Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

kebenarannya secara ilmiah dan terbuka terhadap masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah dalam penelitian ini.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah merupakan suatu prinsip satu ajaran pokok yang dianut untuk mengambil suatu tindakan atau memecahkan suatu masalah. Kamus umum Bahasa Indonesia menyebutkan, bahwa salah satu arti teori ialah : “…. Pendapat, cara-cara dan aturan-aturan untuk melakukan sesuatu”. 14 Dalam sebuah penelitian ilmiah, teori digunakan sebagai landasan berfikir dan mengukur sesuatu berdasarkan variable-variabel yang tersedia. “Teori digunakan sebagai landasan atau alasan mengenai suatu variabel bebas tertentu dimasukan dalam penelitian, karena berdasarkan teori tersebut variable yang bersangkutan memang bisa mempengaruhi variable tak bebas atau merupakan salah satu penyebabnya”. 15 Menurut W.L.N.Neuman, yang pendapatnya dikutip oleh Otje Salman dan Anton F.Susanto, menyebutkan, Bahwa : “Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan 14 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1985, hlm.155. 15 J.Supranto, Metode Penelitian Hukum Dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hlm 192- 193. Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009 mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk berpikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja”. 16 Otje Salman dan Anton F Susanto akhirnya menyimpulkan pengertian teori menurut pendapat dari berbagai ahli, dengan rumusan sebagai berikut : “Teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang disamping mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum”. 17 Teori merupakan generalisasi yang dicapai setelah mengadakan pengujian dan hasilnya menyangkut ruang lingkup dan fakta yang luas. 18 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis si penulis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan problem yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis. 19 Sehingga kerangka teori yang dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis dari para penulis hukum Islam dan hukum perjanjian, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal dalam penulisan tesis ini. Dalam pembahasan pada tesis ini, kerangka teori yang digunakan adalah berdasarkan teori hukum Islam, hukum pembuktian dan hukum perikatan yang mengatur hak dan kewajiban yang timbul sebagai akibat dari perjanjian musyarakah. Jadi kerangka teori yang digunakan adalah berdasarkan asas kesepakatan dalam mengadakan perjanjian. 16 HR. Otje Salaman S dan Anton F Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm 22. 17 Ibid, hlm. 23 18 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986, hlm 126. 19 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, Tahun 1994, hlm. 80 Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009 Sesuai dengan makna dari pada sesuatu kaedah hukum, maka kaedah hukum selalu diartikan sebagai berikut : “Sebagai peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia itu berprilaku, bersikap didalam masyarakat agar kepentingannya dan kepentingan orang lain terlindungi.” 20 Maka dapatlah diketahui maka kaedah hukum yang mengatur tentang pembuktian akta perjanjian musyarakah, adalah merupakan nilai hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 282, yang berbunyi : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah seperti berjual beli, berhutang piutang, atau sewa menyewa tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagiamana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlaknya apa yang akan ditulis itu, dan hendaklah ia bertakwa kepda Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari pada hutangnya. . jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah keadaannya atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang laki-laki diantaramu. Jika tidak ada dua orang laki- laki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatnya. Janganlah saksi-saksi itu enggan memberi keterangan apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguannmu, tulislah mu’amalahmu itu, kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, jika kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan yang demikian, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah 20 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2007, hlm 11. Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009 kepada Allah, Allah mengajarmu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” Sebagai salah satu asas yang ada dalam kaedah hukum perjanjian, maka asas kesepakatan dalam mengadakan perjanjian adalah merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Karena dalam setiap perjanjian harus ada kesepakatan atau persetujuan dari kedua belah pihak yang berjanji, sehingga tidak ada perjanjian kalau kesepakatan dan persetujuan tidak ada. Kesepakatan dalam mengadakan perjanjian ini didasarkan pada Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, yang menyebutkan bahwa : “Semua Perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Lafal akad, berasal dari lafal arab Al-aqad yang berarti perikatan, perjanjian, dan permufaktan al-ittifaq. 21 Secara terminologi fiqih, akad didiefenisikan dengan “perikatan ijab pernyataan melakukan ikatan dan qabul pernyataan penerimaan ikatan sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan”. Kehendak syariat maksudnya adalah bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’. Sedangkan kalimat berpengaruh pada obyek perikatan maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari suatu pihak yang melakukan ijab kepada pihak yang lain yang menyatakan qabul. 21 M. Hasballah Thaib, Op.Cit, hlm 1 Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009 Mustafa ahmad az-zarqa pakar fiqih jordania asal Syiria, menyatakan bahwa tindakan hukum yang dilakukan manusia terdiri atas dua bentuk, yaitu ; 22 1. Tindakan action berupa perbuatan. 2. Tindakan berupa perkataan. Tindakan yang berupa perkataan pun terbagi dua, yaitu yang bersifat akad dan yang tidak bersifat akad. Tindakan berupa perkataan yang bersifat akad terdiri atas dua atau beberapa pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan suatu perjanjian. Sedangkan tindakan berupa perkataan yang tidak bersifat akad terbagi lagi kepada dua macam, yaitu : a. yang mengandung kehendak pemilik untuk menetapkanmelimpahkan hak, membatalkannya, atau menggugurkannya, seperti wakaf, hibah, dan talak. Akad seperti ini tidak memerlukan qabul, sekalipun tindakan hukum seperti ini, menurut sebagian ulama fiqih termasuk aqad. Ulama hanafiah mengatakan bahwa tindakan hukum seperti ini hanya mengingat pihak yang melakukan ijab. b. Yang tidak mengandung kehendak pihak yang menetapkan atau menggugurkan suatu pihak, tetapi perkataannya itu memunculkan suatu tindakan hukum, seperti gugatan yang diajukan kepada hukum dan pengakuan seseorang di depan hakim. Tindakan-tindakan seperti ini berakibat timbulnya 22 Ibid hlm 2 Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009 suatu ikatan secara hukum tetapi sifatnya tidak mengikat. Oleh sebab itu, para ulama fiqih menetapkan bahwa tindakan seperti ini tidak mengikat siapapun. Az-zurqa’ menyatakan bahwa dalam pandangan syara’ suatu akad merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan untuk mengikat diri. 23 Kehendak atau keinginan pihak-pihak yang mengikatkan diri itu sifatnya dalam hati. Oleh sebab itu, untuk menyatakan kehendak masing-masing harus diungkapkan dalam suatu pernyataan. Pernyataan pihak-pihak yang berakad itu disebut ijab dan qabul. Ijab adalah pernyataan pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak, yang mengandung keinginannya secara pasti untuk mengikatkan diri. Sedangkan qabul adalah pernyataan pihak lain setelah ijab yang menunjukan persetujuannya untuk mengikatkan diri. Terdapat perbedaan pendapat para ulama fiqih dalam menentukan rukun akad terdiri atas : 1. Pernyataan untuk mengikatkan diri sighat al-‘aqad 2. Pihak-pihak yang berakad al-muta’aqidain 3. Obyek akad al-ma’qud’alaihi Dalam kaitan dengan ijab dan qabul, para ulama fiqih mensyaratkan : a. Tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki, kerena akad-akad itu sendiri berbeda dalam sasaran dan hukumnya. 23 Ibid hlm 3. Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009 b. Antara ijab dan qabul terdapat kesesuaian. c. Pernyataan ijab dan qabul itu mengacu kepada suatu kehendak masing-masing pihak secara pasti, tidak ragu-ragu. Para ulama fiqih menetapkan beberapa syarat umum yang harus dipenuhi oleh suatu akad yaitu : 1. pihak-pihak yang melakukan akad itu telah cakap bertindak hukum mukallaf atau obyek akad itu merupakan milik orang yang tidak atau belum cakap bertindak hukum, maka harus dilakukan oleh walinya. 2. Obyek akad itu diakui syara’. Untuk obyek akad ini disyaratkan pula yaitu berbentuk harta, dimiliki oleh seseorang, dan bernilai harta menurut harta dalam Islam, maka akadnya tidak sah, seperti khamar minuman keras. 3. Akad itu tidak dilarang oleh nashsh ayat atau hadis syara’. Atas dasar ini seorang wali tidak boleh meghibahkan harta anak kecil. Alasannya adalah melakukan suatu akad yang sifatnya menolong semata tanpa imbalan terhadap harta anak kecil tidak dibolehkan syara’. Oleh sebab itu apabila wali menghibahkan harta anak kecil yang berada di bawah penganpuannya, maka akad itu batal menurut syara’. 4. Akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusus yang terkait dengan itu. Artinya, disamping memenuhi syarat-syarat umum yang harus dipenuhi suatu akad, akad itu juga harus memenuhi syarat-syarat khusus. 5. Akad itu bermanfaat. Oleh sebab itu, jika seseorang melakukan suatu akad dan imbalan yang diambil salah seseorang yang berakad merupakan kewajiban baginya maka akad itu batal. 6. Pernyataan ijab tetap utuh dan sahih sampai terjadinya qabul. Apabila ijab tidak utuh dan sahih lagi ketika qabul. Apabila ijab tidak utuh dan sahih lagi ketika qabul diucapkan, maka akad itu tidak sah. 7. Ijab dan qabul dilakukan dalam suatu majelis, yaitu suatu keadaan yang menggambarkan proses suatu transaksi. 8. Tujuan akad itu harus jelas dan diakui syara’. Tujuan akad ini terkait erat dengan berbagai bentuk akad yang dilakukan 24 . Para ulama fiqih menetapkan bahwa akad menetapkan bahwa akad yang telah memenuhi rukun dan syaratnya mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak-pihak yang melakukan akad. Setiap manusia memiliki kebebasan untuk mengikatkan diri 24 Ibid hlm 8 Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009 pada suatu akad dan wajib dipenuhi segala akibat hukum yang ditimbulkan akad itu. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat al-Maidah, 5:1 yang berbunyi : “ Wahai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu”. Para ulama fiqih mengemukakan bahwa akad itu bias diabagi jika dilihat dari berbagi segi. Apabila dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’. Maka akad terbagi dua yaitu : 1. Akad sahih, yaitu akad yang telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Hukum dari akad sahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat bagi pihak-pihak yang berakad. Akad yang sahih ini dibagi lagi oleh ulama Hanafiyah menjadi dua macam, yaitu: a. akad yang nafiz sempurna untuk dilaksanakan, yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya. b. Akad mawquf, yaitu akad dilakukan seseorang yang cakap bertindak hukum tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad itu 2. Akad yang tidak sah yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. 25 Dilihat dari segi penamaannya, para ulama fiqih membagi akad kepada dua macam, yaitu : 1. al-‘uqud al-musammah, akad-akad yang ditentukan namanya oleh syara’ serta dijelaskan hukum-hukumnya, seperti jual beli, sewa menyewa, perserikata. Hibab, al-wakalah, wakaf, al-ji’alah, wasiat, dan perkawinan. 2. al-‘uqud ghair al-musammah, yaitu akad-akad yang penamaannya dilakukan oleh masyarakat sesuai dengan keperluan mereka disepanjang zaman dan tempat, seperti al-istishna’, bai’ al-wafa’. 26 25 ibid, hlm 16 26 ibid, hlm 19. Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009 Dalam hal penafsiran terhadap prinsip-prinsip yang ada dalam Al-Quran dan Sunnah, dalam melahirkan suatu aturan hukum Islam sebagai mana dikemukakan oleh Muhammad Yusuf Musa memberikan garis-garis besar terhadap karakteristik- karakteristik hukum Islam tersebut kepada enam karakteristik yaitu : 1. Hukum itu dalam prinsip-prinsipnya yang umum berasal dari wahyu Allah 2. Aturan-aturnnya dibuat dengan dorongan agama dan moral 3. Balasannya di dapatkan di dunia dan akhirat 4. Kecenderungannya komunal 5. Dapat berkembang sesuai dengan lingkungan waktu dan tempat 6. Tujuannya adalah mengatur dan memberikan kemudahan kehidupan privat dan publik dan membahagiakan dunia seluruhnya. 27 Untuk itu dalam melahirkan suatu aturan Islam dalam konteks negara Republik Indonesia, yang berkompeten dalam hal memberikan suatu fatwa atau hasil ijtihad adalah Majelis Ulama Indonesia MUI, walaupun tetap dibuka setiap individu atau golongan masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad dan memberikan masukan ataupun sebagai wacana, untuk menggali ajaran Islam terutama yang bersifat muamalah, agar Islam tidak hanya dianggap sebatas ritualitas semata. Dan untuk mempunyai kekuatan hukum Islam, apa yang difatwakan oleh MUI tersebut ditindaklanjut dalam bentuk hukum positif, dalam hal ini yang berwenang adalah pembuat undang-undang yaitu pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. 27 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahannya, Gema Risalah Press, Bandung, 1992, hlm 160 Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009

2. Konsepsi