BAB III PEMBAGIAN WARISAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Unsur-unsur kewarisan
Unsur-unsur hukum kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam pada pelaksanaan hukum kewarisan masyarakat muslim yang mendiami negara
Republik Indonesia terdiri atas tiga unsur yang perlu diuraikan, yaitu 1 pewaris, 2 harta warisan, dan 3 ahli waris. Yang telah dibahas juga pada bab
sebelumnya, ketiga unsur tersebut saling berkaitan, dan masing-masing mempunyai ketentuan tersendiri. Hal ini diuraikan sebagai berikut.
1. Pewaris
Pewaris merupakan orang yang pada saat meninggal, meninggalkan ahli waris dan harta warisan. Pasal 171 butir b Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa:
“Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta
peninggalan”. Subchan Bashori mengemukakan bahwa :
“Muwarrits adalah orang yang pada saat meninggal dunia beragama Islam, meninggalkan harta warisan dan ahli waris”.
94
94
Mukti Arto . Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, Solo : Balqis Queen , 2009.h. 10
Bagi pewaris berlaku ketentuan bahwa harta yang ditinggalkan miliknya dengan sepenuhnya, dan ia telah benar-benar meninggal dunia. Kematian pewaris
menurut para ulama fiqh dibedakan menjadi 3 macam : 1.
Mati hakiki sejati Dapat dipahami sebagai kematian yang terjadi dengan segala sebab yang mengakibatkan ia
mati sebagai orang yang pernah hiup. Kematian di sini dianggap hal biasa dan pasti dialami oleh setiap orang. Istilah hakiki hanya menunjukkan kepada pengertian bahwa
kematian orang tersebut dapat dibuktikan secara nyata, dapat disaksikan secara faktual dengan segala ciri indikasi keadaan orang yang telah mati. Sedangkan segala sebab yang
mengakibatkan ia mati tidaklah menjadi maksud dari istilah hakiki yang memfaktakan keberadaan seseorang apa adanya tanpa memperhatikan latar sebab kematiannya.
2. Mati hukmi berdasarkan keputusan hakim
Merupakan kematian yang dipersangkakan secara yuridis oleh suatu lembaga hukum legal yang menangani perkara yang diajukan kepadanya untuk memintakan keputusan hukum.
Istilah ini hanya menunjuk sebagai hasil ketetapan dan keputusan lembaga hukum yang diminta untuk menilai tentang keberadaan seseorang. Boleh jadi orang yang menjadi
objek penilaian tidak benar-benar mati tetapi memiliki fakta yuridis berdasarkan penilaian hakim suatu lembaga hukum legal yang dalam konteks sekarang seperti di Indonesia
adalah Pengadilan Agama. Indikasi pembuktian tertentu yang walaupun hampir secara keseluruhan membuktikan seseorang mati tetap merupakan suatu anggapan dan penilaian
yang karenanya ia disebut mati hukmi. Koleksi khazanah intelektual ulama klasik, keberadaan seseorang yang dapat dimintakan penetapan putusan hakim dalam kasus mati
hukmi adalah peristiwa seorang yang dianggap hilang atau selama sekian waktu hingga saat diperkarakan ke pengadilan orang dimaksud tidak diketahui kabar keberadaan hidup
atau matinya biasa disebut dengan istilah mafqud dan dapat pula terhadap orang yang
dalam tawanan musuh yang tidak diketahui lagi tentang mati dan hidupnya dalam waktu yang lama hingga perkara itu diajukan ke pengadilan untuk ditetapkan keberadaannya
biasa disebut dengan istilah asir dengan kata lain, kedua istilah di atas penetapannya harus berdasarkan yurisdiksi suatu lembaga hukum yang legal.
3. Mati taqdiry menurut dugaan
Dapat dipahami sebagai kematian seseorang atas persangkaan yang dianggap pasti dengan segala kecenderungan kepastian kebenarannya seperti seorang ibu hamil yang meminum
racun yang akan mematikan anak dalam kandungannya yang dalam hal ini anak dianggap telah mati berdasarkan dugaan umum tentangnya atau berdasarkan kepastian keterangan
dokter ahli bidang tersebut. Istilah ini hanya memberi arti kematian yang bersifat spesifik dengan sebab-sebab tertentu yang dapat dipastikan sebab-sebab tersebut jelas-jelas
berakibat kematian dan didukung oleh kenyataan-kenyataan tertentu secara medis.
95
Menurut Mukti Arto syarat-syarat pewaris menurut Kompilasi Hukum Islam adalah: a.
Bersifat perorangan Artinya, bahwa pewaris haruslah perorangan atau individual.
b. Telah meninggal dunia atau dinyatakan meninggal dunia.
Pewaris haruslah orang yang sudah meninggal atau dinyatakan meninggal . c.
Beragama Islam Syarat ini untuk mempertegas asas personalitas keislaman. Bila pewaris tidak beragama
Islam sudah barang tentu tidak berlaku KHI. d.
Meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan
96
Seseorang yang meninggal dunia akan menjadi pewaris jika ia meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Apabila ia hidup sebatangkara dan meninggal tanpa
meninggalkan ahli waris sama sekali atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau
95
Sukris Sarmadi, Hukum Waris Islam di Indonesia Perbandingan Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Sunni . Yogyakarta : Aswaja Pressindo,2013.h. 40-43
96
Ibid .h. 53
tidaknya, maka harta peninggalannya atas putusan pengadilan agama diserahkan penguasaannya pada Baitul Mal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan
umum Pasal 191 KHI.
97
2. Ahli waris
Sesuai dengan buku II KHI tentang hukum kewarisan pada Bab I Pasal 171 butir c ketentuan-ketentuan pasal ini menjelaskan bahwa mengenai ahli waris bahwa
ada dua aspek yang perlu mendapat penekanan. Pertama, adanya hubungan hukum antara pewaris dengan ahli warisnya. Ketentuan yang ideal dalam hukum antara ahli
waris dengan pewaris itu hanya ditentukan oleh dua jalur kekerabatan saja, yakni : a
Kekerabatan karena hubungan perkawinan b
Kekerabatan melalui hubungan nasab darah Hal ini didasarkan kepada nash Al-Quran surat An-Nisa’ [4] : 11 dan 12.
98
Kedua, Kompilasi Hukum Islam menghendaki persyaratan bagi seorang ahli waris adalah tidak melakukan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 173
Kompilasi Hukum Islam yang menyebabkan ia terhalang mewaris, ketentuan pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
“Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya
berat para pewaris; b.
dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun
penjara atau hukuman yang lebih berat.”
97
Ibid
98
Ibid. h. 10
Kemudian Subchan Bashori menjelaskan bahwa: “Ahli waris atau waritsun ahli waris laki-laki dan waritsat ahli waris perempuan
adalah orang-orang yang mempunyai hubungan pewarisan dengan mayit muwarrits, dan masih hidup pada saat kematian mayit, meskipun setelah itu ahli waris tersebut
mati sebelum harta warisan dibagi, dan beragama Islam, serta tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”.
99
Dari rumusan Pasal 173 butir a Kompilasi Hukum Islam tersebut dapat dipahami bahwa pembunuhan yang dinyatakan menggugurkan hak mewaris
adalah semua macam pembunuhan, baik pembunuhan biasa, pembunuhan yang dilakukan secara sengajaberencana, percobaan pembunuhan, maupun
pembunuhan yang dilakukan karena tersalahtidak sengaja.
100
1. Dipersalahkan telah membunuh pewaris. Kejahatan ini dapat berupa pembunuhan biasa
yang disengaja, atau pembunuhan yang direncanakan lebih dahulu, atau pembunuhan karena bersalah. Seorang ahli waris yang dipersalahkan telah membunuh tersebut baru
dapat dinyatakan terhalang menerima warisan dari orang yang dibunuhnya pewaris manakala telah ada suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap yang menyatakan bahwa ahli waris tersebut telah nyata melakukan suatu tindak pidana pembunuhan terhadap pewaris. Selama belum ada putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka seseorang belum dapat dinyatakan terhalang mewaris.
Pada Pasal 173 butir a Kompilasi Hukum Islam tersebut mengandung tiga aspek yang
menyebabkan seseorang terhalang menerima warisan dari pewaris, yaitu :
2. Mencoba untuk melakukan pembunuhan terhadap pewaris. Tindakan percobaan untuk
membunuh merupakan makar, dan dihukum menurut ketentuan hukum pidana yang berlaku. Namun demikian, selama belum ada suatu putusan pengadilan yang mempunyai
99
Ibid .h. 7
100
Ibid. h. 50
kekuatan hukum yang tetap untuk itu, maka seseorang tidak dapat dinyatakan terhalang untuk mewaris.
3. Tindakan menganiaya berat pewaris. Tindakan penganiayaan ini pun harus didasarkan
kepada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Tentang bagaimana kriteria suatu penganiayaan itu dinyatakan sebagai penganiayaan berat, hal itu
tergantung kepada penilaian hakim dengan memperhatikan ketentuan Pasal 353, 354, dan Pasal 355 KUHP.
101
Pasal 173 butir b Kompilasi Hukum Islam dirumuskan fitnah yang dimaksud adalah tuduhan, cerita dan sebagainya yang diadakan untuk menjelekkan orang lain. Fitnah
sebagai tindakan ahli waris yang mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan, dan kejahatan itu ancaman hukumannya adalah 5 tahun
penjara atau hukuman yang lebih berat. Rumusan Kompilasi Hukum Islam di atas secara spesifik mengatur masalah memfitnah pewaris yang dilakukan oleh ahli
warisnya dengan tujuan-tujuan tertentu.
102
101
Ibid. h. 49-50
Kalau dicermati bunyi Pasal 173 butir b tersebut sehingga oleh karena ahli waris yang memfitnah tersebut terhalang
menerima warisan pewaris, haruslah ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti yang dijadikan dasar untuk itu. Karena itu bila ada
seorang ahli waris mengadukan pewaris semasa hidupnya ke polisi selaku penyidik dengan tuduhan bahwa pewaris telah melakukan suatu tindak pidana yang ancaman
hukumannya lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat, kemudian pengaduan itu dilimpahkan kepada jaksa penuntut umum, dan selanjutnya
dilimpahkan kepada pengadilan, dan di persidangan pengadilan oleh majelis hakim dinyatakan bahwa tuduhan itu tidak terbukti, dan putusan pengadilan mana telah
102
Ibid
mempunyai kekuatan hukum yang pasti, maka berdasarkan putusan tersebut ahli waris yang mengadukan pewaris itu terhalang mendapat warisan pewaris. Dengan
demikian, tidaklah semua tindakan menyebarkan kebohongan untuk menghancurkan reputasi seorang pewaris dapat dipandang sebagai fitnah yang menghalangi menerima
warisan.
103
Sesuai dengan ketentuan Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam ahli waris karena hubungan nasab darah merupakan ahli waris yang timbul karena hubungan
keluarga. Ahli waris karena hubungan arah dibedakan menjadi dua golongan, yaitu golongan laki-laki dan perempuan. Golongan laki-laki ini terdiri dari:
1. Ayah
2. Anak laki-laki
3. Saudara laki-laki
4. Paman
5. Kakek
Golongan perempuan terdiri dari : 1.
Ibu 2.
Anak perempuan 3.
Saudara perempuan 4.
Nenek
103
Ibid.h. 51
Ahli waris karena hubungan perkawinan adalah ahli waris yang timbul karena adanya hubungan perkawinan antara pewaris dengan ahli waris. Ahli waris karena
hubungan perkawinan adalah terdiri dari duda atau janda. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya :
1. Anak
2. Ayah
3. Ibu
4. Janda atau duda
104
3. Harta warisan
Dalam KHI ada harta waris dan harta peninggalan yaitu sesuai dengan buku II KHI tentang hukum kewarisan pada Bab I Pasal 171 butir d dan e yang dimaksud
dengan : d.
“Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris, baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya”.
e. “Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah
digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah tajhiz, pembayaran utang, dan pemberian untuk
kerabat”.
Kompilasi Hukum Islam membedakan antara harta peninggalan dan harta waris. Dalam Pasal 171 butir d Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa harta
peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya, maksudnya yakni segala harta benda
ataupun hak-hak kebendaan lainnya sebelum dikeluarkan biaya perawatan sakit sampai meninggalnya, biaya tajhiz, pembayaran utang dan wasiat. Sedangkan
harta yang tersisa dari pengeluaran tersebut adalah harta warisan, baik berupa
104
Salim HS, Op. Cit. h. 140-141
harta bawaan pemberian orang lain kepada mayit selagi hidupnya atau harta warisan dari orang yang mempunyai hubungan hukum dengan dirinya, ataupun
harta bersama sebagaimana dimaksud pada Pasal 171 butir e.
105
Dari definisi di atas maka dapat diuraikan, pertama, istilah harta peninggalan lebih berorientasi kepada harta benda yang dimiliki seorang semasa hidupnya
yang masih tergabung dan belum terpisah antara harta bawaan pewaris dan harta bersama dengan pasangan yang hidup terlama, utang-utang keluarga, wasiat, dan
biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk keperluan pengurusan mayat. Dalam harta peninggalan masih terdapat harta bersama bagian pasangan yang
hidup lebih lama. Oleh karena itu menurut yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 32KAG2002 tanggal 20 April 2005, bahwa untuk membagi harta
peninggalan yang di dalamnya terdapat harta bersama, maka harus terlebih dahulu dikeluarkan ½ separuh dari harta bersama yang menjadi bagian pasangan yang
hidup terlama, kemudian ½ separuh sisa merupakan bagian pewaris dan digabungkan dengan boedel warisan, selanjutnya bagian pewaris yang merupakan
boedel waris tersebut harus dibagikan kepada ahli warisnya.
106
Jadi yang dikatakan harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan pada saat pewaris meninggal dunia, masih bercampur antara harta bersama bagian
pewaris dengan bagian pasangan hidup lebih lama, masih tergabung pula dengan harta wasiat, masih tergabung dengan biaya pengurusan mayat, biaya-biaya
pelunasan hutang pewaris.
107
105
Sukris Sarmadi, Op. Cit. h. 23
106
HM.Anshary MK, Op. Cit. h. 10-11
107
Ibid . h. 11
Kedua, bahwa yang dikatakan harta waristirkah adalah harta peninggalan pewaris yang telah siap dibagi kepada para ahli warisnya yang terdiri dari harta
asal ditambah bagian dari harta bersama pewaris dengan pasangan yang hidup lebih lama, dan telah dikeluarkan utang-utang pewaris, serta wasiat bila ada dan
biaya pengurusan mayat sejak sakit sampai dimakamkan.
B. Pembagian warisan