Tinjauan Yuridis Tentang Hak Dan Kewajiban Pengangkut Dalam Perjanjian Pengangkutan BBM Industri (Studi Kasus Perjanjian Pengangkutan BBM antara PT. Yunita Permai Budiman dengan PT. Toba Pulp Lestari Tbk)

(1)

(Studi Kasus Perjanjian Pengangkutan BBM antara PT. Yunita

Permai Budiman dengan PT. Toba Pulp Lestari Tbk)

TESIS

Oleh

NOVA DAME RIA 087011163/MKn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN

PENGANGKUT DALAM PERJANJIAN PENGANGKUTAN

BBM INDUSTRI

(Studi Kasus Perjanjian Pengangkutan BBM antara PT. Yunita

Permai Budiman dengan PT. Toba Pulp Lestari Tbk)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

NOVA DAME RIA 087011163/MKn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

2011

Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PENGANGKUT DALAM PERJANJIAN PENGANGKUTAN BBM INDUSTRI (Studi Kasus Perjanjian Pengangkutan BBM antara PT. Yunita Permai Budiman dengan PT. Toba Pulp Lestari Tbk)

Nama Mahasiswa : Nova Dame Ria Nomor Pokok : 087011163 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum) Ketua

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN) Anggota

(Syafnil Gani, SH., M.Hum) Anggota


(4)

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H.,M.S.,C.N)

(Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum)


(5)

Telah diuji pada

Tanggal: 25 Pebruari 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH., M.Hum

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN 2. Syafnil Gani, SH., M.Hum

3. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS


(6)

ABSTRAK

Pengangkutan BBM Industri yang dibeli perusahaan industri dari Depo Pertamina yang diangkut pihak pengangkut dilakukan para pihak dalam perjanjian tertulis yang isinya mengatur hak dan kewajiban bagi para pihak, yaitu pihak pengangkut bertanggung jawab mengantarkan BBM sampai ke lokasi pembongkaran dalam keadaan tidak menyusut volume dan kualitasnya. Sedangkan hak pengangkut memperoleh ongkos kirim yang dalam pelaksanaannya sering terlambat dibayar pihak industri, dan juga dapat terjadi penyusutan volume BBM karena suhu yang dingin di lokasi tujuan, apabila penyusutan volume melewati ambang batas toleransi penyusutan BBM maka menjadi tanggung jawab pihak pengangkut dan harus diganti rugi kepada pihak industri. Oleh karena itu, menjadi permasalahan tentang ketentuan atas hak dan kewajiban pengangkut dalam perjanjian pengangkatan BBM Industri, pelaksanaan atas pemenuhan hak-hak pengangkut BBM Industri, dan pelaksanaan atas pemenuhan kewajiban pengangkut BBM Industri.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis secara pendekatan yuridis normatif pada kasus perjanjian pengangkutan BBM Industri antara PT. Yunita Permai Budiman dengan PT. Toba Pulp Lestari Tbk, yang didukung dengan wawancara kepada Direktur PT. Toba Pulp Lestari Tbk, Direktur PT. Yunita Permai Budiman dan Pegawai Pengisian Depo Pertamina Medan.

Hasil penelitian menunjukkan hak dan kewajiban dalam perjanjian pengangkutan BBM Industri dilakukan para pihak atas dasar prinsip perjanjian pengangkutan yaitu pengangkut berkewajiban mengangkut BBM dan bertanggung jawab atas keutuhan BBM sampai ke lokasi tujuan, dan pihak penerima BBM berkewajiban melakukan pembayaran ongkos kirim BBM. Akan tetapi perjanjian itu dibuat secara dibawah tangan, sehingga hanya mengikat para pihak yang berperjanjian. Pelaksanaan atas pemenuhan hak-hak pengangkut berupa pembayaran ongkos angkut sering lewat waktu dari yang diperjanjikan, sehingga merugikan pengangkut karena perjanjian itu hanya mengatur batas waktu pembayaran ongkos kirim BBM tetapi tidak ada diatur sanksi dan denda apabila pembayaran lewat waktu. Pelaksanaan atas pemenuhan kewajiban pengangkut BBM Industri berupa menjaga keutuhan volume sampai ke tempat tujuan masih menjadi kendala bagi pihak pengangkut, karena sifat BBM dapat menyusut disebabkan oleh iklim. Penyustan volume BBM yang melewati ambang batas toleransi harus diganti rugi. Demikian juga dalam memenuhi tepat waktu sampai lokasi pembongkaran karena pengangkut harus mengalami antrian di Depo Pertamina untuk pengisian dan kemacetan lalu lintas jalan raya menuju tempat tujuan.

Disarankan kepada para pihak melakukan perjanjian pengangkutan BBM Industri dengan akta Notaril. Kemudian pihak pengangkut meminta peninjauan kembali perjanjian agar secara tegas diatur sanksi dan denda


(7)

atas pembayaran ongkos kirim yang lewat waktu, dan pengangkut selalu mengawasi para supir/kernet karena supir/kernet yang beritikad tidak baik dapat secara sengaja mengurangi volume BBM di tengah perjalanan yang mengakibatkan klaim ganti rugi dari penerima BBM.

Kata kunci: Perjanjian Pengangkutan BBM Hak dan kewajiban.

ABSTRACT

Transporting the fuel for industrial purposes bought by the industrial company from the depot of Pertamina carrying out by the transportation company is regulated in a written agreement saying that the transporter is responsible to transport the fuel to the unloading location without reducing its volume and quality. For this activity, the transporter gets the payment which is frequently paid late by the industrial company. The volume of the fuel can be decreasing because of the cold weather in the destination and if the decrease of fuel volume is over the limit of tolerance, it will be the responsibility of the transporter that must pay the compensation to the industrial company. The purpose of this study was to analyze the regulation on the right and responsibility of the transporter in the agreement of transportation of fuel for industrial purposes, the implementation and compliance of the rights and responsibilities of transporter of fuel for industrial purposes.

This analytical descriptive study with normative juridical approach looked at the case of the agreement of transporting the fuel for industrial purposes between PT. Yunita Permai Budiman and PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. The data for this study were obtained through the interviews with the Director of PT. Yunita Permai Budiman, the Director of PT. Toba Pulp Lestari, Tbk and the fuel filling employees at the Pertamina Depot in Medan.

The result of this study showed that the rights and responsibilities in the agreement of transporting the fuel for industrial purposes were carried out the parties involved based on the principles that the transporter was responsible to transport the fuel and to guarantee the fuel arrived at the location safe and full amount and the fuel receivers was responsible to pay the transportation costs of the fuel they received. Yet, this agreement was made underhanded that the agreement only bound the parties involved in the making of the agreement. The compliance of the rights of transporters to receive the transportation cost was always later than the date agreed that it inflicted loss to the transporters. This happened because the agreement only regulated the time limit of payment not the sanction and fine to be imposed if the payment was not pain on time. The compliance of guaranteeing to keep the fuel amount full when arrived at the location was still a constraint for the transporter because of the contribution of climate to the reduction of fuel amount and the transporter had to pay a compensation fee if the reduction of fuel amount was over the


(8)

threshold of tolerance. It was also hard for the transporter to guarantee that the fuel could arrive at the unloading location on time because the vehicles transporting the fuel had to wait for their turn to be loaded at the Pertamina Depot and traffic jams occurred on the way to the unloading location.

The parties involved in this agreement are suggested to make the agreement to transport the fuel for industrial purposes in the form of notarial act. Then the transporter asks to review the contents of the agreement that the sanction and fine imposed in relation to the late arrival of the fuel should be clearly regulated, and to avoid from paying a compensation fee to the fuel receiver, the transporter should always monitor and control the drivers and their subordinates for they can deliberately reduce the volume of the fuel transported on the way to the unloading location.

Key words: Agreement

Fuel Transportation Rights and Responsibility.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang senantiasa telah memberikan nikmat dan petunjuknya kepada penulis, hingga akhirnya dapat diselesaikan Tesis yang berjudul ”TINJAUAN YURIDIS

TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PENGANGKUT DALAM

PERJANJIAN PENGANGKUTAN BBM INDUSTRI (Studi Kasus Perjanjian Pengangkutan BBM antara PT. Yunita Permai Budiman dengan PT. Toba Pulp Lestari Tbk)”. sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

Tesis ini dapat diselesaikan atas dukungan dan bantuan dari berbagai pihak terutama arahan dan bimbingan dari para dosen pembimbing dan penguji. Oleh karena itu pada kesempatan ini disampaikan penghargaan dan terima kasih kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, Prof. Muhammad Yamin, SH, MS, CN dan Bapak Syafnil Gani, SH, M.Hum selaku dosen-dosen pembimbing, Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum selaku dosen-dosen penguji atas arahan dan bimbingan mulai


(10)

proposal penelitian sampai selesainya penulisan tesis ini. Selanjutnya terima kasih diucapkan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), Sp.A (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, serta seluruh Staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan, sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara beserta seluruh Staf yang memberikan kesempatan dan fasilitas sehingga dapat diselesaikan studi Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum selaku Sekretaris Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Univesitas Sumatera Utara. 5. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan

(M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.


(11)

6. Kepada semua teman-teman Angkatan Kelas Khusus 2009 Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang tidak dapat disebut satu persatu dalam kebersamaannya mulai masa studi sampai pada penulisan dan penyelesaian tesis ini.

Teristimewa dengan tulus hati diucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis Bapak St. K. Robert Siregar dan Ibu Mayline Rotua Gultom yang telah memberikan limpahan kasih sayang dan nasihat untuk berbuat sesuatu yang terbaik demi masa depan penulis sehingga menjadi motivasi dalam penyelesaian tesis ini. Demikian juga kepada paman Rayfisen Siregar, S.Sos, MP, abang Ricky Kustanto Siregar, SE, kakak Santi Lina Siregar, SE, MM dan Yunita Budiman Siregar, SE, MM serta adik Paskah Mulya Siregar, SE terima kasih atas dukungan doa kalian sehingga dapat diselesaikan tesis ini.

Kepada kedua mertua Bapak dr. Betthin Marpaung, SppD-KGEH FINASIM dan Ibu DR. Roswita Silalahi, Dip TESOL, M.Hum yang juga menjadi motivasi bagi penulis dalam penyelesaian tesis ini. Kemudian kepada suami tercinta dr. Yudi Andre Marpaung terima kasih atas doa dan ketulusan hati mulai dari masa studi sampai penyelesaian tesis ini yang kadang telah menyita waktu yang seharusnya penulis berikan untuk keluarga, demi penyelesaian tesis ini.


(12)

Akhir kata kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan kepada penulis baik dalam penyelesaian tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Medan, Pebruari 2011 Penulis,


(13)

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : Nova Dame Ria

Tempat/ Tgl. Lahir : Bandung, 01 November 1983

Alamat : Jalan Bhayangkara No. 412 Medan 20221 Telepon 08126022285 - 08116025055 Agama : Kristen Protestan

Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Kawin

II. Pekerjaan Wiraswata

III. Orang Tua

Nama Bapak : St. K. Robert Siregar Ibu : Mayline Rotua Gultom

III. Pendidikan

1. SD BPK Bandung 2. SLTP Negeri 1 Medan 3. SMU Negeri 1 Medan

4. S-1 Fakultas Hukum USU Medan

5. S-2 Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum USU

Medan, Pebruari 2011 Penulis,


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HITUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian ... 11

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ... 12

1. Kerangka Teori ... 12

2. Konsepsi... 21

G. Metode Penelitian ... 22

1. Spesifikasi Penelitian ... 22

2. Tehnik Pengumpulan Data ... 22

3. Alat Pengumpulan Data... 24

4. Analisa Data ... 25

BAB II. KETENTUAN TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PENGANGKUT DALAM PERJANJIAN PENGANGKUTAN BBM INDUSTRI ... 26

A. Perjanjian Pada Umumnya ... 26

B. Ketentuan Atas Hak Dan Kewajiban Pengangkut Dalam Perjanjian Pengangkutan BBM Industri ... 39


(15)

1. Isi Perjanjian Pengangkutan BBM Industri ... 39

2. Bentuk Perjanjian Pengangkutan BBM Industri .. 47

3. Kekuatan Hukum Para Pihak Dalam Perjanjian Pengangkutan BBM Industri ... 53

BAB III. PELAKSANAAN TENTANG PEMENUHAN HAK-HAK PENGANGKUT BBM INDUSTRI ... 61

A. Pengertian Tepat Waktu Pembayaran Dalam Suatu Perjanjian ...61

B. Pelaksanaan Atas Pemenuhan Hak-Hak Pengangkut BBM Industri ... 65

1. Ketentuan Pembayaran Ongkos Kirim BBM Industri 65 2. Penyelesaian Sengketa Pembayaran Pengangkutan BBM Industri ... 67

BAB IV. PELAKSANAAN ATAS PEMENUHAN KEWAJIBAN PENGANGKUT BBM INDUSTRI ... 72

A. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Dalam Perjanjian Pengangkutan ... 72

B. Pelaksanaan Atas Pemenuhan Kewajiban Pengangkut BBM Industri ... 76

1. Resiko Penyusutan Volume dan Kualitas (Keaslian) BBM... 76

2. Pengangkutan BBM Harus Tepat Waktu Sampai ke Lokasi ... 87

3. Ganti Rugi dan Penyelesaian Sengketa ... 90

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 99

A. Kesimpulan ... 99

B. Saran ... 100

DAFTAR PUSTAKA ... 102 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(16)

ABSTRAK

Pengangkutan BBM Industri yang dibeli perusahaan industri dari Depo Pertamina yang diangkut pihak pengangkut dilakukan para pihak dalam perjanjian tertulis yang isinya mengatur hak dan kewajiban bagi para pihak, yaitu pihak pengangkut bertanggung jawab mengantarkan BBM sampai ke lokasi pembongkaran dalam keadaan tidak menyusut volume dan kualitasnya. Sedangkan hak pengangkut memperoleh ongkos kirim yang dalam pelaksanaannya sering terlambat dibayar pihak industri, dan juga dapat terjadi penyusutan volume BBM karena suhu yang dingin di lokasi tujuan, apabila penyusutan volume melewati ambang batas toleransi penyusutan BBM maka menjadi tanggung jawab pihak pengangkut dan harus diganti rugi kepada pihak industri. Oleh karena itu, menjadi permasalahan tentang ketentuan atas hak dan kewajiban pengangkut dalam perjanjian pengangkatan BBM Industri, pelaksanaan atas pemenuhan hak-hak pengangkut BBM Industri, dan pelaksanaan atas pemenuhan kewajiban pengangkut BBM Industri.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis secara pendekatan yuridis normatif pada kasus perjanjian pengangkutan BBM Industri antara PT. Yunita Permai Budiman dengan PT. Toba Pulp Lestari Tbk, yang didukung dengan wawancara kepada Direktur PT. Toba Pulp Lestari Tbk, Direktur PT. Yunita Permai Budiman dan Pegawai Pengisian Depo Pertamina Medan.

Hasil penelitian menunjukkan hak dan kewajiban dalam perjanjian pengangkutan BBM Industri dilakukan para pihak atas dasar prinsip perjanjian pengangkutan yaitu pengangkut berkewajiban mengangkut BBM dan bertanggung jawab atas keutuhan BBM sampai ke lokasi tujuan, dan pihak penerima BBM berkewajiban melakukan pembayaran ongkos kirim BBM. Akan tetapi perjanjian itu dibuat secara dibawah tangan, sehingga hanya mengikat para pihak yang berperjanjian. Pelaksanaan atas pemenuhan hak-hak pengangkut berupa pembayaran ongkos angkut sering lewat waktu dari yang diperjanjikan, sehingga merugikan pengangkut karena perjanjian itu hanya mengatur batas waktu pembayaran ongkos kirim BBM tetapi tidak ada diatur sanksi dan denda apabila pembayaran lewat waktu. Pelaksanaan atas pemenuhan kewajiban pengangkut BBM Industri berupa menjaga keutuhan volume sampai ke tempat tujuan masih menjadi kendala bagi pihak pengangkut, karena sifat BBM dapat menyusut disebabkan oleh iklim. Penyustan volume BBM yang melewati ambang batas toleransi harus diganti rugi. Demikian juga dalam memenuhi tepat waktu sampai lokasi pembongkaran karena pengangkut harus mengalami antrian di Depo Pertamina untuk pengisian dan kemacetan lalu lintas jalan raya menuju tempat tujuan.

Disarankan kepada para pihak melakukan perjanjian pengangkutan BBM Industri dengan akta Notaril. Kemudian pihak pengangkut meminta peninjauan kembali perjanjian agar secara tegas diatur sanksi dan denda


(17)

atas pembayaran ongkos kirim yang lewat waktu, dan pengangkut selalu mengawasi para supir/kernet karena supir/kernet yang beritikad tidak baik dapat secara sengaja mengurangi volume BBM di tengah perjalanan yang mengakibatkan klaim ganti rugi dari penerima BBM.

Kata kunci: Perjanjian Pengangkutan BBM Hak dan kewajiban.

ABSTRACT

Transporting the fuel for industrial purposes bought by the industrial company from the depot of Pertamina carrying out by the transportation company is regulated in a written agreement saying that the transporter is responsible to transport the fuel to the unloading location without reducing its volume and quality. For this activity, the transporter gets the payment which is frequently paid late by the industrial company. The volume of the fuel can be decreasing because of the cold weather in the destination and if the decrease of fuel volume is over the limit of tolerance, it will be the responsibility of the transporter that must pay the compensation to the industrial company. The purpose of this study was to analyze the regulation on the right and responsibility of the transporter in the agreement of transportation of fuel for industrial purposes, the implementation and compliance of the rights and responsibilities of transporter of fuel for industrial purposes.

This analytical descriptive study with normative juridical approach looked at the case of the agreement of transporting the fuel for industrial purposes between PT. Yunita Permai Budiman and PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. The data for this study were obtained through the interviews with the Director of PT. Yunita Permai Budiman, the Director of PT. Toba Pulp Lestari, Tbk and the fuel filling employees at the Pertamina Depot in Medan.

The result of this study showed that the rights and responsibilities in the agreement of transporting the fuel for industrial purposes were carried out the parties involved based on the principles that the transporter was responsible to transport the fuel and to guarantee the fuel arrived at the location safe and full amount and the fuel receivers was responsible to pay the transportation costs of the fuel they received. Yet, this agreement was made underhanded that the agreement only bound the parties involved in the making of the agreement. The compliance of the rights of transporters to receive the transportation cost was always later than the date agreed that it inflicted loss to the transporters. This happened because the agreement only regulated the time limit of payment not the sanction and fine to be imposed if the payment was not pain on time. The compliance of guaranteeing to keep the fuel amount full when arrived at the location was still a constraint for the transporter because of the contribution of climate to the reduction of fuel amount and the transporter had to pay a compensation fee if the reduction of fuel amount was over the


(18)

threshold of tolerance. It was also hard for the transporter to guarantee that the fuel could arrive at the unloading location on time because the vehicles transporting the fuel had to wait for their turn to be loaded at the Pertamina Depot and traffic jams occurred on the way to the unloading location.

The parties involved in this agreement are suggested to make the agreement to transport the fuel for industrial purposes in the form of notarial act. Then the transporter asks to review the contents of the agreement that the sanction and fine imposed in relation to the late arrival of the fuel should be clearly regulated, and to avoid from paying a compensation fee to the fuel receiver, the transporter should always monitor and control the drivers and their subordinates for they can deliberately reduce the volume of the fuel transported on the way to the unloading location.

Key words: Agreement

Fuel Transportation Rights and Responsibility.


(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Transportasi di bidang pengangkutan Bahan Bakar Minyak (BBM) mempunyai peranan yang sangat strategis di dalam perkembangan industri yang berhubungan dengan kelancaran pengiriman BBM dari Depo Pertamina ke lokasi industri dalam rangka kebutuhan kegiatan industri untuk melakukan proses produksi.

Pada dasarnya suatu perbuatan hukum seperti pelaksanaan pengangkutan BBM industri yang dilakukan antara perusahaan pengangkutan dengan pengelola industri mengharapkan terjadinya kelancaran hubungan bisnis. Oleh karena itu, dalam pengangkutan BBM insdustri tersebut tidak cukup dengan adanya kata sepakat dari kedua belah pihak secara lisan, dengan dilandasi atas saling percaya mempercayai saja, tetapi harus dibuat dalam bentuk perjanjian secara tertulis.

Perjanjian pengangkutan BBM industri yang dibuat secara tertulis itu akan mengikat hak dan kewajiban dari para pihak. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.

Suatu perjanjian menimbulkan perikatan diantara para pihak yaitu suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang


(20)

memberikan hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.1

Demikian juga halnya dalam pengangkutan BBM untuk keperluan PT. Toba Pulp Lestari Tbk (perusahaan industri) yang membeli BBM industri dari Depo Pertamina, yang diangkut PT. Yunita Permai Budiman (perusahaan pengangkatan BBM), dilakukan dalam suatu perjanjian secara tertulis.

PT. Toba Pulp Lestari Tbk menunjuk dan menyerahkan kepada PT. Yunita Permai Budiman yang menerima dan menyatakan kesanggupannya melakukan pekerjaan mengangkut Bahan Bakar Minyak berdasarkan Delivery Order (DO) yang dikeluarkan Pertamina yang diberikan PT. Toba Pulp Lestari Tbk dari tempat pemuatan Depo Pertamina di Belawan ke lokasi PT. Toba Pulp Lestari Tbk yaitu pabrik yang terletak di Sosor Ladang, Desa Pangombusan, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba Samosir dan/atau Sektor Aek Nauli dan/atau Sektor Habinsaran dan/atau Sektor Tarutung dan/atau Sektor Tele yang telah ditentukan oleh pihak PT. Toba Pulp Lestari Tbk. 2

Di dalam perjanjian pengangkutan BBM itu telah diatur mengenai hak dan kewajiban para pihak, di antaranya pihak pengangkut BBM mempunyai hak untuk menerima pembayaran (ongkos angkutan) yang besarnya ditentukan sesuai jarak lokasi pembongkaran BBM tersebut, dan apabila ada perobahan kebijakan pemerintah tentang kenaikan tarif ongkos angkutan, maka kedua belah pihak

1

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. XX, PT. Intermasa, Jakarta, 1985, hal. 122.

2

Pasal 1 ayat (1) Perjanijan Pengangkutan Bahan Bakar Minyak No. 0001/PABBM/ TPL/I/2010. antara PT. Yunita Permai Budiman dengan PT. Toba Pulp Lestari Tbk.


(21)

akan meninjau kembali tentang tarif yang telah disepakati tersebut. Demikian juga batas waktu pembayaran telah ditentukan dalam perjanjian, yaitu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah pihak pengangkut BBM mengajukan penagihan dengan dilengkapi kwitansi dan atau Delivery Order (DO) BBM yang dikeluarkan Pertamina yang ditandatangani oleh supir/petugas pihak pengangkut dan petugas pihak pabrik (industri) pembeli BBM.3

Akan tetapi dalam prakteknya, pelaksanaan pembayaran ongkos angkut sering terjadi keterlambatan pembayaran dari perusahaan penerima BBM kepada perusahaan pengangkut BBM tersebut. Artinya pembayaran ongkos angkut itu tetap dilakukan oleh perusahaan penerima BBM, tetapi terlambat atau lewat dari 14 (empat belas) hari.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, kalau suatu pembayaran sudah dilaksanakan, maka tercapailah tujuannya dan musnahlah .perjanjian itu, artinya: terhentilah adanya suatu perhubungan hukum, yang dinamakan perjanjian. Pelaksanaan perjanjian yang terjadi tepat seperti dicita-citakan oleh kedua belah pihak pada waktu terbentuk perjanjian itu dalam Burgenlijk Wetboek dinamakan “betaling” (pembayaran), seolah-olah semua pelaksanaan perjanjian berupa suatu pembayanan uang tunai dan diatur dalam afdeling I dan titel IV Buku III. Titel IV ini berkepala: Pemusnahan penjanjian (Van het teneitgaan den verbintenissen), dan pasal pertama, yaitu Pasal 1381 menyebutkan sepuluh macam cara pemusnahan penjanjian, sebagai nomor satu disebutkan adalah

3

Pasal 3 ayat (1), (2) dan ayat (3) Perjanijan Pengangkutan Bahan Bakar Minyak No. 0001/PABBM/ TPL/I/2010. antara PT. Yunita Permai Budiman dengan PT. Toba Pulp Lestari Tbk.


(22)

pembayaran. Pembayaran ini merupakan pelaksanaan perjanjian dalam arti yang sebenarnya, yaitu bahwa dengan pembayaran ini tercapailah tujuan perjanjian secara yang tergambar dalam alam pikiran kedua belah pihak pada waktu membentuk persetujuan.4

Dengan dilakukannya pembayaran yang diperjanjikan maka tercapailah prestasi dalam perjanjian itu, tetapi pembayaran itu juga harus dilakukan tepat waktu. Karena keterlambatan pembayaran merupakan cidera janji atau pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan menurut selayaknya.5 Apabila salah satu pihak tidak memenuhi atau melaksanakan isi perjanjian yang telah mereka adakan, maka pihak yang melanggar isi perjanjian itu disebut telah melakukan ingkar janji. Isi perjanjian tersebut merupakan prestasi atau objek perikatan yang terjadi karena para pihak mengadakan perjanjian.

Tidak dipenuhinya janji (wanprestasi) dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. Pihak yang tidak sengaja wanprestasi ini dapat terjadi karena memang tidak mampu untuk memenuhi prestasi tersebut atau juga karena terpaksa untuk tidak melakukan prestasi tersebut. Ingkar janji dapat berupa: 6 1. Sama sekali tidak memenuhi prestasi;

2. Prestasi yang dilakukan tidak sempurna;

4

Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000, hal.112.

5

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hal. 60.

6

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 74.


(23)

3. Terlambat memenuhi prestasi;

4. Melakukan apa yang dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan.

Wanprestasi dalam suatu perjanjian, terjadi bukan hanya karena debitur tidak melaksanakan perjanjian, akan tetapi juga dapat terjadi apabila debitur melaksanakan perjanjian namun tidak tepat pada waktunya (terlambat) atau melaksanakan perjanjian tapi tidak sempurna (tidak seperti yang diperjanjikan).7 Dengan demikian dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa keterlambatan pembayaran atau lewat waktu pembayaran dari yang diperjanjikan dalam pengangkutan BBM industri dari Depo Pertamina ke lokasi pembongkaran di perusahan pembeli BBM industri adalah perbuatan wanprestasi. Terjadinya wanprestasi mengakibatkan pihak lain dirugikan, apalagi kalau pihak lain tersebut adalah pebisnis, seperti perusahaan pengangkut BBM, maka bisa kehilangan keuntungan yang diharapkan.

Kemudian di sisi lain, dalam perjanjian pengangkutan BBM itu, kapasitas BBM yang diangkut oleh pihak pengangkut harus sesuai dengan Delivery Order

(DO) dan atau Nota Penyerahan BBM dan atau Surat Pengantar Pengiriman (SPP) BBM yang dikeluarkan Pertamina. Artinya volume BBM yang diangkut sampai ke tempat tujuan pembeli BBM harus sesuai Delivery Order (DO) dari Pertamina. Apabila terjadi penyusutan volume BBM yang diangkut yang diketahui setelah dilakukan pembongkaran BBM di lokasi maka penyusutan volume ini menjadi tanggung jawab pihak pengangkut BBM.

7


(24)

Pengangkutan BBM dari tempat pengisian sampai dengan lokasi tujuan memang dapat terjadi penyusutan volume BBM yang ada di dalam tangki karena perubahan suhu dingin di lokasi pembongkaran. Untuk hal ini memang telah disepakati antara para pihak yang melakukan perjanjian, bahwa dalam hal terjadinya penyusutan BBM sesuai dengan batasan toleransi yang ditentukan maka pihak pengangkut tidak dikenakan ganti rugi. Akan tetapi jika penyusutan volume BBM melebihi batasan toleransi penyusutan maka pihak pengangkut bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

Pengukuran penyusutan volume, misalnya untuk BBM Solar, apabila selisihnya lebih besar dari pada 0.5% (toleransi perbedaan density pada suku 150 C untuk solar adalah sebesar 0.5%), maka pengiman BBM oleh perusahaan pengangkut tersebut akan ditolak oleh perusahaan penerima BBM.8 Konkritnya adalah dalam pengiriman BBM untuk tangki yang volume muatan sebesar 16.000 liter, maka batasan toleransi penyusutan yang dibenarkan adalah 0.5% dikalikan 16.000 liter yaitu sebesar 80 liter. Akibatnya jika terjadi penyusutan lebih dari 80 liter tersebut maka kerugian itu menjadi tanggung jawab pihak pengangkut BBM, yang biasanya ganti rugi ini dilakukan dengan cara pemotongan ongkos angkut oleh pihak pembeli BBM.

Menurut Pasal 486 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, suatu perjanjian pengangkutan mewajibkan pengangkut untuk menjaga keselamatan

8

Pasal 7 ayat (2) b Perjanijan Pengangkutan Bahan Bakar Minyak No. 0001/PABBM/ TPL/I/2010. antara PT. Yunita Permai Budiman dengan PT. Toba Pulp Lestari Tbk.


(25)

barang yang diangkut, mulai saat diterimanya barang hingga saat diserahkannya barang tersebut. Dari ketentuan ini terlihat adanya unsur perjanjian penitipan yang bersifat “riil” yang artinya hal itu baru akan terjadi dengan dilakukannya suatu perbuatan yang nyata, yaitu diserahkannya barang yang dititipkan yang sesuai dengan ketentuan Pasal 1694 dan Pasal 1698 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa:

a. Perjanjian terjadi, apabila seorang menerima barang dari seorang lain dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam wujud asal.

b. Persetujuan ini tidaklah telah terlaksana selain dengan penyerahan barangnya secara sungguh-sungguh atau dipersangkakan.

Jadi tidak seperti perjanjian-perjanjian lainnya yaitu sudah dilahirkan pada saat tercapainya sepakat tentang hal-hal pokok dari perjanjian9.

Selanjutnya pengangkut dipersamakan dengan kewajiban seorang yang harus memberikan suatu barang berdasarkan suatu perikatan untuk memberikan sesuatu yang diatur dalam Pasal 1235 dan Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu kewajiban untuk menyimpan dan memelihara barang tersebut, penggantian kerugian apabila pengangkut melalaikan kewajibannya, maka pada umumnya akan diwajibkan membayar ganti rugi.10

9

Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 2001, hal. 107.

10Ibid.,


(26)

Pengangkut diwajibkan mengganti segala kerugian yang disebabkan karena barang tersebut seluruhnya atau sebagian tidak dapat diserahkan, atau karena terjadi kerusakan pada barang itu. Kewajiban penerima titipan adalah menyimpan atau memelihara barang yang dititipkan/luas kewajiban penyimpanan tergantung dari :

1. Isi persetujuan yang telah dijanjikan 2. Maksud dan sifat kontrak itu sendiri.

M. Yahya Harahap mengemukakan, si penerima titipan diwajibkan merawat barang yang dipercayakan padanya, memeliharanya sedemikian rupa seperti barang milik sendiri. Pemeliharaan harus dilakukan secara hati-hati

a. Jika penitipan dilakukan atas penerimaan pihak penerima titipan b. Jika penerima titipan mendapat upah

c. Jika penitipan dibuat terutama untuk kepentingan penerima titipan sendiri. d. Jika dalam persetujuan ditegaskan, bahwa penerima titipan bertanggung

jawab atas segala kelalaian dalam pemeliharaan.

Yang dimaksud lebih hati-hati adalah menaruh perhatian lebih besar dalam arti memelihara barang sejak diterima sampai dengan diserahkannya dalam keadaan baik oleh pengangkut.11

Demikian juga halnya dalam perjanjian pengangkatan BBM industri yang dilakukan oleh para pihak adanya tanggung jawab bagi pihak pengangkut atas

11

M. Yahya Harahap, Segi-segi hukum perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hal. 283-184.


(27)

BBM yang diangkutnya sesuai dengan yang telah diperjanjikan, kecuali pihak pengangkut dapat membuktikan bahwa kerugian yang diderita pemilik BBM dapat dibuktikan tidak adanya unsur kesalahan di pihak pengangkut.

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Tentang Hak dan Kewajiban Pengangkut Dalam Perjanjian Pengangkutan BBM Industri (Studi Kasus Perjanjian Pengangkutan BBM antara PT. Yunita Permai Budiman dengan PT. Toba Pulp Lestari Tbk)”. Mengingat bahwa dalam perjanjian telah ditentukan jangka waktu pembayaran ongkos kirim oleh pihak pemilik BBM kepada pengangkut, hanya saja dalam prakteknya pembayaran ongkos angkut ini sering terjadi lewat dari batas jangka waktu yang telah diperjanjikan. Kemudian dalam perjanjian penganggutan BBM, maka pihak pengangkut BBM bertanggung jawab untuk mengangkut BBM tersebut sampai ke tempat tujuan sesuai dengan volume BBM yang tercantum dalam Delivery Order yang dikeluarkan oleh pihak Depo Pertamina, yang dalam pelaksanaan sering terjadi penyusutan volume BBM ketika sampai di lokasi tujuan. Dalam perjanjian memang telah ditentukan toleransi penyusutan volume BBM yang diangkut tersebut mengingat volume BBM dapat menyusut karena dipengaruhi oleh suhu yang dingin di lokasi tujuan BBM tersebut. Sehingga jika terjadi penyusutan volume BBM diluar batas toleransi ditentukan adalah menjadi tanggung jawab pihak pengangkut BBM. Selain daripada itu perjanjian pengangkutan BBM yang dilakukan para pihak dilihat dari bentuknya adalah perjanjian secara dibawah tangan, yaitu hanya ditandatangani kedua belah yang berperjanjian (tidak


(28)

dihadapan Notaris sebagai pejabat yang berwenang untuk itu), walaupun perjanjian pengangkutan BBM yang dilakukan secara dibawah tangan itu tidak menjadi batal, hanya saja perjanjian itu bukanlah akta otentik yang mempunyai kekuatan hukum yang sempurna di hadapan pengadilan.

B. Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari identifikasi masalah di atas maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini adalah:

1. Bagaimana ketentuan tentang hak dan kewajiban pengangkut dalam perjanjian pengangkutan BBM Industri?

2. Bagaimana pelaksanaan tentang pemenuhan hak-hak pengangkut BBM Industri?

3. Bagaimana pelaksanaan tentang pemenuhan kewajiban pengangkut BBM Industri?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui ketentuan tentang hak dan kewajiban pengangkut dalam perjanjian pengangkatan BBM Industri.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan tentang pemenuhan hak-hak pengangkut BBM Industri.

3. Untuk mengetahui pelaksanaan tentang pemenuhan kewajiban pengangkut BBM Industri.


(29)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian dapat dilihat secara teoretis dan secara praktis, yaitu:

1. Secara teoretis, penelitian dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu hukum bisnis khususnya pengangkutan BBM industri dalam pelaksanaan perjanjian pengangkutan BBM antara pihak pengangkut dengan pihak pembeli BBM industri dari Pertamina.

2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini dapat sebagai bahan pegangan dan rujukan dalam mempelajari tentang perjanjian pengangkutan BBM industri, bagi para akademisi, mahasiswa dan masyarakat umum.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara khusus pada Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitar Sumatera Utara, penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Tentang Hak dan Kewajiban Pengangkut Dalam Perjanjian Pengangkutan BBM Industri (Studi Kasus Perjanjian Pengangkutan BBM antara PT. Yunita Permai Budiman dengan PT. Toba Pulp Lestari Tbk)” belum pernah dilakukan. Memang pernah ada penelitian sebelumnya yang membahas tentang perjanjian yang dilakukan oleh: 1. Sophia Eka Cita, NIM. 037011079, Mahasiswa Magister Kenotariatan,

Program Pascasarjana USU, Medan, Tahun 2004, dengan judul “Tinjaun Hukum Atas Klausul Eksonerasi Dalam Perjanjian Pengangkutan Udara.


(30)

2. Cut Sartika Hoesin, NIM. 067011024, Mahasiswa Magister Kenotariatan, Sekolah Pascasarjana USU, Medan, Tahun 2006, dengan judul “ Tinjauan Yuridis Terhadap Pertanggung Jawaban Kapal Atas Pengangkutan Barang: Studi Pada PT. Baringin Loyd di Sibolga.

Apabila diperhadapkan penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan tersebut dengan penelitian ini, maka baik permasalahan maupun materi pembahasan adalah berbeda. Dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,12 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.13 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoretis14

Kerangka teori yang digunakan dalam pembahasan tinjauan yuridis tentang hak dan kewajiban pengangkut dalam perjanjian pengangkutan BBM

12

J.J.J. M. Wuisman, dalam M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203.

13

Ibid, hal. 16.

14


(31)

Industri ini adalah teori kebebasan berkontrak dalam perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, sebagaimana tercermin dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Definisi perjanjian telah diatur dalam pasal 1313 KUH Perdata, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari perkataan overeenkomst dalam bahasa Belanda. Kata overeenkomst tersebut lazimnya diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam pasal 1313 KUH Perdata tersebut, sama artinya dengan perjanjian.

Adapula yang berpendapat bahwa perjanjian tidak sama dengan persetujuan. Perjanjian merupakan terjemahan dari oveereenkomst sedangkan perjanjian merupakan terjemahan dari toestemming yang ditafsirkan sebagai

wilsovereenstemming (persesuaian kehendak/kata sepakat).15

Perbedaan pandangan di atas, timbul karena adanya sudut pandang yang berbeda, yaitu pihak yang satu melihat objeknya dari perbuatan, yang dilakukan oleh subjek hukumnya. Sedangkan pihak yang lain meninjau dari sudut

15

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1985, hal. 97.


(32)

hubungan hukum. Hal itu menyebabkan banyak sarjana yang memberikan batasan sendiri mengenai istilah perjanjian tersebut. Menurut pendapat yang banyak dianut (communis opinion doctorum) perjanjian adalah perbuatan hukum yang didasarkan atas kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Hal itu sependapat pula dengan Sudikno, yang mengatakan bahwa ”perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum”.16

Menurut Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.17 R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.18 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, berpendapat bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum di mana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih.19

Dari pendapat-pendapat di atas, maka pada dasarnya perjanjian adalah proses interaksi atau hubungan hukum dari dua perbuatan hukum yaitu penawaran oleh pihak yang satu dan penerimaan oleh pihak yang lainnya

16

Ibid., hal. 97-98

17

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 2001, hal. 36.

18

R. Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bina Cipta, Bandung, 1987, hal. 49.

19

Sri Sofwan Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty Offset, Yogyakarta, 2003, hal.1.


(33)

sehingga tercapai kesepakatan untuk menentukan isi perjanjian yang akan mengikat kedua belah pihak.

Pada umumnya perjanjian tidak terikat terhadap suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan dan andaikata dibuat secara tertulis maka ini bersifat sebagai alat bukti apabila terjadi perselisihan.20

Untuk beberapa perjanjian tertentu undang-undang menentukan suatu bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian bentuk tertulis tadi tidaklah hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya (bestaarwaarde) itu.21

Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, di antaranya perjanjian bernama (benoemd) dan perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomst). Perjanjian bernama atau perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang berdasrkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUHPerdata. Kemudian di luar perjanjian bernama, tumbuh pula perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur secara khusus di dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat.

20

Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, dalam rangka Menyambut Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun,, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 65.

21Ibid.,


(34)

Jumlah perjanjian ini tidak berbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, seperti perjanjian kerjasama (misal Pengangkutan BBM). Lahirnya perjanjian ini di dalam praktek adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak, mengadakan perjanjian atau partij otonom.22

Pasal 1319 KUHPerdata menegaskan semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam KUHPerdata. Ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian terdapat di dalam Buku III KUH Perdata, yang memiliki sifat terbuka artinya ketentuan-ketentuannya dapat dikesampingkan, sehingga hanya berfungsi mengatur saja. Demikian juga halnya perjanjian pengangkutan BBM Industri yang dilakukan para pihak yang di dalamnya tercantum hak dan kewajiban dari para pihak.

Sifat terbuka dari KUH Perdata ini tercermin dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang mengandung asas kebebasan berkontrak, maksudnya setiap orang bebas untuk menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kesusilaan dan ketertiban umum, serta selalu memperhatikan syarat sahnya perjanjian sebagaimana termuat di dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:

a. Adanya kata sepakat;

22Ibid.,


(35)

b. Kecakapan untuk membuat perjanjian; c. Adanya suatu hal tertentu;

d. Adanya causa yang halal.

Syarat pertama dan kedua adalah syarat yang harus dipenuhi oleh subjek suatu perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subjektif. Syarat ketiga dan keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh objek perjanjian oleh karena itu disebut syarat objektif.

Selanjutnya inti dari suatu perjanjian adalah adanya prestasi yang harus dipenuhi. Pada umumnya literatur yang ada membagi prestasi ke dalam tiga macam, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1234 BW, yaitu:menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu. Namun, Ahmadi Minru, tidak sependapat dengan pembagian tersebut karena, apa yang disebut sebagai macam-macam prestasi tersebut bukan wujud prestasi tetapi hanya cara-cara melakukan prestasi, yakni:23

a. Prestasi yang berupa barang, cara melaksanakannya adalah menyerahkan sesuatu (barang);

b. Prestasi yang berupa jasa, cara melaksanakannya adalah dengan berbuat sesuatu;

c. Prestasi yang berupa tidak berbuat sesuatu, cara pelaksanaannya adalah dengan bersikap pasif yaitu tidak berbuat sesuatu yang dilarang dalam perjanjian.

Walaupun pada umumnya prestasi para pihak secara tegas ditentukan dalam kontrak, prestasi tersebut juga dapat lahir karena diharuskan oleh kebiasaan, kepatutan, atau undang-undang. Oleh karena itu, prestasi yang harus

23


(36)

dilakukan oleh para pihak telah ditentukan dalam perjanjian atau diharuskan oleh kebiasaan, kepatutan atau undang-undang, tidak dilakukannya prestasi tersebut berarti telah terjadi ingkar janji atau disebut wanprestasi.24

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa wanprestasi atau tidak dipenuhinya janji dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. Pihak yang tidak sengaja wanprestasi ini dapat terjadi karena memang tidak mampu untuk memenuhi prestasi tersebut atau juga karena terpaksa untuk tidak melakukan prestasi tersebut. Wanprestasi dapat berupa:

a. Sama sekali tidak memenuhi prestasi; b. Prestasi yang dilakukan tidak sempurna; c. Terlambat memenuhi prestasi;

d. Melakukan apa yang dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan.

Terjadinya wanprestasi mengakibatkan pihak lain (lawan dari pihak yang wanprestasi) dirugikan, apalagi kalau pihak lain tersebut adalah pedagang maka bisa kehilangan keuntungan yang diharapkan. Oleh karena pihak lain dirugikan akibat wanprestasi tersebut, pihak wanprestasi harus menanggung akibat dari tuntutan pihak lawan yang dapat berupa tuntutan:

a. Pembatalan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi); b. Pemenuhan kontrak (diserati atau tidak disertai ganti rugi).

Dengan demikian, ada dua kemungkinan pokok yang dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan, yaitu pembatalan atau pemenuhan kontrak. Namun, jika dua

24Ibid.,


(37)

kemungkinan pokok tersebut diuraikan lebih lanjut, kemungkinan tersebut dapat dibagi menjadi empat, yaitu:25

a. Pembatalan kontrak saja;

b. Pembatalan kontrak disertai tuntutan ganti rugi; c. Pemenuhan kontrak saja;

d. Pemenuhan kontrak disertai tuntutan ganti rugi.

Pembagian atas empat kemungkinan tuntutan tersebut di atas, sekaligus merupakan pernyataan ketidak setujuan Ahmadi Miru, atas pendapat yang membagi atas lima kemungkinan, yaitu pendapat yang masih menambahkan satu kemungkinan lagi, yaitu “penuntutan ganti rugi saja” karena tidak mungkin seseorang menuntut ganti rugi saja yang lepas dari kemungkinan dipenuhinya kontrak atau batalnya kontrak karena dibatalkan atau diipenuhinya kontrak merupakan dua kemungkinan yang harus dihadapi para pihak dan tidak ada pilihan lain sehingga tidak mungkin ada tuntutan ganti rugi yang berdiri sendiri sebagai akibat dari suatu wanprestasi. Tuntutan apa yang harus ditanggung oleh pihak yang wanprestasi tersebut tergantung pada jenis tuntutan yang dipilih oleh pihak yang dirugikan. Bahkan apabila tuntutan itu dilakukan dalam bentuk gugatan di pengadilan, pihak wanprestasi tersebut juga dibebani biaya perkara.26 Demikian juga yang harus dilakukan para pihak dalam perjanjian pengangkutan BBM Industri.

25

Ibid., hal. 75.

26Ibid.,


(38)

Selanjutnya, tanggung jawab para pihak dalam perjanjian pengangkutan barang adalah bagi pihak pengangkut mempunyai kewajiban menjaga keselamatan barang yang diangkutnya sejak dimuat sampai dengan penyerahannya di lokasi yang telah ditentukan, sedangkan pemilik barang/penerima barang berkewajiban untuk membayar ongkos-ongkos pengangkutan atas pengangkutan barang yang diperintahkan untuk diangkut tersebut.27

Perjanjian pengangkutan barang sebagian besar diatur dalam Buku Ketiga KUH Perdata dan Buku Kedua KUHD. Perjanjian pengangkutan menjanjikan pihak pengangkut untuk menjaga keselamatan barang yang harus diangkut dari saat penerimaan sampai saat penyerahannya. Pasal 468 KUHD menentukan pihak pengangkut harus mengganti kerugian karena tidak menyerahkan seluruh atau sebagian barangnya atau karena ada kerusakan, kecuali bila pihak pengangkut dapat membuktikan bahwa tidak diserahkannya barang itu seluruhnya atau sebagian atau kerusakannya itu adalah akibat suatu kejadian yang selayaknya tidak dapat dicegah atau dihindarinya, akibat sifatnya, keadaannya atau suatu cacat barangnya sendiri atau akibat kesalahan pengirim. Pihak pengangkut bertanggungjawab atas tindakan orang yang dipekerjakannya dan terhadap benda yang digunakannya dalam pengangkutan itu. Oleh karena itu dalam perjanjian pengangkutan BBM industri bahwa pihak pengangkut BBM

27

Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, jilid 4, Djambatan, Jakarta, 1998, hal. 1-2


(39)

Industri bertanggung jawab atas volume dan kualitas BBM yang diangkut dan juga bertanggung jawab terhadap orang-orang yang diperkerjakan untuk pengangkutan BBM tersebut seperti supir dan kernet mobil tangki pengangkut BBM tersebut.

2. Konsepsi

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition.28 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, sebagai berikut:

a. Perjanjian Pengangkutan BBM industri adalah pelaksanaan pengiriman BBM yang dibeli pihak industri dari Depo Pertamina yang diangkut oleh perusahaan mobil tangki pengangkut BBM dibuat dalam bentuk perjanjian secara tertulis.

b. BBM industri adalah pembedaan terhadap jenis minyak yang dibutuhkan industri dan harga yang ditentukan Pertamina bagi pihak pengelola industri.

28

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 10.


(40)

c. Pihak pengangkut BBM adalah perusahaan pengangkut (mobil tangki) yang dikelola pihak swasta, yaitu PT. Yunita Permai Budiman.

d. Pihak penerima/pembeli BBM dari Pertamina adalah perusahaan industri, yaitu PT. Toba Pulp Lestari Tbk.

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, maksudnya suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek dari hasil penelitian di lapangan,29 dalam hal ini pelaksanaan perjanjian pengangkutan BBM industri antara PT. Toba Pulp Lestari Tbk dengan PT. Yunita Permai Budiman. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.30

2. Tehnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung penelitian lapangan, sebagai berikut:

a. Penelitian Kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang

29

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 63.

30


(41)

meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.31

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni: a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

c) Petunjuk teknis Pertamina yang terkait dengan pengangkutan bahan bakar minyak.

2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah dari kalangan hukum, yang berkaitan perjanjian pengangkutan BBM industri antara perusahaan pengangkut BBM (mobil tangki) dengan dengan perusahaan industri.

3) Bahan tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus ensiklopedia atau majalah yang terkait dengan perjanjian pengangkutan BBM industri antara perusahaan pengangkut BBM (mobil tangki) dengan dengan perusahaan industri..

b. Penelitian Lapangan (field research) untuk mendapatkan data yang terkait dengan masalah perjanjian pengangkutan BBM industri, dengan melakukan wawancara kepada narasumber, yaitu:

1) PT. Toba Pulp Lestari Tbk sebagai perusahaan penerima/pembeli BBM, yang terdiri dari: Direktur dan karyawan/petugas penerima BBM di lokasi pembongkaran.

31

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 1995, hal.39.


(42)

2) PT. Yunita Permai Budiman sebagai perusahaan pengangkut BBM, yang terdiri dari: Direktur dan karyawan/supir mobil tangki pengangkut BBM. 3) Pegawai Pengisian Depo Pertamina Medan .

Masing-masing 1 (satu) orang, sehingga jumlah narasumber dalam penelitian adalah sebanyak 5 (lima) orang. Narasumber ini dipilih dengan pertimbangan bahwa pihak-pihak tersebut yang kriterianya dianggap mengetahui permasalahan yang diteliti.

3. Alat Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan 2 (dua) alat pengumpulan data yaitu:

1. Studi Dokumen untuk mengumpulkan data sekunder yang terkait dengan permasalahan yang diajukan, dengan cara mempelajari buku-buku, hasil penelitian dan dokumen-dokumen perundang-undangan yang ada kaitannya dengan perjanjian pengangkutan BBM selanjutnya digunakan untuk kerangka teoritis pada penelitian lapangan.

2. Wawancara, yang dilakukan dengan pedoman wawancara yang terstruktur kepada narasumber, yaitu Direktur PT. Toba Pulp Lestari Tbk sebagai perusahaan penerima/pembeli BBM, Direktur PT. Yunita Permai Budiman sebagai perusahaan pengangkut BBM, dan Pegawai Pengisian Depo Pertamina Medan tentang pelaksanaan perjanjian pengangkutan BBM.


(43)

4. Analisis Data

Analisis data penelitian ini adalah menggunakan teknik analisis kualitatif, sehingga hasil analisis ditentukan berdasarkan uraian-uraian fakta di lapangan untuk memperkuat argumentasi yang dapat dijadikan sebagai dasar penarikan kesimpulan. Sebagaimana layaknya pelaksanaan jenis deskriptif, penelitian ini pada dasarnya tidak hanya terbatas pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi data yang dikumpulkan. Oleh karena itu data yang telah dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis secara kualitatif dan diterjemahkan secara logis sistematis untuk selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan deduktif. Kesimpulan adalah merupakan jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti, sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.


(44)

A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian

Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari perkataan overeekomst dalam bahasa Belanda. Kata overeekomst

tersebut lazim diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut sama artinya dengan perjanjian.

Adapula yang berpendapat bahwa perjanjian tidak sama dengan persetujuan.32 Perjanjian merupakan terjemahan dari oveereenkomst sedangkan perjanjian merupakan terjemahan dari toestemming yang ditafsirkan sebagai

wilsovereenstemming (persesuaian kehendak/kata sepakat).

Perbedaan pandangan dari para sarjana tersebut di atas, timbul karena adanya sudut pandang yang berbeda, yaitu pihak yang satu melihat objeknya dari perbuatan yang dilakukan subyek hukumnya. Sedangkan pihak yang lain meninjau dari sudut hubungan hukum. Hal itu menyebabkan banyak sarjana yang memberikan batasan sendiri mengenai istilah perjanjian tersebut. Menurut

32


(45)

pendapat yang banyak dianut (communis opinion doctorum) perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Hal itu sependapat pula dengan Sudikno, ”perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasar kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum”.33

Menurut Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.34 R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.35 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, berpendapat bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih.36

Dari pendapat-pendapat di atas, maka pada dasarnya perjanjian adalah proses interaksi atau hubungan hukum dari dua perbuatan hukum yaitu penawaran oleh pihak yang satu dan penerimaan oleh pihak yang lainnya sehingga tercapai kesepakatan untuk menentukan isi perjanjian yang akan mengikat kedua belah pihak.37

Selanjutnya pengertian perjanjian yang dibahas pada Pasal 1313 KUH Perdata, ternyata mendapat kritik dari para sarjana hukum karena masih

33Ibid.,

hal. 97-98

34

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 2001, hal. 36.

35

R. Setiawan, Op. Cit., hal. 49.

36

Sri Sofwan Masjchoen, Op. Cit., hal. 1.

37


(46)

mengandung kelemahan-kelemahan. Sehingga di dalam prakteknya menimbulkan berbagai keberatan sebab di satu pihak batasan tersebut sangat kurang lengkap, namun di lain pihak terlalu luas. Rumusan pengertian tentang perjanjian menurut KUH Perdata tersebut memberikan konskuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, di mana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor).

2. Syarat Sahnya Perjanjian

Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah harus terpenuhi 4 syarat, yaitu:

a. Adanya kata sepakat;

b. Kecakapan untuk membuat perjanjian; c. Adanya suatu hal tertentu;

d. Adanya causa yang halal.

Syarat pertama dan kedua adalah syarat yang harus dipenuhi oleh subyek suat perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif. Syarat ketiga dan keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian oleh karena itu disebut syarat obyektif. Adapun penjelasan dari masing-masing adalah sebagai berikut:

a. Kata sepakat

Kata sepakat berarti persesuaian kehendak, maksudnya memberikan persetujuan atau kesepakatan. Jadi sepakat merupakan pertemuan dua kehendak


(47)

dimana kehendak pihak yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain dan kehendak tersebut saling bertemu.

Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya disebutkannya ”sepakat” saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara (formalitas) apapun sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.38

J. Satrio, menyatakan, kata sepakat sebagai persesuaian kehendak antara dua orang di mana dua kehendak saling bertemu dan kehendak tersebut harus dinyatakan. Pernyataan kehendak harus merupakan pernyataan bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum. Dengan demikian adanya kehendak saja belum melahirkan suatu perjanjian karena kehendak tersebut harus diutarakan, harus nyata bagi yang lain dan harus dimengerti oleh pihak lain.39

Di dalam KUH Perdata tidak dijelaskan mengenai kata sepakat ini, tetapi di dalam Pasal 1321 ditentukan syarat bahwa tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya karena dengan

38

Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1992, hal. 4.

39

J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal. 129


(48)

paksaan atau penipuan. Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya kata sepakat antara masing-masing pihak harus diberikan secara bebas atau tidak boleh ada paksaan, kekhilafan dan penipuan. Menurut Sobekti,40 yang dimaksud paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis) jadi bukan paksaan badan (fisik). Selanjutnya kekhilafan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut ia tidak akan memberikan persetujuan. Kemudian penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat unuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Dengan demikian suatu perjanjian yang kata sepakatnya didasarkan paksaan, kekhilafan, penipuan maka perjanjian itu di kemudian hari dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak.

b. Cakap untuk membuat perjanjian (bertindak)

Dalam Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan oleh undang-undang tidak ditentukan lain yaitu ditentukan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian.

40


(49)

Selanjutnya Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan bahwa orang yang tidak cakap membuat perjanjian:

1) Orang yang belum dewasa

2) Mereka yang berada di bawah pengampuan/perwalian dan

3) Orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh Undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu.

Mengenai orang yang belum dewasa diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata, dinyatakan bahwa ”belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan sebelumnya belum kawin”. Apabila perkawinan itu dibubarkannya sebelum umur mereka genap 21 (dua puluh satu) tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.41 Namun dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 39 dan 40 dinyatakan untuk penghadap dan saksi paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah. Dalam hal ini cakap bertindak untuk keperluan khusus. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan cukup umur untuk kawin adalah 18 tahun. Sehingga apabila seseorang belum berusia genap 21 tahun tetapi telah kawin menimbulkan konsekuensi menjadi cakap bertindak. Dengan demikian dasar usia cakap untuk bertindak, jika tidak untuk keperluan khusus (telah diatur dalam undang-undang tertenu) maka usia

41


(50)

yang dipakai adalah dua puluh satu tahun atau telah menikah mendasarkan Pasal 1330 KUH Perdata.

Mengenai pengampuan/perwalian telah diatur dalam Pasal 433 dan 345, bunyinya sebagai berikut:

Pasal 433:

Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawa pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirnya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.

Pasal 345:

Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia maka perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku oleh orang tua yang hidup terlama, sekadar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya.

Selanjutnya untuk penjelasan tentang orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertenu, diatur pula dalam Pasal 108 KUH Perdata disebutkan bahwa seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya. Namun hal ini sudah tidak berlaku dengan adanya Undang-Undan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni Pasal 31 yang menyatakan: hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan


(51)

kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

Soebekti menjelaskan bahwa dari sudut keadilan, perlulah bahwa orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, karena seorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan harta kekayaannya.

c. Adanya suatu hal tertentu

Yang dimaksud dengan suat hal tertenu dalam suatu perjanjian ialah objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

Di dalam KUH Perdata Pasal 1333 ayat (1) menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak menjadi masalah asalkan di kemudian hari ditentukan (Pasal 1333 ayat 2).

d. Adanya suatu sebab/kausa yang halal

Yang dimaksud dengan sebab atau kausa di sini bukanlah sebab yang mendoron orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu


(52)

perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak,42 sedangkan sebagaimana yang telah dikemukakan Soebekti, adanya suatu sebab yang dimaksud tiada lain daripada isi perjanjian.

Pada Pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa suatu sebab atau kausa yang halal adalah apabila tidak dilaran oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian yang tidak mempunyai sebab yang tidak halal akan berakibat perjanjian itu batal demi hukum.

Pembebanan mengenai syarat subyektif dan syarat obyektif itu penting artinya berkenaan dengan akibat yang terjadi apabila persyaratan itu tidak terpenuhi. Tidak terpenuhinya syarat subyektif mengakibatkan perjanjian tersebut merupakan perjanjian yang dapat dimintakan pembatalannya. Pihak di sini yang dimaksud adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum dan pihak yang memberikan perizinannya atau menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas. Misalkan orang yang belum dewasa yang memintakan pembatalan orang tua atau walinya ataupun ia sendiri apabila ia suah menjadi cakap dan orang yang ditaruh di bawah pengampuan yang menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya diwakili oleh pengampu atau kuratornya. Dan apabila syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk

42

Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980, hal. 319


(53)

melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Perjanjian seperti itu disebut null and void. Sedangkan tidak terpenuhinya syarat obyektif mengakibatkan suat perjanjian batal demi hukum.

3. Jenis-jenis Perjanjian

Mengenai perjanjian ini diatur dalam Buku III KUH Perdata, peraturan-peraturan yang tercantum dalam KUH Perdata ini sering disebut juga dengan peraturan pelengkap, bukan peraturan memaksa, yang berarti bahwa para pihak dapat mengadakan perjanjian dengan menyampingkan peraturan-peraturan perjanjian yang ada. Oleh karena itu di sini dimungkinkan para pihak untuk mengadakan perjanjian-perjanjian yang sama sekali tidak diatur dalam bentuk perjanjian itu:

1. Perjanjian bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata. Yang termasuk ke dalam perjanjian ini, misalnya: jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, dan lain-lain. 2. Perjanjian-perjanjian yang tidak teratur dalam KUH Perdata. Jadi

dalam hal ini para pihak yang menentukan sendiri perjanjian itu. Dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh para pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi masing-masing pihak.43

Pasal 1234 KUH Perdata, membagi perikatan menjadi 3 (tiga) macam: a. Perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang

b. Perikatan untuk berbuat sesuatu c. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.

43

R. M. Suryodiningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung, 1978, hal. 10.


(54)

Lebih lanjut penjelasan dari perikatan di atas, adalah sebagai berikut: a. Perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang

Ketentuan ini, diatur dalam KUH Perdata Pasal 1235 sampai dengan Pasal 1238. Sebagai contoh untuk perikatan ini, adalah jual beli, tukar menukar, penghibahan, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan lain-lain.

b. Perikatan untuk berbuat sesuatu

Hal ini diatur dalam Pasal 1239 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: “Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apa si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga”. Sebagai contoh perjanjian ini adalah perjanjian hutang.

c. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu

Hal ini diatur dalam Pasal 1240 KUH Perdata, sebagai contoh perjanjian ini adalah: perjanjian untuk tidak mendirikan rumah bertingkat, perjanjian untuk tidak mendirikan perusahaan sejenis, dan lain-lain.

Setelah membagi bentuk perjanjian berdasarkan pengaturan dalam KUH Perdata atau di luar KUH Perdata dan macam perjanjian dilihat dari lainnya, di sini, R. Subekti,44 membagi lagi macam-macam perjanjian yang dilihat dari bentuknya, yaitu:

1) Perikatan bersyarat, adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi. Pertama mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu

44


(55)

barulah akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu timbul. Suatu perjanjian yang demikian itu, mengandung adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertanggung jawabkan (ospchortende voorwade). Suatu contoh saya berjanji pada seseorang untuk membeli mobilnya kalau saya lulus dari ujian, di sini dapat dikatakan bahwa jual beli itu akan hanya terjadi kalau saya lulus dari ujian.

2) Perikatan yang digantungkan pada suatu ketepatan waktu (tijdshepaling), perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya, misalnya meninggalnya seseorang.

3) Perikatan yang memperbolehkan memilih (alternatif) adalah suatu perikatan, dimana terdapat dua atau lebih macam, prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau satu juta rupiah.

4) Perikatan tanggung menanggung (hoofdelijk atau solidair) ini adalah suatu perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang bersama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam yang belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam praktek.

5) Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi, apakah suatu perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil ke muka. Jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain. Hal mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang menyebabkan ia digantikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian ahli warisnya.

6) Perikatan dengan penetapan hukum (strafbeding), adalah untuk mencegah jangan sampai ia berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya, dalam praktek banyak hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya. Hukuman ini, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu. Hakim mempunyai kekuasaan untuk meringankan hukuman apabila perjanjian telah sebahagian dipenuhi.


(1)

3.

Pelaksanaan atas pemenuhan kewajiban pengangkut BBM Industri berupa

menjaga keutuhan volume sampai ke tempat tujuan masih menjadi kendala

bagi pihak pengangkut BBM, karena sifat BBM dapat menyusut disebabkan

oleh iklim. Penyustan volume BBM yang melewati ambang batas toleransi

harus diganti rugi oleh pihak pengangkut karena dianggap kelalaian dari

pihak pengangkut. Demikian juga dalam memenuhi tepat waktu sampai

lokasi pembongkaran karena pihak pengangkut harus mengalami antrian di

Depo Pertamina untuk pengisian dan kemacetan lalu lintas jalan menuju

tempat tujuan.

B.

Saran

1.

Kepada para pihak yang melakukan perjanjian pengangkutan BBM Industri

untuk membuat perjanjian dengan akta Notaril atau di hadapan Notaris,

sehingga perjanjian sebagai akta otentik yang mengikat para pihak dan pihak

ketiga dan sebagai alat bukti yang sempurna apabila bersengketa di

Pengadilan.

2.

Kepada pihak pengangkut BBM Industri dapat meminta kepada perusahaan

industri untuk meninjau kembali perjanjian pengangkutan BBM yang sedang

berjalan untuk secara tegas menentukan sanksi dan denda atas keterlambatan

pembayaran ongkos kirim BBM tersebut.


(2)

116

3.

Kepada pihak pengangkut BBM juga harus dapat mengawasi para supir/

kernet yang dipercayakan untuk pengiriman BBM karena supir/kernet yang

beritikad tidak baik dapat saja secara sengaja mengurangi volume BBM yang

diangkut di tengah perjalanan yang mengakibatkan klaim ganti rugi dari

pihak penerima BBM.


(3)

Badrulzaman, Mariam Darus, dkk.,

Kompilasi Hukum Perikatan,

PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Badrulzaman, Mariam Darus,

Mencari Sistem Hukum Benda Nasional,

Alumni,

Bandung, 1983

________,

K.U.H. Perdata Buku III, Hukum Perikatan Dengan Penjelasan,

Alumni, Bandung, 1996.

H.S., Salim,

Hukum Kontrak, Teori & Teknik Penyusunan Kontrak,

Sinar

Grafika Jakarta, 2005.

________,

Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia,

Sinar

Grafika, Jakarta, 2008.

________,

Perkembangan

Hukum

Kontrak

Di

Luar

KUH

Perdata,

PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008.

Harahap, M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982

Hartono, C.F.G. Sunaryati, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,

Alumni, Bandung, 1991

Hisyam, M, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, FE UI, Jakarta, 1996

Lubis, M. Solly,

Filsafat Ilmu dan Penelitian,

CV. Mandar Maju, Bandung,

1994.

Mahadi, Falsafat Hukum Suatu Pengantar, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989

Mahmoeddin, H. As.,

Melacak Kredit Bermasalah,

Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta, 2004.

Masjchoen, Sri Soedewi,

Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum

Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980.

________,

Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan

Jaminan Perorangan, Liberty Offset, Yogyakarta, 2003.


(4)

118

Mertokusumo, Sudikno,

Hukum Acara Perdata Indonesia,

Liberty, Yogyakarta,

1985.

Miru, Ahmadi,

Hukum Kontrak Perancangan Kontrak,

PT. RajaGrafindo

Persada, Jakarta, 2007.

Muhammad, Abdulkadir,

Hukum Pengangkutan Darat, Laut dan Udara, Citra

Aditya Bakti, Bandung, 1991.

________,

Hukum dan Penelitian Hukum,

PT.Citra Aditya Bakti, Bandung,

2004.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaya,

Perikatan Pada Umumnya,

PT.

RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003.

________,

Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,

PT. RajaGrafindo Persada,

Jakarta, 2003.

Prawirohamidjojo, R. Soetojo,

Hukum Perikatan, PT. Bina Ilmu, Surabaya,

1979.

Prodjodikoro, Wirjono,

Azas-Azas Hukum Perjanjian,

Mandar Maju, Bandung,

2000

Purwosutjipto,

Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, jilid 4, Djambatan,

Jakarta, 1998.

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum,PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1986.

Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi,

Pengantar Filsafat Hukum,

Mandar Maju,

Bandung, 2002.

Hanitijo S.

Ronny, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia

Indonesia, Jakarta,1990.

Purwosutjipto, H.M.N,

Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 3,

Djambatan, Jakarta, 1983

Satrio, J.,

Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan,

PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung, 1993.

________,

Hukum Perikatan : Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, buku I,

PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.


(5)

Setiawan, R.,

Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya,

Bina Cipta,

Bandung, 1987.

Sjahdeini, Sutan Remy,

Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang

Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia,

Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji,

Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 1995.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986.

Sri Rejeki,

Pengangkutan dan Hukum Pengangkutan Darat, Universitas

Diponegoro, Semarang, 1980.

Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 2001

________, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1992.

________, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2001.

________, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1996

________, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. XX, PT. Intermasa, Jakarta, 1985

________, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 2001

Subekti, R., Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982.

________, Aneka Perjanjian, Cet.VII, Alumni, Bandung, 1985.

________, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987.

Suryodiningrat, R. M.,

Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian,

Tarsito,

Bandung, 1978.

Sution Usman Aji, Djoko Prakoso, Hari Pranomo,

Hukum Pengangkutan di

Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1991.

Syamsudin, M., Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada,

Jakarta, 2007


(6)

120

Widjaya, I. G. Ral,

Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting) Tearo dan

Praktek. Kesaint Blanc, Jakarta, 2002.

Wirodiprodjo, Syaifullah,

Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum

Pengangkutan Udara Internationaldan Nasional,

Liberty, Yogyakarta,

1989.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa.

Perjanijan Pengangkutan Bahan Bakar Minyak No. 0001/PABBM/ TPL/I/2010.

antara PT. Yunita Permai Budiman dengan PT. Toba Pulp Lestari Tbk.


Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Pihak Pengangkut dalam Perjanjian Pengangkutan Pulp antara PT. Toba Pulp Lestari, Tbk dengan CV. Anugrah Toba Permai Lestari (Studi pada CV. Anugrah Toba Permai Lestari)

0 119 99

“Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara PT. Bank Central Asia, Tbk dengan PT. Dana Purna Investama (Studi Penelitian pada PT. Bank Central Asia, Tbk Kanwil V Medan)

4 73 109

Tabel Volume Acacia mangium Di HPHTI PT Sumatera Sylva Lestari Pasir Pengarayan Kecamatan Rambah Hilir Kabupaten Rokan Hulu - Riau

0 28 83

Analisis Pelaksanaan Program Tanggung - Jawab Sosial PT. Toba Pulp Lestari, Tbk

18 131 84

Aspek Hukum Perjanjian Kerjasama Antara Perusahaan Pengguna Jasa Tenaga Kerja Dengan Perusahan Penyedia Jasa Pekerja (Studi Penelitian Di PT. Gunung Garuda Group)

0 52 102

Analisis Kandungan Kimia Sludge dari Industri Pulp PT. Toba Pulp Lestari Tbk

4 43 51

Akuntability Perusahaan Terhadap Lingkungan (Studi Mengenai PT. Toba Pulp Lestari )

0 22 5

SKRIPSI PERJANJIAN PENGANGKUTAN Perjanjian Pengangkutan (Studi Tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Barang Berasuransi Pada PT. Pos Surakarta).

0 3 12

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA - Tanggung Jawab Pihak Pengangkut dalam Perjanjian Pengangkutan Pulp antara PT. Toba Pulp Lestari, Tbk dengan CV. Anugrah Toba Permai Lestari (Studi pada CV. Anugrah Toba Permai Lestari)

0 0 31

BAB I PENDAHULUAN - Tanggung Jawab Pihak Pengangkut dalam Perjanjian Pengangkutan Pulp antara PT. Toba Pulp Lestari, Tbk dengan CV. Anugrah Toba Permai Lestari (Studi pada CV. Anugrah Toba Permai Lestari)

0 0 16