Rehabilitasi terhadap Pecandu Narkotika Ditinjau dari Sudut Tujuan Pemidanaan Perkembangan Teori Pemidanaan

sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, danatau diancam untuk menggunakan narkotika. 75 Ketentuan mengenai kewenangan hakim yang menangani perkara pecandu narkotika untuk dapat menjatuhkan vonis rehabilitasi tersebut, di dalam Undang- Undang yang baru ini, menyandingkan dalam pasal yang sama dengan ketentuan mengenai sanksi pidananya. Dengan kata lain, diharapkan agar hakim yang menangani perkara pecandu narkotika dapat sedemikian mungkin untuk lebih condong memilih sanksi tindakan berupa rehabilitasi terhadap pecandu narkotika. Sebab di dalam ketentuan mengenai sanksi pidana terhadap penyalahgunaan narkotika sekalipun, di dalam ayat berikutnya masih di dalam pasal yang sama, memberikan kewajiban kepada hakim untuk lagi-lagi memperhatikan ketentuan mengenai kewenangannya untuk menjatuhkan vonis rehabilitasi. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa telah ada upaya penanggulangan masalah penyalahgunaan narkotika yang dilakukan dengan adanya kebijakan kriminal dalam formulasi ketentuan undang-undang tersebut dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional.

2. Rehabilitasi terhadap Pecandu Narkotika Ditinjau dari Sudut Tujuan Pemidanaan

Suatu pidana dianggap efektif atau tidak dapat terlihat jika gunakan dalam sebuah sistem pemidanaan dan harus dilihat sampai seberapa jauh “alat” yang berupa 75 Penjelasan Pasal 54 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009. Universitas Sumatera Utara pidana itu dapat memenuhi tujuan pemidanaan yang telah ditentukan. Dengan kata lain, harus dilihat apakah pidana itu dapat mencapai sasaran yang diinginkan. Relevansi antara sanksi tindakan rehabilitasi dengan pembaharuan hukum pidana nasional dapat dilihat dari seberapa jauh rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dapat memenuhi tujuan pemidanaan yang ditetapkan. Dalam konteks ini sanksi tindakan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika akan dilihat secara khusus dengan tujuan pemidanaan yang ditetapkan dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia. 76 Tujuan pemidanaan dalam hukum pidana di Indonesia belum ditetapkan secara formal dalam undang-undang masih dalam bentuk rancangan, oleh karena itu maka yang akan dipakai sebagai tolak ukur dan dasar pembenar dalam melihat relevansi tindakan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dengan tujuan pemidanaan lebih bersifat teoritis. Tindakan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika juga akan dilihat dari tujuan pemidanaan yang diterapkan dalam Rancangan KUHP Baru sebagai pembaharuan hukum pidana Indonesia. Agar dapat memenuhi kebutuhan tersebut, di bawah ini akan disajikan teori- teori yang berkaitan dengan masalah pidana dan pemidanaan, termasuk di dalamnya masalah tujuan pemidanaan untuk selanjutnya akan dianalisa terhadap relevansi tindakan rehabilitasi terhadap pengguna narkotika dengan tujuan pemidanaan yang akan difokuskan kepada kesesuaian tindakan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dengan tujuan yang bersifat umum. 76 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkataullah, op. cit., hlm. 84-85. Universitas Sumatera Utara

1. Perkembangan Teori Pemidanaan

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh kalangan ahli, tersimpul adanya pandangan, bahwa perkembangan teori pemidanaan cenderung mengalami pergeseran paradigma. Teori pemidanaan yang pada awalnya mempunyai paradigma “pembalasan” bergeser ke arah paradigma “membina”. 77 Bergesernya paradigma dalam pemidanaan ini dipahami oleh karena adanya perkembangan masyarakat. Dalam konteks ini dinamika masyarakat selalu berkembang ke arah yang lebih baik dan beradab. Oleh karenanya hukum pidana sebagai norma yang juga berlaku dalam masyarakat juga mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan masyarakat tersebut. 78 Untuk lebih memahami pergeseran paradigma pemidanaan yang terjadi, maka di bawah ini akan disajikan terlebih dahulu berbagai aliran yang berkembang dalam hukum pidana yang melatarbelakangi adanya pergeseran tersebut.

a. Aliran Klasik

Aliran ini lahir pada sekitar abad ke-18. Aliran klasik merupakan aliran yang sangat kental bernuansa legisme, sebab aliran hukum pidana ini berkembang pada saat aliran legisme menjadi paradigm di kalangan masyarakat. Dilihat dari sejarahnya, aliran klasik merupakan respon terhadap adanya kesewenang-wenangan penguasa yang terjadi di Prancis dan Inggris pada abad ke-18. 77 Tongat, op. cit., hlm. 31-32. 78 Lihat antara lain: Jimly Asshidiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, op. cit., hlm. 160., Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, hlm. 16, Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia. Universitas Sumatera Utara Sebagai respon terhadap kesewang-wenangan penguasa aliran ini mnghendaki agar setiap orang dapat memperoleh kepastian secara hukum, khususnya dalam hukum pidana. Karenanya hukum pidana harus dikembangkan sebagai norma tertulis yang sistematis. Sesuai dengan paradigma yang melarbelakangi yaitu aliran legisme, aliran klasik menghendaki adanya pidana yang seimbang. Pidana harus dijatuhkan sesuai dengn tindakan pidana yang dilakukan. Dalam konteks pemidanaan rumusan yang pasti juga diberlakukan. Dalam aliran klasik pidana yang dirumuskan dalam undang-undang bersifat pasti. Pidana harus sesuai dengan yang dirumuskan dalam undang-undang. Artinya bobot pidana sudah ditentukan dalam undang-undang dan hakim tidak mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan pidana lain selain yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dengan paradigma tersebut yang dikatakan, bahwa aliran klasik merupakan aliran dalam hukum pidana yang berorientasi ke belakang yaitu hanya berorientasi kepada perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku. Karenanya hukum pidana yang berkembang saat ini sering dikenal sebagai hukum pidana yang hanya berorientasi pada pelaku daad strafrecht. Beberapa tokoh yang sangat populer yang menjadi pelopor aliran ini antara lain Cesare Beccaria yang lahir di Itali pada tanggal 15 Maret 1738. Karya monumental Beccaria yang sangat terkenal adalah Dei dellite e delle pene 1764 yang kemudian diterbitkan pertama di Inggris tahun 1767 dengan judul On Crime and Punishment. Universitas Sumatera Utara Melalui karya monumentalnya itu Beccaria memberikan sumbangan pemikiran yang sangat besar dalam aliran klasik. Melalui pemikiran Beccaria lahirlah doktrin “pidana harus dengan kejahatan”. Dalam banyak versi pemikiran Beccaria ini kemudian dipahami sebagai dasar dari lahirnya aliran klasik dalam hukum pidana. Tokoh lain dalam aliran klasik adalah Jeremy Bentham, seorang filosof Inggris. Tokoh yang diklsifikasikan sebagai penganut utilitarians hedonist ini terkenal dengan teorinya yaitu fecific calculus. Dalam teori yang dibangunnya ini Bentham mengemukakan bahwa manusia merupakan mahluk rasional yang akan memilih secara sadar kesenangan dengan menghindari adanya kesusahan. Bertolak dari falsafah pemikiran yang demikian itu Bentham mengemukakan pikirannya untuk membangun hukum pidana. Menurut Bentham, pidana harus dijatuhkan sedemikian rupa sehingga setiap kejahatan harus dibayar dengan kesusahan yang lebih dari kesenangan yang dapat dinikmati dari hasil itu. Pemikiran Bentham tersebut merupakan sumber yang akan memberikan dasar pemikiran pada aliran klasik, bahwa pidana harus dijatuhkan sesuai dengan kejahatannya. Pemikirannya sebenarnya sama dengan pemikiran yang dikemukakan oleh Beccaria. Aliran klasik ini terutama menghendaki hukum pidana yang tersusun sistematis dan menitikberatkan kepada kepastian hukum. Dengan pandangannya yang tersusun sistematis dan menitikberatkan kepada kepastian hukum. Dengan pandangannya yang indeterminister mengenai kebebasan kehendak manusia aliran ini menitikberatkan kepada perbuatan dan tidak kepada orang yang melakukan tindak Universitas Sumatera Utara pidana. Perumusan undang-undang dan perbuatan yang melawan hukum merupakan titik sentral yang menjadi perhatian dari hukum pidana. 79 Maka perbuatan diartikan secara abstrak dan dilihat secara yuridis belaka terlepas dari orang yang melakukannya. Kalau pada masa permulaan timbulnya aliran klasik ini pembentuk undang-undang ketat sekali dalam menentukan sanksi pidana, dalam arti bahwa hakim sama sekali tidak mempunyai kebebasan untuk menetapkan sendiri jenis pidananya dan ukuran pemidanaannya. 80

b. Aliran Neo Klasik

Aliran neo klasik adalah aliran yang muncul sebagai reaksi atas aliran klasik. Sebagai reaksi aliran klasik, aliran ini pada dasarnya juga berasal dari aliran klasik. Sebagaimana aliran klasik, aliran neo klasik juga bertolak dari paham kebebasan kehendak atau pandangan indeterminisme. Sekalipun demikian aliran ini berusaha memberikan koreksi terhadap aliran klasik yang dianggap kurang manusiawi. 81 Kritik aliran neo klasik terhadap pendahulunya ini terlihat pada pandangannya terhadap pidana yang dijatuhkan oleh aliran klasik. Menurut aliran neo klasik, pidana yang dijatuhkandihasilkan oleh aliran klasik sangat berat dan merusak semangat kemanusiaan yang sedang berkembang saat itu. Aliran neo klasik mencoba menawarkan sistem pidana yang lebih manusiawi dalam upayanya mengatasi sistem pemidanaan yang berlaku pada saat itu. Untuk 79 Djoko Prakoso, Masalah Pemberian Pidana dalam Teori dan Praktek Peradilan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984, hlm. 35. 80 Ibid., hlm. 36. 81 Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: PT. Alumni, 2005, hlm. 30. Universitas Sumatera Utara kebutuhan tersebut aliran neo klasik merumuskan pidana dengan sistem pidana minimum dan maksimum. Selain adanya sistem minimum dan maksimum dalam pemidanaan, aliran ini juga mengakui adanya asas-asas tentang keadaan yang meringankan. Tampak disini bahwa aliran neo klasik mulai mempertimbangkan hal-hal yang bersifat individual dalam kaitannya dengan penjatuhan pidana. Artinya pemidanaan tidak saja dijatuhkan berdasarkan pada perbuatan, tetapi juga berdasarkan pada perbuatan, tetapi juga berdasarkan pada pertimbangan individu pelaku tindak pidana. Satu hal yang sangat tampak dari adanya pergeseran pandangan antara lain aliran klasik dan neo klasik dalam hal ini adalah ditinggalkannya sistem perumusan pidana secara tidak pasti. Sebagai gantinya dikemukakan sistem pidana yang dirumuskan secara pasti.

c. Aliran Modern

Perjalanan aliran klasik dalam wacana hukum pidana ternyata kemudian memperoleh respon dari berbagai tokoh yang tidak sejalan dengan paradigm aliran klasik. Muncul kemudian beberapa tokoh yang mencoba memperbaiki kelemahan aliran klasik dengan paradigma baru. Beberapa tokoh tersebut antara lain Lombroso, Lacassagne, Ferri, Von List dan lain-lain. Menurut para tokoh ini, dengan paradigma klasik hukum pidana terasa tidak adil. Penjatuhan pidana yang hanya berorientasi pada masalah perbuatan Universitas Sumatera Utara dianggap tidak dapat memberikan keadilan. 82 Dalam konteks tersebut para penganut aliran modern mengemukakan pemikiran agar penjatuhan pidana tidak didasarkan pada pelaku tindak pidana dader strafrecht. Aliran modern ini juga disebut sebagai aliran positif, oleh karena di dalam mencari sebab kejahatan didasarkan pada ilmu alam. Selain itu aliran ini bermaksud mendekati para pelaku kejahatan secara positif, artinya mempengaruhi para pelaku kejahatan kea rah yang lebih positif sepanjang masih dimungkinkan. Dengan paradigma yang demikian itu, aliran ini sering dianggap sebagai aliran yang berorientasi ke depan. Aliran modern juga menolak pandangan bahwa pidana harus dijatuhkan sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Penolakan ini didasarkan pada pemahaman aliran modern bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan kehendak. Dengan demikian pertanggungjawaban pidana yang didasarkan pada kesalahan subyektif pelaku harus duganti dengan sifat berbahaya pelaku kejahatan. Kalaupun digunakan istilah pidana, maka pidana yang dijatuhkan harus didasarkan serta berorientasi pada sifat-sifat pelaku itu sendiri. Setelah perang dunia II aliran modern berubah menjadi alirangerakan perlindungan masyarakat. Setelah pada tahun 1949 diadakan The Social Defence Conggress, Aliran Perlindungan Masyarakat pecah menjadi dua konsepsi, yaitu konsepsi radikal dengan tokohnya Filipo Gramatica dan aliran moderat dengan tokohnya Marc Ancel. 83 82 Barda Nawawi Arief, op., cit., hlm. 32-33. 83 Ibid., hlm. 35. Universitas Sumatera Utara Konsepsi radikal dengan tokohnya Gramatika menghendaki agar hukum perlindungan masyarakat harus menggantikan hukum pidana. Konsepsi radikal tidak menghendaki adanya hukum pidana. Tujuan utama hukum perlindugan masyarakat adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya pertanggungjawaban pidana kesalahan dan digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial. Dengan demikian, Gramatika secara prinsipil menolak konsepsi-konsepsi mengenai tindak pidana, penjahat dan pidana. 84 Marc Ancel dengan konsepsi yang moderat menghendaki agar ide-ide atau konsepsi-konsepsi perlindungan masyarakat diintegrasikan ke dalam konsepsi baru hukum. Pidana. Marc Ancel dengan gerakannya defense sociale nouvelle New Social Defence menghendaki agar munculnya ide-ide perlindungan masyarakat tersebut tidak menghapus hukum pidana. Menurutnya, konsepsi perlindungan masyarakat tersebut terintegrasi ke dalam hukum pidana, sehingga akan tercipta konsep baru hukum pidana tanpa menghilangkan esensi hukum pidananya. 85 Secara konseptual, gagasan-gagasan atau ide yang dikemukakan oleh gerakan perlindungan masyarakat baru adalah: 1. Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana. Bertolak dari konsep tersebut, maka sistem hukum pidana, tindak pidana, penilaian hakim terhadap pelaku serta pidana 84 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, 1985, hlm. 39. 85 Ibid. Universitas Sumatera Utara merupakan institusi yang harus dipertahankan. Akan tetapi sekalipun demikian harus menjadi catatan bahwa penggunaan atas semua itu tidak dilakukan dengan fiksi-fiksi dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial; 2. Kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial yang tidak begitu saja dipaksakan ke dalam perundangan; 3. Kebijakan pidana bertolak dari konsepsi pertanggungjawaban yang bersifat pribadi yang menjadi kekuatan penggerak utama dan proses penyesuaian sosial. Pertanggungjawaban pribadi ini menekankan pada kewajiban moral individu ke arah timbulnya moralitas sosial. Setelah diketahui adanya tiga aliran dalam hukum pidana di atas, berikut ini akan dilihat pergeseran yang terjadi dalam pemidanaan itu sendiri. menurut helbert L. Packer 86 dalam pergulatan teoritis mengenai pemidanaan muncul dua pandangan konseptual yang masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda antara satu dengan yang lain. Dua pandangan tersebut adalah retributif dan pandangan utilitarian. Secara umum penjelasan atas kedua tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Pandangan Utilitarian 86 Jimly Asshaddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi tentang Bentuk-Bentuk Pidana dalam Tradisi Hukum Fiqh dan Relevansinya bagi Usaha Pembaharuan KUHP Nasional, op. cit., hlm. 64. Universitas Sumatera Utara Pandangan utilitarian merupakan pandangan yang menyatakan bahwa pidana mempunyai tujuan positif lebih lanjut. 87 Hal yang sama juga dikemukakan oleh Rupert Cross 88 dalam pandangangannya perkembangan teori pemidanaan terletak pada dasar teori kemanfaatan agar berfaedah utilitarian dan teori pembalasan retributif. Lebih lanjut dikatakan titik pusat perhatian teori kemanfaatan ditujukan kepada usaha pencegahan kejahatan pada masa yang akan datang yang terdiri dari tiga macam bagian yaitu: “prevention, deterrence, and longtermdeterence, and reform”. Sedangakan titik pusat perhatian teori pembalasan ditujukan kepada kewajiban untuk memenuhi imbalan dari perbuatan yang telah dilakukan oleh penjahat yang bersangkutan, dan terdiri dari tiga macam bagian, yaitu “vindication, fairness and proportionality”. Pandangan utilitarian justru melihat dari kemanfaatan atau kegunaan dari pidana itu sendiri. Dalam pandangan utilitarian, pidana dijatuhkan karena adanya keyakinan, adanya kemanfaatan dari pidana itu. Pidana dijatuhkan bukan untuk sekedar pembalasan tetapi untuk manfaat lebih lanjut. Pidana dijatuhkan dalam rangka tujuan tertentu. Dengan demikian yang terpenting dari proses penjatuhan pidana bukanlah pidana itu sendiri tapi sesuatau yang ingin dihasilkan dengan adanya pemidanaan itu. Menurut pandangan utilitarian, pemidanaan paling tidak harus memberi manfaat yang bersifat umum maupun prevensi yang bersifat khusus. Dengan pandangan yang demikian itu, maka menurut utilitarian, penjatuhan pidana itu 87 Muladi, op. cit., hlm. 48. 88 Bambang Purnomo, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Kemasarakatan, Yogyakarta: Liberty, 1985, hlm. 57. Universitas Sumatera Utara dimaksud untuk memperbaharui sikap dan perilaku pelaku tindak pidana agar tidak melakukan tindak pidananya prevensi khusus. Selain itu pidana juga dimaksudkan agar orang lain tercegah dari kemungkinan untuk melakukan tindak pidana prevensi umum. b. Pandangan Retributif Pandangan retributif pidana itu merupakan ganjaran yang harus diterima oleh orang yang melakukan perilaku menyimpang dalam masyarakat. Pandangan retributive ini bertolak dari paham determinis yang beranggapan, bahwa setiap orang bebas mempunyai kehendak dan melakukan perbuatan sesuai dengan kehendaknya. Dengan pemahaman seperti itu, maka pandangan retributive beranggapan bahwa setiap orang juga harus dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Perbuatan yang dilakukan oleh orang dilihat sebagai pilihan-pilihan moral yang harus dipertanggungjawabkan. Pandangan retributif memusatkan perhatiannya pada masalah perbuatan jahat yang telah dilakukannya. Dalam konteks ini “pidana” menjadi “retribusi” yang adil bagi kerugian yang ditimbulkannya. Berdasarkan alasan tersebut maka pidana memperoleh pembenaran secara moral. Dengan demikian, alsan rasional dilakukannya pemidanaan terletak pada asumsi dasarnya bahwa pidana itu merupakan imbalan negatif terhadap tanggungjawab akan kesalahan. Di luar dua pandangan tersebut di atas, berkaitan dengan paradigma pemidanaan juga muncul paradigma yang bersifat integratif. Pandangan ini mengakumulasikan dua pandanga di atas ke dalam satu pemahaman. Menurut paradigma integratif, pidana tidak hanya mempunyai tujuan untuk pembalasan Universitas Sumatera Utara sebagaimana konsep yang dikemukakan oleh pandangan retributif. Namun demikian juga tidak semata-mata diorientasikan pada perbaikan pelaku yang bersifat ke depan mengabaikan perbuatannya. Pandangan integratif mengemukakan, bahwa pidana mempunyai tujuan sifat plural. Di satu sisi pidana juga dimaksudkan untuk pembalasan, tetapi di sisi yang lain pidana juga dapat bertujuan prevensi. Sebagai pembalasan, pidana yang dijatuhkan itu harus seimbang dengan perbuatannya. Pidana tidak boleh dijatuhkan dengan melebihi ganjaran yang semestinya dijatuhkan. Untuk lebih memperjelas pemahaman terhadap berbagai paradigma pemidanaan tersebut di atas, berikut ini akan dikemukakan prinsip-prinsip dasar yang dikemukakan oleh berbagai teori tentang tujuan pemidanaan. a. Teori AbsolutRetributif Sesuai dengan namanya “absolut”, teori ini bertolak dari suatu pemahaman bahwa setiap manusia mempunyai tanggung jawab secara absolut terhadap apa yang dilakukannya. Setiap individu manusia bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. 89 dalam wacana hukum pidana teori ini dikenal sebagi teori yang paling klasik tentang pemidanaan. Secara teoritis teori ini merupakan teori balas dendam. Menurut pandangan teori absolut, setiap orang yang melakukan tindak pidana mutlak harus dipidana dan pidana yang dijatuhkan juga harus setimpal dengan 89 Jimmly Asshiddiqie, op. cit., hlm. 167. Universitas Sumatera Utara perbuatannya. Semboyan yang sangat popular pada masa perkembangannya teori ini adalah darah bayar darah, nyawa bayar nyawa. 90 b. Teori Utilitarians Teori ini pada hakikatnya merupakan reaksi terhadap teori retribusi yang dianggap sangat klasik. Sistem pidana dan pemidanaan dalam teori retribusi yang dianggap tidak manusiawi menjadi inspirasi untuk terjadinya pergeseran paradigma dalam pemidanaan. Belajar dari teori retribusi yang cenderung hanya berorientasi pada perbuatan, teori utilitarian justru bertolak dari konsepsi punishment sebagai cara untuk mencegah dan mengurangi kejahatan. 91 Menurut perspektif utilitarian, pemidanaan sebagai tindakan yang menyebabkan derita bagi terpidana, hanya dianggap sah apabila dapat dibuktikan, bahwa dengan dijatuhkan pidana atau penderitaan itu menimbulkan akibat yang lebih baik daripada apabila tidak dijatuhi pidana, khususnya dalam rangka menimbulkan efek pencegahan bagi yang terlibat. Dengan demikian dalam hal itu pada dasarnya ingin dilihat, apakah pidana yang dijatuhkan itu mempunyai kekuatan untuk mencegah orang yang melakukan tindak pidana tersebut untuk tidak melakukan lagi. Patut kiranya dikemukakan, bahwa sifat pencegahan dalam perspektif kaum utilitarian berbeda dengan perspektif kaum behaviorist. Dalam perspektif utilitarian, sifat pencegahan ini lebih dikaitkan dengan tindakan-tindakan yang bersifat menakuti 90 S. R. Sianturi dan Mompang L. Panggabean, Hukum Penetensia Indonesia, Jak., hlm. 23. 91 Jimmly Asshiddiqie, op. cit., hlm. 168. Universitas Sumatera Utara seperti dengan ancaman sehingga orang menjadi takut untuk melakukan pelanggaran. Menurut Packer, di dalam pandangan utilitarian prevention terdapat dua macam pandangan yang harus dibedakan, yaitu after the fact inhibition dan inhibition in advance. Karena itu teori deterrence ini dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu: 92 1. Deterrence theory, yang efek pencegahannya diharapkan timbul sebelum pidana dilakukan, misalnya melalui ancaman. Ini biasa disebut dengan “general deterence” yang harus dibedakan dengan teori deterence yang bersifat khusus special deterence. Selain itu, sebagaimana diterangkan di atas, karena adanya dua unsure yang harus dipisahkan, maka teori deterence ini juga dibedakan ke dalam dua macam, yaitu teori “special deterence” pencegahan khusus dan teori “general deterence” pencegahan umum. Dalam pencegahan khusus ini efek pencegahan dari pidana yang dijatuhkan diharapkan terjadi setelah pemidanaan dilakukan. Efek ini dimaksudkan agar si terpidana tidak lagi mengulangi perbuatannya. Sementara dalam teori “general deterence” pencegahan umum, efek pencegahan dari pidana yang dijatuhkan terjadi sebelum pemidanaan dilakukan. Pencegahan ini dilakukan dengan ancaman-ancaman yang dimaksudkan agar orang lain terhindar dari kemungkinan untuk melakukan tindak pidana serupa. 2. Intimidation theory, yang menyatakan bahwa pemidanaan merupakan sarana untuk mengintimidasi mental si terpidana. Dalam perspektif teori ini, 92 Jimmly Asshiddiqie, op. cit., hlm. 169-190. Universitas Sumatera Utara c. Pandangan Behavioral Prevention Berbeda dengan pandangan behavioral klasik, yang cenderung sangat idealis di dalam melihat tujuan pemidanaan, pandangan behavioral prevention ini merupakan pandangan yang bertitik tolak dari pertimbangan individu terpidana sendiri di dalam penjatuhan pidana. Karenanya pandangan yang ketiga ini dianggap lebih sederhana. Pandangan ini memunculkan dua pemahaman teori dalam pemidanaan, yaitu incapacity theori dan rehabilitation theory. Dalam teori incapacity, pidana dijatuhkan agar terpidana tidak berada lagi dalam “kapasitas” sebagai orang yang bebas melakukan kejahatan. Sementara menurut teori rehabilitasi, pemidanaan dijatuhkan agar proses pembinaan dapat dilakukan dengan mudah. Rehabilitasi dimaksudkan agar terpidana dapat merubah kepribadiannya, sehingga tidak lagi mempunyai kepribadian yang jahat tetapi menjadi orang yang baik.

2. Rehabilitasi terhadap Pecandu Narkotika dan Relevansinya dengan Tujuan Pemidanaan