BAB III FILOSOFI TUJUAN REHABILITASI TERHADAP PECANDU
NARKOTIKA DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA NASIONAL
A. Relevansi Rehabilitasi terhadap Pecandu Narkotika dengan Pembaharuan Hukum Pidana Nasional
Berdasarkan kerangka yang lebih luas, pembaharuan hukum pidana penal reform pada dasarnya merupakan bagian dari kebijakanpolitik kriminal. Oleh karena
itu sangat urgen kiranya untuk dipertanyakan, sejauhmana rehabilitasi terhadap pecandu narkotika sebagai hasil “reorientasi” dan “reformasi” dalam hukum pidana
mempunyai relevansi dengan kebijakan kriminal.
1. Rehabilitasi terhadap Pecandu Narkotika Ditinjau dari Sudut Kebijakan Kriminal
Sebelum membahas bagaimana rehabilitasi terhadap pecandu narkotika ditinjau dari sudut pandang kebijakan kriminal, terlebih dahulu dibahas mengenai
pengertian dari kebijakan kriminal itu sendiri. Berkaitan dengan pengertian kebijakan kriminal, Sudarto mengemukakan
tiga arti kebijakan kriminal, yaitu:
70
a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari
reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana;
70
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung; Alumni, 1986, hlm. 133.
Universitas Sumatera Utara
b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,
termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; c.
Dalam arti paling luas, ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk
menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
Untuk melihat sejauhmana tindakan rehabilitasi mempunyai relevansi dengan kebijakan kriminal pada umumnya akan dilihat apakah tindakan rehabilitasi
dapat menunjang kebijakan penanggulangan kejahatan. Penegasan ini perlu dikemukakan oleh karena kebijakan kriminal pada hakikatnya merupakan “suatu
usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan”. Pada tataran yang paling mendasar keterkaitan antara tindakan rehabilitasi
terhadap pecandu narkotika dengan kebijakan kriminal ini perlu dipahami oleh karena pembaharuan hukum pidana yang di dalamnya memuat upaya untuk melakukan
“reorientasi” dan “reformasi” terhadap sanksi tindakan haruslah merupakan upaya penanggulangan kejahatan penyalahgunaan narkotika yang bersifat terpadu. Artinya
tindakan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika ini tidak hanya perlu dilihat dari perspektif pembaharuan hukum pidana saja, tetapi harus dilihat dari perspektif yang
lebih luas, termasuk harus dilihat dalam perspektif kebijakan kriminal, oleh karena pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan kriminal.
71
Penanggulangan kejahatan dengan sarana hukum pidana pada akhirnya akan bermuara pada masalah pilihan terhadap sanksi apa yang dapat didayagunakan secara
efektif dalam menanggulangi kejahatan, dan dalam hal ini berkaitan dengan pilihan
71
Lihat Tongat, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional , hlm. 29, dikaitkan dengan Pertimbangan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2009 dan
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04 Tahun 2010.
Universitas Sumatera Utara
sanksi yang paling tepat untuk masalah pecandu narkotika.
72
Oleh karena pilihan terhadap sanksi tindakan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika ini pada dasarnya
merupakan kebijakan hukum pidana, yaitu kebijakan untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan hukum pidana.
Kebijakan kriminal yang dilakukan sebagai upaya untuk menanggulangi masalah penyalahgunaan narkotika dalam rangka pembaharuan hukum pidana
nasional, diterapkan dalam bentuk pemberlakuan ketentuan-ketentuan yang dikemas dalam bentuk undang-undang dan juga surat edaran mahkamah agung yang pada
pokoknya mengupayakan agar hakim dalam menangani perkara pecandu narkotika untuk lebih condong menggunakan sanksi tindakan daripada sanksi pidana penjara
dalam menjatuhkan vonis.
73
Undang-Undang Nomor. 35 Tahun 2009 lebih memperluas lagi kemungkinan atapun peluang bagi pecandu narkotika untuk mendapatkan kesempatan
menjalani proses pengobatan danatau perawatan melalui fasilitas rehabilitasi yang pelaksanaannya ditentukan oleh undang-undang pula. Hal ini dapat dilihat dari
dengan adanya ketentuan mengenai kewenangan hakim yang menangani perkara pecandu narkotika untuk menjatuhkan vonis rehabilitasi dan dengan adanya ketentuan
mengenai korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi.
74
Yang dimaksud dengan korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang tidak
72
Ibid., hlm. 30.
73
Ibid.
74
Lihat Pasal 54, 103 dan Pasal 127 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009.
Universitas Sumatera Utara
sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, danatau diancam untuk menggunakan narkotika.
75
Ketentuan mengenai kewenangan hakim yang menangani perkara pecandu narkotika untuk dapat menjatuhkan vonis rehabilitasi tersebut, di dalam Undang-
Undang yang baru ini, menyandingkan dalam pasal yang sama dengan ketentuan mengenai sanksi pidananya. Dengan kata lain, diharapkan agar hakim yang
menangani perkara pecandu narkotika dapat sedemikian mungkin untuk lebih condong memilih sanksi tindakan berupa rehabilitasi terhadap pecandu narkotika.
Sebab di dalam ketentuan mengenai sanksi pidana terhadap penyalahgunaan narkotika sekalipun, di dalam ayat berikutnya masih di dalam pasal yang sama,
memberikan kewajiban kepada hakim untuk lagi-lagi memperhatikan ketentuan mengenai kewenangannya untuk menjatuhkan vonis rehabilitasi.
Hal tersebut merupakan indikasi bahwa telah ada upaya penanggulangan masalah penyalahgunaan narkotika yang dilakukan dengan adanya kebijakan kriminal
dalam formulasi ketentuan undang-undang tersebut dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional.
2. Rehabilitasi terhadap Pecandu Narkotika Ditinjau dari Sudut Tujuan Pemidanaan