BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya, ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga
waktu tertentu. Seiring dengan berlalunya waktu dan masa perkembangan selanjutnya, seorang anak perlahan-lahan akan melepaskan diri dari
ketergantungan pada orang tua atau orang lain di sekitarnya dan belajar untuk mandiri. Hal ini merupakan suatu proses alamiah yang dialami oleh semua
makhluk hidup, tidak terkecuali manusia. Mandiri atau sering juga disebut berdiri di atas kaki sendiri merupakan kemampuan seseorang untuk tidak tergantung pada
orang lain serta bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Kemandirian dalam konteks individu tertentu memiliki aspek yang lebih luas dari sekedar aspek
fisik. Selama masa remaja, tuntutan terhadap kemandirian ini sangat besar dan jika tidak direspon secara tepat bisa saja menimbulkan dampak yang tidak
menguntungkan bagi perkembangan psikologis remaja di masa mendatang. Kemandirian merupakan suatu sikap yang harus dicapai oleh setiap
individu dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya, untuk mencapai kesuksesan hidup. Karena individu di dalam kehidupannya dipastikan
menghadapi berbagai tantangan yang harus dihadapi. Dengan demikian individu diharapkan mampu menentukan sikap dan tindakannya dalam memilih jalan
1
2
hidupnya. Kemandirian menjadi hal yang penting untuk dimiliki dalam perkembangan anak agar ia dapat melaksakan tugas perkembangan yang lain dan
siap menerima tugas baru sebagai orang dewasa. Kemandirian pada masa anak berbeda dengan kemandirian pada masa remaja. Pada masa anak, kemandirian
lebih bersifat fisik dan motorik, misalnya berusaha makan, mandi dan berpakaian sendiri. Sedangkan pada masa remaja, kemandirian lebih bersifat psikis, misalnya
membuat keputusan sendiri, berfikir menurut jalan pikirannya sendiri dan bebas untuk bertingkah laku. Keinginan untuk mandiri bertambah kuat ketika anak telah
mencapai usia remaja Syamsu, 2005. Menurut Mu’tadin 2002 pada masa remaja, tuntutan terhadap
kemandirian ini sangat besar dan jika tidak direspon secara tepat bisa saja menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan bagi perkembangan psikologi
sang remaja di masa mendatang. Di tengah berbagai gejolak perubahan yang terjadi di masa kini, betapa banyak remaja yang mengalami kekecewaan dan rasa
frustasi mendalam terhadap orang tua karena tidak kunjung mendapatkan apa yang dinamakan kemandirian www.e-psikologi.com.
Kemandirian memang merupakan satu pola kepribadian yang sifatnya bukan pembawaan melainkan hasil dari proses pembentukan dan pembelajaran.
Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan selanjutnya, seseorang perlahan-lahan akan melepaskan diri akan melepaskan diri dari
ketergantungannya pada orang atau orang lain di sekitarnya dan belajar untuk mandiri. Salah satu bentuk proses pembentukan dan pembelajaran kemandirian
terdapat pada remaja yang tinggal di pondok pesantren atau yang biasa disebut “santri”.
3
Pondok pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan yang memiliki nilai plus dalam hal keilmuan, di samping santri mengenyam pendidikan formal
sekolahmadrasah, juga memperoleh pendidikan agama yang lebih banyak dan mendalam yang merupakan dasar dari kepribadian atau karakter santri yang khas,
yaitu sholeh, cerdas, dan mandiri. Untuk itu, pondok pesantren harus memiliki komitmen tinggi dalam menumbuhkan dan meningkatkan kepribadian santri yang
ideal, khususnya kepercayaan diri dan kemandirian pada santrinya. Suwardi 2008 mengatakan bahwa disadari atau tidak, pesantren telah
melakukan proses kehidupan yang mandiri. Dilihat dari kehidupan keseharian, bisa dikatakan para santri justru sejak dini berlatih untuk hidup mandiri.
Kehidupan sehari-hari, santri dituntut melakukan proses kemandirian hidup, seperti beraktivitas secara nurani, melaksanakan kegiatan ekonomi, serta
membangun solidaritas yang tinggi. Dalam melakukan aktivitas sehari-hari santri harus memiliki kesadaran sendiri. Para santri hidup lepas dari pantauan orang tua.
Pesantren mengajarkan bahwa dalam melakukan kegiatan apa pun harus berangkat dari kesadaran sendiri, tanpa pamrih serta lepas dari tekanan pihak lain
sekalipun orang tuanya www.e-psikologi.com. Mereka memang dituntut untuk melakukan proses kemandirian hidup
dengan mempunyai konsep diri, penghargaan dan dapat mengatur dirinya sendiri. Mereka juga harus paham akan tuntutan lingkungan terhadap dirinya dan
menyesuaikan tingkah lakunya dalam berhubungan dengan orang lain meskipun tanpa didampingi orang tua.
4
Mujamil Qomar 2005 menggambarkan kehidupan pondok pesantren layaknya kehidupan masyarakat pada umumnya. Jauh dari orang tua dan saudara
kandung atau keluarga lainnya yang mengharuskan para santri siap menjalani hidup mandiri. Jika mereka mendapatkan masalah, mereka hanya memiliki
ustadz-ustadzah atau pembantu kiai, serta teman-teman sebaya untuk meminta bantuan. Bahkan teman-teman sebaya inilah yang kemungkinan memiliki peranan
lebih besar dalam kehidupan seorang santri. Penelitian yang dilakukan oleh Nashori 1999 menyatakan bahwa salah
satu yang menjadi keprihatinan bangsa Indonesia adalah kemandirian di kalangan remaja. Remaja Indonesia umumnya tidak memperoleh latihan yang cukup untuk
mampu menanggung hidupnya sendiri. Generasi muda Indonesia tidak memperoleh latihan mandiri sejak dini, akibatnya ketika mereka memasuki pintu
gerbang kehidupan masa dewasa, mereka tidak mampu memperoleh kemandiriannya.
Keluhan yang sering disampaikan oleh para guru, adalah rendahnya kemampuan remaja yang tercatat sebagai siswa untuk bekerja secara mandiri.
Seorang guru menggambarkan bahwa andaikata dalam ujian, tidak ada pengawasnya, maka diperkirakan tidak ada satupun siswa yang mengerjakan
tugasnya secara mandiri. Ketidak mandirian remaja diluar sekolah terlihat dari kecenderungan yang sangat besar dikalangan remaja untuk berperilaku konformis,
bahwa kesukaan remaja adalah berkawan dengan teman sebaya peer group Nashori, 1999.
5
Selain itu kenyataan yang dilihat bahkan dirasakan saat ini, dimana remaja telah membuat resah masayarakat karena tindakan-tindakan remaja yang telah
terjerumus ke tindakan negatif, bahkan kriminal, seperti: bolos sekolah, perkelahian antar remaja atau tawuran, mengganggu ketertiban umum, merusak
fasilitas umum dan milik orang lain, merokok, mengkonsumsi minuman keras, penggunaan narkotika, mencuri dan merampok. Tindakan-tindakan tersebut
menunjukkan adanya krisis kemandirian dikalangan remaja Nashori, 1999. Penelitian yang telah dilakukan oleh Fuad Nashori menguatkan fenomena
riil yang ada di Pesantren Tahfizh Sekolah Daarul Qur’an Internasional Bandung, yang menjadi tempat penelitian skripsi ini.
Dari observasi yang penulis lakukan di Pesantren Tahfizh Sekolah Daarul Qur’an Internasional Bandung terkait dengan kepercayaan diri dan kemandirian
santri, terdapat beberapa hal yang menjadi fenomena pokok yang menarik untuk diteliti oleh penulis, yaitu di mana santri berasal dari kalangan menengah ke atas
yang sebelumnya terbiasa semua keperluan dan kebutuhan dirinya dilayani dan dipenuhi oleh orang tua, dan pengasuh atau pembantunya, sehingga santri
kesulitan untuk berperilaku mandiri di pesantren, hal ini terlihat dengan penempatan barang-barang pribadi yang tidak pada tempatnya tidak rapih dan
untuk mengatasinya pesantren menyediakan pelayanan office boy dan office girl, seringnya santri yang datang terlambat pada kegiatan-kegiatan yang diadakan
sekolah atau pesantren dan untuk mengatasinya pesantren menyediakan pengasuh atau pembimbing untuk mengingatkan segala aktivitas santri yang dilakukan sejak
bangun tidur pada pukul 03.30 wib sampai tidur kembali pada pukul 12.30 wib,
6
adanya santri yang bolos sekolah dengan berbagai alasan, berpura-pura sakit dan minta dijemput yang oleh orang tuanya untuk menghindari hukuman karena
pelanggaran yang dilakukan, perkelahian antar santri, mengganggu ketertiban asrama, merusak fasilitas asrama dan milik orang lain, merokok, mengkonsumsi
minuman keras, dan mencuri. Fenomena-fenomena di atas menunjukkan adanya krisis kemandirian di
kalangan santri nama lain remaja yang menjalani pendidikan di pesantren. Fenomena di atas juga menunjukkan bahwa krisis kemandirian bisa terjadi pada
santri yang seharusnya dapat lebih mandiri dibandingkan dengan remaja yang hidup dan tinggal bersama orang tuanya di rumah.
Salah satu aspek yang penting dalam membangun kemandirian remaja adalah kepercayaan diri sebagaimana yang dikemukakan oleh Gilmore 1974
kemandirian didukung dan dilaksanakan dengan rasa percaya diri yang kuat, karena tanpa itu semua tindakan dan keputusan akan dilaksanakan dengan keragu-
raguan. Hal senada dikemukakan oleh Alfred Adler dalam Sujanto, 2008 mengatakan bahwa kebutuhan manusia yang paling penting adalah kebutuhan
akan kepercayaan pada diri sendiri dan superioritas. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka mendorong
penulis untuk mengkaji serta meneliti lebih mendalam tentang adanya
Hubungan antara Kepercayaan Diri dengan Kemandirian Santri Pesantren Tahfizh Sekolah Daarul Qur’an Internasional Bandung
7
1. 2 Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.2.1. Pembatasan Masalah
Dalam penulisan ini, penulis hanya membatasi pada permasalahan: a. Kepercayaan
diri Adalah aspek kepribadian yang harus dicapai dalam diri individu yang
berfungsi penting untuk mengaktualisasisan potensi yang dimiliki yang ditunjukkan dengan adanya sikap yakin atau merasa adekuat terhadap
tindakan yang dilakukan, merasa diterima oleh lingkungannya dan memiliki ketenangan sikap Guildford, 1959.
b. Kemandirian Adalah aspek kepribadian yang harus dicapai dalam diri individu untuk
menghadapi tantangan dan mencapai kesuksesan hidup yang ditunjukkan dengan sikap bebas, bertanggung jawab, memiliki pertimbangan, merasa
aman dikala berbeda dengan orang lain dan kreativitas Gilmore, 1974. c.
Sampel penelitian ini adalah santri Pesantren Tahfizh Sekolah Daarul Qur’an Internasional Bandung Tahun Pendidikan 20092010.
1.2.2. Perumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan antara Kepercayaan diri dengan kemandirian santri Pesantren Tahfizh Sekolah Daarul Qur’an Internasional Bandung?
8
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian