepada gubernur, dari gubernur kepada bupati/ walikota dan seterusnya secara berjenjang. Desentralisasi semacam ini rakyat atau lembaga perwakilan rakyat daerah tidak ikut campur atau dibawa-bawa.

2. Desentralisasi ketatanegaraan atau staatkundige decentralisatie yang sering juga disebut sebagai desentralisasi politik, yaitu pelimpahan kekuasaan perundangan dan pemerintahan (regelende en bestuurende bevoerheid) kepada daerah-daerah otonom di dalam lingkungannya. Di dalam desentralisasi politik semacam ini, rakyat dengan menggunakan dan memanfaatkan saluran-saluran tertentu (perwakilan) ikut serta di dalam

45

Ibid, hal. 3

46

Ibid

47


(12)

pemerintahan, dengan batas wilayah daerah masing-masing. Desentralisasi ini dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Desentralisasi teritorial (territorial decentralisatie), yaitu penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (autonomie), batas pengaturannya adalah daerah. Desentralisasi teritorial mengakibatkan adanya otonomi pada daerah yang menerima penyerahan

b. Desentralisasi fungsional (funcionale decentralisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu. Batas pengaturan tersebut adalah jenis fungsi.

Bayu Surianingrat membagi desentralisasi atas:48

a. Desentralisasi jabatan (ambtelijk decentralicatie), yaitu pemudaran kekuasaan, atau lebih tepat pelimpahan kekuasaan dari atasan kepada bawahannya dalam rangka kepegawaian untuk meningkatkan kelancaran pekerjaan. Oleh karena itu, desentralisasi itu disebut juga dekonsentrasi. b. Desentralisasi kenegaraan (statkundige decentralisatie), yaitu penyerahan

kekuasan untuk mengatur daerah dalam lingkungannya untuk mewujudkan asas demokrasi dalam pemerintahan negara. Di dalam desentralisasi ini, rakyat secara langsung mempunyai kesempatan untuk turut serta (participation) dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerahnya.

Ada yang menganggap bahwa desentralisasi sebagai pengakuan adanya hak untuk mengatur dan mengurus urusan tertentu pada badan-badan dan golongan di tingkat bawahan. Amrah Muslimin membdakan pengakuan adanya hak itu dalam tiga macam desentralisasi, yaitu:49

1. Desentralisasi politik sebagai pengakuan adanya hak mengurus kepentingan rumah tangga sendiri pada badan-badan politik di daerah-daerah, yang dipilih oleh rakyat daerah-daerah tertentu.

2. Desentralisasi fungsional sebagai pengakuan adanya hak pada golongan-golongan mengurus suatu macam atau golongan-golongan kepentingan dalam masyarakat, baik terikat ataupun tidak pada suatu daerah tertentu, umpamanya mengurus kepentingan perairan bagi golongan tani dalam suatu atau beberapa daerah tertentu (Subak di Bali), dan

3. Desentralisasi kebudayaan yang mengakui adanya hak pada golongan-golongan kecil (minoriteit) menyelenggarakan kebudayaan sendiri (mengatur pendidikan, agama, dan lain-lain).

48

Bayu Surianingrat, Desa dan Kelurahan menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, (Jakarta: Metro Pos, 1980), hal. 28-29.

49

Dalam Ateng Syafruddin, Kapsel Hakikat dan Otonomi Daerah dan desa dalam Pembanguan Daerah, (Yogyakarta: Citramedia, 2006), hal. 73-74.


(13)

C. Konsep Otonomi Daerah dalam Desentralisasi

Adanya pemerintahan daerah, dimulai dari kebijakan desentralisasi. Desentralisasi berasal dari bahasa latin, yaitu De yang berarti lepas dan Centrum

yang artinya pusat. Dengan demikian, maka desentralisasi yang berasal dari sentralisasi mendapat awalan de berarti melepas atau menjauh dari pemusatan. Desentralisasi tidak putus sama sekali dengan pusat, tapi hanya menjauh dari pusat.50

Alderfer menyatakan bahwa pemerintah daerah di Indonesia berdasarkan sistem tradisional yang sangat dipengaruhi oleh sistem Prancis, akibat terlalu lama dijajah Belanda, yang dahulunya merupakan wiayah dari kekaisaran Prancis terutama di bawah penguasaan Gubernur Jenderal Daendels.

Sejarah perkembangan pemerintahan di Indonesia tidak terlepas dari sejarah berdirinya Republik Indonesia. Belanda yang menjajah Indonesia telah banyak mempengaruhi budaya, sistem hukum, sistem politik, dan sistam ketatanegaraan Indonesia, sedangkan Belanda sendiri mendapat pengaruh kuat dari sistem politik, sistem hukum, dan sistem ketatanegaraan Prancis karena bangsa Prancis dalambeebrapa tahun telah menjajah bangsa Belanda.

51

50

R. D. H. Kusumahatmadja, Pengantar ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, (Bandung: Bina Cipta, 1979), hal. 12

51

Harold F. Alderfer, Local Government in Developing Countries, (New York: Mc Graw-Hill Book Company, 1964), hal. 83-84.

Salah satu persamaan sistem feodalisme di Prancis dan di pulau Jawa (Indonesia pada umumnya) adalah sistem apanage yang memberikan kewajiban-kewajiban tertentu para pejabat lokal kepada raja, atau para petani penggarap kepada para pejabat lokal. Oleh karena itu, dalam sistem feodalisme di daerah-daerah Indonesia dikenal istilah tanah lungguh, tanah bengkok, tanah garapan.


(14)

Keterikatan pejabat-pejabat lokal kepada tanah lungguh atau apanage

menyebabkan kesetiaan mutlak para pejabat lokal harus diserahkan kepada raja atau sultan karena raja (pemilik tanah itu) menggaji para pejabat lokal dengan tanah-tanah apanage tersebut.

Karena pejabat lokal, umumnya kerabat raja, tidak dapat menggarap tanah apanage, maka mereka menyerahkan tanah itu kepada rakyat untuk digarap dengan imbalan menyerahkan sebagian hasil panen dan kewajiban kerja rodi (panen). Sistem ini disebarluaskan dan dilembagakan Belanda di luar Jawa.

Dengan demikian sejarah pemerintahan Indonesia selalu terikat pada kepentingan pemerintah pusat (raja). Pemerintah daerah di Indonesia tidak mengenal budaya legislatif, segala sesuatu terpusat pada raja, oleh karena itu, sejarah pemerintahan di Indonesia dan daerah (khususnya) membuktikan bahwa terjadiya penyelewengan, penyalahgunaan kekuasaan, kepincangan-kepincangan diakibatkan oleh terlalu dominannya eksekutif (kekuasaan raja, pemerintah pusat). Salah satu cara menghindari penyelewengan, penyalahgunaan kekuasaan, dan kepincangan-kepincangan dalam penyelenggaraan negara adalah pemberian otonomi kepada daerah.

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 menggariskan bahwa maksud dan tujuan pemberian otonomi daerah adalah memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakat; menggalakkan prakarsa dan peran aktif masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab, serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.


(15)

Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, pemberian otonomi daerah memiliki empat tujuan. Pertama, dari aspek politik pemberian otonomi daerah bertujuan untuk mengikutsertakan dan menyalurkan aspirasi masyarakat ke dalam program-program pembangunan baik untuk kepentingan daerah sendiri maupun untuk mendukung kebijakan nasional tentang demokratisasi. Kedua, dari aspek manajemen pemerintahan, pemberian otonomi daerah bertujuan meningkatan daya guna dan hasil guna menyelenggaraan pemerintahan utama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan memperluas jenis-jenis pelayanan dalam berbagai kebutuhan masyarakat. Ketiga, dari aspek kemasyarakatan, pemberian otonomi daerah bertujuan meningkatkan partisipasi serta menumbuhkan kemandirian masyarakat untuk tidak terlalu banyak bergantung kepada pemerintah dalam proses pertumbuhan daerahnya sehingga daerah memiliki daya saing yang kuat. Keempat, dari aspek ekonomi pembangunan, pemberian otonomi daerah bertujuan menyukseskan pelaksanaan program pembangunan guna tercapainya kesejahteraan rakyat yang makin meningkat.52

52

Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah dalam Perspektif Lingkungan, Nilai, dan Sumber Daya, (Jakarta: Djambatan, 2007), hal. 93.

Tujuan pemberian otonomi daerah dapat tercapai apabila didasarkan pada prinsip-prinsip yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dilaksanakan secara optimal oleh penyelenggara Negara baik di tingkat pusat, propinsi, maupun kabupaten/ kota. Karena dalam penyelenggaraan otonomi daerah harus memperhatikan prinsip-prinsip otonomi daerah. Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan penyelenggara Negara dalam melaksanakan otonomi daerah.


(16)

Pertama, berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 penyelenggaraan pemerintahan di daerah hanya mengenal satu garis pertanggungjawaban, yaitu bertanggungjawab kepada presiden dan tidak kepada DPR Daerah. Hal ini tercermin dalam tingkat susunan hierarki pemerintahan menjadi pemerintah daerah propinsi dan pemerintah daerah kabupaten/ kota. Kedudukan keduanya sebagai daerah otonom dan daerah administratif.

Ada beberapa implikasi dari kedudukan pemerintah daerah seperti yang diuraikan di atas:53

1. Pemerintah daerah sebagai pembantu dan perpanjangan dari pemeirntah pusat;

2. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah bersifat subordinal, bukan kemitraan.

3. Peranan dan posisi pemerintah daerah kabupaten/ kota menjadi lemah karena terjadi tarik menarik kekuasaan, terutama dalam menghimpun sumber daya yang maksimal.

Tiga implikasi dari keduduka n pemerintah di atas menyebabkan hal-hal sebagai berikut:54

1. Pengertian otonomi daerah lebih merupakan kewajiban daripada hak. Hal ini tentu tidak lazim dan tidak tepat dalam koteks makna dan tujuan pemberian otonomi daerah kepada daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi territorial. Pemberian otonomi daerah kepada daerah tidak hanya mengandung unsur administrasi birokrasi, tetapi juga mengandung unsur politik.

53

Ibid, hal. 93-94.

54


(17)

2. Pengertian kewajiban sebagai manifestasi pengertian pemberian otonomi daerah sebagai hak dan wewenang yang diberikan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya serta konsekuensi pemerintah daerah berkewajiban untuk mempertanggungjawabkannya. Apabila persepsi tentang makna otonomi daerah sebagai kewajiban dipandang tepat, maka kedudukan pemerintah daerah hanya sebagai penerima kewajiban yang berhak memperoleh imbalan. Pemerintah daerah akan selalu bergantung terus kepada pemerintah pusat.

3. Hambatan utama pelaksanaan pemberian otonomi daerah terkesan sangat kuat oleh kecenderungan sifat ego sentralistik dari para pelaku birokrasi dan elit yang mempunyai akses lebih dominan terhadap sumber daya dibanding penentu kebijakan, baik di tingkat pusat, maupun di daerah propinsi.

Kedua, berdasarkan ketentuan UUD 1945 Pasal 18 yang mengatur pemerintahan daerah, daerah Indonesia tidak bersifat staat; wilayah Indonesia dibagi dalam bentuk daerah yang dapat berubah berupa daerah otonom dan atau bersifat administratif. Baik dalam Pasal 18 maupun penjelasannya tidak secara tegas ditentukan jumlah daerah otonomi sehingga memberi keleluasaan kepada pembuat undang-undang untuk merumuskan, menentukan, dan memutuskan hal-hal berikut:55

1. Banyaknya tingkat daerah otonom yang akan dibentuk dan disusun 2. Prinsip otonomi daerah yang akan dianut

3. Titik berat otonomi daerah yang akan diletakkan

55


(18)

4. Imbangan kedudukan antara asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi 5. Tata cara penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah

tingkat atasnya kepada daerah bawahannya menjadi urusan rumah tangga sendiri.

Apabila pemahaman Pasal 1 ayat 1 (Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk Republik) digabungkan dengan Pasal 18 beserta penjelasannya, maka dapat dikatakan bahwa republik Indonesia adalah Negara kesatuan yang disentralisasikan. Dalam Negara kesatuan yang disentralisasikan, pemerintah pusat tetap mempunyai hak untuk mengawasi daerah-daerah otonom.

Ketiga, otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab dengan pelaksanaan asas desentralisasi dilakukan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi. Prinsip yang dikehendaki Undang-undang Nomor 5 Tahun 197 merupakan koreksi atas prinsip-prinsip sebelumnya terutama menyangkut otonomi yang seluas-luasnya karena dianggap dapat membahayakan keutuhan Negara kesatuan.

Ada tiga esensi dasar otonomi yang nyata, dinamis, dan bertanggung jawab menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, yaitu:56

1. Otonomi tersebut harus menjamin kestabilan politik dan kesatuan nasional.

2. Harus dapat menjaga hubungan yang harmonis antara pemerintah pusat dengan daerah.

3. Harus menjamin pembangunan daerah

56


(19)

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah telah meletakkan prinsip-prinsip baru agar penyelenggaraan otonomi daerah lebih sesuai dengan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadialn berdasarkan potensi dan keanekaragaman daerah. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ini memaknai otonomi daerah sebagai pemberian kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Apabila dahulu prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab lebih berkonotasi kewajiban daripada hak, maka dalam undang-undang ini pemberian kewenangan otonomi kepada daerah kabupaten dan kota didasarkan atas desentralisasi dalam mewujudkan otonomi yang luas57, nyata58, dan bertanggung jawab.59

Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan juga Undang-undang Pemerintahan Daerah yang baru (UU No. 32 Tahun 2004) dalam kerangka asas desentralisasi adalah sebagai berikut:60

57

Yaitu daerah memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

58

Yaitu keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah.

59

Yaitu perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiba yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi.

60


(20)

1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.

2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab.

3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedangkan otonomi daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas.

4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi Negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.

5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatna kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah kabupaten dan daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata dan semacamnya beraku ketentuan peraturan daerah otonom.

6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislative daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintahan daerah. 7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam


(21)

kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah.

8. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugasinya.

Banyak faktor variabel yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Tidak sedikit pula pakar yang mengidentifikasi faktor-faktor dan variabel-variabel yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah tersebut. Widjaya mengatakan, ada tiga variabel yang menjadi tolak ukur kemampuan daerah otonom, yaitu:61

1. Variabel pokok, yang terdiri dari kemampuan pendapatan asli daerah/ keuangan, kemampuan aparatur, kemampuan aspirasi masyarakat, kemampuan ekonomi, kemampuan demografi, serta kemampuan organisasi dan administrasi.

2. Variabel penunjang, yang terdiri dari faktor geografi dan faktor sosial budaya.

3. Variabel khusus yang terdiri dari sosial politik, pertahanan keamanan serta penghayatan agama.

61

HAW. Widjaya, Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II, (Jakarta: CV. Rajawali, 1992), hal. 39.


(22)

Dengan bahasa yang berbeda, Riwu Kaho mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi dan sangat menentukan penyelenggaraan otonomi daerah antara lain dengan:62

1. Sumber daya manusia dan kemampuan aparatur serta partisipasi masyarakat.

2. Keuangan yang stabil, terutama pendapatan asli daerah. 3. Peralatan yang lengkap.

4. Organisasi dan manajemen yang baik.

Banyak faktor variabel yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Tidak sedikit pula pakar yang mengidentifikasi faktor-faktor dan variabel-variabel yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah tersebut. Widjaya mengatakan, ada tiga variabel yang menjadi tolak ukur kemampuan daerah otonom, yaitu:63

Menurut Smith, faktor yang dapat memprediksi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah fungsi atau tugas pemerintahan, kemampuan pemungutan pajak daerah, bidang tugas administrasi, jumlah pelimpahan wewenang, besarnya anggaran belanja, wilayah, ketergantungan keuangan, dan personil.64

Menurut Widjaya ada tiga variabel yang menjadi tolak ukur kemampuan daerah otonom, yaitu:65

a. variabel pokok, yang terdiri dari kemampuan pendapatan asli daerah/keuangan, kemampuan aparatur, kemampuan aspirasi masyarakat,

62

Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, (Jakarta: CV. Rajawali, 1991), hal. 60 dan 246.

63

HAW. Widjaya, Op. cit, hal. 39.

64

Brian Smith C, dalam International Review if Administrative Sciences, Vol. XLV, 1979, hal. 214-222.

65

HAW Widjaya, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001), hal. 39.


(23)

kemampuan ekonomi, kemampuan demografi, serta kemampuan organisasi dan administrasi;

b. variabel penunjang, yang terdiri dari faktor geografi dan faktor sosial budaya; dan

c. variabel khusus yang terdiri dari sosial politik, pertahanan dan keamanan serta penghayatan agama.


(24)

BAB IV

PERANAN PEMERINTAH TERHADAP PEMBINAAN SERTA PENGAWASAN KOPERASI DALAM KONSEP

OTONOMI DAERAH

A. Eksistensi Koperasi di Indonesia Dikaitkan dengan Otonomi Daerah

Reformasi menuntut adanya pelurusan persepsi dan paradigma tentang koperasi agar koperasi dapat berperan secara efektif sesuai dengan cita-cita dan misi reformasi. Presiden Abdurrahman Wahid telah membuka peluang bagi penataan kembali sektor koperasi pada waktu pembentukan pemerintahannya bulan Oktober 1999. Dikatakan bahwa: Koperasi adalah urusan masyarakat dan masalah koperasi hendaknya diselesaikan oleh masyarakat sendiri.66

66

Penguatan Koperasi Melalui Pembaruan Undang-Undang Koperasi, Februari 2001, Lokakarya Nasional Penguatan Koperasi Melalui Pembaruan Undang-Undang Koperasi dan Kebijakan Pelatihan Koperasi, Kerjasama antara Kantor Menteri Negara Koperasi dan UKM dengan LSP21

Terkait dengan itu, maka Departemen Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah yang sebelumnya mempunyai wewenang besar dengan fungsi pengaturan dan fungsi pembangunan diubah statusnya menjadi Kantor Menteri Negara dengan wewenang terbatas pada fiingsi pengaturan. Sementara itu peran operasionalnya menjadi sangat berkurang dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Otonomi Daerah dan kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam hal ini, maka yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimana eksistensi koperasi dalam hubungannya dengan otonomi daerah.


(25)

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah mengatur kedudukan dan peran pemerintah dan tidak ada kaitan struktural dengan gerakan koperasi sebagai lembaga masyarakat yang otonom. Undang-undang sebagai sistem hukum yang mengatur secara nasional memberikan dasar bagi peran dan wewenang pemerintah sebagai kesatuan dan pembagian kerja antara Pusat dan Daerah adalah wilayah dan ruang dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Hal ini berarti hanya ada satu undang-undang perkoperasian yang eksistensinya sebagai dasar hukum dan pedoman kebijakan pemerintah di pusat dan daerah di bidang perkoperasian.

Dengan berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah, maka eksistensi koperasi dalam hubungannya dengan otonomi daerah tetap eksis sebagai pelaku ekonomi dan penggerak ekonomi rakyat. Sementara itu peran pemerintah akan berkurang dan yang masih ada yaitu fungsi pengaturan tetapi terbatas pada pendaftaran/pemberian dan pencabutan hak badan hukum, pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Adapun fungsi promosi/pembangunannnya menjadi proporsional (Pusat dan Daerah) meliputi: penciptaan iklim yang kondusif bagi perkembangan koperasi, aistensi dan fasilitasi, koordinasi bantuan luar negeri dan penyediaan sarana-sarana pendukung. Dalam fungsi pembangunan ini termasuk adanya fasilitasi mengenai perpajakan (pajak penghasilan), perbankan beserta lembaga penjaminan dan asuransi, pendidikan/pelatihan daninsentif lainnya.67

67

http://www.smecda.com/deputi7/file_Infokop/EDISI%2028/eksistensi_koperasi.pdf. Diakses tanggal 23 Januari 2011.


(26)

Kebijakan yang ditempuh dalam menyikapi perubahan saat ini yang mendorong lebih kuatnya pelaksanaan otonomi daerah adalah menciptakan lingkungan iklim yang kondusif bagi dunia usaha dengan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah dan Pusat untuk pembinaan dan pengembangan koperasi dan UKM, mengembangkan usaha di bidang jasa keuangan dengan mengembangkan lembaga kredit, pada koperasi kredit dan koperasi simpan pinjam; melakukan kerjasama antar koperasi dalam mengembangkan potensi usaha yang ada untuk bersaing dengan pelaku usaha, baik dari dalam negeri maupun luar negeri apalagi dalam era pasar bebas.

B. Peranan Pemerintah terhadap Pembinaan Koperasi

Pembinaan terhadap koperasi sangat tergantung kepada responsivitas Pemerintah Daerah dalam memberikan alokasi anggaran dan mengaktifkan kegiatan yang terkait dengan ekonomi kerakyatan ini. Namun upayamewujudkan harapan tersebut seringkali masih menemui kendala karena konflik kepentingan diantara para stake-holders di daerah dan karena penentuan prioritas pembangunan di daerah yang keliru. Sebagai misal, dana yang berasal dari APBD sekarang ini lebih banyak tersedot untuk pengeluaran rutin pegawai daripada untuk belanja modal yang bermanfaat bagi pelaku ekonomi kerakyatan. Angka rata-rata nasionalmenunjukkan bahwa 69% belanja APBD tersedot untuk belanja aparatur yang meliputi gaji, honorarium, belanja perjalanan dinas, dan sebagainya. Di masa mendatang para pejabat daerah perlu meningkatkan sisi belanja modal


(27)

yang langsung bermanfaat bagi rakyat, termasuk diantaranya untuk pembinaan koperasi.68

Berdasarkan ketentuan dalam PP No. 38/2007 tentang Pembagian Kewenangan Antara Pemerintah Pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, telah ditegaskan bahwa koperasi merupakan salah satu dari 26 urusan wajib yang harus diselenggarakan dengan baik oleh pemerintah daerah. Demikian juga, ketentuan dalam PP No. 41/2007 tentang Struktur Organisasi dan Tata-Kerja Pemerintah Daerah telah mengatur bahwa urusan koperasi hendaknya dikelola oleh sebuah Rendahnya produktivitas koperasi selama ini lebih disebabkan oleh lemahnya sumberdaya manusia di bidang manajemen, organisasi yang kurang profesional, penguasaan teknologi dan pemasaran yang lemah, serta rendahnya kualitas kewirausahaan dari para manajer koperasi. Masalah pengembangan juga bertambah rumit karena kebanyakan koperasi kurang difasilitasi dengan akses terhadap permodalan, informasi, pasar, teknologi dan faktorfaktor penunjang bisnis lainnya.

Oleh sebab itu, komitmen terhadap fasilitasi dan pemberdayaan juga harus diwujudkan dengan perangkat kelembagaan yang khusus dimaksudkan bagi koperasi. Saat ini jajaran Pemda sering menganggap bahwa pembinaan dan pemberdayaan koperasi hanya akan menyedot dana dan tidak menghasilkan tambahan pendapatan seperti halnya sektor-sektor industri besar yang membayar pajak dan retribusi relatif lebih tinggi. Pola pemikiran ini harus diubah sehingga harus ada satuan teknis yang khusus menangani koperasi serta alokasi anggaran yang memadai untuk program pembinaan.

68

http://www.kumoro.staff.ugm.ac.id/file_artikel/Akuntabilitas%20Anggaran%20Publik. pdf. Diakses tanggal 23 Januari 2011.


(28)

satuan direktif yang berbentuk dinas. Tetapi banyak daerah yang belum menempatkan pembinaan koperasi dan ke dalam Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi) dalam bentuk dinas yang kuat. Sebagian masih dijadikan satu dalam urusan Bagian, Badan atau UPT tertentu. Kebanyakan daerah menempatkan urusan ini dalam Dinas Perindagkop (Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi) dengan prioritas urusan koperasi yang lebih rendah daripada urusan-urusan lainnya.

Dalam rencana jangka menengah, pihak pemerintah daerah hendaknya bisa memperbarui komitmen terhadap koperasi dengan menempatkannya ke dalam dinas khusus yang disertai dengan prioritas pendanaan dari APBD yang mencukupi. Ini harus dilakukan mengingat betapa pentingnya posisi koperasi dalam peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah dan masih banyaknya hambatan struktural maupun hambatan manajerial bagi kelompok pelaku usaha ini. Betapapun, komitmen harus diwujudkan dalam bentuk affirmative action atau tindakan keberpihakan. Yang dimaksud dalam hal ini ialah bahwa pemerintah memang harus melindungi koperasi yang kebanyakan merupakan kelompok usaha yang masih lemah dan mengalami banyak hambatan untuk bersaing dengan usaha-usaha berskala besar. Tentu saja Dinas Koperasi di daerah juga harus paham kapan saatnya melakukan exit strategy apabila koperasi sudah dapat berkembang secara mandiri dan tidak tergantung kepada fasilitasi pihak Pemda.

C. Peranan Pemerintah terhadap Pengawasan Koperasi

Ada berbagai jenis pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah, yaitu: 1. Berdasarkan Pasal 23 ayat 5 Undang-undang Dasar 1945


(29)

Untuk memeriksa tanggung jawab keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Selanjutnya keberadaan Badan Pemeriksa Keuangan diatur berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1973 dengan tugas dan kewajiban memeriksa tanggung jawab pemerintah tentang keuangan negara dan memeriksa semua pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Hasil pemeriksaan diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Apabila suatu pemeriksaan menggunakan hal-hal yang menimbulkan sangkaan tindak pidana atau perbuatan yang merugikan keuangan negara, maka Badan Pemeriksa Keuangan memberikan masukan kepada pemerintah.

2. Berdasarkan Keputusan Presiden nomor 15 tahun 1984

Kepres ini adalah mengenai Susunan Organisasi Departemen. Pada setiap Departemen disamping terbagi dalam Direktorat Jenderal menurut kebutuhan ada jabatan Sekretaris Jenderal dan Inspektur Jenderal. Tugas pengawasan dalam setiap Departemen ditangani oleh Inspektur Jenderal, berlanjut pada tingkat Propinsi pengawasannya ditangani oleh Inspektur Wilayah Propinsi (Irwilprop) dan pada tingkat Kabupaten/ Kotamadya pengawasannya ditangani oleh Inspektur Wilayah Kabupaten/Kotamadya (Irwilkab / Irwilkod).

3. Berdasarkan Instruksi Presiden nomor 5 tahun 1983. a. Pengawasan Atasan Langsung.

Semua pimpinan di setiap satuan organisasi pemerintah menciptakan pengawasan melekat dan meningkatkan pengawasan di lingkungan tugasnya masing-masing. Pengawasan melekat melalui penggarisan


(30)

struktur organisasi yang jelas mengenai tugas dan fungsinya. Rincian kebijaksaan dibuat secara tertulis sebagai pegangan bawahan. Rencana kerja dibuat dengan menggambarkan kegiatan yang harus dilaksanakan. Prosedur kerja dibuat secara jelas sebagai petunjuk pelaksanaan kerja dari atasan kepada bawahan. Setiap hasil kerja dicatat dan dibuat laporan sebagai pertanggung jawaban pelaksanaan tugas kepada atasannya. Pembinaan personil secara terus menerus agar dalam melaksanakan tugasnya tidak bertentangan dengan maksud dan tujuannya. Dalam mewujudkan pengawasan melekat diatur dengan Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1989 yang ditindak lanjuti dengan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 93/Menpan/1989.

b. Pengawasan Fungsional.

Kebijaksanaan pengawasan fungsional digariskan oleh Presiden dengan menugaskan kepada wakil Presiden untuk terus menerus memimpin dan mengikuti pelaksanaan pengawasan. Dalam pengawasan fungsional Menko Ekuin Wasbang ditunjuk sebagai koordinator pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal Departemen dan Inspektorat Wilayah Propinsi. Kegiatan pengawasan fungsional dilakukan berdasarkan Rencana Program Kerja Pengawasan Tahunan yang disusun oleh BPKP menurut petunjuk dari Menko Ekuin Wasbang. Pelaksanaannya dilakukan secara berjenjang yaitu aparat pengawasan fungsional melaksanakan pengawasan


(31)

menurut petunjuk dari Menteri yang dikoordinir oleh BPKP dan hasilnya dibahas dalam koordinasi Menko Ekuin Wasbang sebagai bahan materi penyusunan Rencana Program Kerja Pengawasan Tahunan yang disusun berdasarkan prioritas.

4. Pengawasan Masyarakat.

Pengawasan masyarakat dilaksanakan dengan memperhatikan temuan-temuan yang disampaikan oleh masyarakat melalui kotak pos 5000 yangdisediakan oleh wakil Presiden sebagai upaya menampung keluhan dan saran-saran dari masyarakat mengenai perilaku pejabat dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Keluhan dan saran dari masyarakat tersebut ditindak lanjuti, oleh Wakil Presiden dilacak dan diteruskan kepada Menteri menurut bidangnya untuk diadakan pemeriksaan dilapangan apakah informasi dari masyarakat tersebut benar-benar terjadi.

Disamping pengawasan masyarakat yang ditampung melalui kotak pos 5000, pengawasan masyarakat juga dapat berupa informasi dari berita-berita yang ditulis di media cetak yaitu surat kabar, majalah dan sebagainya.

Dikaitkan dengan pengawasan terhadap lembaga koperasi, Pasal 21 Undang-undang nomor 25 tahun 1992, ditegaskan bahwa perangkat organisasi Koperasi terdiri dari Rapat Anggota, Pengurus dan Pengawas. Selanjutnya mengenai pengawas diatur dalam Pasal 38, 39 dan 40.

Pasal 38 menegaskan bahwa Pengawas dipilih dari/ dan oleh anggota Koperasi dalam Rapat Anggota. Pengawas bertanggung jawab kepada Rapat


(32)

Anggota. Persyaratan untuk dapat dipilih dan diangkat sebagai anggota Pengawas ditetapkan dalam Anggaran Dasar.

Pasal 39 menegaskan bahwa Pengawas bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan dan pengelolaan koperasi dan membuat laporan tertulis tentang hasil pengawasannya. Pengawas berwenang meneliti catatan yang ada pada koperasi dan mendapatkan segala keterangan yang diperlukan. Pengawas harus merahasiakan hasil pengawasannya terhadap pihak ketiga.

Pasal 40 menegaskan bahwa Koperasi dapat meminta jasa audit akuntan publik. Dalam pengawasan Koperasi ada dua pengawas yaitu pengawas ekstern dan pengawas intern. Pengawas Ekstern adalah pengawas dari pemerintah dalam hal ini Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil. Pengawas dari pemerintah bersifat pembinaan administrasi dan pengembangan dalam bentuk penyuluhan dan pendidikan / latihan. Pengawas Intern adalah badan pemeriksa kegiatan pengawasan intern meliputi pengawasan kebijaksanaan pengurus dan kegiatan operasional meliputi keuangan, personil dan hal-hal yang menyangkut pengadaan barang dan lain-lain agar tidak menyimpang dari perencanaan dan tujuan yang telah ditetapkan.

Dalam pengawasan, perlu ada standar pedoman, pencocokan kegiatan dengan perencanaan dan perbaikan. Dalam mengawasi persediaan koperasi, Pemeriksa harus memeriksa tentang adanya ketidak cocokan jumlah yang tertulis dalam catatan dengan jumlah fisiknya, yang terjadi karena adanya kebocoran tempat penyimpanan, kesalahan hitung/ ukur/ timbang, kesalahan menulis dan mencatat, pencurian/ kehilangan, barang rusak, susut/ menguap dan sebagainya.69

69


(33)

Selain pengawasan secara internal yang dapat dilakukan oleh badan pengawas yang telah terbentuk dalam lembaga koperasi berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, maka dapat juga dilakukan pengawasa dari luar lembaga koperasi (ektern), yakni oleh pemerintah maupun masyarakat.

Berdasarkan pada uraian di atas, dapat diketahui bahwa berdasarkan Keputusan Presiden nomor 15 tahun 1984, pengawasan, termasuk pengawasan terhadap koperasi, di tingkat Propinsi pengawasannya dapat ditangani oleh Inspektur Wilayah Propinsi (Irwilprop) dan pada tingkat Kabupaten/ Kotamadya pengawasannya ditangani oleh Inspektur Wilayah Kabupaten/Kotamadya (Irwilkab/ Irwilkod). Dengan demikian, pemerintah daerah melalui Inspektur Wilayah Propinsi dan Inspektur Wilayah Kabupaten/Kotamadya dapat melakukan pengawasan terhadap koperasi di daerah. Melalui badan-badan tersebut, pemerintah daerah dapat melakukan pengawasan terhadap koperasi untuk memastikan bahwa penyelenggaraan koperasi tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga tujuan dibentuknya koperasi sebagaimana yang telah diamanahkan oleh Undang-undang Perkoperasian dapat terwujud.


(34)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Kedudukan koperasi di Indonesia tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (1) dengan penjelasannya, bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai itu adalah koperasi. Kedudukan koperasi sebagai Badan Hukum kedudukannya diperoleh melalui suatu prosedur hukum koperasi yang diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan peraturan pelaksanaannya

2. Hukum administrasi daerah merupakan peraturan-peraturan yang mengatur suatu daerah dengan bentuk pelaksanaan yang dilakukan oleh instansi permerintahan daerah. Dikaitkan dengan konsep otonomi, maka hukum administrasi daerah harus merujuk pada kerangka otonomi daerah yang menjadi pilar utama konsep dan penyelenggaraan pemerintahan daerah.

3. Pembinaan terhadap koperasi sangat tergantung kepada responsivitas Pemerintah Daerah dalam memberikan alokasi anggaran dan mengaktifkan kegiatan yang terkait dengan lembaga koperasi ini. Sedangkan pengawasan terhadap koperasi dilakukan baik secara internal maupun eksternal. Pengawasan internal dilakukan melalui pembentukan


(35)

badan pengawas sebagaimana diatur dalam Pasal 38, 39, dan 40 Undang-undang Perkoperasian, sedangkan pengawasan eksternal dapat dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah, khususnya pemerintah daerah.

B. Saran

Atas kesimpulan tersebut di atas, disarankan beberapa hal sebagai berikut: 1. Perlu untuk meningkatkan perhatian kepada koperasi, sebab koperasi

merupakan usaha yang berbasis kerakyatan, sehingga perhatian yang lebih terhadap koperasi akan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat pada tingkat menengah, terlebih-terlebih pada tingkat bawah.

2. Konsep otonomi yang saat ini melandasi penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu mendapat pengawasan khusus dari berbagai pihak, khususnya pemerintah, agar jangan sampai terjadi raja-raja baru di daerah yang lebih otoriter dibandingkan dengan sebelum konsep otonomi dimunculkan. 3. Perlu adanya pembentukan lembaga pemerintah di tingkat daerah yang

khusus melakukan pembinaan serta pengawasan terhadap koperasi, untuk terciptanya koperasi yang memiliki kualitas baik dan lebih profesional dalam penyelenggaraan operasionalisasinya.


(36)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KOPERASI

A. Latar Belakang atau Sejarah Berdirinya Koperasi

Pertumbuhan koperasi di Indonesia dimulai sejak tahun 1896 yang selanjutnya berkembang dari waktu ke waktu sampai sekarang. Perkembangan koperasi di Indonesia mengalami pasang naik dan turun dengan titik berat lingkup kegiatan usaha secara menyeluruh yang berbeda-beda dari waktu ke waktu sesuai dengan iklim lingkungannya.16

Apabila pertumbuhan koperasi yang pertama di Indonesia menekankan pada kegiatan simpan-pinjam17

16

Ahmed, Riazuddin, Cooperative Movement in South East Asia Obstacles to Development. Dalam Dr. Mauritz Bonow (Ed). The Role of Cooperatives in Social and Economic Development. London: International Cooperative Alliance, 1964), hal. 57.

17

Ibnoe Soedjono, The Role of Cooperatives in The Indonesian Society. Dalam H.J. Esdert (ED). Can Cooperatives Become the Motive Force in the Economic of Indonesia? (Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung, 1983), hal. 7

maka selanjutnya tumbuh pula koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan barang-barang konsumsi dan dan kemudian koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan barang-barang untuk keperluan produksi. Perkembangan koperasi dari berbagai jenis kegiatan usaha tersebut selanjutnya ada kecenderungan menuju kepada suatu bentuk koperasi yang memiliki beberapa jenis kegiatan usaha. Koperasi serba usaha ini mengambil langkah-langkah kegiatan usaha yang paling mudah mereka kerjakan terlebih dulu, seperti kegiatan penyediaan barang-barang keperluan produksi bersama-sama dengan kegiatan simpan-pinjam ataupun kegiatan penyediaan


(37)

barang-barang keperluan konsumsi bersama-sama dengan kegiatan simpan-pinjam dan sebagainya.18

Pertumbuhan koperasi di Indonesia dipelopori oleh R. Aria Wiriatmadja patih di Purwokerto (1896), mendirikan koperasi yang bergerak dibidang simpan-pinjam. Untuk memodali koperasi simpan-pinjam tersebut di samping banyak menggunakan uangnya sendiri, beliau juga menggunakan kas mesjid yang dipegangnya.19

Selanjutnya Boedi Oetomo yang didirikan pada tahun 1908 menganjurkan berdirinya koperasi untuk keperluan rumah tangga. Demikian pula Sarikat Islam yang didirikan tahun 1911 juga mengembangkan koperasi yang bergerak di bidang keperluan sehari-hari dengan cara membuka tokotoko koperasi. Perkembangan yang pesat dibidang perkoperasian di Indonesia yang menyatu

Setelah beliau mengetahui bahwa hal tersebut tidak boleh, maka uang kas mesjid telah dikembalikan secara utuh pada posisi yang sebenarnya.

Kegiatan R Aria Wiriatmadja dikembangkan lebih lanjut oleh De Wolf Van Westerrode asisten Residen Wilayah Purwokerto di Banyumas. Ketika ia cuti ke Eropa dipelajarinya cara kerja wolksbank secara Raiffeisen (koperasi simpan-pinjam untuk kaum tani) dan Schulze-Delitzsch (koperasi simpan-pinjam untuk kaum buruh di kota) di Jerman. Setelah ia kembali dari cuti melailah ia mengembangkan koperasi simpan-pinjam sebagaimana telah dirintis oleh R. Aria Wiriatmadja. Dalam hubungan ini kegiatan simpanpinjam yang dapat berkembang ialah model koperasi simpan-pinjam lumbung dan modal untuk itu diambil dari zakat.

18

Masngudi. Peranan Koperasi Sebagai Lembaga Pengantar Keuangan. Tidak diterbitkan. Disertasi Doktor pada Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 1989, hal. 1-2.

19

Margono R.M Djojohadikoesoemo, Sepoeloeh Tahoen Koperasi. (Batavia Centrum: Balai Poestaka, 1940), hal. 9.


(38)

dengan kekuatan social dan politik menimbulkan kecurigaan Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karenanya Pemerintah Hindia Belanda ingin mengaturnya tetapi dalam kenyataan lebih cenderung menjadi suatu penghalang atau penghambat perkembangan koperasi. Dalam hubungan ini pada tahun 1915 diterbitkan Ketetapan Raja No. 431 yang berisi antara lain:

1. Akte pendirian koperasi dibuat secara notariil; 2. Akte pendirian harus dibuat dalam Bahasa Belanda;

3. Harus mendapat ijin dari Gubernur Jenderal; dan di samping itu diperlukan biaya meterai f 50.

Pada akhir Rajab 1336H atau 1918 K.H. Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang mendirikan koperasi yang dinamakan “Syirkatul Inan” atau disingkat (SKN) yang beranggotakan 45 orang. Ketua dan sekaligus sebagai manager adalah K.H. Hasyim Asy ‘ari. Sekretaris I dan II adalah K.H. Bishri dan Haji Manshur. Sedangkan bendahara Syeikh Abdul WAhab Tambakberas di mana branndkas dilengkapi dengan 5 macam kunci yang dipegang oleh 5 anggota. Mereka bertekad, dengan kelahiran koperasi ini unntuk dijadikan periode “nahdlatuttijar”. Proses permohonan badan hukum direncanakan akan diajukan setelah antara 2 sampai dengan 3 tahun berdiri.

Berbagai ketentuan dan persyaratan sebagaimana dalam ketetapan Raja no 431/1915 tersebut dirasakan sangat memberatkan persyaratan berdiriya koperasi. Dengan demikian praktis peraturan tersebut dapat dipandang sebagai suatu penghalang bagi pertumbuhan koperasi di Indonesia, yang mengundang berbagai reaksi. Oleh karenanya maka pada tahun 1920 dibentuk suatu ‘Komisi Koperasi’ yang dipimpin oleh DR. J.H. Boeke yang diberi tugas neneliti sampai sejauh mana


(39)

keperluan penduduk Bumi Putera untuk berkoperasi.

Hasil dari penelitian menyatakan tentang perlunya penduduk Bumi putera berkoperasi dan untuk mendorong keperluan rakyat yang bersangkutan. Selanjutnya didirikanlah Bank Rakyat (Volkscredit Wezen). Berkaitan dengan masalah Peraturan Perkoperasian, maka pada tahun 1927 di Surabaya didirikan “Indonsische Studieclub” Oleh dokter Soetomo yang juga pendiri Boedi Oetomo, dan melalui organisasi tersebut beliau menganjurkan berdirinya koperasi. Kegiatan serupa juga dilakukan oleh Partai Nasional Indonesia di bawah pimpimnan Ir. Soekarno, di mana pada tahun 1929 menyelenggarakan kongres koperasi di Betawi. Keputusan kongres koperasi tersebt menyatakan bahwa untuk meningkatkan kemakmuran penduduk Bumi Putera harus didirikan berbagai macam koperasi di seluruh Pulau Jawa khususnya dan di Indonesia pada umumnya.

Untuk menggiatkan pertumbuhan koperasi, pada akhir tahun 1930 didirikan Jawatan Koperasi dengan tugas:20

1. memberikan penerangan kepada pengusaha-pengusaha Indonesia mengenai seluk beluk perdagangan;

2. dalam rangka peraturan koerasi No. 91, melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap koperasi-koperasi, serta memberikan penerangannya;

3. memberikan keterangan-keterangan tentang perdagangan pengangkutan, cara-cara pengangkutan, dan hal ihwal lainnya yang menyangkut perusahaan-perusahaan

20

I.G.Gde. Raka, Pengantar Pengetahuan Koperasi. (Jakarta: Departemen Koperasi, 1983), hal. 42.


(40)

4. penerapan tentang organisasi perusahaan

5. menyiapkan tindakan-tindakan hukum bagi pengusaha Indonesia

Selanjutnya pada tahun 1933 diterbitkan Peraturan Perkoperasian dalam berntuk Gouvernmentsbesluit No. 21 yang termuat di dalam Staatsblad no. 108/1933 yang menggantikan Koninklijke Besluit no. 431 tahun 1915. Peraturan Perkoperasian 1933 ini diperuntukkan bagi orang-orang Eropa dan golongan Timur Asing. Dengan demikian di Indonesia pada waktu itu berlaku 2 Peraturan Perkopersian, yakni Peraturan Perkoperasian tahun 1927 yang diperuntukan bagi golongan Bumi Putera dan Peraturan Perkoperasian tahun 1933 yang berlaku bagi golongan Eropa dan Timur Asing.

Kongres Muhamadiyah pada tahun 1935 dan 1938 memutuskan tekadnya untuk mengembangkan koperasi di seluruh wilayah Indonesia, terutama di lingkungan warganya. Diharapkan para warga Muhammadiyah dapat memelopori dan bersama-sama anggota masyarakat yang lain untuk mendirikan dan mengembangkan koperasi. Berbagai koperasi dibidang produksi mulai tumbuh dan berkembang antara lain koperasi batik yang diperlopori oleh H. Zarkasi, H. Samanhudi dan K.H. Idris.

Perkembangan koperasi semenjak berdirinya Jawatan Koperasi tahun 1930 menunjukkan suatu tingkat perkembangan yang terus meningkat. Jikalau pada tahun 1930 jumlah koperasi 39 buah, maka pada tahun 1939 jumlahnya menjadi 574 buah dengan jumlah anggota pada tahun 1930 sebanyak 7.848 orang kemudian berkembang menjadi 52.555 orang. Sedang kegiatannya dari 574 koperasi tersebut diantaranya 423 kopersi (=77%) adalah koperasi yang bergerak dibidang simpan-pinjam, sedangkan selebihnya adalah kopersi jenis konsumsi


(41)

ataupun produksi. Dari 423 koperasi simpan-pinjam tersebut diantaranya 19 buah adalah koperasi lumbung.21

Perkembangan Pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang dikarenakan masalah ekonomi yang semakin sulit memerlukan peran “Kumiai” (koperasi). Pemerintah pada waktu itu melalui kebijaksanaan dari atas menganjurkan berdirinya “Kumiai” di desa-desa yang tujuannya untuk melakukan kegiatan distribusi barang yang jumlahnya semakin hari semakin kurang karena situasi perang dan tekanan ekonomi Internasional (misalnya gula pasir, minyak tanah, beras, rokok dan sebagainya). Di lain pihak Pemerintah pendudukan bala tentara Jepang memerlukan barang-barang yang dinilai penting untuk dikirim ke Jepang (misalnya biji jarak, hasil-hasil bumi yang lain, besi tua dan sebagainya) yang untuk itu masyarakat agar menyetorkannya melalui “Kumiai”. Kumiai (koperasi) Pada masa pendudukan bala tentara Jepang istilah koperasi lebih dikenal menjadi istilah “Kumiai”. Pemerintahan bala tentara Jepang di di Indonesia menetapkan bahwa semua Badan-badan Pemerintahan dan kekuasaan hukum serta Undang-undang dari Pemerintah yang terdahulu tetap diakui sementara waktu, asal saja tidak bertentangandengan Peraturan Pemerintah Militer. Berdasarkan atas ketentuan tersebut, maka Peraturan Perkoperasian tahun 1927 masih tetap berlaku. Akan tetapi berdasarkan Undang-undang No. 23 dari Pemerintahan bala tentara Jepang di Indonesia mengatur tentang pendirian perkumpulan dan penmyelenggaraan persidangan. Sebagai akibat daripada peraturan tersebut, maka jikalau masyarat ingin mendirikan suatu perkumpulan koperasi harus mendapat izin Residen (Shuchokan).

21


(42)

dijadikan alat kebijaksanaan dari Pemerintah bala tentara Jepang sejalan dengan kepentingannya. Peranan koperasi sebagaimana dilaksanakan pada zaman Pemerintahan penduduka n bala tentara Jepang tersebut sangat merugikan bagi para anggota dan masyarakat pada umumnya.

B. Dasar Hukum Koperasi dan Pengertian Koperasi

Koperasi secara etimologis terdiri dari 2 (dua) suku kata yaitu, co dan

operation, yang mengandung arti bekerja sama untuk mencapai tujuan.6 Oleh karena itu, koperasi adalah “suatu perkumpulan yang beranggotakan orang-orang atau badan usaha yang memberikan kebebasan masuk dan keluar sebagai anggota dengan bekerja sama secara kekeluargaan menjalankan usaha untuk mempertinggi kesejahteraan jasmaniah para anggota.

Dasar hukum keberadaan Koperasi di Indonesia adalah Undang-undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian dan Pasal 33 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Sedangkan menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian di Indonesia adalah: “Badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan”.

Landasan hukum koperasi di Indonesia sangat kuat dikarenakan koperasi ini telah mendapatkan tempat yang pasti. Namun demikian perlu disadari bahwa perubahan sistem hukum dapat berjalan lebih cepat dari pada perubahan alam pikiran dan kebudayaan masyarakat, sehingga koperasi dalam kenyataannya


(43)

belum berkembang secepat yang diinginkan meskipun memiliki landasan hukum yang kuat.

Tujuan Koperasi sebagaimana dikemukan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian di Indonesia adalah:

“Koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”.

Mengingat arti koperasi sebagaimana tersebut di atas maka koperasi mempunyai peranan yang cukup besar dalam menyusun usaha bersama dari orang-orang yang mempunyai kemampuan ekonomi terbatas. Usaha bersama dari orang-orang yang memenuhi kebutuhan yang dirasakan bersama, yang pada akhirnya mengangkat harga diri, meningkatkan kedudukan serta kemampuan untuk mempertahankan diri dan membebaskan diri dari kesulitan.

C. Prinsip-prinsip Hukum Koperasi

Dalam Bab III, bagian Kedua, Pasal (5) UU No 25 tahun 1992 diuraikan bahwa:

1. Koperasi melaksanakan prinsip koperasi sebagai berikut a. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka;

b. Pengelolaan dilakukan secara demokratis;

c. Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota;

d. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal; e. Kemandirian;


(44)

2. Dalam mengembangkan koperasi, maka Koperasi melaksanakan pula prinsip koperasi sebagai berikut :

a. Pendidikan Perkoperasian b. Kerja sama antar koperasi

Dalam Penjelasan dari Pasal (5) UU No. 25 Tahun 1992 tersebut, diuraikan bahwa prinsip koperasi adalah merupakan satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan berkoperasi. Dengan melaksanakan keseluruhan prinsip tersebut, koperasi mewujudkan dirinya sebagai badan usaha sekaligus sebagai gerakkan ekonomi rakyat yang berwatak sosial.

Prinsip koperasi ini merupakan esensi dari dasar kerja koperasi sebagai badan usaha dan merupakan ciri khas serta jati diri koperasi. Dengan adanya prinsip tersebut, koperasi dapat dibedakan dari badan usaha lainnya, karena adanya:

1. Sifat kesuka relaan dalam keanggotaan koperasi.

Sifat ini mengandung arti bahwa menjadi anggota koperasi tidak boleh dipaksakan oleh siapapun.

2. Adanya prinsip demokrasi.

Prinsip ini menunjukkan bahwa pengelolaan koperasi dilakuakn atas kehendak keputusan para anggotanya. Kalau dikaji secara mendalam, prinsip atau asa koperasi tersebut merupakan penerimaan dari rumusan prinsip-prinsip seperti dirumuskan oleh international cooperative alliance (I.C.A) ata aliansi koperasi internasional.

Prinsip koperasi ini merupakan esensi dari dasar kerja koperasi sebagai bahan usaha dan merupakan ciri khas serta jati diri koperasi. Dengan adanya


(45)

prinsip tersebut, koperasi dapat dibedakan dari badan usaha lainnya, karena adanya:22

1. Sifat kesukarelaan dalam keanggotaan koperasi.

Sifat ini mengandung arti bahwa menjadi anggota koperasi tidak boleh dipaksakan siapapun, sifat kesuka relaan ini juga mengandung arti bahwa seorang anggota dapat mengundurkan diri dari koperasi sesuai dengan syarat yang ditentukan dalam Anggaran Dasar Koperasi.

2. Adanya prinsip demikrasi.

Prinsip ini menunjukkan bahwa pengelolaan koperasi dilakukan atas kehendak dan keputusan para anggotanya.

3. Pembagian sisa hasil usaha berdasar atas prinsip keadilan dan asas kekeluargaan.

Sisa hasil usaha koperasi tidak dibagi semata-mata atas dasar modal yang dimiliki anggota dalam koperasi, tetapi juga atas dasar perimbangan jasa usaha mereka terhadap koperasi.

4. Koperasi bukan merupakan akumulasi modal.

Meskipun koperasi bukan merupakan suatu akumulasi modal, tetapi koperasi memerlukan modal pula untuk menjalankan kegiata usahanya. 5. Prinsip Kemandirian dari koperasi.

Ini mengandung arti bahwa koperasi harus dapat berdiri sendiri, tanpa bergantung kepada pihak lain yang dilandasi oleh kepercayaan kepada pertimbangan, keputusan, kemampuan dan usaha sendiri.

22

http://ilmucomputer2.blogspot.com/2009/08/prinsip-koperasi-indonesia.html. Diakses tanggal 1 Nopember 2010.


(46)

6. Selain lima prinsip tersebut, dalam pengembangan dirinya koperasi juga melaksanakan prinsip-prinsip pendidikan perkoperasian dan bekerja sama dengan antar koperasi.

D. Koperasi Sebagai Badan Hukum

Badan hukum merupakan terjemahan istilah hukum belanda, yaitu

rechtspersoon. Meskipun demikian dalam kalangan hukum ada juga yang menyarankan atau telah mempergunakan istilah lain untuk menggantikan istilah badan hukum, misalnya istilah purusa hukum (Oetarid Sadino), awak huum (St. K. Malikul Adil), pribadi hukum (Soerjono Soekanto, Purwacaraka) dan sebagainya.23

23

Chaidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 1999), hal. 14.

Dalam bahasa asing, istilah badan hukum selain merupakan terjemhan dari istilah rechtspersoon (Belanda), juga merupakan terjemahan peristilahan: persona moralis (latin), legal persons (Inggris). Di negeri Belanda, istilah rechtspersoon

sebenarnya masih relative istilah baru. Dalam BW Belanda, istilah rechtspersoon

baru diperkenalkan pada permulaan abad ke XX, yaitu pada saat diadakannya undang-undang tentang kanak-kanak (kinderwetten). Dalam BW Indonesia atau KUH Perdata, tidak terdapat peraturan umum yang mengatur tentang

rechtspersoon itu dalam Bab IX buku III KUH Perdata; meskipun maksudnya yaitu antara lain mengatur kepribadian hukum (rechtspersoonlijkheid), yaitu badan hukum itu memiliki kedudukan sebagai subjek hukum. Istilah lain untuk


(47)

Selain batasan pengertian pokok badan hukum di atas tadi, ada sarjana yang mengemukakan batasan apa badan hukum, seperti antara lain menurut Maijiers, badan hukum adalah meliputi sesuatu yang menjadi pendukung hak dan kewajiban. Menurut Logeman, badan hukum adalah suatu personafikasi (personafikatie), yaitu suatu perwujudan atau penjelmaan (bestendigheid) dari hak dan kewajiban. Hukum organisasi (organisatierecht) menentukan strutktur intern (innerlijkstruktur) dari personafikatie itu.24

Menurut E. Utrecht, badan hukum (rechtspersoon), yaitu badan yang menurut hukum berkuasa atau berwenang menjadi pendukung hak, selanjutnya dijelaskan bahwa badan hukum ialah setiap pendukung hak yang tidak berjiwa, atau lebih tepat yang bukan manusia.25

Menurut R. Subekti, badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim. Sedangkan R. Soemitro mengemukakan bahwa badan hukum

Badan hukum sebagai gejala kemasyarakatan adalah suatu gejala yang riil, merupakan fakta benar-benar, dalam pergaulan hukum, biarpun tidak berwujud manusia atau benda yang dibuat dari besi, kayu, dan sebagainya. Yang menjadi penting bagi pergaulan hukum ialah hal badan hukum itu mempunyai kekayaan (vermogen) yang sama sekali terpisah dari kekayaan anggotanya, yaitu dalam hal badan hukum itu berupa korporasi. Hak dan kewajiban badan hukum sama sekali tidak terpisah dari hak dan kewajiban anggotanya. Bagi bidang perekonomian, terutama lapangan perdagangan, gejala ini sangat penting.

24

Ibid, hal. 18.

25


(48)

ialah suatu badan yang dapat mempunyai harta, hak serta kewajiban seperti seorang pribadi.26

1. Perkumpulan (organisasi)

Dari pendapat-pendapat di atas, dapatlah disimpulkan tentang pengertian badan hukum sebagai subjek hukum itu mencakup hal berikut, yaitu:

2. Dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam hubungan hukum (rechtsbetreking)

3. Mempunyai harta kekayaan tersendiri 4. Mempunyai pengurus

5. Mempunyai hak dan kewajiban

6. Dapat digugat atau menggugat di depan pengadilan.

Untuk menentukan agar sesuatu perkumpulan atau badan usaha itu dapat dikatakan mempunyai kedudukan sebagai badan hukum (rechts persoon), harus memenuhi beberapa syarat. Adapun syarat-syarat yang harus diepnuhi pada suatu badan hukum, yaitu:27

1. Telah dipenuhi syarat-syarat yang dimintakan oleh doktrin

Menurut Ali Ridho sebagai ahli hukum, mengemukakan bahwa yang diminta doktrin yang dapat dipakai sebagai criteria untuk menentukan adanya suatu badan hukum, harus memenuhisyarat-syarat:28

a. Adanya harta kekayaan yang terpisah, harta kekayaan ini sengaja diadakan dan memang perlu sebagai alat untuk mengejar suatu tujuan tertentu dalam hubungan hukumnya

26

Ibid

27

Syamsul Arifin dkk, Hukum dan Koperasi, (Cooperation and Law), (Medan: Universitas Medan Area Fakultas Hukum, 1985), hal. 72.

28

Ali Ridho, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, (Bandung: Alumni: 1986), hal. 50.


(49)

b. Mempunyai tujuan tertentu. Tujuan tertentu itu dapat merupakan tujuan yang idiil atau komersil terlepas dari kepentingan para anggotanya. Usaha untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan sendiri oleh badan hukum dengan perantaraan organisasinya.

c. Mempunyai kepentingan sendiri. Dalam mengejar tujuannya, badan hukum itu mempunyai kepentingan sendiri, kepentingan yang tidak lain adalah merupakan hak-hak subjektif sebagai akibat daripada peristiwa-peristiwa hukum, maka kepentingan itu dilindungi oleh hukum.

d. Adanya organisasi yang teratur. Dalam pergaulan hukum, badan hukum diterima sebagai persoon di samping manusia. Badan hukum yang meruapakan suatu kesatuan sendiri yang hanya dapat bertindak hukum dengan organnya, dibentuk oleh manusia, merupakan badan yang mempunyai anggota atau merupakan badan yang tidak mempunyai anggota seperti yayasan.

2. Telah dipenuhi syarat yang dimintakan oleh peraturan perundang-undangan

Syarat ini dapat dilakukan dengan melihat peraturan hukum positif yang disyaratkan undang-undang bagi adanya badan hukum itu. Satu-satunya peraturan yang merupakan ketentuan umum mengenai badan hukum ialah pada Bab IX KUH Perdata, yaitu Pasal 1653 sampai Pasal 1665. Pasal-Pasal tersebut menyebutkan antara lain:


(50)

b. Adanya perkumpulan yang dapat melakukan tindakan-tindakan perdata, seperti halnya dengan manusia

c. Mengikat pihak ketiga dengan sebaliknya.

d. Tidak terikatnya para anggotanya secara pribadi untuk perikatan-perikatan perkumpulan dan ada tujuan yang tertentu.

3. Syarat-syarat berdasarkan hukum kebiasaan dan yurisprudensi

Kebiasaan dan yurisprudensi ini merupakan sumber hukum yang formal. Sehingga apabila tidak ditemukan syarat-syarat badan hukum dalam perundang-undangan dan doktrin, orang berusaha mencarinya dalam kebiasaan dan yurisprudensi. Sebagai contohnya adalah yayasan, di Indonesia sebelum adanya perundang-undangan yang mengatur mengenai yayasan, maka hukum kebiasaan dan yurisprudensi yang telah memperkokoh eksistensi yayasan dalam pergaulan hukum sebagai suatu badan hukum

Eksistensi koperasi di Indonesia tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (1) dengan penjelasannya, bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai itu adalah koperasi.

Eksistensi koperasi sebagai Badan Hukum kedudukannya diperoleh melalui suatu prosedur hukum koperasi yang diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan peraturan pelaksanaannya, Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1994 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi dan Peraturan Menteri Negara Koperasi dan UKM Nomor 01/Per/M.KUKM/I/2006


(51)

tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembentukan, Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi sebagai pengganti Keputusan Menteri Negara Koperasi dan UKM Nomor 104/ Kep./M.KUKM/III/2004. Keputusan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil dan Menengah Nomor 36/Kep/M/II/1998 tentang Pedoman Pelaksanaan Penggabungan dan Peleburan Koperasi, dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1994 tentang Pembubaran Koperasi oleh Pemerintah.

Di bidang akta untuk pendirian dan perubahan Anggaran Dasar mengalami dikeluarkannya Keputusan Menteri Negara Koperasi dan UKM Nomor 98/ Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang Notaris sebagai Pembuat Akta Koperasi sebagai peraturan pelaksanaan yang mengatur masalah akta yang memang dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tidak diatur, sehingga dengan dikeluarkannya keputusan tersebut dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat yang akan membentuk koperasi, dan adanya hubungan kemitraan dengan pihak ketiga yang lebih kondusif dalam kegiatan usahanya.29

Koperasi memperoleh status sebagai badan hukum setelah akta pendiriannya disahkan oleh Menteri Koperasi dan UKM. Dengan demikian koperasi sebagai subyek hukum yang mempunyai hak untuk melaksanakan perbuatan hukum seperti jual beli, sewa menyewa, hutang piutang, dan mengadakan perjanjian. Bersamaan dengan itu, hak dan tanggung jawab anggota adalah sendiri-sendiri atau berdiri sendiri.30

Eksistensi koperasi sebagai badan usaha tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dimana telah

29

http://www.smecda.com/deputi7/file_Infokop/EDISI%2028/eksistensi_koperasi.pdf. Diakses tanggal 1 Nopember 2010.

30


(52)

menetapkan bahwa koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi yang melakukan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip koperasi, yaitu keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka, pengelolaan dilaksanakan secara demokratis, pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota, pemberian balas jasa terhadap modal, kemandirian, serta melaksanakan pendidikan perkoperasian dan kerjasama antar koperasi.31

Berikut ini diuraikan prosedur mendapatkan badan hukum koperasi, sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 14 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992, yaitu:

Koperasi sebagai lembaga usaha yang berbadan hukum dalam operasionalnya dijalankan dengan berdasarkan manajemen koperasi, yang terdiri dari Rapat Anggota, Pengurus dan Badan Pemeriksa, dan beberapa Penasehat dari instansi koperasi.

32

1. Fase pembentukan/pendirian

Koperasi sebagai suatu badan usaha, adalah merupakan suatu bentuk perhimpunan orang-orang dan/atau badan hukum koperasi dengan kepentingan yang sama.

Oleh karena koperasi ini biasanya didirikan oleh orang-orang yang mempunyai alat dan kemampuan yang terbatas, yang mempunyai keinginan untuk memperbaiki taraf hidup dengan cara bergotong royong, maka prosedur atau persyaratan pendiriannyapun diusahakan sesederhana

31

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian

32


(53)

mungkin, tidak berbelit-belit, dengan persyaratan modal yang relatif kecil, dan tanpa dipungut biaya yang tinggi.

Persyaratan untuk mendirikan koperasi yang biasanya telah tertuang dalam undang-undang ataupun peraturan koperasi antara lain adalah sebagai berikut:

a. Orang-orang yang akan mendirikan koperasi harus mempunyai kepentingan ekonomi yang sama

b. Orang-orang yang mendirikan koperasi harus mempunyai tujuan yang sama

c. Harus memenuhi syarat jumlah mínimum anggota, seperti telah ditentukan oleh pemerintah.

d. Harus memenuhi persyaratan wilayah tertentu, seperti telah ditentukan oleh pemerintah

e. Harus telah dibuat konsep anggaran dasar koperasi.

Jika persyaratan tersebut telah ada, maka orang-orang yang memprakarsai pembentukan koperasi tersebut mengundang untuk rapat pertama, sebagai rapat pendirian koperasi. Konsep anggaran dasar koperasi seharusnya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh panitia pendiri, yang nantinya dibahas dan disahkan dalam rapat pendirian. Dalam rapat pendirian ini selain disahkan anggaran dasar koperasi, juga dibentuk pengurus dan pengawas. Setelah perangkat organisasi koperasi terbentuk dalam rapat pendirian tersebut, maka untuk selanjutnya pengurus koperasi (yang juga pendiri) mempunyai kewjaiban mengajukan permohonan pengesahan kepada pejabat yang berwenang secara tertulis disertai Akta Pendirian Koperasi dan Berita Acara Rapat Pendirian. Dalam


(1)

ABSTRAK

Salah satu faktor penting untuk mewujudkan kinerja koperasi yang baik adalah adanya peran Pemerintah dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang diatur dan dikeluarkan sedemikian rupa hingga sistem dapat berjalan dengan baik. Pemerintah memainkan peranan penting dalam pembinaan koperasi Indonesia. Selain melakukan pembinaan, pemerintah juga melakukan pengawasan terhadap terhadap lembaga koperasi melalui pembentukan badan pengawas koperasi yang ditujukan bagi pengawasan terhadap lembaga tersebut, agar perjalanan operasional koperasi sesuai dan tidak menyalahi peraturan perundang-undangan yang ada. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka pembinaan maupun pengawasan terhadap koperasi saat ini kewenangannya berada pada institusi pemerintahan daerah yang secara langsung mengambil peran dalam melakukan pembinaan dan pengawasan lembaga koperasi di daerah-daerah yang menjadi daerah hukumnya. Dengan demikian, pembinaan dan pengawasan koperasi tidak terlepas dari peraturan-peraturan hukum daerah yang mengatur tentang organisasi dan administrasi koperasi di daerah.

Permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah mengenai bagaimana kedudukan koperasi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, bagaimana tinjauan terhadap hukum administrasi daerah dalam kerangka otonomi daerah, dan bagaimana peran pemerintah terhadap pembinaan serta pengawasan koperasi dikaitkan dengan aspek hukum administrasi daerah

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Kedudukan koperasi sebagai Badan Hukum kedudukannya diperoleh melalui suatu prosedur hukum koperasi yang diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan peraturan pelaksanaannya. Hukum administrasi daerah merupakan peraturan-peraturan yang mengatur suatu daerah dengan bentuk pelaksanaan yang dilakukan oleh instansi permerintahan daerah. Dikaitkan dengan konsep otonomi, maka hukum administrasi daerah harus merujuk pada kerangka otonomi daerah yang menjadi pilar utama konsep dan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pembinaan terhadap koperasi sangat tergantung kepada responsivitas Pemerintah Daerah dalam memberikan alokasi anggaran dan mengaktifkan kegiatan yang terkait dengan lembaga koperasi ini. Sedangkan pengawasan terhadap koperasi dilakukan baik secara internal maupun eksternal. Pengawasan internal dilakukan melalui pembentukan badan pengawas sebagaimana diatur dalam Pasal 38, 39, dan 40 Undang-undang Perkoperasian, sedangkan pengawasan eksternal dapat dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah, khususnya pemerintah daerah.


(2)

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas segala petunjuk kasih dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul “Peranan Pemerintah terhadap Pembinaan dan Pengawasan Koperasi Koperasi Dikaitkan Dengan Aspek Hukum Administrasi Daerah” yang disusun guna memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakutas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan, namun dengan lapang hati penulis selalu menerima kritik, saran maupun masukan yang bersifat mendidik dan membangun dari berbagai pihak.

Dalam kesempatan kali ini Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Syafruddin Sulung Hasibuan, S.H, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, dan juga sebagai Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu memberikan arahan, bimbingan dan masukan bagi penulis;

4. Muhammad Husni, S.H, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;


(3)

5. Surya Ningsih, SH. M. Hum selaku Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara yang telah banyak membantu memberikan arahan, bimbingan dan masukan bagi penulis.

6. Dr. Pendastaren, SH. M. Hum, sebagai Dosen Pembimbing I yang telah banyak membantu memberikan arahan, bimbingan, masukan dan nasehat bagi penulis.

7. Amsali, SH, M. Hum sebagai Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu memberikan arahan, bimbingan, masukan dan nasehat bagi penulis.

8. Bapak dan Ibu Dosen pengajar yang telah memberikan saran dan kritik. 9. Seluruh staff pengajar dan pegawai administrasi Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara yang telah mencurahkan ilmunya dan membantu Penulis selama masa perkuliahan.

10.Teristimewa kepada kedua orang tuaku Terima kasih atas cinta dan kasih sayangnya yang tak terbatas, doa-doa yang tak pernah putus, motivasi yang selalu membangun, bantuan moriil dan materi yang tak akan mungkin terbalaskan.

11.Kepada teman, sahabat, saudara yg telah banyak memberikan support kepada saya, saya ucapkan salam persaudaraan dan terima kasih yang sebesar-besarnya buat kalian semua.

12.Kepada sahabat-sahabatku angkatan 2005 yang selanjutnya penulis harapkan persahabatan ini tidak akan berakhir sampai akhir usia kita dan kalian dapat menjadi pembesar-pembesar negeri ini, Amin.


(4)

13.Kepada kakanda-kakanda di Fakultas Hukum, dan semua senioren yang tidak bisa disebutkan satu persatu, saya ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas bimbingannya selama ini

14.Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu;

Akhir kata, dengan segala kerendahan hati, penulis berharap agar karya tulis ini dapat bermanfaat bagi semua. Semoga Tuhan Yang Maha Esa, selalu memberikan kasih dan Karunia-Nya kepada kita semua. Amin.

Medan, Januari 2011 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

F. Metode Penelitian ... 16

G. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KOPERASI ... 20

A. Latar Belakang atau Sejarah Berdirinya Koperasi ... 20

B. Dasar Hukum Koperasi dan Pengertian Koperasi ... 26

C. Prinsip-prinsip Hukum Koperasi ... 27

D. Koperasi Sebagai Badan Hukum ... 30

E. Harta Kekayaan Koperasi ... 40

F. Pembubaran Koperasi ... 44

BAB III OTONOMI DAERAH SEBAGAI WUJUD HUKUM ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAERAH ... 46

A. Pemerintahan Daerah di Indonesia ... 46

B. Desentralisasi sebagai Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah ... 51


(6)

C. Konsep Otonomi Daerah dalam Desentralisasi ... 55

BAB IV PERANAN PEMERINTAH TERHADAP PEMBINAAN SERTA PENGAWASAN KOPERASI DALAM KONSEP OTONOMI DAERAH ... 67

A. Eksistensi Koperasi di Indonesia Dikaitkan dengan Otonomi Daerah ... 67

B. Peranan Pemerintah terhadap Pembinaan Koperasi ... 69

C. Peranan Pemerintah terhadap Pengawasan Koperasi ... 72

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 78

A. Kesimpulan... 78

B. Saran ... 79