Persaingan Sesama Merek (Intrabrand) dikaitkan Dengan Pembatasan Perdagangan Secara Vertikal

(1)

PERSAINGAN SESAMA MEREK (INTRABRAND) DIKAITKAN DENGAN PEMBATASAN PERDAGANGAN SECARA VERTIKAL

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

FETRICYA NAOMI HARAHAP 110200207

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERSAINGAN SESAMA MEREK (INTRABRAND) DIKAITKAN DENGAN PEMBATASAN PERDAGANGAN SECARA VERTIKAL

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

FETRICYA NAOMI HARAHAP 110200207

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Disetujui Oleh :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Windha,S.H, M.Hum NIP.1975051122005012002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait,S.H.,M.Li Windha, S.H.,M.Hum

NIP.196201171989032002 NIP.1975051122005012002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAK

PERSAINGAN INTRABRAND DIKAITKAN DENGAN PEMBATASAN PERDAGANGAN SECARA VERTIKAL

Fetricya Naomi Harahap* Ningrum Natasya Sirait**

Windha***

Persaingan merupakan hal yang tidak dapat dihindari dalam kegiatan perdagangan. Persaingan dalam perdagangan tersebut bisa dilakukan apabila dilakukan secara sehat. Pada kenyataanya, banyak pelaku usaha yang melakukan tindakan persaingan tidak sehat dengan tujuan untuk memperoleh sendiri keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memperhatikan kondisi pelaku usaha lain. Salah satu diantaranya adalah dengan melakukan pembatasan perdagangan secara vertikal. Pada umumnya pembatasan perdagangan secara vertikal dilakukan melalui penetapan harga. Pembatasan perdagangan secara vertikal memiliki kaitan yang erat dengan persaingan dalam satu jenis merek yang sama atau sering disebut dengan persaingan intrabrand. Adapun permasalahan dalam penelitian ini antara lain: bagaimana pembatasan perdagangan secara vertikal dalam substansi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, bagaimana kaitan persaingan intrabrand dengan pembatasan perdagangan secara vertikal.

Penulisan ini menggunakan metode studi hukum normatif dan bersifat deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data primer, data sekunder dan data tersier. Seluruh data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan. Kemudian data yang telah dikumpul tersebut dianalisis secara normatif kualitatif.

Pembatasan perdagangan secara vertikal dalam substansi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak bisa langsung dikatakan secara mutlak sebagai sebuah pelanggaran. Melanggar atau tidaknya tergantung dari adakah tujuannya mengandung

unsur persaingan tidak sehat. Salah satu tujuan pembatasan tersebut adalah untuk menghindari terjadinya persaingan intrabrand. Oleh karena itu diharapkan agar KPPU mengawasi kegiatan pembatasan perdagangan secara vertikal hanya dilakukan untuk menghindari persaingan intrabrand.

Kata Kunci: Persaingan Usaha, Persaingan Intrabrand, Pembatasan Perdagangan Secara Vertikal

*

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**

Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Persaingan Intrabrand Dikaitkan dengan Pembatasan Perdagangan Secara Vertikal” . Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh Sarjana pada Program Strata-1 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalamkesempatan ini penulis dengan senang hati menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku Pembantu Dekan 1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

3. Bapak Syarifuddin Hasibuan, S.H.,M.H., DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

4. Bapak Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

5. Ibu Windha, S.H., M Hum selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

6. Bapak Ramli Siregar, S.H., M.Hum selaku Sekertaris Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,


(5)

7. Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.Li. selaku Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan, dan arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi,

8. Ibu Windha, S.H., M.Hum selaku Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan, dan arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi,

9. Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberi banyak masukan selama masa perkuliahan 10.Bapak/Ibu Dosen Staf Pengajar yang telah banyak memberikan ilmu

pengetahuan selama penulis menempuh perkuliahan beserta seluruh staf pegawai yang telah memberikan pelayanan dengan baik selama perkuliahan 11.Kepada orangtuaku tercinta yang menjadi penyemangat hidup penulis, Bapak

Frayadi Dharma Harahap dan Ibu Mindo Doloksaribu. Terimakasih tak terhingga atas segala doa, dukungan, kesabaran dan segala pemberian baik materil maupun moril yang telah diberikan selama ini.

12.Kedua abangku beserta istri. Franz Mikha Widardo Harahap beserta Istri, juga Fernando Jimmy Lukas Harahap beserta istri. Begitu pula dengan keuarga besar yang telah memberikan banyak doa kepada penulis ini.

13.Buat sahabat-sahabatku Dian Julia Simangunsong, Susi Herniaty Pardede, Deea Silvia Simbolon, Febri Hasibuan yang udah banyak ngajarin prosedur mengerjakan skripsi, Marni Novita Situmorang yang sudah bantu di perbaikan penulisan, Antonio Romario yang selalu mengabarin jika dosen pembimbing datang ke kampus, Hendro H. Siboro satu-satunya laki-laki di grup klinis yang


(6)

banyak membantu saat pengerjaan berkas, teman-teman Grup E Stambuk 2011, dan seluruh teman-teman IMAHMI Departemen Hukum Ekonomi Stambuk 2011 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Terima kasih buat kebersamaanya selama ini.

14.Buat orang-orang spesial yang melebihi saudara. Immanuel Sahat Marbun, Zivo Loise Sembiring, Reni Melisa Ester Sianipar, Hosianna Rodearny Damanik, Ivan Kardianta Pandia , Elisa Maria Ginting, Cevas Soplanit, Almarhum Maleakhi Panggabean. Terima kasih atas dukungan dan kekompakannya selama ini.

15.Seluruh pihak yang telah memberikan bantuannya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih atas semua partisipasi dari berbagai pihak yang telah membantu, dan penulis juga meminta maaf apabila masih ada pihak yang mendukung penulis tetapi belum sempat dimuat namanya. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 29 Juni 2015 Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 5

C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Pustaka ... 7

F. Metode Penelitian ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II PENGATURAN PERSAINGAN USAHA A. Pengertian Persaingan Usaha ... 18

B. Pandangan Ekonomi dan Pasar Terhadap Persaingan ... 23

C. Pengaturan Persaingan Usaha di Indonesia ... 31

BAB III PENDEKATAN RULE OF REASON TERHADAP PEMBATASAN PERDAGANGAN SECARA VERTIKAL A. Perdagangan dan Dasar Hukumnya ... 40

B. Substansi Dasar Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 . ... 47

C. Pembatasan Perdagangan Secara Vertikal Dalam Perjanjian Yang Dilarang . ... 54


(8)

D. Pendekatan Rule of Reason Terhadap Pembatasan Perdagangan Secara Vertikal. ... 62 BAB IV PERSAINGAN SESAMA MEREK (INTRABRAND) DIKAITKAN

DENGAN PEMBATASAN PERDAGANGAN SECARA VERTIKAL

A. Persaingan Sesama Merek (Intrabrand) dalam dunia usaha. ... 68 B. Kaitan Persaingan Sesama Merek (Intrabrand) Dengan Pembatasan

Perdagangan Secara Vertikal ... 75 C. Peran KPPU Dalam Menangani Kegiatan Yang Menghindari

Persaingan Sesama Merek (Intrabrand) Pada Pembatasan Perdagangan Secara Vertikal ... 83 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan . ... 96 B. Saran ... 97 DAFTAR PUSTAKA ... vii


(9)

ABSTRAK

PERSAINGAN INTRABRAND DIKAITKAN DENGAN PEMBATASAN PERDAGANGAN SECARA VERTIKAL

Fetricya Naomi Harahap* Ningrum Natasya Sirait**

Windha***

Persaingan merupakan hal yang tidak dapat dihindari dalam kegiatan perdagangan. Persaingan dalam perdagangan tersebut bisa dilakukan apabila dilakukan secara sehat. Pada kenyataanya, banyak pelaku usaha yang melakukan tindakan persaingan tidak sehat dengan tujuan untuk memperoleh sendiri keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memperhatikan kondisi pelaku usaha lain. Salah satu diantaranya adalah dengan melakukan pembatasan perdagangan secara vertikal. Pada umumnya pembatasan perdagangan secara vertikal dilakukan melalui penetapan harga. Pembatasan perdagangan secara vertikal memiliki kaitan yang erat dengan persaingan dalam satu jenis merek yang sama atau sering disebut dengan persaingan intrabrand. Adapun permasalahan dalam penelitian ini antara lain: bagaimana pembatasan perdagangan secara vertikal dalam substansi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, bagaimana kaitan persaingan intrabrand dengan pembatasan perdagangan secara vertikal.

Penulisan ini menggunakan metode studi hukum normatif dan bersifat deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data primer, data sekunder dan data tersier. Seluruh data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan. Kemudian data yang telah dikumpul tersebut dianalisis secara normatif kualitatif.

Pembatasan perdagangan secara vertikal dalam substansi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak bisa langsung dikatakan secara mutlak sebagai sebuah pelanggaran. Melanggar atau tidaknya tergantung dari adakah tujuannya mengandung

unsur persaingan tidak sehat. Salah satu tujuan pembatasan tersebut adalah untuk menghindari terjadinya persaingan intrabrand. Oleh karena itu diharapkan agar KPPU mengawasi kegiatan pembatasan perdagangan secara vertikal hanya dilakukan untuk menghindari persaingan intrabrand.

Kata Kunci: Persaingan Usaha, Persaingan Intrabrand, Pembatasan Perdagangan Secara Vertikal

*

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**

Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perekonomian dan negara mempunyai hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Kemajuan dan perkembangan suatu negara harus di awali dengan perekonomian negara yang kuat. Dengan adanya perekonomian negara yang kuat, maka negara dapat meningkatkan infrastruktur untuk memenuhi dan meningkatkan keperluan negara lainnya.

Charles E.Mueller mengemukakan pula tiga pendekatan yang bisa diambil oleh negara-negara :1

1. Bisa memakai pendekatan “laissez-faire” (secara harifiah berarti “biarkan sendiri”) yang sama sekali mengharamkan campur tangan pemerintah dalam industri.

2. Negara-negara juga bisa memakai pendekatan “public supervision” yang ditandai oleh penguasaan negara atas industri-industri yang penting.

3. Negara-negara juga bisa menggunakan pendekatan “antitrust”, yakni kebijakan yang mensyaratkan pemerintah bertanggung jawab atas terjadinya persaingan sehat diantara para pelaku usaha, namun sama sekali dilarang campur tangan di dalam keputusan-keputusan tentang harga maupun output produksi.

1

Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha (Bogor selatan: Ghalia Indonesia, 2002), hlm.14.


(11)

Seiring dengan timbulnya kecenderungan globalisasi perekonomian pada pembangunan ekonomi, maka bersamaan itu semakin banyak pula tantangan dihadapi dalam dunia usaha, antara lain persaingan usaha atau perdagangan yang menjurus kepada persaingan produk/komoditi dan tarif, sebab perekonomian sekarang merupakan perdagangan globalisasi antar negara.2

Sejak berdiri AFTA (ASEAN Free Trade Area) pada tahun 1992 dan APEC (Asia Pasific Economic Coorporation) pada tahun 1989 di kawasan Asia, maka pemerintah Indonesia sejak awal harus bersungguh-sungguh mempersiapkan segala sesuatu untuk ikut serta dalam lingkaran perdagangan regional dan internasional terutama dari segi perangkat hukum dan perundang-undangan. Dalam hal ini penting disadari bahwa berlakunya liberisasi perdagangan dunia yang bebas dan adil (free trade and fair trade), yaitu dimana pangsa pasar secara ekonomis akan ditentukan oleh keunggulan komoditi.3

Konsekuensi logis dibebaskannya aktivitas dunia usaha dari campur tangan eksternal adalah munculnya persaingan. Karena setiap orang memiliki kebebasan untuk menjalankan usaha yang dikehendakinya, persaingan antara seorang pelaku usaha dengan pelaku usaha lainya menjadi tak terhindarkan. Dengan demikian, sebenarnya dapat dikatakan bahwa persaingan merupakan salah satu karakteristik sistem ekonomi pasar.4

Melalui sistem ekonomi pasar maka persaingan merupakan suatu elemen yang menentukan karena pasar akan ditentukan oleh permintaan dan penawaran

2

Suhasril et.al, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Uaha Tidak Sehat di Indonesia (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm.3.

3

Ibid.

4


(12)

yang terbuka. Artinya dalam memenangkan pasar dan konsumen, maka pelaku usaha akan melalui proses persaingan. Proses persaingan akan mengukur hasil optimal dengan melihat kemampuan pelaku usaha melakukan efisiensi, inovatif serta alokasi sumber daya yang tidak terbuang percuma melalui strategi yang baik.5 Sesuai dengan konteksnya, dalam tulisan ini konsep “persaingan“ untuk selanjutnya akan dipersempit sehingga hanya mencakup persaingan usaha, sebagai salah satu bentuk persaingan di bidang ekonomi.6

Mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya melalui persaingan bukanlah sesuatu kesalahan, karena hal itu merupakan tujuan utama dari para pelaku usaha. Namun yang menjadi permasalahan adalah banyak pelaku usaha apalagi perusahaan-perusahaan besar melakukan cara-cara yang dapat merugikan para pelaku usaha lain demi mendapatkan keuntungan sendiri semata.

Banyak perusahaan-perusahaan yang melakukan persaingan tidak sehat agar pelaku usaha lain terhambat untuk dapat mengembangkan perusahaanya sehingga keuntungan sebesar-besarnya tetap dipegang oleh perusahaan yang melakukan persaingan tidak sehat tersebut. Perusahaan besar yang mendominasi pasar mempunyai peluang besar untuk mengontrol harga dan secara langsung maupun tidak langsung membuat terjadinya barrier to entry.

Banyak hal yang dapat membuat terjadinya persaingan tidak sehat, salah satunya adalah perjanjian penetapan harga (price fixing). Menurut UU Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat (selanjutnya disebut UU Nomor 5 Tahun 1999) Pasal 5, defenisi perjanjian

5

Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004), hlm .21.

6


(13)

penetapan harga adalah sebagai suatu perjanjian penetapan harga (price fixing) dimana pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas mutu suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. Jika penetapan harga dilakukan, kebebasan untuk menentukan harga secara bebas menjadi berkurang.7Vertical price fixing diatas menunjukkan bahwa perdagangan bisa terhambat ketika perusahaan yang berada pada level usaha tertentu mengikat perusahaan lain pada level usaha dibawahnya dengan cara menentukan harga. Hal inilah yang disebut pembatasan perdagangan secara vertikal.

Pembatasan perdagangan secara vertikal terkhususnya penetapan harga jual kembali (resale price maintenance) dilakukan pada umumnya untuk menghindari terjadinya persaingan intrabrand atau persaingan sesama merek dalam suatu perusahaan itu sendiri. Persaingan intrabrand tersebut merupakan persaingan diantara pengecer atau distributor untuk produk dengan merek yang sama. Jelasnya, dalam suatu produk yang sama terdapat perbedaan harga (maupun non-harga) yang bersaing dari para distributor yang memasarkan produk tersebut. Para pelaku usaha akhirnya melakukan pembatasan perdagangan secara vertikal, guna menghindari kerugian yang diakibatkan oleh penjual barang perusahaanya sendiri. Padahal didalam UU Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 8 dikatakan :

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang membuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.

7


(14)

Disisi distributor, para pengecer merasa bahwa penentuan harga adalah hak yang dimilikinya dan bukan merupakan tindakan pelanggaran karena barang telah berada di tangannya, maka ia punya kuasa untuk menentukan harga yang akan diberikannya dalam melakukan penjualan kembali. Berdasarkan dengan uraian tersebut diatas, dirasakan perlu untuk mengadakan penelitian tentang persaingan intrabrand dan kaitannya dengan pembatasan perdagangan secara vertikal. Hasil penelitian akan dituliskan dalam karya ilmiah bentuk skripsi dengan judul “Persaingan Intrabrand Dikaitkan dengan Pembatasan Perdagangan Secara Vertikal.”

B. Perumusan Masalah

Permasalahan adalah merupakan kenyataan yang dihadapi dan harus diselesaikan oleh peneliti dalam penelitian. Dengan adanya perumusan masalah maka akan dapat ditelaah secara maksimal ruang lingkup penelitian sehingga tidak mengarah pada hal-hal diluar permasalahan.

Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pembatasan perdagangan secara vertikal dalam substansi Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat?

2. Bagaimana kaitan persaingan intrabrand dengan pembatasan perdagangan secara vertikal?


(15)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan penulisan.

Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui pembatasan perdagangan secara vertikal dalam substansi UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

b. Untuk mengetahui kaitan persaingan intrabrand dengan pembatasan perdagangan secara vertikal

2. Manfaat penulisan

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut: a. Secara teoritis

Secara teoritis pembahasan terhadap masalah-masalah dalam skripsi ini akan memberikan pemahaman dan sikap kritis terhadap hukum persaingan di Indonesia dan juga untuk mengetahui dan menambah wawasan terhadap persoalan fenomena monopoli dan praktek persaingan tidak sehat, khususnya tentang persaingan intrabrand dan pembatasan perdagangan secara vertikal. Mengingat bahwa buku dan literatur yang membahas permasalahan ini masih minim, maka diharapkan kelak tulisan ini mampu menambah khasanah pemikiran tentang hukum persaingan usaha pada umumnya dan persaingan intrabrand juga pembatasan perdagangan secara vertikal pada khususnya, yang dapat memberi kontribusi pada terciptanya persaingan usaha yang sehat.


(16)

Secara praktis, pembahasan ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para pembaca ataupun sebagai bahan kajian baik bagi kalangan akademisi, praktisi hukum maupun para pelaku usaha di Indonesia guna terciptanya persaingan usaha yang sehat di dalam dunia usaha ataupun perekonomian negara, khususnya tentang persaingan intrabrand dikaitkan dengan pembatasan perdagangan secara vetikal dalam hukum persaingan usaha di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan kepustakaan maupun di lapangan, perihal persaingan usaha memang cukup banyak yang diangkat dan dibahas, naun penulisan dengan judul “Persaingan Intrabrand Dikaitkan Dengan Pembatasan Perdagangan Secara Vertikal “ belum ada yang menulis sebagai skripsi dan merupakan hasil karya sendiri, dengan demikian maka penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi-skripsi yang telah ada, sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik. Dalam penulisan skripsi ini khusus membahas jaminan perorangan yang dijabarkan dengan pemikiran, referensi buku-buku dan dari bantuan pihak-pihak lain.

E. Tinjauan Kepustakaan

Persaingan secara umum (competition) adalah suatu proses sosial ketika ada dua pihak atau lebih saling berlomba dan berbuat sesuatu untuk mencapai


(17)

kemenangan tertentu. Persaingan terjadi apabila terdapat beberapa pihak menginginkan sesuatu yang jumlahnya terbatas atau menjadi pusat perhatian umum.8 Persaingan dalam pasar dan mekanisme pasar dapat membentuk beberapa jenis pasar. Ada yang disebut dengan pasar persaingan sempurna (perfect

competition market), pasar monopoli, oligopoli, dan juga posisi dominan.9

Hukum Persaingan Usaha merupakan instrumen hukum yang menentukan tentang bagaimana persaingan itu harus dilakukan. Meskipun secara khusus menekankan pada aspek persaingan. Hukum persaingan juga menjadi perhatian untuk mengatur persaingan sedemikian rupa, sehingga tidak menjadi sarana untuk mendapatkan monopoli.

Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum persaingan usaha adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan persaingan usaha, adapun istilah-istilah yang digunakan dalam bidang hukum ini selain istilah hukum persaingan usaha (competition law), yakni hukum antimonopoli

(antimonopoly law) dan hukum antiturst (antitrust law). Namum demikian, istilah

hukum persaingan usaha telah diatur dan sesuai dengan substansi ketentuan UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang mencakup pengaturan antimonopoli dan persaingan usaha dengan segala aspek-aspeknya yang terkait.10

8

http://www.artikelsiana.com/2015/06/pengertian-persaingan-competition-contoh.html (diakses tanggal 23 Juni 2015).

9

Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm.10.

10

Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2012), hlm.1.


(18)

Undang-Undang No.5 Tahun 1999 sendiri tidak menjelaskan secara eksplisit mengenai pengertian dari persaingan usaha. Namun dapat kita tarik pengertian persaingan usaha dari pengertian persaingan tidak sehat yang tercantum pada Pasal 1 angka 6 yaitu Persaingan usaha tidak sehat adalah “persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.”11

Maka persaingan usaha adalah persaingan seperti yang dijelaskan diatas tanpa ada unsur tidak jujur, melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

Materi dari UU No.5 Tahun 1999 ini mengandung 6 (enam) pengaturan yang terdiri dari:

1. Perjanjian yang dilarang. 2. Kegiatan yang dilarang. 3. Posisi dominan.

4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). 5. Penegakan hukum.

6. Ketentuan lain-lain.

Keberadaan UU No.5 Tahun 1999 yang berasaskan demokrasi ekonomi juga harus memerhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan masyarakat, sehingga Undang-Undang tersebut mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam mewujudkan iklim persaingan usaha yang

11


(19)

sehat di Indonesia.12 Iklim dan kesempatan berusaha yang ingin diwujudkan tersebut selengkapnya tercantum dalam ketentuan Pasal 3 UU No.5 Tahun 1999, yang memuat:13

1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.

2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil. 3. Mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang

ditimbulkan oleh pelaku usaha.

4. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Persaingan intrabrand disebut juga di Indonesia sebagai persaingan sesama merek. Menurut situs KamusBisnis.com persaingan intrabrand adalah persaingan diantara pengecer atau distributor dari merek yang sama. Menghindari kemungkinan terjadinya persaingan intrabrand maka pada umumnya pelaku-pelaku usaha melakukan tindakan pembatasan perdagangan secara vertikal baik dari sisi penetapan harga (price fixing) maupun pembatasan perdagangan vertikal secara non-harga (Non-price Vertical Restraints).

Penetapan harga (price fixing) adalah kesepakatan diantara para penjual yang bersaing di pasar yang sama untuk menaikkan atau menetapkan harga dengan tujuan membatasi persaingan diantara mereka dan mendapatkan

12

Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hlm.4.

13


(20)

keuntungan yang lebih banyak lagi .14 Black’s Law Dictionary, price fixing mengatakan “a combination formed for the purpose of and with the effect of

raising, depressing, fixing, pegging, or stabilizing the price of a commodity”.

Sedangkan dalam Kamus Lengkap Ekonomi Edisi Kedua yang disusun oleh Christopher Pass dan Bryan Lowes, penetapan harga diartikan sebagai penentuan suatu harga (price) umum untuk suatu barang atau jasa oleh suatu kelompok pemasok yang bertindak secara bersama-sama, sebagai kebalikan atas pemasok yang menetapkan harganya sendiri secara bebas.15

Menurut Hukum Persaingan Usaha, penetapan harga dikategorikan sebagai perjanjian yang dilarang. Menurut Salim H.S, perjanjian dikatakan adalah hubungan antar dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. 16 Sedangkan menurut Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian dikatakan sebagai perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

Penetapan Harga merupakan salah satu perjanjian yang dapat mengakibatkan pembatasan perdagangan secara vertikal. Didalam penetapan harga dipakai salah satu instrumen yang dapat mengakibatkan terjadinya pembatasan perdagangan secara vertikal yaitu harga. Selain harga, instrumen lain yang dapat berpengaruh adalah hambatan berdasarkan wilayah dan hambatan berdasarkan pada pengguna produk.

14

Suhasril, Op.Cit., hlm.118.

15

Hermansyah, Pokok – Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm.26.

16

Salim H.S, Hukum Kontrak ; Teori dan Praktek Penyusunan Kontrak (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm.26.


(21)

Undang-Undang No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat menyatakan bahwa perjanjian didefenisikan sebagai suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan, nama apapun baik tertulis ataupun tidak tertulis.17 UU No.5 tahun 1999 tentang perjanjian yang dilarang diatur dalam Bab III dalam beberapa pasal yaitu dari Pasal 4 sampai Pasal 16. Sedangkan mengenai penetapan harga diatur dalam Bab III tentang Perjanjian yang Dilarang Pasal 5.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah lembaga yang tepat untuk menyelesaikan persoalan persaingan usaha yang mempunyai peran multifunction dan keahlian sehingga dianggap mampu menyelesaikan dan mempercepat proses penanganan perkara.18 Dasar hukum pembentukan Komisi Pengawas adalah Pasal 30 ayat (1) yang menyatakan “Untuk mengawas pelaksanan undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha.”19

F. Metode Penelitian

Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa penelitian dimulai ketika seseorang berusaha untuk memecahkan masalah yang dihadapi secara sistematis dengan moetode dan tekhnik tertentu yang bersifat ilmiah,, artinya bahwa metode atau tekhnik yang digunakan tersebut bertujuan untuk satu atau beberapa gejala dengan jalan menganalisisnya dan dengan mengatakan pemeriksaan yang

17

Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 pasal 4 - 6

18

Mustafa Kamal Rokan, Op.Cit., hlm.276.

19


(22)

mendalam terhadap fakta tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah yang ditimbulkan faktor tersebut.20

1. Spesifikasi penelitian

Penelitian hukum memiliki dua jenis penelitian, yaitu penelitian yuridis normatif dan penelitian yuridis empiris. Penelitian hukum normatif (yuridis normatif) adalah jenis penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian hukum sosiologis atau empiris adalah jenis penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan data primer. Jenis penelitian yang digunakan pada skripsi ini merupakan penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif dapat dikatakan juga dengan penelitian sistematik hukum sehingga bertujuan mengadakan identifikasi terhadap pengertian-pengertian pokok/dasar dalam hukum, yakni masyarakat hukum, subyek hukum, obyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum dan hubungan hukum.

Sifat penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah deskriptif. Bersifat deskriptif yaitu mengacu kepada penelitian hukum normatif dengan menguji, mengkaji ketentuan-ketentuan mengenai persaingan intrabrand dan kaitannya dengan pembatasan perdagangan secara vertikal.

2. Data penelitian

Data penelitian dapat berupa data primer dan data sekunder. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, dimana data yang diperoleh secara tidak langsung. Data sekunder terdiri dari:

20

Khudzaifah Dimyati & Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004), hlm.1.


(23)

a. Bahan hukum primer

Yaitu dokumen yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam penulisan ini diantaranya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, Pedoman pelaksanaan Pasal 8 (penetapan harga jual kembali) UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

b. Bahan hukum sekunder

Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang hukum perjanjian jual beli dan kegiatan dalam pengalihan saham perseroan seperti buku-buku, karya-karya ilmiah serta tulisan yang ada hubungannya dengan permasalahan yang diajukan dalam penulisan skripsi ini.

c. Bahan hukum tertier

Yaitu berupa bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti Kamus Hukum dan Kamus Bahasa Indonesia dan lain sebagainya.

3. Tekhnik pengumpulan data

Tekhnik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan studi dokumen dengan penelusuran pustaka (library research) yaitu mengumpulkan data dari informasi dengan bantuan buku, karya ilmiah, dan juga peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan materi penelitian.


(24)

4. Analisis data

Penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder menyajikan data berikut dengan analisisnya.21 Metode analisis data yang dilakukan adalah dengan metode kualitatif dengan penarikan kesimpulan secara deduktif.

Metode penarikan kesimpulan pada dasarnya ada dua, yaitu metode penarikan kesimpulan secara deduktif dan nduktif. Metode penarikan kesimpulan secara deduktif adalah suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus. Metode penarikan kesimpulan secara induktif adalah proses yang berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada kesimpulan (pengetahuan baru) berupa azas umum.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan suatu karya ilmiah khususnya skripsi, sistematika penulisan merupakan suatu bagian yang sangat penting. Untuk menghasilkan karya ilmiah yang baik maka pembahasannya harus diuraikan dengan sistematis, agar pembahasannya dapat diarahkan untuk menjawab masalah-masalah dan membuktikan kebenaran hipotesanya. Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam beberapa bab serta sub-bab secara berurutan dan saling berkaitan satu sama lain.

Sistematika dalam penulisan skripsi ini adalah :

21


(25)

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini diuraikan secara ringkas mengenai latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, yang kemudian diakhiri oleh sistematika penulisan.

BAB II PEMBATASAN PERDAGANGAN SECARA VERTIKAL

DALAM SUBSTANSI UNDANG–UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

Bab ini membahas mengenai persaingan usaha di Indonesia, dimana dalam pembahasannya diuraikan mengenai pengertian persaingan usaha, pandangan ekonomi dan pasar terhadap persaingan, serta peraturan persaingan usaha di Indonesia, pembatasan perdagangan secara vertikal dalam substansi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 , yang dalam pembahasannya , diuraikan mengenai pengertian perdagangan dan dasar hukumnya, substansi dasar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pembatasan perdagangan secara vertikal dalam perjanjian yang dilarang, pendekatan

rule of reason terhadap pembatasan perdagangan secara


(26)

BAB III PERSAINGAN SESAMA MEREK (INTRABRAND)

DIKAITKAN DENGAN PEMBATASAN

PERDAGANGAN SECARA VERTIKAL

Bab ini menguraikan persaingan sesama merek (intrabrand) dikaitkan dengan pembatasan perdagangan secara vertikal. Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang terjadinya persaingan sesama merek (intrabrand) , kaitan persaingan sesama merek (intrabrand) dengan pembatasan perdagangan secara vertikal, peran KPPU dalam menangani perkara yang menghindari persaingan sesama merek

(intrabrand) pada pembatasan perdagangan secara vertikal.

BAB IV PENUTUP

Bab ini merupakan kesimpulan dari bab-bab yang telah dibahas sebelumnya dan saran-saran yang mungkin berguna bagi pihak-pihak yang melakukan persaingan usaha


(27)

BAB II

PENGATURAN PERSAINGAN USAHA

A. Pengertian Persaingan Usaha

Persaingan atau “competition” dalam bahasa Inggris oleh Webster didefenisikan sebagai ”… a struggle or contest between two or more persons for

the some objects”22 Dengan memperhatikan terminologi ‘persaingan’ di atas,

dapat disimpulkan bahwa setiap persaingan akan terdapat unsur-unsur sebagai berikut. Pertama, ada dua pihak atau lebih yang terlibat dalam upaya saling mengungguli. Kedua, ada kehendak di antara mereka untuk mencapai tujuan yang sama.

Melalui defenisi tersebut,dapat di lihat bahwa persaingan merupakan suatu karakteristik yang tertanam pada diri manusia. Meskipun demikian, Thomas J. Andersonberpendapat bahwa persaingan di bidang ekonomi merupakan salah satu bentuk persaingan yang paling utama di antara sekian banyak persaingan antarmanusia, kelompok masyarakat, atau bahkan bangsa. Salah satu bentuk persaingan di bidang ekonomi adalah persaingan usaha (bussiness competition) yang secara sederhana bisa didefenisikan sebagai persaingan antara para penjual di dalam ‘merebut’ pembeli dan pangsa pasar.23

Sedangkan menurut Kamus Hukum Ekonomi Persaingan Usaha adalah Persaingan antar pelaku usaha untuk mempengaruhi pembeli/konsumen untuk produk tertentu.24

22

Ari Siswanto, Op.Cit., hlm.13.

23

Ibid., hlm.14.

24

Sri Rejeki Hartono, Kamus Hukum Ekonomi (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 141.


(28)

Dalam UU No.5 Tahun 1999 sendiri tidak dijelaskan secara eksplisit mengenai pengertian dari persaingan usaha. Namun dapat kita tarik pengertian persaingan usaha dari pengertian persaingan tidak sehat yang tercantum pada Pasal 1 angka 6 yaitu Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.25 Maka persaingan usaha adalah persaingan seperti yang dijelaskan diatas tanpa ada unsur tidak jujur, melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

Sehubungan dengan hal itu, R. Shyam Khemani menyatakan bahwa persaingan ekonomi adalah:

“… a situation where firms or sellers independently strive for buyer’s

patronage in order to achieve a particular business objective, for example,

profits, sales or market share … Competitive rivalry may take place in terms of

price, quantity, service, or combination of these and other factors that customers

may value.”

Sama seperti yang dikemukakan sebagai defenisi umum, dari pengertian diatas juga tersirat adanya dua pihak (firms or sellers) yang bertujuan mencapai tujuan usaha tertentu seperti keuntungan, penjualan, ataupun pangsa pasar.26 Dari defenisi-defenisi yang telah dikemukakan diatas, maka dapat dilihat bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh setiap pelaku ataupun pelaku usaha yang bersaing adalah untuk mendapatkan kentungan yang sebesar-besarnya. Pencapaian keuntungan yang maksimal tersebut dapat diperoleh dengan dilakukan dari

25

Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Pasal 1 angka 6.

26


(29)

berbagai bentuk, baik itu dari segi harga, kualitas dan kuantitas produk, pelayanan ataupun kombinasi dari berbagai elemen tersebut.

Untuk lebih jelasnya lagi cara agar tujuan dari persaingan itu terpenuhi, dilakukan dengan mekanisme persaingan. Terdapat 2 pandangan dalam memahami mekanisme persaingan, yaitu pandangan dari Mazhab Harvard School dengan pendekatan pada structure, conduct, performance ( struktur, perilaku dan kinerja) dan Mazhab Chicago School dengan pendekatan pada price theory ( teori harga). Kedua pandangan yang berpengaruh ini tetap berinteraksi dengan berbagai kritik sampai saat ini. Walaupun demikian, kedua mazhab ini memiliki satu presepsi yang sama yaitu bahwa persaingan adalah suatu dasar filosofis yang terbaik bagi mekanisme pasar.27

Jika terjadi proses persaingan antara para pelaku usaha, maka mereka akan berupaya mencapai tujuannya dengan saling menungguli dalam mendapatkan konsumen dan pangsa pasar. Para ekonom memberikan argumentasi bahwa persaingan jelas akan mengakibatkan harga menjadi lebih kompetitif dan membuat pelaku usah terpacu melakukan inovasi dan terobosan baru dalam produknya. Disamping itu para pelaku usaha berupaya menggunakan sumber daya dengan efisien, termasuk dalam menetapkan biaya produksi yang bervariatif dengan harga pesaing yang pada akhirnya akan menguntungkan produsen maupun konsumen.28

Disisi lain, sebagian besar perkembangan usaha swasta pada kenyataanya merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat atau

27

Ningrum Natasya Sirait, Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), hlm.63.

28


(30)

curang.29 Fenomena yang demikian telah berkembang dan didukung oleh adanya hubungan antara pengambil keputusan dan para pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung.30

Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut kebudayaan timur. Hal yang paling dominan dari kebudayaan timur adalah adat istiadat yang masih dipegang teguh. Walaupun adat istiadat saat ini mulai pudar dan mulai berubah , selain itu ada konsep gotong royong dan kebersamaan yang masih menjadi hal dominan. Sikap individualistis dari budaya barat berbanding terbalik dengan budaya timur yang kekeluargaan. Istilah kekeluargaan seringkali di tafsirkan sebagai anti-persaingan.31 Kebudayaan Indonesia beranggapan bahwa persaingan adalah hal yang tidak benar untuk dilakukan karena tidak sesuai dengan ciri-ciri dari kekeluargaan tersebut. Makna bersaing diartikan sebagai tindakan yang bersifat individualistis dan hanya berorientasi pada kepentingan sepihak dengan cara melakukan berbagai cara dan upaya semaksimal mungkin untuk mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya.32

Anggapan bersaing berarti bersifat individual serta tidak memperhatikan kepentingan orang lain tidak bisa dikatakan sepenuhnya benar. Sesungguhnya persaingan dikatakan salah apabila persaingan tersebut dilakukan secara tidak jujur atau dengan cara yang tidak sehat serta disertai dengan adanya kecurangan-kecurangan. Sebagai contoh adalah tata niaga cengkeh melalui BPPC (Badan

29

Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm.3.

30

Ibid.

31

Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm.10.

32


(31)

Penyangga Pemasaran Cengkeh) yang pernah terbentuk di Indonesia.33 BPCC dibentuk agar pasokan harga cengkeh di pasaran stabil. Tetapi terbentuknya badan ini malah membuat harga cengkeh justru turun drastis dalam waktu yang cepat. Keengganan petani untuk menanam tanaman ini dikarenakan penjualan cengkeh dengan harga yang harus ditentukan oleh pemerintah mengakibatkan penurunan hasil panen cengkeh.

Jika Indonesia masih tidak dapat menerima persaingan sebagai sesuatu yang harus dijalani dalam kehidupan ekonomi, khususnya bagi para pelaku usaha, maka hal tersebut akan memberikan dampak yang buruk bagi negara. Sikap yang anti terhadap persaingan akan membuat pelaku usaha tidak akan mempunyai perbandingan dengan kualitas orang lain yang menjadi lawan bersaing serta kita tidak akan mengetahui bagaimana cara untuk bersaing secara jujur dan sehat. Padahal persaingan itu sendiri dapat memacu menghasilkan sesuatu produk dengan kualitas yang terbaik dan optimal. Sesungguhnya bersaing bukanlah merupakan sesuatu yang harus dihindarkan, karena fenomena bersaing akan selalu muncul secara alamiah dalam kehidupan masyarakat, asalkan persaingan yang dilakukan adalah sesuai dengan cara-cara persaingan usaha yang sehat dan tidak menjadi sebaliknya yaitu mengikuti cara-ara persaingan yang tidak sehat.

Untuk mengakhiri uraian tentang persaingan, pokok-pokok penting berikut ini perlu dikemukakan.34

1. Persaingan sebenarnya merupakan kondisi ideal yang memiliki banyak aspek positif.

33

Ningrum Natasya Sirait, Op.Cit., hlm.6.

34


(32)

2. Meskipun demikian, persaingan hanya akan bisa menjalankan fungsinya dengan baik apabila persaingan itu terjadi sedemikian rupa, sehingga tidak terjadi persaingan secara curang yang justru merugikan.

3. Persaingan sebenarnya merupakan variabel yang dependen. Ia bisa bergerak dinamis dan berubah-ubah sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya, termasuk kebijakan pemerintah maupun instrumen suatu pemerintah.

B. Pandangan Ekonomi dan Pasar Terhadap Persaingan

Robinson mengatakan “economies is the study of the disposal or

allocation of scare means to a multiplicity of ends”.35Adam Smith menyebut

ekonomi dengan “ An inquiry in the nature and causes of the wealth of nations”. Ini sebenarnya adalah titel buku yang ditulisnya yang secara singkat terkenal dengan nama ”Wealth of Nations”. Soemitro berpendapat bahwa ekonomi yang ditimbulkan oleh adanya hubungan antara kebutuhan-kebutuhan dan alat-alat (sumber daya) yang tersedia hanya dalam jumlah yang terbatas dan alat-alat mana mempunyai pemakaian yang alternatif. Objek ekonomi adalah cara-cara dan bentuk tindakan manusia dalam menggunakan barang-barang dan jasa-jasa yang terbatas jumlahnya itu.36

35

Rochmat Soemitro, Pengantar Ekonomi dan Ekonomi Pancasila (Bandung: PT. Eresco, 1992), hlm.5.

36


(33)

Hal tersebut diatas mengakibatkan adanya hasrat manusia memenuhi keinginan dan kebutuhannya. Kegiatan untuk memenuhi hal ini dilakukan melalui kegiatan ekonomi. Ada tiga unsur yang menimbulkan kegiatan ekonomi, yaitu : 37 1. Kebutuhan atau keperluan manusia (human behavior)

2. Sumber-sumber yang tersedia

3. Teknologi atau teknik untuk mengubah sumber-sumber yang tersedia itu menjadi barang atau jaksa yang dapat dipakai memenuhi kebutuhan manusia.

Setiap negara sebagai unit ekonomi berkepentingan untuk menentukan perencanaan dan kebijakan mengenai bagaimana sumber daya yang tersedia dalam jumlah terbatas itu harus dialokasikan dan bagaimana hasil akhir dari suatu proses produksi serta pendapatan harus didistribusikan diantara anggota-anggota masyarakat.38 Hal ini didasarkan pada sistem ekonomi negara masing-masing.

Beberapa sistem ekonomi yang diterapkan negara-negara di dunia, diantaranya sistem ekonomi liberal (sering juga disebut kapitalisme dan merupakan lawan dari sosialisme) yang didasari oleh ajaran Adam Smith, sistem ekonomi sosialis yang didasari oleh ajaran Karl Marx. Sistem ekonomi sosialis merupakan suatu reaksi terhadap perkembangan sistem ekonomi liberal. 39 Sedangkan Indonesia menganut sistem ekonomi kerakyatan atau yang sering disebut dengan sistem ekonomi pancasila yang dipelopori oleh Muhammad Hatta.

Sistem ekonomi pasar maka persaingan merupakan suatu elemen yang menentukan karena pasar akan ditentukan oleh permintaan dan penawaran yang

37

Kadariah, Teori Ekonomi Mikro (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1994), hlm.XV – XVI.

38

Ari Siswanto, Op.Cit, hlm.9 – 10.

39


(34)

terbuka, artinya dalam memenangkan pasar dan konsumen, maka pelaku usaha akan melalui proses persaingan.40 Didalam sistem ekonomi pasar terdapat persaingan bebas diantara pelaku usaha. Pelaku usaha bebas melakukan kegiatan usahannya dalam mendukung pembangunan ekonomi, tanpa adanya campur tangan dari pemerintah.41

Adam Smith menggambarkan bahwa harga akan terbentuk dari sistem ekonomi yang bebas dan bersaing serta tidak diperlukan adanya campur tangan pemerintah dalam proses berjalannya sistem ekonomi yang bebas itu, yaitu :42 1. Produsen akan mencari teknik produksi yang tepat untuk menggunakan sumber

daya secara efisien agar yang maksimum dapat tercapai.

2. Para pencari kerja akan memilih bekerja pada produsen yang mampu melakukan proses produksi paling efisien untuk mendapatkan upah yang tinggi.

3. Konsumen akan memiliki kebebasan memilih produk yang akan dibelinya dan oleh karenanya mereka akan memilih produk berkualitas dengan harga yang paling murah.

Adam Smith adalah orang pertama yang menggambarkan bahwa sistem harga akan bekerja dan bagaimana ekonomi yang bebas dan bersaing akan berfungsi tanpa adanya campur tangan dari pemerintah yaitu melalui alokasi sumber daya yang efisien.43 Ide utama yang diajukan oleh Adam Smith adalah kompetisi antara berbagai penyedia barang dan pembeli akan menghasilkan

40

Ningrum Natasya Sirait, Op.cit., hlm.21.

41

Hemansyah, Op.Cit. hlm.17.

42

Adijaya Yusuf At. Ak, Topik – Topik Mata Kuliah Hukum Ekonomi dan Kurikulum (Jakarta: Elips, 1998), hlm.25.

43


(35)

kemungkinan terbaik dalam distribusi barang dan jasa karena hal itu akan mendorong setiap orang untuk melakukan spesialisasi dan peningkatan modalnya sehingga akan menghasilkan nilai lebih dengan tenaga kerja yang tetap. Adam Smith berkeyakinan bahwa sebuah sistem besar akan mengatur dirinya sendiri dengan menjalankan aktivitas-aktivitas masing-masing bagiannya sendiri-sendiri tanpa harus mendapatkan arahan tertentu.44 Hal ini yang biasa disebut sebagai "invisible hand".

Ternyata sistem ekonomi ini merusak sistem ekonomi Indonesia yang sudah mulai berkembang baik. Sistem ekonomi ini memberi kebebasan yang sebesar-besarnya kepada individu untuk mencapai kesejahteraan Dengan cara ini kepentingan pribadi diharmonisasikan dengan kepentingan masyarakat, karena apabila masing-masing individu mencapai kesejahteraan maka dengan sendirinya berarti masyarakat akan dapat sejahtera. Tetapi disini dilupakan, bahwa dalam usaha untuk mencapai kesejahteraan individu, masing-masing individu akan berusaha sekeras-kerasnya dan menimbulkan persaingan yang hebat. Yang lemah akan hancur dan yang kuat akan menang, sehingga berlakulah pepatah “survival

of the fittest” melalui perjuangan “struggle for life”.45 Persaingan yang sangat

hebat pada akhirnya akan memaksa para individu atau pelaku usaha untuk melakukan persaingan dengan segala cara termasuk persaingan secara tidak sehat. Bahkan dengan sistem ekonomi yang diterapkan oleh Adam Smith tersebut, pihak-pihak yang kuat pada akhirnya akan dapat menguasai dan memonopoli pangsa pasar yang ada.

44

https://id.answers.yahoo.com/question/index (diakses tanggal 23 Juni 2015)

45


(36)

Monopolis pada penguasaan pasar, dapat bertindak dan mempunyai kemampuan untuk menentukan harga, mendapatkan keuntungan tanpa kekhawatiran bahwa akan pesaing lainnya berusaha masuk kepasar dan dapat mengakibatkan harga menjadi bersaing. Monopolis bertindak sebagai price setter dan memiliki monopoly power (market power) atau kekuatan pasar.46

Maka setelah beberapa waktu lamanya Indonesia berbenah diri terhadap sistem ekonomi yang ada dan sudah dijalani, maka dapat ditemukanlah satu sistem ekonomi yang sesuai dengan kepribadian Indonesia yaitu Sistem Ekonomi Pancasila. Dasar Ekonomi Pancasila tersimpul Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebenarnya adalah merupakan Demokrasi Ekonomi, karena perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Pasal 33 ini merupakan suatu pasal yang amat penting, karena pasal ini menjadikan dasar dan titik tolak bagi pembangunan ekonomi.47 Dengan sistem Ekonomi ini, maka para individu atau pelaku usaha tetap dapat bersaing tetapi dengan berlandaskan asas kekeluargaan dan gotong royong, sehingga para pelaku usaha kecil juga diperhatikan serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, Sehingga tidak diberikan kesempatan oleh pelaku usaha untuk memonopoli suatu cabang produksi penting dan mengambil keuntungan sebesar-besarnya untuk kepentingannya sendiri dan dapat menyengsarakan masyarakat banyak.

Lalu jika dilihat dari sisi pasar, pasar sangat berkaitan erat hubungannya dengan persaingan. Stanton mengatakan bahwa pasar berarti tempat bagi

46

Ningrum Natasya Sirait, Op.Cit., hlm.29.

47


(37)

sekelompok manusia yang berkeinginan untuk membelanjakan uang yang dimilikinya sebagai bentuk kepuasan.48 Sedangkan menurut H. Nystrom, pasar adalah suatu aktivitas yang salah satu pihaknya menyalurkan atau memberikan barang maupun jasa kepada pihak lainya.49

Melihat keadaan pasar maka para pelaku usaha melakukan berbagai bentuk persaingan agar dapat menguasai pasar tergantung keadaan pasar yang digeluti masing-masing . Keadaan pasar dapat berbeda dalam hal :50

1. Jumlah penjual/produsen suatu barang tertentu mungkin banyak sekali, mungkin agak banyak, hanya beberapa, atau hanya satu saja. Pola penyebarannya menurut besar kecilnya perusahaan dan banyak sedikitnya pembeli serta pola penyebarannya ikut berpengaruh pula.

2. Sifat barang yang diperdagangkan: apakah sama atau berbeda, sejenis, atau hampir sama.

3. Sukar-mudahnya memasuki suatu bidang usaha tertentu. Ada bidang-bidang usaha yang terbuka untuk setiap orang yang ingin memasukinya. Tetapi ada juga bidang-bidang usaha yang sulit sekali dimasuki produsen baru, berhubung dengan syarat-syarat teknis dan pemodalan yang diperlukan, atau perjanjian/perkongsian antara para produsen sendiri.

48

https://dansite.wordpress.com/2009/03/24/definisi-pasar-market(diakses tanggal 14 April 2015)

49

http://stefanikristina.blogspot.com/2014/06/pengertian-pasar-menurut-para-ahli.html (diakses tanggal 14 April 2015)

50

Gilarso, Pengantar Ilmu Ekonomi Bagian MikroJilid 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 11.


(38)

Seperti yang disebutkan diatas, bahwa karena keadaan pasar tersebut maka dapat terbentuklah beberapa bentuk/struktur pasar persaingan yang terjadi . Maka ekonom mengenal beberapa struktur pasar yaitu :51

1. Pasar persaingan sempurna

Bentuk ini tidak pernah dijumpai pada dunia nyata. Deskripsi pasar persaingan sempurna dipergunakan hanya sebagai parameter untuk mengukur apakah telah terjadi distorsi pada suatu pasar atau tidak .

Persaingan dikatakaan sempurna bila memenuhi syarat sebagai berikut : a. Terdapat homogenitas produk.

b. Identik atau sama.

c. Terdapat banyak penjual dan pembeli.

d. Penjual akan bertindak sebagai price taker dan bukan price maker.

e. Penjual dan pembeli memiliki informasi yang sama mengenai ekonomi dan teknologi.

f. Tidak terdapat kendala dalam hal mobilitas sumber daya harus yang dengan mudah dapat ditransformasikan untuk penggunaan lain.

g. Produser tidak memiliki hambatan untuk masuk dan keluar pasar (entry and exit)

h. Harga dimana marginal cost sama dengan marginal revenue (biaya marginal sama dengan pendapatan marginal).

i. Produser bertindak independen dalam upaya mencapai keuntungan maksimum.Konsumen bertindak sama dalam upaya memenuhi kebutuhannya.

51


(39)

2. Pasar monopoli

Bentuk dimana hanya terdapat satu penjual dan merupakan kondisi yang merugikan karena monopoli mengakibatkan beban bagi masyarakat melalui alokasi sumber daya yang tidak efisien dan merugikan secara sosial karena tidak terpenuhinya permintaan, pilihan dan kebutuhan.

3. Pasar monopoli persaingan

Para ekonom juga membangun model lain byang lebih realistis dalam industri modern, yaitu monopolistic competition dimana strukturnya terdapat banyak penjual (sebagaimana dalam persaingan sempurna) tetapi terdapat perbedaan dalam produk, dengan kata lain produknya tidak sama (tidak homogen).

Perbedaan antara bentuk pasar dengan persaingan sempurna, monopoli serta monopolistic competition terlihat dari berbagai faktor. Yaitu produser dalam pasar monopoli cenderung untuk mengurangi produksi dan mengenakan harga lebih tinggi dibandingkan dalam monopoli persaingan cenderung mengenakan harga lebih rendah, memperbanyak output dengan harga lebih rendah.

4. Pasar oligopoli

Pasar yang lain adalah pasar oligopoli dimana bentuk pasar ini menunjukkan bahwa terdapat hanya beberapa penjual. Pasar ini juga membedakan lagi apakah terdapat produknya sama sehingga menimbulkan apa yang disebut dengan pure oligopoly, misalnya untuk semen dan bila produknya berbeda maka menimbulkan differentiated oligopoly, misalnya untuk mobil atau mesin. Karakter


(40)

umum oligopoli adalah diantara produser terdapat interdependensi nyata maupun tidak langsung.

C. Pengaturan Persaingan Usaha di Indonesia

Perkembangan persaingan usaha di Indonesia sebelum terbentuknya UU No.5 Tahun 1999 cukup buruk. Krisis ekonomi berkepanjangan yang dialami oleh Indonesia sejak tahun 1997 dan mencapai puncaknya pada tahun 1998 kemudian diperburuk dengan kondisi perekonomian dunia yang juga menurun. Faktor-faktor ini menjadi alasan pemicu reformasi dan restrukturisasi dalam berbagai hal yang akhirnya turut mempengaruhi hidup bernegara. 52 Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya krisis ekonomi adalah pada kenyataanya pemerintah Indonesia selama ini dikenal tidak memiliki kebijakan kompetisi yang jelas.53 Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir beberapa pelaku usaha telah melakukan perbuatan-perbuatan yang jelas bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat dan pada saat yang sama pelaku usaha juga tidak pernah diperkenalkan dengan budaya persaingan sehat padahal persaingan itu sendiri secara alamiah melekat pada dunia usaha.54

Dengan situasi demikian, pemerintah mengambil kebijakan untuk

mem-bail out atau menanggung beban utang swasta terutama pada bank-bank

“bermasalah”. maka lahirlah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang “bertugas” mengambil alih utang-utang bank swasta nasional dengan dana talangan yang berasal dari International Monetery Fund (IMF) sebesar $ US 43

52

Ningrum Natasya Sirait, Op.Cit., hlm.5.

53

Ibid.

54


(41)

milliar yang bersifat jangka panjang.55 Pemberian dana talangan oleh IMF bukanlah tanpa syarat, secara regulatif utang dapat dikucurkan dengan persyaratan Indonesia harus melakukan reformasi sistem ekonomi dan hukum ekonomi tertentu diantaranya UU No.5 Tahun 1999.56 Inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya UU No.5 Tahun 1999.

Sebetulnya sudah sejak lama masyarakat Indonesia, khususnya para pelaku bisnis, merindukan sebuah pengaturan undang-undang yang secara komprehensif mengatur persaingan sehat.57 Keinginan itu didorong oleh munculnya praktik-praktik perdagangan yang tidak sehat, terutama karena penguasa sering memberikan perlindungan atau privileges kepada para pelaku bisnis tertentu, sebagai bagian dari praktik-praktik kolusi, korupsi, kroni, dan nepotisme.58

Keinginan pengaturan tersebut dilakukan agar Indonesia mempunyai undang-undang yang mengatur larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat itu telah ada sejak tahun 1990 sebagai bagian dari diskusi dan perdebatan yang dilakukan dalam rangka penyusunan Undang-Undang Antimonopoli itu antara lain oleh Kantor Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri bersama Menteri Kehakiman. Selain itu, Pada tahun 1995 Partai Demokrasi Indonesia mengajukan draf undang-undang tentang monopoli.59

Sebelumnya memang pernah ada beberapa peraturan maupun regulator pemerintah yang mencoba mengatur tentang perlindungan terhadap persaingan yang sehat tetapi hal ini tidak terkodifikasi dengan teratur . Peraturan ini tersebar

55

Mustafa Kamal Rokan, Op.Cit., hlm.24.

56

Ibid.

57

Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm,1.

58

Ibid.

59


(42)

pada berbagai undang-undang , misalnya dalam Undang-Undang Koperasi Nomor 5 Tahun 1992 (sekarang digantikan dengan Undang-Undang No.25 Tahun 1992), Undang-Undang Tentang Usaha Kecil No 9 Tahun 1995 (sekarang digantikan dengan Undang-Undang No.20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) terlebih juga Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999.

Disamping itu pengaturan mengenai persaingan usaha dijumpai pada berbagai perundangan lainnya walaupun sifatnya masih sporadis dan tidak terkodifikasi seperti misalnya pada berbagai undang-undang dibawah ini :60

1. Pasal 382 bis KUHP:

“Barang siapa mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seseorang tertentu, diancam karena persaingan curang, dengan pidana paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak Rp 13.500,- jika hal itu dapat menimbulkan suatu kerugian bagi saingannya sendiri atau saingan orang lain.“ 2. Pasal 1365 KUH Perdata : “Setiap perbuatan yang melanggar hukum dan

membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian tersebut karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut.”

Lalu Mustafa Kamal Rokan menambahkan beberapa peraturan perundang-undangan yang telah mengatur hukum persaingan usaha sebelum terbentuknya UU No.5 Tahun 1999 yaitu :

1. Dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR).

Upaya pencegahan terhadap terjadinya prsktik monopoli dan usaha tidak sehat terdapat dalam ketetapan-ketetapan MPR, yaitu :

60


(43)

a. Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1973 tentang GBHN bidang Pembangunan Ekonomi.

b. Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1978 tentang GBHN pada bidang Pembangunan Ekonomi pada sub Bidang Usaha Swasta dan Usaha Golongan Ekonomi Lemah.

c. Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/1983 tentang GBHN pada Bidang Pembangunan Ekonomi pada Sub Bidang Usaha Swasta Nasional dan Usaha Golongan Ekonomi Lemah.

d. Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1988 tentang GBHN pada Bidang Pembangunan Ekonomi Sub Bidang Dunia Usaha Nasional.

e. Ketetapan MPR RI No IV/MPR/1999 tentang GBHN pada kondisi umum.61 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria

Pada Pasal 13 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria menetukan pemerintah harus mencegah usaha-usaha dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta. Dalam ayat 3 disebutkan bahwa monopoli pemerintah dalam lapangan agraria dapat diselenggarakan asal dilakukan berdasarkan undang-undang.62

3. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum

Pada Pasal 15 (1) disebutkan, merger dan konsolidasi hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari Menteri Keuangan.63

61

Normin S.Pakpahan, The Indonesian New Intiative CompetitionPolicy and Law, Jurnal Hukum Bisnis Vo. 4 tahun 1998, hlm 78 sebagaimana dikutip Susanti Adi Nugroho, Pengaturan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia (Jakarta: Pulitbang/ Diktat Mahkamah Agung , 2001), hlm. 15.

62

Mustafa Kamal Rokan, Op.Cit., hlm.30.

63


(44)

4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil

Undang-Undang ini menyatakan pemerintah harus menjaga iklim usaha dalam kaitannya dengan persaingan dengan membuat peraturan-peraturan yang diperlukan. Untuk melindungi usaha kecil, pemerintah juga harus mencegah pembentukan struktur pasar yang mengarah pada pembentukan monopoli, oligopoli, dan monopsoni.

5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal

Berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 melarang adanya ketentuan yang menghambat adanya persaingan sehat dalam pasar modal. 6. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan,

Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas.

Berdasarkan Pasal 4 (b) disebutkan bahwa penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perusahaan, hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan persaingan usaha.

Akhirnya pada tanggal 18 Februari 1999 UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktis Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat atau Undang-Undang Antimonopoli yang dibuat atas dukungan IMF itu mendapat persetujuan DPR, yang kemudian ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 5 Maret 1999. Undang-Undang ini baru berlaku efektif satu tahun sejak diundangkannya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 53 Undang-Undang Antimonopoli yang menyatakan bahwa “Undang-Undang ini mulai berlaku terhitung 1 (satu) tahun sejak tanggal diundangkan”. Ini berarti Undang-Undang Antimonopoli ini berlaku efektif sejak tanggal 5 Maret 2000, dan ini dilakukan dengan tujuan memberi


(45)

waktu bagi sosialisasinya terutama bagi para pengambil kebijakan dan pelaku usaha.64

Seluruh peraturan yang ada diatas masih berlaku dan tidak dengan otomatis digantikan oleh UU No.5 Tahun 1999 karena pada dasarnya UU No.5 Tahun 1999 mengatur tentang persaingan pasar dalam konteks yang lebih terperinci bahkan kompleks karena melibatkan teori ekonomi dan perhitungan yang rumit dan bukan hanya dibatasi pada persaingan curang saja. Tetapi bahkan sampai masuk dalam konteks pasar yang menjadi terdistorsi akibat tidak berjalannya suatu proses persaingan dengan baik.65 Sehingga dapat dikatakan bahwa sebenarnya peraturan yang mengatur tentang persaingan telah ada disinggung dalam berbagai perundang-undangan hanya saja secara sporadis dan tidak merupakan pengaturan yang khusus seperti UU No.5 Tahun 1999 yang ada saat ini.

Sementara mengenai perkembangan persaingan usaha di Indonesia setelah lahirnya UU No.5 Tahun 1999 menjadi jauh lebih baik dibanding sebelumnya. Walau dalam prakteknya tujuan dari UU No.5 Tahun 1999 belum seluruhnya dapat dikatakan terpenuhi, namun pelaku usaha baik tingkat kecil sampai besar sudah dapat memiliki pedoman untuk melakukan persaingan. Bagian mana saja yang menjadi batas diperbolehkannya melakukan tindakan persaingan. Karena persaingan itu sendiri tidak semua dilarang secara hukum (perse illegal) dalam peraturan UU No.5 Tahun 1999, asalkan tidak memenuhi unsur-unsur persaingan tidak sehat tergantung dari kasus dan alasan dilakukannya persaingan tersebut

64

Hermansyah,Op.Cit., hlm 55

65


(46)

(rule of reason). Perse illegal itu sendiri merupakan sebuah pendekatan di mana suatu perjanjian atau kegiatan usaha dilarang karena dampak dari perjanjian tersebut telah dianggap jelas dan pasti mengurangi atau menghilangkan persaingan. Sedangkan, rule of reason merupakan kebalikan dari perse illegal yang selengkapnya akan dibahas lebih lanjut dalam bab tersendiri pada skripsi ini. Sebagai bukti nyata dari perkembangan yang terjadi setelah dikeluarkannya UU No.5 Tahun 1999 adalah adanya kebijakan KPPU dalam tarif perdagangan gula yaitu mengatur secara rigid harga di setiap level distribusi dan harga eceran tertinggi yang diatur berdasarkan kepada UU No.5 Tahun 1999. Karena dianggap industri gula mengalami kenaikan harga yang tidak terkendali akibat adanya tindakan-tindakan yang dianggap menyalahi aturan UU No.5 Tahun 1999. Pasokan gula diatur dengan sangat ketat dimana pasokan alternatif lainnya seperti gula rafinasi dan gula impor diatur/dilarang untuk masuk ke pasar konsumsi maupun industri pengguna. 66 Sehingga pasokan gula konsumsi sesungguhnya dilakukan oleh produsen dalam negeri sendiri. Sementara proses yang terjadi selanjutnya adalah proses distribusi dengan menggunakan sistem mekanisme pasar, dimana siapa saja dapat terlibat dalam perdagangan gula. Tetapi mekanisme ini menjadi terdistorsi, mengingat hanya pelaku usaha dengan keunggulan kompetitif yang bisa terlibat. Dan hal tersebut lebih merupakan pelaku usaha penyedia dana talangan. Hal ini berpotensi besar mengakibatkan monopoli .

66

http://www.kppu.go.id/docs/Positioning_Paper/%5B2010%5D%20Position%20Paper% 20Industri%20Gula.pdf (diakses tanggal 16 Juni 2015).


(47)

Gula milik petani yang digiling di pabrik gula milik BUMN akan diserahkan kepada BUMN sekitar 30%nya. Pembentukan harga awal gula adalah pada saat lelang. Jika harga lelang lebih besar daripada harga dasar gula, maka selisihnya akan dibagi dengan porsi 60% untuk petani dan 40% untuk investor karena telah memberikan dana talangan kepada petani.67 dengan begitu akan sangat menguntungkan bagi investor yang telah memberikan dana talangan. Investor ini pada kenyataannya adalah merupakan pedagang-pedagang besar dengan kekuatan modal besar sehingga mampu memberikan dana talangan untuk petani. Hal ini berpotensi besar untuk melakukan tindakan monopoli dan persaingan tidak sehat. Hal ini membentuk adanya penetapan bahwa kegiatan diatas diduga melanggar Pasal 5, Pasal 11, Pasal 15, Pasal 19 (Penetapan 04/KPPU/I/2004).

Dengan adanya UU No.5 Tahun 1999 sebagai dasar, maka dapat ditetapkan saran kepada pemerintah untuk mengatasi hal tersebut:68

1. Mendukung upaya perlindungan terhadap petani yang terlibat dalam industri tebu, dengan tetap memperhatikan daya beli masyarakat yang masih lemah. 2. Menyempurnakan kebijakan tata niaga menjadi sebuah tata niaga yang

“penuh” dengan mengatur secara rigid harga di setiap level distribusi dan harga eceran tertinggi. Hal ini untuk menghindari eksploitasi konsumen.

3. Mendorong hadirnya industri gula yang kompetitif yang mampu bersaing dalam kondisi pasar apapun, sehingga tidak diperlukan kebijakan yang mendistorsi pasar. Dalam hal ini maka dibutuhkan sebuah road map gula

67

Ibid.

68


(48)

nasional, sehingga arah pembangunan industri gula secara nasional menjadi jelas.

Selain gula, terjadinya perubahan terjadi terhadap harga SMS yang melanggar UU No.5 Tahun 1999. Dalam penetapan biaya minimal interkoneksi SMS, kerugian yang diderita konsumen sangat besar. Berdasarkan Putusan Perkara Nomor 26/KPPU-L/2007 perkiraan harga kompetitif layanan SMS off-net adalah Rp 114.69 Sedangkan tarif yang berlaku berkisar Rp 250-350. Maka dari harga yang ditetapkan itu dikalikan dengan pengguna SMS dan rentang waktu selama harga tersebut dilakukan diambil ongkos produksi dan keuntungan yang wajar menjadi jumlah yang diderita konsumen.70 Dari logika sederhana, jika harga kompetitif SMS Rp 114, sedangkan harga kartel SMS terendah adalah Rp 250 maka kerugian yang harus ditanggung pelanggan per SMS adalah Rp 136.71 Berdasarkan Putusan Perkara Nomor 26/KPPU-L/2007, perhitungan kerugian konsumen berdasarkan proporsi pangsa pasar operator pelaku dari tahun 2004 - 2007 dengan menggunakan selisih antara pendapatan pada harga kartel dengan pendapatan pada harga kompetitif SMS off-net dari keenam operator, maka diperoleh kerugian konsumen sebesar Rp 2.827.700.000.000 (dua trilyun delapan ratus dua puluh tujuh miliar tujuh ratus juta rupiah).72 Mengenai KPPU akan dijelaskan secara tersendiri pada bab-bab berikutnya.

69

http://www.kppu.go.id/id/wp-content/uploads/2012/02/Edisi-31.pdf (diakses tanggal 22 Juni 2015).

70

Ibid.

71

Ibid.

72


(49)

BAB III

PENDEKATAN RULE OF REASON TERHADAP PEMBATASAN

PERDAGANGAN SECARA VERTIKAL

A. Perdagangan dan Dasar Hukumnya

Perdagangan merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan seluruh manusia. Dengan adanya perdagangan, maka kebutuhan manusia satu sama lain bisa saling terpenuhi. Perdagangan yang juga sering disebut perniagaan itu sendiri merupakan kegiatan tukar menukar barang atau jasa atau keduanya yang berdasarkan pada kesepakatan. Pada masa awal uang belum ditemukan, tukar menukar barang dinamakan barter yaitu menukar barang dengan barang. Pada masa modern perdagangan dilakukan dengan uang. Setiap barang dinilai dengan sejumlah uang. Pembeli akan menukar barang atau jasa73

Kegiatan perdagangan tentu saja mencakup juga kegiatan jual beli, karena pada dasarnya jual beli merupakan bagian dari perdagangan. Secara sempit, pengertian perdagagangan dapat dilihat menurut BW, jual beli adalah perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.74

Perkataan jual beli menunjukkan bahwa dari satu pihak dinamakan menjual sedangkan dari pihak lain dinamakan membeli. Sedang menurut rumusan

73

http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan ( diakses tanggal 16 April 2015 )

74


(50)

Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukun Perdata, jual beli merupakan suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.75

Ensiklopedi Hukum Islam menjelaskan bahwa jual beli adalah saling menukarkan harta dengan harta melalui cara tertentu, atau bisa juga diartikan sebagai tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.Yang dimaksud dengan melalui cara tertentu yang bermanfaat adalah melalui ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan qobul (pernyataan menjual dari penjual), atau bisa juga melalui saling memberikan barang dan harga antara penjual dan pembeli.76

Oleh karena perdagangan dan jual beli adalah kegiatan ekonomi yang hampir sama yaitu menyalurkan barang dari produsen kepada konsumen, maka rukun dan syaratnyapun sama. Adapun yang menjadi rukunnya adalah :

1. Adanya pihak penjual dan pembeli atau subyek. Tentang subyek, syaratnya sebagai berikut : b. Baliqh (dewasa)

Dewasa menurut hukum islam apabila berumur 15 tahun. Orang yang melakukan tranksaksi diisyaratkan harus dewasa, dalam arti dia harus mengetahui dan memahami segala sesuatu yang ia perbuat, karena jual beli adalah merupakan salah satu bentuk perbuatan hukum yang menuntut

75

Gunawan Widjaja.et al, Jual Beli (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.7.

76

Dahlan Abgul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam jilid 2 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Houve, Cet 1, 1997), hlm.827.


(51)

adanya tanggung jawab dari pelakunya, dan hanya dengan kedewasaan seseorang dibebani tanggungjawab.

c. Berakal

Sehat secara logis, tahu akan hal yang ia perbuat d. Keadaan tidak mubazir

Keadaan tidak mubazir, maksudnya pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian bukanlah manusia yang boros

2. Adanya uang dan benda atau obyek.

Tentang subyek, syaratnya sebagai berikut : a. Bersih barangnya

b. Dapat dimanfaatkan

c. Milik orang yang melakukan akad d. Mampu menyerahkan

e. Mengetahui

f. Barang yang diakadkan ada ditangan.77 3. Adanya lafal.78

Jika dilihat dari peraturan yang mengaturnya, maka perdagangan diatur pada awalnya perdagangan di Indonesia masih belum memiliki peraturan tersendiri. Oleh karena hal tersebut, maka Indonesia masih mengikuti peraturan yang ada pada zamannya tersebut . Setiap peraturan mengenai perdagangan pada zaman dulu diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Hukum dagang

77

Kamaluddin A. Marzuki, Terjemah Fiqh Sunnah, Jilid 12 (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), hlm.52.

78


(52)

adalah aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan orang yang satu dan lainnya dalam bidang perniagaan. Hukum dagang adalah hukum perdata khusus, KUH Perdata merupakan lex generalis (hukum umum), sedangkan KUHD merupakan lex spesialis derogate lex generalis (hukum khusus mengesampingkan hukum umum). Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPerdata, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPerdata. Hal ini dapat dibuktikan dalam Pasal 1 dan Pasal 15 KUH Dagang.79 KUHD sendiri tidak mengatur secara eksplisit pengertian perdagangan. Namun karena KUHD merupakan bagian khusus dari KUHPerdata, maka pengertian perdagangan menurut KUHD dapat dipersamakan dengan pengertian perdagangan menurut KUHPerdata yaitu pada pasal 1457 KUHPerdata.

Sementara dewasa ini, telah diatur undang-undang tersendiri yang mengatur mengenai perdagangan di Indonesia yaitu diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan. Dari undang-undang dapat dilihat pengertian perdagangan secara luas yaitu menurut Pasal 1 angka 1 yaitu sebagai berikut “Perdagangan adalah Tatanan kegiatan yang terkait dengan transaksi Barang dan/atau jasa di dalam negeri dan melampaui batas wilayah negara dengan tujuan pengalihan hak atas Barang dan/atau Jasa untuk memperoleh imbalan atau kompensasi.”80

Perlu diketahui bahwa lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan tidak membuat peraturan-peraturan yang terdahulu menjadi

79

Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonomi (Jakarta: Cikal Sakti, 2007), hlm.41.

80


(53)

tidak berlaku lagi asalkan peraturan-peraturan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014. Dan dalam penggunaan kaidah-kaidah pada pengertian perdagangan menurut hukum islam seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya,penggunaanya bersifat wajib bagi subjek hukum muslim. Namun tetap bisa dijadikan pilihan atau bahan pertimbangan bagi subjek hukum non-muslim.

Di zaman modern ini, dikenal juga perdagangan dengan metode pemberian perantara kepada produsen dan konsumen untuk membelikan dan menjualkan barang-barang yang memudahkan dan memajukan pembelian dan penjualan itu. Adapun pemberian perantara kepada produsen dan konsumen itu meliputi aneka macam pekerjaan seperti misalnya :

1. Pekerjaan orang perantara sebagai makelar, komisioner, pedagang-pedagang keliling lainnya.

2. Pembentukan badan-badan usaha (asosiasi-asosiasi) : Peseroan Terbatas (PT), Perseroan Firma, Perseroan Komanditer dan sebagainya guna memajukan perdagangan.

3. Pengangkutan untuk kepentingan lalu lintas baik didarat, di laut maupun di udara.

4. Pertanggungan (asuransi) yang berhubungan dengan pengangkutan, supaya si pedagang dapat menutup resiko pengangkutan dengan asuransi.


(1)

9. Jika pelaku usaha keberatan atas putusan tersebut dalam hal ini Putusan Pengadilan Negeri maka dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung selambat-lambatnya 14 hari. Putusan harus dijatuhkan oleh Mahkamah Agung dalam waktu dalam waktu 30 hari sejak permohonan kasasi diterima. Jika tidak ada keberatan lagi, maka Putusan Komisi Persaingan Usaha tersebut telah mempunyai hukum tetap.

Mengenai tata cara penanganan perkara oleh KPPU yang lebih rinci dapat di lihat dalam Peraturan Komisi Persaingan Usaha No.1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penganganan Perkara.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan pada bagian sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Pembatasan perdagangan secara vertikal dalam substansi dasar UU Nomor 5 Tahun 1999 merupakan hal yang tidak bisa langsung dikatakan mutlak merupakan suatu pelanggaran, tergantung dari alasan pembatasan tersebut dilakukan (rule of reason). Melanggar atau tidaknya pembatasan perdagangan secara vertikal tergantung dari apakah tujuanya mengandung unsur-unsur persaingan tidak sehat seperti yang tertulis pada Pasal 1 angka 6 UU No.5 Tahun1999 atau tidak.

2. Kaitan Persaingan sesama merek (intrabrand) dengan pembatasan perdagangan secara vertikal antara lain, tujuan dilakukannya pembatasan perdagangan secara vertikal tersebut adalah untuk menghindari persaingan yang terjadi antara sesama retailer dalam merek dalam satu produsen yang akan mengakibatkan kematian pada produsen itu sendiri dan bahkan akhirya kehancuran pada masing-masing pihak retailer itu sendiri.


(3)

B. Saran

Melalui pembahasan yang sudah dikaji dalam menjawab rumusan masalah yang telah tertulis sebelumnya, maka dapat di ambil beberapa saran sebagai berikut:

1. Perlu untuk ditetapkannya suatu batasan-batasan yang lebih jelas dan rinci untuk setiap peraturan-peraturan yang mengarah kepada pendekatan rule of reason khususnya pada hal pembatasan perdagangan secara vertikal. Sehingga para pelaku usaha dapat lebih berani bertindak dan tidak merasa melanggar aturan yang ada.

2. Diharapkan agar KPPU dapat mengawasi dengan ketat tindakan penetapan harga jual kembali yang dilakukan oleh pihak produsen kepada retailer agar tetap dalam tujuan untuk menghindari persaingan intrabrand.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

A.Marzuki, Kamaluddin. Terjemah Fiqh Sunnah Jilid 12. Bandung: Al-Ma’arif,1987.

Aziz, Dahlan Abgul. Ensiklopedi Hukum Islam Jilid 2. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Houve, 1997.

Barkatulah, Abdul Halim. Hukum Perlindungan Konsumen (Kajian Teoretis dan Perkembangan Pemikiran). Bandung: Nusa Media, 2008.

Carl dkk, Kaysen. Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Jakarta: Pascasarjana, 2003.

dkk, Adijaya Yusuf. Topik-Topik Mata Kuliah Hukum Ekonomi dan Kurikulum. Jakarta: Elips, 1998.

Gilarso. Pengantar Ilmu Ekonomi Bagian Mikro Jilid 2. Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Hartono, Sri Rejeki. Kamus Hukum Ekonomi. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010. Hermansyah. Pokok – Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2008.

H.S, Salim. Hukum Kontrak; Teori dan Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika, 2003.

Kadariah. Teori Ekonomi Mikro. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1994.

Kansil, C.S.T. Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 1994.

K.Lubis, Suhrawardi. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2000.

Nasution, A.Z. Hukum Perlindungan Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit Media, 2001.


(5)

Rokan, Mustafa Kamal. Hukum Persaingan Usaha. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.

Sari, Elsi Kartika. Hukum Dalam Ekonomi. Jakarta: Cikal Sakti, 2007.

Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia Edisi Revisi 2006. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2006.

Sirait, Ningrum Natasya. Hukum Persaingan di Indonesia. Medan: Pustaka Bangsa Press. Medan, 2004.

Sirait, Ningrum Natasya. Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat. Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003.

Siswanto, Arie. Hukum Persaingan Usaha. Bogor Selatan: Ghalia Indonesia, 2002.

Soemitro, Rochmat. Pengantar Ekonomi dan Ekonomi Pancasila. Bandung: PT. Eresco, 1992.

Subekti, R. Aneka Perjanjian. Bandung: PT Citra Aditya Bakti,1995

Suhasril, dkk. Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.

Usman, Rachmadi. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Widjaja dkk, Gunawan. Jual Beli. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.


(6)

Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 5 Tahun 2011tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 8 (Penetapan Harga Jual Kembali) UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

C. Jurnal

S.Pakpahan, Normin. The Indonesian New Intiative Competition Policy and Law. Jurnal Hukum Bisnis Vo.4 Tahun 1998.

D. Pidato

Ma’arif, Syamsul. Perjanjian Penetapan Harga Dalam Prespektif UU No.5

Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Proceedings Rangkaian Lokakarya Terbuka Hukum Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya. UU No.5 Tahun 1999 dan KPPU. E. Website

https://dansite.wordpress.com/2009/03/24/definisi-pasar-market(diakses tanggal 14 April 2015).

http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/604/jbptunikomppgdl-ristagemam-30183-9-unikom_r-i.pdf (diakses pada tgl 18 Juni 2015).

http://id.wikipedia.org/wiki/perdagangan (diakses 16 April 2015).

https://id.wikipedia.org/wiki/Agen_tunggal_pemegang_merek (diakses tanggL 23 Juni 2015).

https://id.wikipedia.org/wiki/Dealer (diakses tanggal 23 Juni 2015).

http://stefanikristina.blogspot.com/2014/06/pengertian-pasar-menurut-para-ahli.html (diakses tanggal 14 April 2015).

http://otomotif.kompas.com/read/2015/05/27 (diakses tanggal 23 Juni 2015). http://www.kppu.go.id/id/wp-content/uploads/2012/02/Edisi-31.pdf (diakses