BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dalam bab ini akan diuraikan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Ketentuan hukum yang mengatur mengenai vonis rehabilitasi terhadap
pecandu narkotika diatur dalam: a.
Pasal 45 dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
b. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor. 07 Tahun 2009 tentang
Menempatkan Pemakai Narkoba ke dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi;
c. Pasal 54, 55, 103 dan terkait dengan Pasal 127 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika; d.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu
Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial
Perbedaan mendasar dari ketentuan tentang vonis rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dari undang-undang narkotika lama yakni Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1997 dengan Undang-Undang yang baru yakni Undang-
Universitas Sumatera Utara
Undang Nomor 35 Tahun 2009 adalah dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, ketentuan mengenai vonis rehabilitasi terhadap pecandu
narkotika dibuat sedemikian rupa sehingga memperbesar peluang untuk dijatuhkan vonis rehabilitasi daripada vonis pidana penjara. Hal ini
disebabkan oleh karena dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 ini, di dalam ketentuan mengenai sanksi pidana terhadap penyalahgunaan narkotika,
di dalam ayat berikutnya namun masih di dalam pasal yang sama, untuk menerapkan ketentuan pidana terhadap penyalahgunaan narkotika, hakim
yang menangani perkara pecandu narkotika kembali diwajibkan untuk memperhatikan ketentuan pasal mengenai vonis rehabilitasi. Selain itu, dalam
undang-undang ini juga telah dikenal istilah “korban penyalahgunaan narkotika”.
2. Relevansi rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dengan pembaharuan
hukum pidana nasional adalah dengan adanya kebijakan kriminal yang direalisasikan ke dalam bentuk semakin diperbaharuinya ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai rehabilitasi terhadap pecandu narkotika ini, yang memberikan peluang lebih besar bagi pecandu narkotika
untuk direhabilitasi adalah merupakan bahagian dari upaya penanggulangan kejahatan penyalahgunaan narkotika, agar kelak mereka tidak terjerumus ke
dalam lembah hitam yang sama. Hal ini merupakan bahagian dari pembaharuan hukum pidana nasional. Filosofi tujuan rehabilitasi terhadap
Universitas Sumatera Utara
pecandu narkotika adalah sesuai dengan paradigma behavioral prevention dan Perspektif Eksistensialisme.
“Masa menjalani rehabilitasi diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman”. Konsep pemikiran ini awalnya dikemukakan oleh filusuf Albert
Camus, yang menganjurkan pemidanaan yang bersifat rehabilitasi. Sebagai penganut paham eksistensialisme, Camus tidak sependapat untuk
menjatuhkan pidana yang berat terhadap pelaku tindak pidana, dengan alasan manusia tidak mempunyai kebebasan kehendak tetapi dipengaruhi oleh watak
dan lingkungan, sehingga ia tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan untuk dipidana. Kalaupun harus dilakukan
pemidanaan, maka harus tetap diorientasikan pada sifat-sifat si pelaku yang bertujuan untuk merehabilitasinya.
Behavioral prevention merupakan pandangan yang bertitik tolak dari pertimbangan individu terpidana sendiri di dalam penjatuhan pidana.
Pandangan ini memunculkan dua pemahaman teori dalam pemidanaan, yaitu incapacity theori dan rehabilitation theory. Dalam teori incapacity, pidana
dijatuhkan agar terpidana tidak berada lagi dalam “kapasitas” sebagai orang yang bebas melakukan kejahatan. Sementara menurut teori rehabilitasi,
pemidanaan dijatuhkan agar proses pembinaan dapat dilakukan dengan mudah. Rehabilitasi dimaksudkan agar terpidana dapat merubah
kepribadiannya, sehingga tidak lagi mempunyai kepribadian yang jahat tetapi menjadi orang yang baik.
Universitas Sumatera Utara
B. SARAN