Pemahaman masyarakat Kecamatan Pasar Rebo terhadap pembantu pegawai pencatat nikah (P3N) (studi kasus di KUA Pasar Rebo Jakarta Timur)

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

NUURUL KAWAAKIB 204044103052

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 23 Agustus 2010 M 15 Ramadhan 1430 H

Nuurul Kawaakib


(3)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar SarjanaSyariah (S.Sy)

Oleh : Nuurul Kawaakib

204044103052

Di Bawah Bimbingan

Drs. Djawahir Hajazziey, SH, MA NIP:195510151979031002

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(4)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Sekripsi yang berjudul PEMAHAMAN MASYARAKAT KECAMATAN PASAR REBO TERHADAP PEMBANTU PEGAWAI PENCATAT NIKAH (P3N) (Studi di KUA Pasar Rebo Jakarta Timur ), Telah di ujikan dalam siding Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif hidayatullah Jakarta pada Tanggal 23 September 2010 Sekripsi ini telah di terima sebagai salahsatu syarat untuk memperoleh gelar sarjana program strata 1 ( S1) pada jurusan Peradilan Agama.

Jakarta, 23 September 2009 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr.H..M. Amin Suma, SH.,MA,.MM NIP. 195505051982031012

PANITIA SIDANG MUNAQASAH

1. Ketua : Drs. Djawahir Hajazziey, SH, MA (...) NIP. 195505051982031012

2. Sekretaris : Drs. H. Ahmad Yani, MA. (...) NIP. 196404121994031004

3. Pembimbing : Drs. Djawahir Hajazziey, SH, MA (...) NIP. 195505051982031012

4. Penguji I : Drs. H. Ahmad Yani, MA. (...) NIP. 196404121994031004

5. Penguji II : Kamarusdiana S.Ag. M.H (...) NIP. 197202241998031003


(5)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Disusun Oleh: NUURUL KAWAAKIB

204044103052

Dibawah bimbingan

Dr.Djawahir Hejazziey,SH,MA NIP. 195510151979031002

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HDAYATULLAH

JAKARTA


(6)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Sekripsi yang berjudul PEMAHAMAN MASYARAKAT KECAMATAN PASAR REBO TERHADAP PEMBANTU PEGAWAI PENCATAT NIKAH (P3N) (Studi di KUA Pasar Rebo Jakarta Timur )

diajukan dalam siding

munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 September 2010. Skripsi ini

telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah

(S.Sy) pada Program Studi Akhwal Syakhsiyyah (Peradilan Agama)

Jakarta, 23 September 2010

Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr.H..M. Amin Suma, SH.,MA,.MM NIP. 195505051982031012

PANITIA SIDANG MUNAQASAH

1. Ketua : Dr.Djawahir Hejazziey,SH,MA ( ) NIP. 195510151979031002

2. Sekretaris : Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag. ( ) NIP. 196404121994031004

3. Pembimbing : Dr.Djawahir Hejazziey,SH,MA ( ) NIP. 195510151979031002

4. Penguji I : Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag. ( ) NIP. 195505051982031012

5. Penguji II : Kamarusdiana, S. Ag., MH ( ) NIP. 197202241998031003


(7)

Segala puji sukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala Rahmat-Nya, hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada junjungan alam Baginda Besar Nabi Muhammad SAW.

Penulisan karya Ilmiah dalam bentuk sekripsi ini merupakan salah satu bagian syarat untuk menyelesaikan studi strata satu (S1) guna memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kebahagiaan yang tak ternilai bagi penulis secara pribadi adalah dapat mempersembahkan yang terbaik kepada kedua orangtua, seluruh keluarga dan pihak-pihak yang telah ikut andil dalam penyelesaian karya ilmiah ini.

Sebagai bentuk penghargaan yang tidak terlukiskan, penulis sampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ketua Program Studi Ahwal AL-Syakshiyah dan Sekretaris Program Studi yang telah membantu penulis secara tidak langsung dalam menyiapkan Skripsi ini.


(8)

3. Drs. Djawahir Hajazziey, SH, MA Ketua Program Non Reguler dan Drs. H. Ahmad Yani, MA. Sekretaris Program Non Reguler.

4. Drs. Djawahir Hajazziey, SH, MA, Dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya memberikan bimbingan dan pengarahan serta bantuan literatur dalam proses penyelesaian tugas akhir ini.

5. Segenap pegawai Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum serta Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta setaf-setafnya yang tak bosan-bosanya melayani penulis dalam proses penulisan sekripsi ini. 6. Segenap pengurus dan pegawai Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri

Jakarta yang telah membantu penulis dalam mencari data-data yang diperlukan.

7. Pihak KUA Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur yang telah banyak membantu dalam memperoleh data dan informasi yang penulis butuhkan dalam penyusunan skripsi.

8. Rasa ta`dzim dan terima kasih yang mendalam kepada Ayahanda dan Ibunda atas dukungan moril dan materiil, kesabaran, keikhlasan, perhatian, serta cinta dan kasih sayang yang tidak habis-habisnya bahkan Do’a-do’a munajatnya yang tak henti-hentinya siang dan malam kepada Allah SWT. Penulis persembahkan skripsi ini. untuk kedua orangtua .

9. Kakak dan adikku yang telah memberikan dukungan semangat. Terima kasih untuk semua perhatian dan kasih sayangnya.


(9)

v

khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Semoga Allah SWT senantiasa meridloi setiap langkah kita. Amin.

Jakarta, 23 Agustus 2010 M 15 Ramadhan 1430 H


(10)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 7

D. Metode Penelitian... 8

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN A. Pengertian dan Dasar Perkawinan... 15

B. Rukun dan Syarat Perkawinan ... 18

C. Tujuan dan Hikmah Perkawinan ... 24

D. Pengertian Pencatatan Perkawinan ... 29

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG PENCATATAN PERKAWINAN A. Letak Geografis KUA Kec. Pasar Rebo Jakarta Timur ... 32

B. Kondisi Sosial Masyarakat Pasar Rebo Jakarta Timur ... 33

C. Sejarah Singkat Pencatatan Perkawinan ... 34


(11)

vii

A. Peranan dan tugas P3N dalam Administrasi Perkawinan ... 46

B. Prosedur Pencatatan Perkawinan ... 49

C. Pandangan Masyarakat Pasar Rebo Tentang P3N ... 63

D. Analisis Penulis ... 72

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 74

B. Saran-Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 77


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1... 64

Tabel 4.2... 65

Tabel 4.3... 65

Tabel 4.4... 65

Tabel 4.5... 66

Tabel 4.6... 67

Tabel 4.7... 67

Tabel 4.8... 68

Tabel 4.9... 68

Tabel 4.10... 69

Tabel 4.11... 69

Tabel 4.12... 70

Tabel 4.13... 70

Tabel 4.14... 71

Tabel 4.15... 71


(13)

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Pertimbangannya ialah sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila di mana sila pertamanya ialah ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsure lahir jasmani, tetapi unsure batin atau rohani. 1

Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh masyarakat sejak zaman dahulu, sekarang, dan masa yang akan datang sampai akhir zaman. Karena itu perkawinan adalah merupakan masalah yang selalu hangat di kalangan masyarakat dan di dalam peraturan hukum.

Dari perkawinan timbul hubungan suami istri dan kemudian hubungan antara orang tua dengan anak-anaknya. Dan timbul pula hubungan kekeluargaan sedarah dan semenda. Oleh karena itu perkawinan mempunyai pengaruh yang sangat luas, baik dalam hubungan kekeluargaan pada khususnya, maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara pada umumnya, maka hendaknya

1

Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), Cet. I, hal 2-3


(14)

2

segenap bangsa Indonesia mengetahui seluk beluk berbagai peraturan hukum perkawinan, agar mereka memahami dan dapat melangsungkan perkawinan sesuai dengan peraturan yang berlaku demikian pula dalam memelihara kelangsungan dan akibat-akibat perkawinan.2

Perkawinan adalah salah satu segi yang sangat penting yang diatur dalam Islam. Al-Qur’an dan as-Sunnah mengaturnya dengan terperinci. Umat Islam seluruh dunia, khususnya umat Islam Indonesia mematuhinya, dahulu sekarang dan masa yang akan datang.

Pemerintah indonesia merasa sangat perlu mengatur masalah perkawinan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional. Maka dikelurkanlah undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang mengatur masalah perkawinan.

Dalam undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (2) dikatakan: “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”3 Upaya pencatatan perkawinan ini merupakan masalah al mursalah bagi kehidupan berumah tangga. Sebab pencatatan perkawinan merupakan bukti yang otentik bahwa seseorang telah melangsungkan pernikahan. Bila dikemudian hari terjadi konflik atau permasalahan dalam kehidupan berumah

2

Bakri A. Rahman dan Drs. Ahmad Sukarja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata BW, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1993), h. 1

3

Depag RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan: UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2001), h. 13


(15)

tangga sehingga perlu diselesaikan di Pengadilan Agama, yang menjadi syarat utama adalah status mereka, apakah mereka merupakan suami yang sah (legal) atau tidak menurut kacamata hukum negara. Untuk mengetahui peristiwa hukum berupa perkawinan diperlukan bukti otentik yaitu berupa kutipan akte nikah. Walaupun di dalam undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu. Tetapi dalam hal administrasi perlu adanya bukti-bukti yang otentik sehingga tidak ada alasan lain untuk menyanggahnya.

Pencatatan perkawinan memang sangat penting sekali dalam kehidupan berumah tangga, terutama bagi kaum perempuan. Ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk melindungi hak-hak perempuan dalam perkawinan. Di samping itu pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dalam masyarakat.4 Begitu pentingnya pencatatan perkawinan sehingga pemerintah mencantumkannya dalam undang-undang.5 Dalam pencatatan perkawinan, tentunya ada lembaga yang menangani masalah ini. Dalam UU No. 22 Tahun 1946 pasal 1 dikatakan pernikahan yang dilakukan menurut agama Islam,

4

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), Cet IV, h. 107

5

Sebelum kaluarnya UU No. 1 Tahun1974 juga telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yang pada waktu itu hanya berlaku pada wilayah Jawa dan Madura, dikarenakan kondisi Negara yang pada saat itu belum stabil, sebagai penguatan dari undang-undang itu, kemudian pemerintah mengeluarkan UU No. 32 1954 tentang Penetapan Berlakunya UU No. 22 Tahun 1946 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh daerah luar Jawa dan Madura (nusantara)


(16)

4

selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh pegawai pencatatan nikah yang diangkat oleh menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya. Menurut pasal ini, pencatatan perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Nikah yang berada pada tiap KUA Kecamatan. Untuk memperkuat dan memperjelas masalah pencatatan perkawinan, maka dikeluarkanlah peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1990 tentang Kewajiban Pencatatan Nikah. Selain Pegawai Pencatat Nikah (PPN), pencatatan perkawinan juga dapat dilakukan di kantor Catatan Sipil (KCS) berdasarkan Keputusan Menteri dalam Negeri Nomor 221a tahun 1975.

Dalam keadaan tertentu karena luasnya daerah atau besarnya jumlah penduduk yang perlu diberi pelayanan oleh kantor Urusan Agama kecamatan baik dalam pelayanan nikah, talak, cerai dan rujuk maupun bimbingan agama Islam pada umumnya maka perlu dibentuk pejabat pembantu yang dinamakan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N). Hal ini dilakukan untuk memperbaiki keadaan kelurahan terutama mengenai hal-hal yang berkaitan dengan agama. Mengingat selanjutnya pemerintahan kelurahan makin lama semakin sempurna, maka ada pembagian kerja antara anggota-anggota kelurahan tertentu agar kehidupan beragama penduduk terpelihara dengan baik.

Diangkatnya Pembantu Pegawai Pencatat Nikah selanjutnya disebut P3N sangat penting sekali dalam rangka pemerataan pelayanan terutama pernikahan kepada masyarakat. Dalam suatu kecamatan biasanya daerah kelurahannya banyak sekali penduduknya dan sangat jauh dari kantor KUA, sehingga sulit sekali dijangkau oleh PPN apabila ada anggota masyarakat yang hendak


(17)

melangsungkan pernikahan. Oleh karena itu perlu sekali diangkat seorang Pegawai Pembantu. Disamping sebagai pembantu PPN, P3N juga berkewajiban melaksanakan pembinaan ibadah. Melayani pelaksanaan pada umurnya bagi masyarakat Islam di wilayahnya termasuk membantu Badan Kesejahteraan Mesjid (BKM). Pembinaan Pengamalan Agama Islam (P2A), Lembaga Pengembangan Tilawati Qur’an (LPTQ) dan Badan Penasehat Perkawinan Perselisihan dan Perceraian (BP4).6

Sebagian masyarakat juga tidak tahu bahkan tidak memahami tentang tugas-tugas pokok P3N tersebut, mereka beranggapan P3N itu sebagai petugas resmi dari KUA bahkan menganggap sebagai penghulu

Berdasarkan permasalahan di atas, pembantu Pencatat Nikah sangat membantu sekali dalam administrasi perkawinan, disamping itu juga sangat membantu dalam urusan-urusan beragama.

Oleh karena itu, peneliti membahas masalah ini dalam skripsi yang berjudul :PEMAHAMAN MASYARAKAT KECAMATAN PASAR REBO TERHADAP PEMBANTU PEGAWAI PENCATAT NIKAH (P3N) (Studi di KUA Pasar Rebo Jakarta Timur )

6

Peraturan Menteri Agama RI No. 2 Tahun 1989 tentang Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Pasal 4 ayat (3)


(18)

6

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Dari sekian banyak masalah yang berhubungan dengan tugas pembantu pegawai pencatat nikah yang tidak mungkin dikaji dalam penulisan itu, maka dalam kesempatan ini penulis mencoba membatasi masalah yang akan diteliti seputur tugas pegawai pencatat nikah dalam masalah administrasi perkawinan. Dalam administrasi perkawinan ada berbagai macam dan jenisnya yaitu pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk. Akan tetapi untuk tidak melebar dan penelitian ini peneliti membatasi hanya pada masalah pencatan perkawinan. Dengan kata lain yang dimaksud administrasi perkawinan di sini yaitu hanya sekitar pencatatan perkawinan.

Dari sekian rentang waktu terjadiniya pencatatan perkawinan di KUA Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur, maka penulis membatasinya hanya pada peristiwa yang terjadi Sepanjang tahun 2009.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, dalam skripsi ini dibatasi hanya pada lingkup sejauh mana masyarakat pasar rebo mengetahui dan memahami tugas-tugas P3N, yang pada kenyataannya masyarakat belum mengetahui tugas-tugas tersebut. Bahkan ada yang menganggap P3N itu sebagai petugas resmi dari KUA dan ada sebagian yang menganggap sebagai penghulu, tapi kenyataannya tidak seperti itu P3N hanya bertugas membantu tugas-tugas dari PPN dan P3N berkewajiban


(19)

melaksanakan pembinaan ibadah melayani pelaksanaan pada umumnya bagi masyarakat Islam di wilayah termasuk pembantu badan kesejahteraan mesjid (BKM) pembinaan pengamalan agama Islam (P2H, Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an LPTQ) dan badan Penasehat perkawinan perselisihan dan perceraian atau BP4.

Berdasarkan batasan-batasan permasalahan di atas maka pokok permasalahan dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) ? 2. Bagaimana peranan Pembantu Pencatat Nikah (P3N) di KUA Kecamatan

Pasar Rebo Jakarta Timur?

3. Bagaimana pemahamn masyarakat Pasar Rebo terhadap Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N)?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui yang apa dimaksud dengan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N).

2. Mengetahui bagaimana peranan Pembantu Pencatat Nikah (P3N) di KUA Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur dan

3. untuk mengetahui bagaimana pemahamn masyarakat Pasar Rebo terhadap Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N).


(20)

8

Selain itu, tujuan dalam pembuatan skripsi ini adalah untuk menyelesaikan studi S1 pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Metodelogi Penelitian

Untuk memperoleh sumber yang memadai dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data penelitian lapangan dan penelitian pustaka.

1. Penelitian pustaka (library research). Penelitian ini dilakukan dengan menelusuri kepustakaan seperti literatur atau text book, serta buku-buku yang ada hubungannya dengan pembahasan skripsi ini. Penelitian dengan cara ini, guna mendapatkan suatu landasan teoritis berupa pendapat-pendapat atau tulisan-tulisan para sarjana atau pihak-pihak yang berwenang dan juga untuk memperoleh informasi, baik dalam bentuk ketentuan-ketentuan formal maupun data melalui naskah resmi yang ada, selain itu penulis juga mengadakan penelitian atau pengamatan langsung terhadap Pemahaman Masyarakat Terhadap Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) Studi Kasus KUA Pasar Rebo. Penelitian dengan cara ini adalah untuk memperoleh data sekunder yang dibutuhkan oleh penulis dalam penulisan karya ilmiah ini. 2. Penelitian lapangan (field research). Penelitian ini untuk mendapatkan data

primer dalam pembuatan skripsi ini yaitu untuk mendapatkan penjelasan-penjelasan tentang Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N). Penelitian


(21)

dilakukan dengan melakukan wawancara dan survei dengan instrumen angket. Obyek wawancara dan angket pada penelitian ini adalah sebagian tokoh masyarakat yang terlibat langsung terhadap masalah-masalah dalam penulisan skripsi ini.

3. Dalam penelitian ini ada beberapa tahapan yang perlu dilewati seperti yang di jelaskan di bawah ini:

1) Tahapan awal adalah mengumpul data mengenai potensi dan realisasi Pemahaman Masyarakat Terhadap Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) Studi Kasus KUA Pasar Rebo. Sumber data ini di peroleh langsung dari Masyarakat Pasar Rebo.

2) Memilih instrumen penelitian yang tepat, yaitu survey dalam bentuk kuesioner.

3) Merumuskan kuisioner berdasarkan kategori hipotesis yang telah ditetapkan.

4) Menyebarkan kuisioner kepada 100 masyarakat Pasar Rebo. Adapun metode pengambilan sampel yang digunakan adalah sampel purposive sampling.

5) Selanjutnya, kuisioner yang telah di isi oleh responden dilakukan penyortiran dan pengecekan jawabannya, dalam penelitian ini didapat kuisioner yang diisi oleh responden dengan lengkap dan layak untuk dianalisis.


(22)

10

6) Semua kuisioner yang telah lengkap dan layak tersebut direkapitulasi semua hasil datanya, disesuaikan dengan jawaban responden dan teknik analisis yang akan digunakan.

7) Jika semua item dinyatakan valid dan reliabel, maka dilanjutkan dengan analisis data. Semua data dianalisis dengan program SPSS versi 12.5 penggunaannya disesuaikan dengan teknik analisis data yang telah ditentukan sebelumnya.

8) Langkah selanjutnya adalah menjawab hipotesis penelitian dan apa yang menjadi tujuan diadakan penelitian ini, yaitu untuk mengetahui pandangan masyarakat Pasar Rebo terhadap Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N).

9) Setelah mendapat jawaban atas pertanyaan (hipotesis) penelitian dan tercapainya tujuan penelitian ini, maka diambil kesimpulan penelitian dan saran-saran yang bermanfaat bagi perkembangan masyarakat guna mencapai masyarakat yang dicita-citakan.

4. Pengambilan Sampel a. Populasi

Populasi adalah Suatu kumpulan menyeluruh dari suatu objek yang merupakan perhatian peneliti7. Berdasarkan tujuan penelitian maka populasi yang digunakan adalah masyarakat Pasar Rebo yang memahami

7

Ronny Kountour, “Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi Dan Tesis (Jakarta: CV. Teruna Gravica, 2004), h, 137


(23)

tentang hal-hal yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini. Adapun jumlah populasi masyarakat Pasar Rebo adalah 162.575 orang jiwa.

b. Sampel

Sampel sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti dan dimaksudkan untuk menggeneralisasikan atau mengangkat kesimpulan penelitian sebagai sesuatu yang berlaku bagi populasi.8 Berdasarkan penjelasan sevilla untuk penelitian jumlah subjek yang dijadikan sampel minimal adalah 30 orang9, oleh karena itu peneliti mengambil sampel untuk penelitian adalah 100 orang masyarakat Pasar Rebo.

5. Teknik Pengumpulan Data

Metoda yang digunakan dalam penelitian adalah wawancara, observasi dan angket atau kuesioner. Menurut Arikunto, kuesioner adalah sejumlah pernyataan tertulis yang digunakan untuk memperoleh imformasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hal yang diketahui. Kuesioner dibedakan atas beberapa jenis tergantung pada sudut pandang cara menjawab. Dalam penelitian ini menggunakan kuesioner tertutup dan langsung yaitu sudah disediakan jawabannya sehingga responden tinggal memilih dan responden menjawab tentang dirinya.

8

Arikunto, ”prosedur penelitian suatu pendekatan praktik” h, 131

9

G. Consuelo Sevilla, dkk, Pengantar Metode Penelitian (Jakarta: Universitas Indonesia, 1993), h, 114


(24)

12

6. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data adalah suatu alat yang dipakai dalam sebuah penelitian yang berguna untuk memperoleh data yang nantinya akan dianalisis. Data yang diperoleh akan dikumpulkan menggunakan instrumen wawancara dan skala Model Likert.10

Skala ini, digunakan untuk mengukur pandangan masyarakat Pasar Rebo mengenai Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N). Pada variable dibuat pernyataan yaitu : pernyataan yang memihak dan memberi isyarat dukungan permasalahan yang sedang diteliti (favorable).

7. Tehnik Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan akan diolah, dianalisa dan diinterprestasikan untuk dapat menggali dan menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.

Sementara itu teknik penulisan dalam skripsi ini berpedoman pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah edisi tahun 2008.

E. Sistematika Penulisan

Untuk lebih memudahkan dalam penulisan dan pemahaman, skripsi ini dibagi menjadi lima bab dan setiap bab terdiri dari sub pembahasan, dengan sistematika penyusunannya sebagai berikut :

10


(25)

Bab I : Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, pembahasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, metode penelitian, Review Studi Terdahulu, dan sistematika penulisan.

Bab II : Pada bab ini akan dibahas mengenai Pengertia dan dasar perkawinan, Rukun dan syarat perkawinan, Tujuan dan hikmah perkawinan dan Pengertian pencatatan perkawinan. Bab III : Gambaran Umum Tentang Pencatatan Perkawinan yang

meliputi, Hakikat dan Tujuan Perkawinan, Sejarah Singkat Pencatatan Perkawinan, Prosedur Pencatatan Perkawinan Bab IV : Peranan P3N Dalam Pelaksanaan Administrasi Perkawinan

yang meliputi, Kondisi Obyektif KUA Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur, Tugas-Tugas Pembantu Pencatat Nikah di KUA Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur, Peranan P3N dalam Administrasi Perkawinan di KUA Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur, dan terakhir Analisis Penulis


(26)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN

A. Pengertian dan Dasar Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.1 Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah

(

نكاح

) yang menurut bahasa artinya mengumpulkan,

saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi).2 Kata

“nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah.3

Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi, di antaranya adalah:

ﺮ اﺎ

جاوﺰ ا

ﺎ ﺮ

ﻮه

ﺪﻘ

و

عرﺎ ا

عﺎ

ا

ﺮ ا

ةأﺮ ﺎ

و

عﺎ

ا

ةأﺮ ا

4

.

Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dan laki-laki.

2. Dasar-dasar Hukum Perkawinan

1

Dep. Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), Cet. III edisi 2, h. 456

2

Muhammad bin Ismail Al-Kahlaniy, Subul al-Salam, (Bandung: Dahlan, t.t), jilid 3, h. 109 3

Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Cet III, h.29 4

Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, h. 30


(27)

Segolongan fuqaha, yakni jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa nikah itu hukumnya sunnat. Golongan Zhahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para ulama Malikiyah mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnat untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain. Demikian itu menurut mereka ditinjau berdasarkan kekhawatiran (kesusahan) dirinya.

Perbedaan pendapat ini kata Ibnu Rusyd disebabkan adanya penafsiran apakah bentuk kalimat perintah dalam ayat dan hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah ini, harus diartikan wajib, sunnat ataukah mungkin mubah? Ayat tersebut adalah:

‰ÅŒ«5Œß

%

a!ŒÁ

1ʌ

aGµP%

µÊV{µP@

¹†FÝ>%

`D¡„ Î2‹ˆ

`Ò¡Ès‹ˆ

x

...

(

النساء

: 3).

.... maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua tiga atau empat.... (QS. An-Nisaa’: 3)

Al-Jaziry mengatakan bahwa sesuai dengan keadaan orang yang melakukan perkawinan, hukum nikah berlaku untuk hukum-hukum syara’ yang lima, adakalanya wajib, haram, makruh, sunnat (mandub) dan adakalanya mubah.

5

Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Da al-Fikr, t. th), jilid II, h. 2


(28)

16

Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum asal nikah adalah mubah, di samping ada yang sunnat, wajib, haram dan makruh. Di Indonesia, umumnya masyarakat memandang bahwa hukum asal melakukan perkawinan ialah mubah. Hal ini banyak dipengaruhi pendapat ulama Syafi’iyah.6

Namun demikian, kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan serta tujuan melaksanakannya, maka melakukan perkawinan itu dapat dikenakan hukum wajib, sunnat, haram, makruh ataupun mubah.

a. Melakukan perkawinan hukumnya wajib bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak kawin maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah wajib.

b. Orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan, tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah sunnah.

c. Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tadak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan terlantarlah dirinya dan istrinya, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah haram.

6

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), edisi I, Cet II, h. 18


(29)

kemampuan untuk melakukan perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin. Hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami isteri dengan baik.

e. Menikah diMubahkan bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan isteri. Hukum mubah ini juga ditujukan bagi orang yang antara pendorong dan penghambatnya untuk kawin itu sama, seperti mempunyai keinginan tetapi belum mempunyai kemampuan, mempunyai kemampuan untuk melakukan tetapi belum mempunyai kemauan yang kuat.7

B. Rukun dan Syarat Perkawinan

Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudhu dan takbiratul ihram untuk shalat.8 Atau adanya calon pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan.

7

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, h. 18-22 8


(30)

18

Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat. Atau, menurut Islam, calon pengantin laki-laki/perempuan itu harus beragama Islam.

Sah yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat. 1. Rukun Perkawinan

Jumhur Ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas; a. Adanya calon suami dan isteri yang akan melakukan perkawinan b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita9.

Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang akan menikahkannya, berdasarkan sabda Nabi SAW:

ﺎ ا

ةأﺮ ا

نذا

ﺎﻬ و

ﺎﻬ ﺎﻜ

(

اخرج

الاربعة

الاللنسائ

)

Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya batal.

جوﺰ ﻻ

ةأﺮ ا

ﻻو

جوﺰ

ةأﺮ ا

ﺎﻬ

(

روا

ابن

ماج

والدارقطنى

)

Janganlah seorang perempuan menikahkan perempuan lainnya, dan janganlah seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri.

c. Adanya dua orang saksi

Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang menyaksikan akad nikah tersebut, berdasarkan sabda Nabi SAW:

9


(31)

d. Sighat akad nikah, yaitu ijab Kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki. Tentang jumlah rukun nikah ini, para ulama berbeda pendapat: Imam Malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu:

a) Wali dari pihak perempuan; b) Mahar (Maskawin);

c) Calon pengantin laki-laki; d) Calon pengantin perempuan; e) Sighat akad nikah.

Imam Syafi’i berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu; a) Calon pengantin laki-laki;

b) Calon pengantin perempuan; c) Wali;

d) Dua orang saksi; e) Sighat akad nikah.

Menurut Ulama Hanafiyah, rukun nikah itu hanya ijab dan qabul saja (yaitu akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki) sedangkan menurut segolongan yang lain rukun nikah itu ada empat, yaitu:


(32)

20

b) Calon pengantin perempuan; c) Calon pengantin laki-laki;

d) Wali dari pihak calon pengantin perempuan.10

Pendapat yang mengatakan bahwa rukun nikah itu ada empat, karena calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan digabung menjadi satu rukun, seperti terlihat di bawah ini.

Rukun perkawinan:

a) Dua orang yang saling melakukan akad perkawinan, yakni mempelai laki-laki dan mempelai perempuan;

b) Adanya wali;

c) Adanya dua orang saksi;

d) Dilakukan dengan sighat tertentu11 2. Syarat-syarat perkawinan

Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami isteri.

Pada garis besarnya syarat-syarat sahnya perkawinan itu ada dua: a. Calon mempelai perempuannya halal dikawin oleh laki-laki yang ingin

menjadikannya isteri. Jadi, perempuannya itu bukan merupakan orang

10

Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar’ al Fikr, 1989), Cet. III, h. 36

11


(33)

untuk selama-lamanya.

b. Akad nikahnya dihadiri para saksi.

Secara rinci, masing-masing rukun di atas akan dijelaskan syarat-syaratnya sebagai berikut;

1. Syarat-syarat kedua mempelai a. Syarat-syarat pengantin pria

Syari’at Islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami berdasarkan ijtihad para ulama, yaitu;

1) Calon suami beragama Islam;

2) Terang (Jelas) bahwa calon suami itu benar laki-laki; 3) Orangnya diketahui dan tertentu;

4) Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon isteri; 5) Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon isteri serta tahu

betul calon isterinya halal baginya.

6) Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu; 7) Tidak sedang melakukan ihram;

8) Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan calon isteri; 9) Tidak sedang mempunyai isteri empat.12

b. Syarat-syarat calon pengantin perempuan:

12


(34)

22

1) Beragama Islam atau ahli Kitab;

2) Terang bahwa ia wanita, bukan khuntsa (banci); 3) Wanita itu tentu orangnya;

4) Halal bagi calon suami;

5) Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam iddah;

6) Tidak dipaksa/ikhtiyar;

7) Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah. 2. Syarat-syarat Ijab Kabul.

Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan Kabul dengan lisan, inilah yang dinamakan akad nikah (ikatan atau perjanjian perkawinan). Bagi orang bisu sah perkawinannya dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa dipahami.

3. Syarat-syarat wali

Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan atau wakilnya dengan calon suami atau wakilnya.

Wali hendaklah seorang laki-laki, muslim, baligh berakal dan adil (tidak fasik). Perkawinan tanpa wali tidak sah, berdasarkan sabda Nabi

(

روا

الخمسائ

)

ﻜ ﻻحﺎ

ﻻا

Artinya: “Tidak sah perkawinan tanpa wali”.


(35)

ﺮﻬ ا

ا

ﺎﻬ ﺮ

ﺎﻬ ﺮ

نﺎ

اوﺮ ا

نﺎ

ﻰ و

ﻰ و

(

روا

الخمسة

الﺁالنسائ

)

13

Artinya: “Perempuan mana saja yang kawin tanpa izin walinya maka perkawinannya itu batal (3X). Apabila suami telah melakukan hubungan seksual maka si perempuan sudah berhak mendapatkan maskawin lantaran apa yang telah ia buat halal pada kemaluan perempuan itu. Apabila wali-wali itu enggan maka sultanlah (pemerintah) yang menjadi wali bagi orang yang tidak ada walinya.”

4. Syarat-syarat saksi

Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki, muslim, baligh, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti (paham) akan maksud akad nikah.

Ada yang berpendapat bahwa syarat-syarat saksi itu adalah sebagai berikut:

a) Berakal, bukan orang gila; b) Baligh, bukan anak-anak; c) Merdeka, bukan budak; d) Islam;

e) Kedua orang saksi itu mendengar.

C. Tujuan dan Hikmah Perkawinan 1. Tujuan Perkawinan14

13


(36)

24

Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga; sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga.

Manusia diciptakan Allah SWT mempunyai naluri manusiawi yang perlu mendapat pemenuhan. Dalam pada itu manusia diciptakan oleh Allah SWT untuk mengabdikan dirinya kepada Khaliq penciptanya dengan segala aktifitas hidupnya. Pemenuhan naluri manusiawi manusia yang antara lain keperluan biologisnya termasuk aktivitas hidup, agar manusia menuruti tujuan kejadiaannya, Allah SWT mengatur hidup manusia dengan aturan perkawinan.

Jadi aturan perkawinan menurut Islam merupakan tuntutan agama yang perlu mendapat perhatian, sehingga tujuan melangsungkan perkawinan pun hendaknya ditujukan untuk memenuhi petunjuk agama. Sehingga kalau diringkas ada dua tujuan orang melangsungkan perkawinan ialah memenuhi nalurinya dan memenuhi petunjuk agama. Mengenai naluri manusia seperti tersebut pada ayat 14 surat Ali Imran:

aaG´PeÉX

ª……A µ

q Ɂ

µ1 ‹‰`N~–

[µ%

14


(37)

´poµÂ¡†@ŒÞ‹ˆ

Artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak ...

(QS. Ali-Imran: 14)

Melihat dua tujuan di atas, dan memperhatikan uraian Imam Al-Ghazali dalam Ihyanya tentang faedah melangsungkan perkawinan, maka tujuan perkawinan itu dapat dikembangkan menjadi lima yaitu:

a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan;

b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya.

c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.

d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal;

e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dna kasih sayang.

2. Hikmah Perkawinan

Adapun di antara hikmah perkawinan yang dapat ditemukan dalam perkawinan itu adalah menghalangi mata dari melihat kepada hal-hal yang tidak diizinkan syara dan menjaga kehormatan diri dari terjatuh pada kerusakan seksual. Hal ini adalah sebagaimana yang dinyatakan sendiri oleh


(38)

26

Nabi dalam haditsnya yang muttafaqun ‘alaih yang berasal dari Abdullah bin Mas’ud:

بﺎ ا

عﺎ

ا

ةءﺎ ا

جوﺰ ﺎ

ا

ﺮﺼ

او

جﺮ

و

مﻮﺼ ﺎ

ءﺎ و

(

روا

البخارى

)

15

Artinya: “Hai sekalian pemuda, barangsiapa yang telah sanggup di antara kamu kawin, maka hendaklah ia kawin. Maka sesungguhnya kawin itu menghalangi pandangan (kepada yang dilarang oleh agama) dan memelihara kehormatan. Dan barangsiapa tidak sanggup, hendaklah ia berpuasa. Maka

sesungguhnya puasa itu adalah perisai baginya.” (HR. Bukhori) Adapun hikmah-hikmah perkawinan sebagai berikut:

a. Menyambung Silaturrahmi

Pada awalnya Tuhan menciptakan seorang manusia, yaitu Adam a.s, kemudian Tuhan menciptakan Siti Hawa sebagai pasangan Adam a.s. setelah itu manusia berkembang biak menjadi beberapa kelompok bangsa yang tersebar di seluruh alam, karena esakan habitat yang menyempit serta sifat primordial keingintahuan manusia akan isi alam semesta. Mereka semakin menjauh dari lokasi asal nenek moyangnya, dan membentuk kelompok bangsa tersendiri secara evolutif menyebabkan terjadinya perubahan, peradaban bangsa, dan warna kulit sehingga mereka tidak dapat mengenal antara satu dengan lainnya. Datangnya Islam dengan institusi perkawinan memberi peluang menyambung kembali tali kasih yang telah terputus lama.

15

Zainuddin Hamidy, dkk, Terjemahan Hadits Shahih Bukhari Jilid IV, (Jakarta: Widjaya, 1983), Cet. II, h. 8


(39)

Seorang yang belum berkeluarga belum mempunyai ketetapan hati dan pikiranpun masih labil. Dia belum mempunyai pegangan dan tempat untuk menyalurkan ketetapan hati dan melepaskan kerinduan dan nafsu syahwatnya. Sangat wajar jika seorang pemuda berhayal terhadap lawan jenisnya yang tidak jelas. Keadaan seperti ini tidak bisa kita pungkiri, sehingga dengan perkawinan sifat-sifat seperti itu dapat dikurangi.

c. Estafet Amal Manusia

Kehidupan manusia di bumi ini sangat singkat dan dibatasi waktu. Ironisnya, kemauan manusia sering kali melampaui batas umurnya dan batas kemampuannya. Bertambahnya usia menyebabkan berkurangnya kreativitas dan produktivitas menurun baik secara kualitas maupun kuantitas. Sehingga suatu saat ajal datang menjemput dapat melanjutkan amal ataupun cita-citanya yang terbengkalai diperlukan seorang penerus yang dapat meneruskan amal dan citanya. Anak sebagai pelanjut cita-cita dan penambah amal orang tua, hanya mungkin di dapat melewati pernikahan. Sehingga begitu pentingnya keturunan bagi estaetika amal dan cita-cita manusia.

d. Mengisi dan Menyemarakkan Dunia

Salah satu misi eksistensi manusia di bumi ini adalah memakmurkan dunia dan membuat dunia semarak dan bernilai. Untuk itu Tuhan memberi kemudahan melalui kemampuan ilmu dan teknologi.


(40)

28

Dengan kecerdasan manusia dan kemampuannya, akal manusia dapat menaklukkan isi bumi ini. Sehingga dibutuhkan manusia yang banyak dalam rangka memakmurkan bumi ini. Dan ini semua bermuara dengan adanya istitusi perkawinan sebagai alat reproduksi yang generatif, ideal dan terhormat mencapai tujuan tersebut.

e. Menjaga Kemurnian Nasab

Mendapatkan keturunan yang sah hanya dapat diperoleh melalui perkawinan yang sah pula. Melalui perkawinan inilah dapat dilahirkan nasab yang sah pula sebab wanita yang mendapatkan benih dari saluran yang resmi, mampu memberikan keturunan yang dijamin orisinalitasnya. Menjaga keturunan dalam istilah hukum Islam disebut hifdzu nasl adalah sesuatu yang dharury (sangat esensial). Karena ketiadaannya dapat menciptakan krisis kemanusiaan, malapetaka yang besar dan dapat merusak sendi kemanusiaan. Sehingga reproduksi generasi di luar nikah tidak mendapatkan legitimasi dan ditentang keras oleh agama Islam.16

D. Pengertian Pencatatan Perkawinan.

Untuk memastikan status perdata seseorang, ada beberapa peristiwa hukum yang perlu dilakukan pencatatan, salah satunya adalah perkawinan. Fungsi

16


(41)

seseorang itu benar-benar terjadi.17

Masalah pencatatan nikah ini menempati terdepan dalam pemikiran fiqih modern, mengingat banyaknya masalah yang timbul dari tidak dicatatnya perkawinan yang berhubungan dengna soal-soal penting seperti asal-usul anak, kewarisan dan nafkah. Timbulnya penertiban administrasi modern dalam kaitan ini telah membawa kemudahan pencatatan akad dan transaksi-transaksi yang berkaitan dengan barang-barang tak bergerak dan perusahaan. Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Meskipun Ulama Indonesia umumnya setuju atas ayat tersebut dan tidak ada reaksi terbuka atasnya, tetapi karena persyaratan pencatatan di atas tidak disebut dalam kitab-kitab fiqih, dalam pelaksanaanya masyarakat muslim Indonesia masih mendua.18

Sesuai dengan pasal 2 ayat (1) dan pasal 11 ayat (1), (2) dan (3) PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.19 Pasal 1

1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan pernikahannya menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana

17

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya, 2003), h. 48 18

Maratussholihah, Pernikahan dalam perspektif Al-Qur’an, Artikel diakses pada 16 Mei 2010 dari http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/hukum-islam/pernikahan-dalam-perspektif-al-qur’an-makalah.

19


(42)

30

dimaksudkan dalam undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk.

Pasal 11

1) Sesaat sesudah dilaksanakannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.

2) Akta perkawinan yang telah ditanda tangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditanda tangani pula oleh kedua saksi dan pegawai pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditanda tangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.

3) Dengan penanda tanganan Akta perkawinan maka perkawinan telah tercatat secara resmi.

Di dalam HIR Akta otentik diatur dalam pasal 165 (lihat juga Ps. 1868 BW, 285 RBg) yang berbunyi sebagai berikut : “Akta otentik yaitu suatu akta yang dibuat atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak daripadanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bahkan tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok daripada akta.20

20

Sudikno Martokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberti 1998), Cet. I, h. 124


(43)

A. Letak Geografis KUA Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur

Wilayah Kecamatan Pasar Rebo yang terletak di sebelah timur Provinsi DKI Jakarta adalah salah satu dari sepuluh kecamatan yang berada di wilayah Kotamadya Jakarta Timur yang dibentuk berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor : 16.0/I/I/1996 tanggal 12 Agustus 1996 tentang pembentukan kota administratif kecamatan dan Kelurahan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (Lembaran Daerah Nomor 5 Tahun 1996)

Wilayah Kecamatan Pasar Rebo berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1227 tahun 1989 memiliki luas 1.297.70 Ha. Dibagi habis ke dalam lima kelurahan. Adapun batas-batas wilayah Kec. Pasar Rebo adalah: Sebelah Utara : Jl. Tengah, Jl. Bala Rakyat, Jl. Condet, Jl. H. Nasih, Jl.

Mandor Baning, Jl. H. Taiman Timur, Jl. Tri Kora II. Sebeah Timur : Kali Cipinang, Jl. Raya Bogor, Kec. Ciracas.

Sebelah Selatan : Setu Tipar Desa Mekar Sari, Pilar Batas DKI dengan Jawa Barat, PT. Panasonik, Ds. Tugu/Palsi Gunung, Setu Arman/Ds. Rumbut Kec. Cimanggis Kotamadya Depok Sebelah Barat : Kali Ciliwung, Kec. Pasar Minggu Jakarta Selatan.


(44)

32

B. Kondisi Sosial Masyarakat Pasar Rebo Jakarta Timur 1. Perkembangan Penduduk Menurut Jenis Kelamin

Jumlah penduduk Kecamatan Pasar Rebo pada tahun 2007 sebanyak 162.747 Jiwa yang terbagi sebesar 87.489 berjenis kelamin laki-laki dan 75.258 berjenis kelamin perempuan

Kecamatan pasar rebo terdiri dari lima kelurahan masing-masing diantaranya Kelurahan Pekayon dengan luas wilayah 3,18 (Km2) dengan jumlah penduduk 40.195 jiwa, Kelurahan Kalisari dengan luas wilayah 2,90 (Km2) jumlah penduduk 31.374, Kelurahan Baru dengan luas wilayah 1,89 (Km2) jumlah penduduk 25.527, Keluranan Cijantung dengan luas wilayah 2,38 (Km2) jumlah penduduk 34.772, Kelurahan Gedong dengan luas wilayah 2,63 (Km2) jumlah penduduk 30.879 jiwa.

2. Perkembangan Sekolah

Jumlah Sekolah Dasar yang ada pada kecamatan Pasar Rebo masing-masing Kelurahan Pekayon 18, Kalisari 12, Baru 8, Cijantung 16, Gedong 14, Jumlah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Kecamatan Pasar Rebo masing-masing Kelurahan Pekayon 3, Kalisari 2, Baru 2, Cijantung 7, Gedong 5, Jumlah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Pekayon 4, Kalisari 2, Baru 2, Cijantung 12, Gedong 6, Jumlah Universitas 2

3. Jumlah Perkawinan dan Perceraian Menurut Kecamatan

Jumlah Perkawinan dan perceraian Kecamatan Pasar rebo tahun 2007 jumlah nikah 62 (5,%) Jumlah cerai 6 (10%)1

1


(45)

C. Sejarah Singkat Pencatatan Perkawinan

Undang-undang pertama pencatatan perkawinan, perceraian yang sekaligus dikelompokkan sebagai usaha pembaharuan pertama. Adalah dengan diperkenalkan Undang-undang No. 22 Tahun 1946. pertama Undang-undang ini hanya berlaku untuk pulau Jawa, yang kemudian Undang-undang pertama tentang perkawinan yang lahir setelah Indonesia dengan Undang-undang No. 32 Tahun 1945, yakni Undang-undang tentang Pencatatan Nikah, Thalak dan Rujuk. Keberadaan Undang-undang No.22 Tahun 1946 ini adalah sebagai kelanjutan dari Stbl. No. 198 Tahun 1895, dan sebagai pengganti dari Huwelijks Ordonatie Stbl. No. 348 Tahun 1929 jo Stbl. No. 467 Tahun 1931, dan Vorstenlandse Hewelijks Ordonantie Stbl. No. 98 Tahun 1933. Aulawi mencatat, seyogyanya Undang-undang No. 22 Tahun 1946 ini berlaku untuk seluruh Indonesia tetapi karena keadaan belum memungkinkan, maka diberlakukan untuk daerah Jawa dan Madura. Kemudian diberlakukan di seluruh Indonesia pada Tahun 1945, dengan di Undangkan Undang-undang No. 32 Tahun 1945, yang isinya memperlakukan Undang-undang No. 22 Tahun 1946 di seluruh Indonesia.

undang No. 22 Tahun 1946 ini diikuti dengan lahirnya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-Undang-undang No. 1 Tahun 1975 yang berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 ini adalah Undang-undang pertama yang mencakup seluruh unsur-unsur dalam perkawinan dan perceraian. Adapun isi dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974 terdiri dari 14 bab dan 67 pasal.


(46)

34

Kehadiran Undang-undang No.1 Tahun 1974 ini disusul dengan lahirnya Peraturan Pelaksanaannya dengan PP No. 9 Tahun 1974 Tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yang kemudian disusul dengan keluarnya Peraturan Menag dan Mendagri. Bagi umat Islam diatur dalam peraturan Menag No. 3 Tahun 1975, kemudian diganti dengan Peraturan Menag No. 2 Tahun 1990. bagi yang beragama selain Islam diatur dalam Keputusan Mendagri No. 221 a Tahun 1975, tanggal 01 Oktober 1975 tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan Sipil. Adapun isi PP No. 9 Tahun 1975 terdiri dari 10 bab, 49 pasal.

Pada Tahun 1983 lahir pula PP No. 10 yang mengatur tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS. Peraturan ditetapkan tanggal 21 April 1983 ini, berisi 23 Pasal. Pada Tahun 1989 lahir Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. RUU UU PA ini diajukan dengan amanat Presiden tanggal 3 Desember 1988 dan dihantarkan dengan Ketetapan Pemerintah pada Rapat Paripurna DPR pada tanggal 28 Januari 1989. undang-undang yang ditetapkan pada tanggal 14 Desember 1989 ini secara umum berisi tentang Pengadilan yang meliputi susunan Pengadilan, ketetapan Pengadilan dan hukum acara. Namun pada Bab IV, hukum acara, bagian kedua pemeriksaan sengketa perkawinan (Pasal 65-88), dibahas juga tentang perkawinan, khususnya yang menyangkut proses atau tata cara perceraian. Dengan demikian, meskipun pada prinsipnya, Undang-undang ini berhubungan dengan pengadilan, namun ada juga pembahasan tentang perkawinan.


(47)

Pada Tahun 1990 keluar PP No. 45 yang berisi perubahan PP No. 10 Tahun 1983, yang isinya memuat beberapa pasal yang ada dalam PP No. 10 Tahun 1983. PP No. 45 Tahun 1990 ini hanya berisi 2 pasal.

Pada akhir Tahun 1991 berhasil disusun Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, mengenai perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Kompilasi ini berlaku dengan Inpres No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, yang kemudian diikuti dengan keluarnya Menag RI No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Inpres RI No. 1 Tahun 1991 tersebut.2

Lahirnya Undang-undang perkawinan yang berlaku bagi semua warga Negara Republik Indonesia tanggal 2 Januari 1974 untuk sebagian besar telah memenuhi tuntutan masyarakat Indonesia. Tuntutan ini sudah dikumandangkan sejak Kongres Perempuan Indonesia pertama Tahun 1928 yang kemudian susul menyusul dikedepankan dalam kesempatan-kesempatan lainnya berupa harapan perbaikan kedudukan wanita dalam perkawinan. Perbaikan yang didambakan itu terutama diperuntukkan bagi golongan “Indonesia asli” yang beragama Islam yang hak dan kewajibannya dalam perkawinan tidak diatur dalam hukum yang tertulis. Hukum perkawinan orang yang beragama Islam yang tercantum dalam kitab-kitab fiqih (kitab-kitab hukum fiqih Islam), menurut sistem hukum di tanah

2

Atho Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), Cet. I, h. 23-27. dan dapat dilihat juga dalam Himpunan Peraturan

Perundang-undangan perkawinan. Departemen Agama RI, Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan


(48)

36

air kita tidaklah dapat digolongkan ke dalam kategori “hukum tertulis” karena tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan.

Masalah-masalah yang menjadi pusat perhatian pergerakan wanita pada waktu itu adalah soal-soal (1) perkawinan paksa, (2) poligami, dan (3) talak yang sewenang-wenang. Karena itu pula arah tuntutan perbaikan ditujukan kepada ketiga pokok persoalan tersebut.

Segera setelah Indonesia merdeka, langkah-langkah perbaikan diadakan oleh Pemerintah dengan antara lain mengeluarkan Undang-undang (1946) tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk (NTR). Setelah itu disusul dengan beberapa Peraturan Menteri Agama mengenai wali hakim dan tatacara pemeriksaan perkara fasid nikah, talak dan rujuk di Pengadilan Agama. Namun demikian, dengan langkah-langkah itu, perbaikan yang dituntut belumlah terpenuhi karena Undang-undang dan peraturan-peraturan itu hanyalah mengenai soal-soal formil belaka, tidak mengenai hukum materilnya yakni Undang-undang yang mengatur perkawinan sendiri.

Mengenai yang tersebut terakhir ini, sejak Tahun 1950 Pemerintah Republik Indonesia telah berusaha memenuhinya dengan jalan membentuk Panitia-panitia yang bertugas membuat Rancangan Undang-undang Perkawinan dan telah pula RUU ini dibahas dalam siding DPR antara Tahun 1958-1959, tetapi pemerintah tidak berhasil menjadikannya Undang-undang. Antara Tahun 1967-1970, DPR-GR telah juga membahas RUU Perkawinan, tetapi nasib RUU ini pun sama saja dengan nasib RUU sebelumnya.


(49)

Pada bulan Juli 1973, Pemerintah Republik Indonesia kembali mengajukan sebuah RUU yang terkenal dengan Rancangan Undang-undang Perkawinan kepada DPR-RI dan setelah mendapat banyak sekali tanggapan pro dan kontra mengenai beberapa bagian penting Menteri RUUP tersebut baik di dalam DPR maupun di dalam masyarakat, akhirnya dicapailah suatu consensus yang membawa pengaruh pada sidang-sidang selanjutnya, sehingga tercapai juga kata mufakat di antara para anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah mengundangkan Undang-undang Perkawinan pada tanggal 2 Januari 1974 dalam Lembaran Negara yang kebetulan nomor dan tahunnya sama dengan nomor dan tahun Undang-undang Perkawinan tersebut yakni Nomor 1 Tahun 1974.

Pada tanggal 1 April 1975, setelah 1 Tahun 3 bulan Undang-undang Perkawinan ini diundangkan, lahir Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang memuat Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan tersebut. Dan dengan demikian, mulai tanggal 1 Oktober 1975 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 itu telah dapat berjalan secara efektif. 3

Demikian sejarah pencatatan perkawinan tidak bisa dilepaskan dari sejarah pembentukan Undang-undang perkawinan itu sendiri. Karena pencatatan perkawinan itu sendiri tercakup dalam Undang-undang perkawinan.

3

Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), Cet. I, h. 20-23


(50)

38

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang pencatatan perkawinan, harus dilihat ketentuan yang diatur dalam Bab II PP No. 9 Tahun 1975. Bab II memuat ketentuan pencatatan perkawinan, yang memberi penjelasan tentang pencatatan perkawinan yang dimaksud oleh pasal 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 sesuai dengan PP No. 9 Tahun 1975 ditentukan Undang-undang mana yang mengatur pencatatan perkawinan.

a. Bagi mereka yang beragama Islam dan yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang No. 32 Tahun 1974 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk (ayat 1 pasal 2). Dan tentang hal ini diatur pada Bab II dan Bab IV Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1955 pada pasal 5-17.

b. Sesuai dengan ketentuan ayat (2) pasal 2 bagi mereka yang bukan beragama Islam dan yang melangsungkan perkawinan menurut kepercayaan agama mereka pencatatan perkawinan dilakukan oleh Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.

1. Bagi yang beragama Kristen yang terdiri dari penduduk bumi putra di daerah Jawa-Madura dan Minahasa berlaku di Reglemen Pencatatan Sipil bagi bangsa Indonesia Kristen Jawa, Madura dan Minahasa (Stbl. 1933 No. 75 diubah dengan Stbl. 1933 No. 327 jo. 338 Stbl. 1934 No. 621 dan 622, Stbl.1936 No. 247 dan 607, Stbl. 1938 No. 246 dan 247 dan 170 jo.


(51)

No. 264, Stbl. 1939 No. 288 tentang pencatatan pernikahan ini diatur pada bagian keenam pasal 48-58.

2. Bagi Tionghoa berlaku Reglemen Pencatatan Sipil Tionghoa, yaitu Ordonatie tanggal 29 Mei 1917 Stbl. 1917 No. 130, mulai berlaku tanggal 1 Mei 1919. Stbl 1919 No. 81. Mengenai pencatatan pernikahan dalam Reglemen ini diatur pada bagian kelima mulai dari pasal 67-72.

3. Bagi mereka yang termasuk golongan Eropa pencatatan pernikahan diatur dalam Reglemen Pencatatan Sipil Eropa Stbl. 1849 No. 25 yang telah mengalami perubahan dan penambahan. Dalam reglemen tersebut pencatatan perkawinan diatur dalam bagian kegita dan keempat sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 54-63.4

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ini adalah unifikasi karena hanya ada satu Undang-undang yang berlaku untuk semua warga Negara. Tetapi isinya adalah diferensiasi bervariasi yang jelas dapat dibaca pada pasal 2 ayat (1) yang berbunyi, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukum masing-masing (pasal 37). Yang dimaksud dengan “hukumnya” ialah, “Hukum Agama”, Hukum Adat dan hukum-hukum lainnya”. Demikian bunyi penjelasan pasal tersebut. Diferensiasi berdasarkan perbedaan agama, juga tampak dalam pencatatan perkawinan: untuk yang

4

M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional: Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975, (Medan: CV Zahir, 1975), Cet. I, h. 15-16


(52)

40

beragama Islam oleh Pegawai Pencatat NTR, sedang untuk mereka yang bukan muslim oleh pegawai Catatan Sipil.5

Pelaksanaan pencatatan perkawinan itu tidaklah menjadi suatu ketentuan sahnya suatu perkawinan, hanya menyatakan bahwa peristiwa perkawinan itu tidaklah menjadi suatu ketentuan sahnya suatu perkawinan hanya menyatakan bahwa peristiwa perkawinan itu memang ada dan terjadi, hal ini hanya semata-mata bersifat administratif.

Sedangkan mengenai sahnya suatu perkawinan, sebagaimana dengan tegas dinyatakan oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 2, bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaanya itu.

Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) menentukan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Namun tidak dijelaskan tentang maksud diadakannya suatu pencatatan. Penjelasan umum hanya mengatakan bahwa tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dengan surat-surat keterangan yang berbentuk akta resmi yang juga dimuat dalam daftar catatan.6

5

Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 24

6

Joko Prakoso SH, Ketut Murtika, SH, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), Cet. I, h. 16


(53)

Pelaksanaan pencatatan nikah mempunyai dasar hukum, yaitu:

a. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk jo Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954

b. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

c. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama pasal 84 ayat (1), (2), dan (3).

d. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 197 tentang perkawinan.

e. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 tentang Hakim

f. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 tentang Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.

g. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1990 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah

h. Keputusan Menteri Agama Nomor 40 Tahun 1991 tentang Biaya Nikah dan Rujuk bagi Umat Islam.

i. Keputusan Menteri Agama Nomor 40 Tahun 1991 tentang Pengelolaan Biaya Nikah dan Rujuk bagi umat Islam.

j. Surat Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor 16 Tahun 1992 tentang Pedoman Pelaksanaan Biaya Nikah dan Rujuk bagi Umat Islam.


(54)

42

D. Tujuan Pencatatan Perkawinan

Pernikahan sebaiknya diproyeksikan untuk mencegah mudharat yang akan terjadi bila pembinaan rumah tangga tidak dikelola dengan baik dan penuh tanggung jawab. Pencatatan nikah bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan dan khususnya bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan nikah yang dibuktikan oleh akta, apabila terjadi perselisihan di antara suami isteri maka salah satu diantaranya dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut, suami isteri memiliki bukti autentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.7

Pencatatan nikah juga berfungsi sebagai pengatur lalu lintas praktik poligami yang sering dilakukan secara diam-diam oleh pihak-pihak tertentu yang hanya menjadikan nikah di bawah tangan atau nikah tanpa pencatatan sebagai alat poligami atau berpoliandri. Setiap pasangan yang akan menikah di KUA (Kantor Urusan Agama) atau KCS (Kantor Catatan Sipil) bisaanya harus melalui mekanisme pengumuman status calon mempelai setelah terdaftar sebagai pasangan yang hendak menikah. Ketika data tentang status masing-masing calon

7

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Rajawali Grafindo Persada, 2000), h. 107


(55)

mempelai diumumkan dan ternyata ada yang berkeberatan perkawinan bisa saja batal.8

Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 5 ayat (1), pasal 6 ayat (2) dan pasal 7 ayat (1) jo. Penjelasan Undang-undang Perkawinan Nomor 4 huruf (b):

Pasal 5

1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat

Pasal 6

2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatatn Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum

Pasal 7

Perkawinan hanya dapat dibuktikan oleh Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah9

Penjelasan Undang-undang perkawinan nomor 4 huruf (b) berbunyi:

“Dalam Undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut agama dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku”10

Penjelasan itu menunjukkan bahwa tujuan pencatatan perkawinan itu tiada lain semata-mata untuk kepentingan administrasi (Penstadiran) dan tidak ada hubungannya dengan sahnya suatu perkawinan.11

8

Happy Susanto, Nikah Siri Apa Untungnya, h. 101

9

Lihat KHI

10

Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (Semarang: Baringin Raya),

11


(56)

44

Dengan adanya Akta Nikah, akan memberikan kepastian hukum yang kuat kepada suami isteri, baik dalam lingkungan masyarakat dimana mereka tinggal maupun di muka hakim di persidangan karena Akta merupakan salah satu bukti tertulis yang harus diperlihatkan.


(57)

A. Peranan dan Tugas P3N dalam Administrasi Perkawinan 1. Peran Pembantu Pegawai Pencatat Nikah

Lembaga pencatatan nikah merupakan syarat administratif, selain substansinya bertujuan untuk mewujudkan ketertiban hukum, ia mempunyai cakupan manfaat yang sangat besar bagi kepentingan dan kelangsungan suatu perkawinan.1

Pasal 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 berbunyi:

1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku 2

Dari apa yang di atur di dalam pasal 2 ayat 1 Undang-undang No.1 Tahun 1974 dapat kita ketahui bahwa di Indonesia perkawinan sudah dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, akan tetapi selanjutnya di dalam ayat 2 disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini menggambarkan bahwa perkawinan yang dilakukan

1

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. IV, h. 111

2

Undang-undang Pokok Perkawinan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1989), Cet. I


(58)

46

menurut hukum agama dan kepercayaan yang dianut oleh kedua pasangan tersebut sudah dapat dianggap sah, tetapi menurut hukum negara perkawinan tersebut belum dianggap sah karena belum dicatatkan dilembaran negara.

Agar perkwinan tersebut dianggap sah menurut hukum negara maka perkawinan tersebut haruslah dicatat oleh istansi yang berwenang untuk melakukan pencatatan perkawinan tersebut. Dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 diatur mengenai instansi yang berwenang untuk melakukan pencatatan, yaitu:

1. PPNTR, bagi mereka yang beragama Islam, sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954

2. Kantor Catatan Sipil (KCS) atau instansi/pejabat yang membantunya bagi mereka yang bukan beragama Islam, sebagaimana yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan mengenai catatan sipil.

Pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat menentukan dalam suatu perkawinan karena pencatatan perkawinan merupakan suatu syarat diakui atau tidaknya perkawinan tersebut, dan hal ini banyak membawa konsekuensi bagi yang bersangkutan. Bilamana suatu perkawinan tidak dicatat, sekalipun perkawinan tersebut sah menurut ajaran agama dan kepercayaannya, perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara. Begitu pula segala akibat yang timbul dari perkawinan tersebut dan bahkan bagi yang bersangkutan dapat dikenakan ketentuan pidana.


(59)

2. Tugas dan Fungsi KUA Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur a. Tugas

Kantor Urusan Agama Kecamatan Pasar Rebo mempunyai tugas :

“Melaksanakan tugas pokok dan fungsi Kantor Departemen Agama

dalam wilayah Kecamatan berdasarkan kebijakan Kantor

Departemen Agama Kodya Jakarta dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku”.

Berdasarkan hal tersebut, maka Kepala KUA Kecamatan Pasar Rebo dengan berpedoman pada Buku Administrasi KUA Kecamatan yang diterbitkan oleh Pemerintah DKI Jakarta mempunyai tugas : 1) Memimpin dan mengkoordinasikan kegiatan semua unsur di

lingkungan KUA Kecamatan dan memberikan bimbingan serta petunjuk pelaksanaan tugas masing-masing staf (pegawai) KUA Kecamatan Pleret sesuai dengan job masing-masing.

2) Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala KUA Kecamatan wajib mengikuti dan mematuhi petunjuk serta peraturan yang berlaku. 3) Setiap unsur di lingkungan KUA Kecamatan, wajib mengikuti dan

mematuhi bimbingan serta petunjuk kepala KUA Kecamatan dan bertanggungjawab kepada Kepala KUA Kecamatan.

4) Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala KUA Kecamatan bertanggungjawab kepada Kepala Kandepag Kodya.


(60)

48

b. Fungsi

Berdasarkan KMA nomor 517 tahun 2001 tentang Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan, maka Kantor Urusan Agama Kecamatan Pasar Rebo selain tugas pokok tersebut di atas juga mempunyai fungsi melaksanakan kegiatan dengan potensi organisasi sebagai berikut :

1) Menyelenggarakan statistik dan dokumentasi.

Menyelenggarakan kegiatan surat menyurat, pengurusan surat, kearsipan, pengetikan, dan rumah tangga Kantor Urusan Agama Kecamatan.

2) Melaksanakan pencatatan Nikah dan Rujuk, mengurus dan membina masjid, zakat, wakaf, baitul maal dan ibadah sosial, kependudukan dan pengembangan keluarga sakinah sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggara Haji berdasarkan Peraturan perundang-undangan yang berlaku.

B. Prosedur Pencatatan Perkawinan

Prosedur atau cara pelaksanaan pencatatan nikah meliputi pemberitahuan kehendak nikah, pemeriksaan nikah, pengumuman kehendak nikah, akad nikah dan penandatanganan akta nikah serta pembuatan kutipan akta nikah.


(61)

1. Pemberitahuan Kehendak Nikah

PPN, Pembantu PPN ataupun BP4 dalam memberikan penasehatan dan bimbingan hendaknya mendorong kepada masyarakat dalam merencanakan perkawinan agar melakukan persiapan pendahuluan sebagai berikut:

a. Masing-masing calon mempelai saling mengadakan penelitian tentang apakah mereka saling cinta/Tahu dan apakah kedua orang tua mereka menyetujui/merestuinya. Ini erat hubungannya dengan surat-surat perTahuan calon mempelai dan surat izin orang tua, agar surat-surat tersebut tidak hanya formalitas saja.

b. Masing-masing berusaha meneliti apakah ada halangan perkawinan, baik menurut hukum munakahat maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini untuk mencegah terjadinya penolakan atau pembatalan perkawinan.

c. Calon mempelai supaya mempelajari ilmu pengetahuan tentang rumah tangga hak dan kewajiban suami isteri dan sebagainya.

d. Dalam rangka meningkatkan kualitas keturunan yang akan dilahirkan, calon mempelai supaya memeriksa kesehatannya dan kepada calon mempelai wanita diberikan suntikan imunisasi tetanus toxoid.

Setelah persiapan pendahuluan dilakukan secara matang maka orang yang hendak menikah memberitahukan kehendaknya kepada PPN/Pembantu PPN yang mewilayahi tempat akan dilangsungkannya akad nikah. Sekurang-kurangnya sepuluh hari kerja sebelum akad nikah dilangsungkan.


(62)

50

Pemberitahuan kehendak nikah dapat dilakukan oleh calon mempelai atau orang tua wakilnya dengan membawa surat-surat yang diperlukan: a. Surat perTahuan calon mempelai

b. Akta kelahiran atau surat kenal lahir atau surat keterangan asal usul (akta kelahiran atau surat kenal lahir hanya untuk diperlihatkan dan dicocokkan dengan surat-surat lainnya. Untuk keperluan Administrasi. Yang bersangkutan menyerahkan salinan foto copynya).

c. Surat keterangan tentang orang tua d. Surat keterangan untuk nikah (Model N1)

e. Surat izin kawin bagi calon mempelai anggota TNI/Polri

f. Akta Cerai Talak/Cerai Gugat atau Kutipan Buku Pendaftaran Talak/Cerai jika calon mempelai seorang janda/duda.

g. Surat Keterangan Kematian suami/isteri yang dibuat oleh Kepala Desa yang mewilayahi tempat tingggal atau tempat matinya suami/isteri menurut contoh Model N6, jika calon mempelai seorang janda/duda karena kematian suami/isteri.

h. Surat izin dispensasi, bagi calon mempelai yang belum mencapai umur menurut ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat (2) sampai dengan (5) dan pasal 7 ayat (2).3

3

Pasal 6 UUP No. 1 Tahun 1974 (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) Tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua.


(63)

2. Pemeriksaan Nikah

Pemeriksaan terhadap calon suami, calon isteri dan wali nikah sebaiknya dilakukan secara bersama-sama, tetapi tidak ada halangannya jika pemeriksaan itu dilakukan sendiri-sendiri. Bahkan dalam keadaan yang meragukan, perlu dilakukan pemeriksaan sendiri-sendiri. Pemeriksaan dianggap selesai apabila ketiga-tiganya selesai diperiksa secara benar.

Apabila pemeriksaan calon suami isteri and wali itu terpaksa dilakukan pada hari-hari yang berlainan. Maka kecuali pemeriksaan pada hari pertama, di bawah kolom tanda tangan yang diperiksa ditulis tanggal dan hari pemeriksaan.

1) Nikah diawasi oleh PPN

a. Pemeriksaan ditulis dalam daftar pemeriksaan nikah (Model NB) b. Masing-masing calon suami, calon isteri dan wali nikah mengisi ruang

I, II dan IV dalam daftar pemeriksaan nikah dan ruang lainnya diisi oleh PPN.

c. Dibaca dan dimana perlu diterjemahkan ke dalam bahasa yang dimengerti oleh yang bersangkutan.

d. Setelah dibaca, kemudian ditandatangani oleh yang diperiksa dan PPN yang memeriksa, kalau tidak bisa membubuhkan tanda tangan dapat diganti dengan cap ibu jari tangan kiri.

e. Untuk tertibnya administrasi dan memudahkan ingatan, PPN membuat buku yang diberi nama “Catatan Pemeriksaan Nikah” sebagai berikut:


(64)

52 Nama Calon Peg. Yang ditugaskan untuk menghadiri akad nikah No

Urut Tanggal

Suami Isteri

Hari/Tgl Ketentuan

Akad Nikah

Suami isteri

Nomor Akta Nikah

Ket

1 2 3 4 5 6 7 8 9

f. Pada ujung model NB sebelah kiri atas diberi nomor yang sama dengan nomor urut buku di atas dan kode-kode desa serta Tahun, contoh 16/7/2005 angka 16 adalah angka urut pemeriksaan dalam Tahun ini, angka 7 adalah kode desa tempat dilangsungkannya pernikahan dan 2005 adalah Tahun pelaksanaan pemeriksaan.

g. PPN mengumumkan kehendak nikah.

2) Nikah diawasi oleh Pembantu PPN (di luar Jawa dan Madura)

a. Pemeriksaan ditulis dalam daftar pemeriksaan nikah (model NB) rangkap dua.

b. Masing-masing calon suami, calon isteri dan wali nikah mengisi ruang I, II dan IV dalam Daftar Pemeriksaan Nikah dan ruang lainnya diisi oleh Pembantu PPN.

c. Dibaca dan dimana perlu diterjemahkan ke dalam bahasa yang dimengerti oleh yang bersangkutan.

d. Setelah dibaca kemudian kedua lembar model NB di atas ditandatangani oleh yang diperiksa dan Pembantu PPN yang


(65)

memeriksa. Kalau tidak bisa membubuhkan tanda tangan diganti dengan cap ibu jari tangan kiri.

e. Untuk tertibnya administrasi dan memudahkan ingatan, Pembantu PPN mencatat dalam buku yang diberi kolom sebagai berikut:

Nama Calon No

Urut Tanggal Suami Isteri

Hari/Tgl Ketentuan Akad Nikah

Biaya

Nomor Akta Nikah

Ket

1 2 3 4 5 6 7 8

f. Pada ujung model NB sebelah kiri atas diberi nomor yang sama dengan nomor urut buku di atas.

g. Pembantu PPN mengumumkan kehendak nikah.

h. Surat-surat yang diperlukan dikumpulkan menjadi satu dengan model NB dan disimpan dalam sebuah Map.

i. Setelah lewat masa pengumuman dan akad nikah telah dilangsungkan, maka nikah itu dicatat dalam halaman 4 model NB. Kemudian dibaca di hadapan suami, isteri, wali nikah dan saksi-saksi, selanjutnya ditandatangani. Tanda tangan itu dibubuhkan pada kedua lembar model NB di atas.

j. Selambat-lambatnya 15 hari setelah hari akad nikah satu lembar model NB yang dilampiri surat-surat yang diperlukan dikirimkan kepada PPN yang bersangkutan beserta biayanya.


(66)

54

k. PPN yang menerima model NB dari pembantu PPN memeriksa dengan teliti, kemudian mencatat dalam Akta Nikah dan menandatangani. Kemudian PPN membuat Kutipan Akta Nikah selanjutnya diberikan kepada Pembantu PPN untuk disampaikan kepada suami dan isteri.

3. Pengumuman Kehendak Nikah

PPN/Pembantu PPN mengumumkan kehendak nikah pada papan pengumuman (dengan model NC) setelah persyaratan dipenuhi. Pengumuman dilakukan:

a. Oleh PPN di KUA Kecamatan tempat pernikahan akan dilangsungkan dan di KUA Kecamatan tempat tinggal masing-masing

b. Oleh pembantu PPN di luar Jawa di tempat-tempat yang mudah diketahui umum.

PPN/Pembantu PPN tidak boleh melaksanakan akad nikah sebelum lampau sepuluh hari kerja sejak pengumuman, kecuali seperti yang diatur dalam pasal 3 ayat (3) PP No.9 Tahun 1975 yaitu apabila terdapat alasan yang sangat penting. Misalnya salah seorang akan segera bertugas ke luar negeri. Maka dimungkinkan yang bersangkutan memohon dispensasi kepada Camat selanjutnya Camat atas nama Bupati memberikan dispensasi.

Dalam kesempatan waktu sepuluh hari ini calon suami isteri seyogyanya mendapat nasihat perkawinan dari BP4 setempat.


(67)

4. Akad Nikah

a. Akad nikah dilangsungkan di bawah pengawasan di hadapan PPN. Setelah akad nikah dilangsungkan, nikah itu dicatat dalam Akta Nikah rangkap dua (model N).

b. Kalau nikah dilangsungkan di luar Balai Nikah, nikah itu dicatat pada halaman 4 model NB dan ditandatangani oleh suami, isteri, wali nikah dan saksi-saksi serta PPN yang mengawasinya. Kemudian segera dicatat dalam Akta Nikah (Model N), dan ditandatangani hanya oleh PPN atau wakil PPN.

c. Akta Nikah dibaca, kalau perlu diterjemahkan ke dalam bahasa yang dimengerti oleh yang bersangkutan dan saksi-saksi kemudian ditandatangani oleh suami, isteri, wali nikah, saksi-saksi dan PPN atau wakil PPN.

d. PPN membuat Kutipan Akta Nikah (Model NA) rangkap dua, dengan kode dan nomor yang sama. Nomor tersebut (…./…./…./…../) menunjukkan nomor urut dalam Tahun, nomor urut dalam bulan, angka romawi bulan dan angka Tahun.

e. Kutipan Akta Nikah diberikan kepada suami dan isteri.

f. Nomor di tengah pada model NB (Daftar Pemeriksaan Nikah) diberi nomor yang sama dengan nomor Akta Nikah.

g. Akta Nikah dan Kutipan Akta Nikah harus ditandatangani oleh PPN. Dalam hal wakil PPN yang melakukan pemeriksaan dan menghadiri akad


(68)

56

nikah di luar Balai Nikah, Wakil PPN hanya menandatangani daftar pemeriksaan nikah dan pada kolom 5 dan 6 menandatangani Akta Nikah pada kolom 6.

h. PPN berkewajiban mengirimkan Akta Nikah kepada Pengadilan Agama yang mewilayahinya, apabila folio terakhir pada buku Akta Nikah telah selesai dikerjakan.

i. Jika mempelai seorang janda atau duda karena cerai talak atau cerai gugat, PPN memberitahukan kepada Pengadilan Agama yang memberikan Akta Cerainya, bahwa duda/janda tersebut telah menikah dengan menggunakan formulir ND rangkap 2. setelah pemberitahuan nikah tersebut diterima, Pengadilan Agama mengirimkan kembali lembar II kepada PPN setelah membubuhkan stempel dan tanda tangan penerima. Selanjutnya PPN menyimpan bersama berkas Daftar Pemeriksaan Nikah (Model NB).

Dalam hal perceraian itu terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

1) PPN membuat catatan pinggir (catatan lain-lain) pada Buku Pendaftaran Talak atau Cerai terdahulu bahwa orang tersebut telah menikah dengan menyebutkan tempat, tanggal dan nomor Kutipan Akta Nikah serta ditandatangani dan dibubuhi tanggal oleh PPN.

2) Dalam hal perceraiannya di daftar di tempat lain, PPN memberitahukan kepada PPN yang mendaftar perceraian tersebut bahwa duda/janda tersebut telah menikah dengan menggunakan formulir ND rangkap 2.


(1)

perkawinan harus memberi tahu sekurang-kurangya 10 hari kerja sebelum pernikahan kepada pegawai pencatat nikah di KUA Kec. Pasar Rebo Jakarta Timur menunjukkan sebagian besar (54.3%) Sangat Tahu, (42.9%) Tahu, dan (2.9%) Tidak Tahu.

Data Berdasarkan tingkat pengetahuan masyarakat mengenai Pembantu pegawai pencatat nikah KUA Pasar Rebo sudah maksimal melaksanakan tugasnya dalam melayani masyarakat, menunjukkan sebagian besar (48.6%) Tahu, (45.7%) Sangat Tahu, (2.9%) Tidak Tahu dan (2.9%) Sangat Tidak Tahu.

Data Berdasarkan tingkat pengetahuan masyarakat tentang lemaga pencatatan perkawinan KUA Pasar Rebo keberadaanya adalah sangat penting bagi masyarakat pada masa ini menunjukkan sebagian besar (57.2%) Sangat Tahu, (40.0%) Tahu, (2.9%) Tidak Tahu.

Data Berdasarkan tingkat pengetahuan masyarakat tentang Pencatatan perkawinan itu menjadi wajib dilaksanakan karena kemaslahatan data hasil angket menunjukkan sebagian besar (48.6%) menajawab Tahu, (28.6%) Sangat Tahu, (20.0%) Tidak Tahu dan (2.9%) menyatakan Sangat Tidak Tahu.

Data Berdasarkan tingkat pengetahuan masyarakat tentang Perkawinan harus dicatat di KUA dan perceraian dicatat di PA data hasil angket menunjukkan sebagian besar (57.1%) menyatakan Tahu dan (42.9%) menyatakan Sangat Tahu.

Data Berdasarkan tingkat pengetahuan masyarakat tentang pembantu pegawai pencatat nikah KUA Pasar Rebo melayani masyarakat dengan baikdari data hasil


(2)

73

angket menunjukkan sebagian besar (54.3%) menyatakan Tahu, (25.7%) Sangat Tahu dan sisanya (20.0%) Tidak Tahu.

Data Berdasarkan tingkat pengetahuan masyarakat tingkat pengetahuan masyarakat setelah dilakukan Akad Nikah, maka langkah selanjutnya adalah penulisan pada Akta Nikah, Untuk pelaksanaan Nikah di Balai Nikah, maka Pencatatan Akta Nikah dapat langsung dilakukan oleh Penghulu yang mengawasi dan mencatat pernikahan data hasil angket menunjukkan sebagian besar (60.0%) menyatakan Tahu, (40.0%) Sangat Tahu.


(3)

A. Kesimpulan

Pada penulisan skripsi ini selanjutnya penulis dapat simpulkan yang merupakan jawaban rumusan permasalahan yang penulis buat adapun kesimpulan yang didapat adalah sebagaimana berikut:

1. Yang dimaksud dengan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) adalah petugas yang ditunjuk oleh menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya dan mempunyai kewenagan dalam pencatatan dalm hal perkawinan maupun perceraian.

a. Peranan Pembantu Pencatat Nikah (P3N) di KUA Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur memegang peran sangat penting dalam sebuah ikatan perkawinan dalam kehidupan berumah tangga, terutama bagi kaum perempuan. Ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk melindungi hak-hak perempuan dalam perkawinan. Di samping itu pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dalam masyarakat.

2. Pemahaman masyarakat Kecamatan Pasar Rebo terhadap keberadaan pembantu pencatat nikah P3N data bahwa (48.6%) Tahu, (48.6%) Sangat Tahu, dan (2.9%) tidak tahu,


(4)

75

B. Saran

1. Dalam pelaksanaan pencatatn pernikahan hendaknya pegawai pencatat pernikahan dalam melaksanakan tugas dan fungsinys sesuai dengan ketentuan undang-undang agar dan harus ada pengawasan bagi para pegawai pencatat agar tidak terjadi pungutan liar yang akan merugikan masyarakat.

2. Pada dasarnya pemahaman masyarakat Kecamatan Pasar Rebo sudah cukup pahan mengenai tugas dan fungsi P3N namun alangkah lebih-baiknya sosialisasi dan mengenai proses perkawinan dan biaya perkawinan itu dilakukan oleh pihak petugas yang terkait supaya tihdak terjadi kesalah fahaman antara biaya pernikahan dan biaya-biaya lain supaya tidak terjadi pungutan-pungutan liar pada prosesi pernikahan yang akan di laksankan. 3. Penulis harap para pihak-pihak yang terkait dal hal administratip pernikahan

membuat mudah untuk hal pernikahan agar diharapkan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.


(5)

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), Cet IV

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), edisi I, Cet II

Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), Cet. I, Juz I

Bakri A. Rahman dan Drs. Ahmad Sukarja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata BW, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1993)

Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2007

Dep. Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), Cet. III edisi 2,

Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008) Cet. Ke-6

Depag RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan: UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2001)

Ghazaly, Abd Rahman, Fiqih Munakahat (Jakarta: Pranada Media Group, 2006), Cet II,

Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), Cet. I

Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Da al-Fikr, t. th), jilid II


(6)

77

Kumanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI 1993)

Mohammad Anwar, Pegangan Sosiologi, (Bandung CV. Armico, 1996), Cet.I Muhammad bin Ismail Al-Kahlaniy, Subul al-Salam, (Bandung: Dahlan, t.t), jilid 3, Peraturan Menteri Agama RI No. 2 Tahun 1989 tentang Pembantu Pegawai Pencatat

Nikah Pasal 4 ayat (3)

UU No. 1 Tahun1974 juga telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, UU No. 32 1954 tentang Penetapan Berlakunya UU No. 22 Tahun 1946

Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Cet III