Letak Geografis KUA Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur Sejarah Singkat Pencatatan Perkawinan

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG PENCATATAN PERKAWINAN

A. Letak Geografis KUA Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur

Wilayah Kecamatan Pasar Rebo yang terletak di sebelah timur Provinsi DKI Jakarta adalah salah satu dari sepuluh kecamatan yang berada di wilayah Kotamadya Jakarta Timur yang dibentuk berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor : 16.0II1996 tanggal 12 Agustus 1996 tentang pembentukan kota administratif kecamatan dan Kelurahan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Lembaran Daerah Nomor 5 Tahun 1996 Wilayah Kecamatan Pasar Rebo berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1227 tahun 1989 memiliki luas 1.297.70 Ha. Dibagi habis ke dalam lima kelurahan. Adapun batas-batas wilayah Kec. Pasar Rebo adalah: Sebelah Utara : Jl. Tengah, Jl. Bala Rakyat, Jl. Condet, Jl. H. Nasih, Jl. Mandor Baning, Jl. H. Taiman Timur, Jl. Tri Kora II. Sebeah Timur : Kali Cipinang, Jl. Raya Bogor, Kec. Ciracas. Sebelah Selatan : Setu Tipar Desa Mekar Sari, Pilar Batas DKI dengan Jawa Barat, PT. Panasonik, Ds. TuguPalsi Gunung, Setu ArmanDs. Rumbut Kec. Cimanggis Kotamadya Depok Sebelah Barat : Kali Ciliwung, Kec. Pasar Minggu Jakarta Selatan. 31

B. Kondisi Sosial Masyarakat Pasar Rebo Jakarta Timur

1. Perkembangan Penduduk Menurut Jenis Kelamin

Jumlah penduduk Kecamatan Pasar Rebo pada tahun 2007 sebanyak 162.747 Jiwa yang terbagi sebesar 87.489 berjenis kelamin laki-laki dan 75.258 berjenis kelamin perempuan Kecamatan pasar rebo terdiri dari lima kelurahan masing-masing diantaranya Kelurahan Pekayon dengan luas wilayah 3,18 Km 2 dengan jumlah penduduk 40.195 jiwa, Kelurahan Kalisari dengan luas wilayah 2,90 Km 2 jumlah penduduk 31.374, Kelurahan Baru dengan luas wilayah 1,89 Km 2 jumlah penduduk 25.527, Keluranan Cijantung dengan luas wilayah 2,38 Km 2 jumlah penduduk 34.772, Kelurahan Gedong dengan luas wilayah 2,63 Km 2 jumlah penduduk 30.879 jiwa.

2. Perkembangan Sekolah

Jumlah Sekolah Dasar yang ada pada kecamatan Pasar Rebo masing- masing Kelurahan Pekayon 18, Kalisari 12, Baru 8, Cijantung 16, Gedong 14, Jumlah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Kecamatan Pasar Rebo masing- masing Kelurahan Pekayon 3, Kalisari 2, Baru 2, Cijantung 7, Gedong 5, Jumlah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Pekayon 4, Kalisari 2, Baru 2, Cijantung 12, Gedong 6, Jumlah Universitas 2

3. Jumlah Perkawinan dan Perceraian Menurut Kecamatan

Jumlah Perkawinan dan perceraian Kecamatan Pasar rebo tahun 2007 jumlah nikah 62 5, Jumlah cerai 6 10 1 1 BPS, Pasar Rebo dalam angka 2008, Badan Pusat statistic Kota Administrasi Jakarta Timur, 45

C. Sejarah Singkat Pencatatan Perkawinan

Undang-undang pertama pencatatan perkawinan, perceraian yang sekaligus dikelompokkan sebagai usaha pembaharuan pertama. Adalah dengan diperkenalkan Undang-undang No. 22 Tahun 1946. pertama Undang-undang ini hanya berlaku untuk pulau Jawa, yang kemudian Undang-undang pertama tentang perkawinan yang lahir setelah Indonesia dengan Undang-undang No. 32 Tahun 1945, yakni Undang-undang tentang Pencatatan Nikah, Thalak dan Rujuk. Keberadaan Undang-undang No.22 Tahun 1946 ini adalah sebagai kelanjutan dari Stbl. No. 198 Tahun 1895, dan sebagai pengganti dari Huwelijks Ordonatie Stbl. No. 348 Tahun 1929 jo Stbl. No. 467 Tahun 1931, dan Vorstenlandse Hewelijks Ordonantie Stbl. No. 98 Tahun 1933. Aulawi mencatat, seyogyanya Undang- undang No. 22 Tahun 1946 ini berlaku untuk seluruh Indonesia tetapi karena keadaan belum memungkinkan, maka diberlakukan untuk daerah Jawa dan Madura. Kemudian diberlakukan di seluruh Indonesia pada Tahun 1945, dengan di Undangkan Undang-undang No. 32 Tahun 1945, yang isinya memperlakukan Undang-undang No. 22 Tahun 1946 di seluruh Indonesia. Undang-undang No. 22 Tahun 1946 ini diikuti dengan lahirnya Undang- undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-undang No. 1 Tahun 1975 yang berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 ini adalah Undang-undang pertama yang mencakup seluruh unsur-unsur dalam perkawinan dan perceraian. Adapun isi dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974 terdiri dari 14 bab dan 67 pasal. Kehadiran Undang-undang No.1 Tahun 1974 ini disusul dengan lahirnya Peraturan Pelaksanaannya dengan PP No. 9 Tahun 1974 Tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yang kemudian disusul dengan keluarnya Peraturan Menag dan Mendagri. Bagi umat Islam diatur dalam peraturan Menag No. 3 Tahun 1975, kemudian diganti dengan Peraturan Menag No. 2 Tahun 1990. bagi yang beragama selain Islam diatur dalam Keputusan Mendagri No. 221 a Tahun 1975, tanggal 01 Oktober 1975 tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan Sipil. Adapun isi PP No. 9 Tahun 1975 terdiri dari 10 bab, 49 pasal. Pada Tahun 1983 lahir pula PP No. 10 yang mengatur tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS. Peraturan ditetapkan tanggal 21 April 1983 ini, berisi 23 Pasal. Pada Tahun 1989 lahir Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. RUU UU PA ini diajukan dengan amanat Presiden tanggal 3 Desember 1988 dan dihantarkan dengan Ketetapan Pemerintah pada Rapat Paripurna DPR pada tanggal 28 Januari 1989. undang-undang yang ditetapkan pada tanggal 14 Desember 1989 ini secara umum berisi tentang Pengadilan yang meliputi susunan Pengadilan, ketetapan Pengadilan dan hukum acara. Namun pada Bab IV, hukum acara, bagian kedua pemeriksaan sengketa perkawinan Pasal 65-88, dibahas juga tentang perkawinan, khususnya yang menyangkut proses atau tata cara perceraian. Dengan demikian, meskipun pada prinsipnya, Undang-undang ini berhubungan dengan pengadilan, namun ada juga pembahasan tentang perkawinan. Pada Tahun 1990 keluar PP No. 45 yang berisi perubahan PP No. 10 Tahun 1983, yang isinya memuat beberapa pasal yang ada dalam PP No. 10 Tahun 1983. PP No. 45 Tahun 1990 ini hanya berisi 2 pasal. Pada akhir Tahun 1991 berhasil disusun Kompilasi Hukum Islam KHI di Indonesia, mengenai perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Kompilasi ini berlaku dengan Inpres No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, yang kemudian diikuti dengan keluarnya Menag RI No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Inpres RI No. 1 Tahun 1991 tersebut. 2 Lahirnya Undang-undang perkawinan yang berlaku bagi semua warga Negara Republik Indonesia tanggal 2 Januari 1974 untuk sebagian besar telah memenuhi tuntutan masyarakat Indonesia. Tuntutan ini sudah dikumandangkan sejak Kongres Perempuan Indonesia pertama Tahun 1928 yang kemudian susul menyusul dikedepankan dalam kesempatan-kesempatan lainnya berupa harapan perbaikan kedudukan wanita dalam perkawinan. Perbaikan yang didambakan itu terutama diperuntukkan bagi golongan “Indonesia asli” yang beragama Islam yang hak dan kewajibannya dalam perkawinan tidak diatur dalam hukum yang tertulis. Hukum perkawinan orang yang beragama Islam yang tercantum dalam kitab-kitab fiqih kitab-kitab hukum fiqih Islam, menurut sistem hukum di tanah 2 Atho Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Jakarta: Ciputat Press, 2003, Cet. I, h. 23-27. dan dapat dilihat juga dalam Himpunan Peraturan Perundang- undangan perkawinan. Departemen Agama RI, Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Proyek Peningkatan Sarana Keagamaan Islam Zakat dan Wakaf, 2001, h. 7 air kita tidaklah dapat digolongkan ke dalam kategori “hukum tertulis” karena tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Masalah-masalah yang menjadi pusat perhatian pergerakan wanita pada waktu itu adalah soal-soal 1 perkawinan paksa, 2 poligami, dan 3 talak yang sewenang-wenang. Karena itu pula arah tuntutan perbaikan ditujukan kepada ketiga pokok persoalan tersebut. Segera setelah Indonesia merdeka, langkah-langkah perbaikan diadakan oleh Pemerintah dengan antara lain mengeluarkan Undang-undang 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk NTR. Setelah itu disusul dengan beberapa Peraturan Menteri Agama mengenai wali hakim dan tatacara pemeriksaan perkara fasid nikah, talak dan rujuk di Pengadilan Agama. Namun demikian, dengan langkah-langkah itu, perbaikan yang dituntut belumlah terpenuhi karena Undang- undang dan peraturan-peraturan itu hanyalah mengenai soal-soal formil belaka, tidak mengenai hukum materilnya yakni Undang-undang yang mengatur perkawinan sendiri. Mengenai yang tersebut terakhir ini, sejak Tahun 1950 Pemerintah Republik Indonesia telah berusaha memenuhinya dengan jalan membentuk Panitia-panitia yang bertugas membuat Rancangan Undang-undang Perkawinan dan telah pula RUU ini dibahas dalam siding DPR antara Tahun 1958-1959, tetapi pemerintah tidak berhasil menjadikannya Undang-undang. Antara Tahun 1967- 1970, DPR-GR telah juga membahas RUU Perkawinan, tetapi nasib RUU ini pun sama saja dengan nasib RUU sebelumnya. Pada bulan Juli 1973, Pemerintah Republik Indonesia kembali mengajukan sebuah RUU yang terkenal dengan Rancangan Undang-undang Perkawinan kepada DPR-RI dan setelah mendapat banyak sekali tanggapan pro dan kontra mengenai beberapa bagian penting Menteri RUUP tersebut baik di dalam DPR maupun di dalam masyarakat, akhirnya dicapailah suatu consensus yang membawa pengaruh pada sidang-sidang selanjutnya, sehingga tercapai juga kata mufakat di antara para anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah mengundangkan Undang-undang Perkawinan pada tanggal 2 Januari 1974 dalam Lembaran Negara yang kebetulan nomor dan tahunnya sama dengan nomor dan tahun Undang-undang Perkawinan tersebut yakni Nomor 1 Tahun 1974. Pada tanggal 1 April 1975, setelah 1 Tahun 3 bulan Undang-undang Perkawinan ini diundangkan, lahir Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang memuat Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan tersebut. Dan dengan demikian, mulai tanggal 1 Oktober 1975 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 itu telah dapat berjalan secara efektif. 3 Demikian sejarah pencatatan perkawinan tidak bisa dilepaskan dari sejarah pembentukan Undang-undang perkawinan itu sendiri. Karena pencatatan perkawinan itu sendiri tercakup dalam Undang-undang perkawinan. 3 Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003, Cet. I, h. 20-23 Untuk mengetahui lebih lanjut tentang pencatatan perkawinan, harus dilihat ketentuan yang diatur dalam Bab II PP No. 9 Tahun 1975. Bab II memuat ketentuan pencatatan perkawinan, yang memberi penjelasan tentang pencatatan perkawinan yang dimaksud oleh pasal 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 sesuai dengan PP No. 9 Tahun 1975 ditentukan Undang-undang mana yang mengatur pencatatan perkawinan. a. Bagi mereka yang beragama Islam dan yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang No. 32 Tahun 1974 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk ayat 1 pasal 2. Dan tentang hal ini diatur pada Bab II dan Bab IV Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1955 pada pasal 5-17. b. Sesuai dengan ketentuan ayat 2 pasal 2 bagi mereka yang bukan beragama Islam dan yang melangsungkan perkawinan menurut kepercayaan agama mereka pencatatan perkawinan dilakukan oleh Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil. 1. Bagi yang beragama Kristen yang terdiri dari penduduk bumi putra di daerah Jawa-Madura dan Minahasa berlaku di Reglemen Pencatatan Sipil bagi bangsa Indonesia Kristen Jawa, Madura dan Minahasa Stbl. 1933 No. 75 diubah dengan Stbl. 1933 No. 327 jo. 338 Stbl. 1934 No. 621 dan 622, Stbl.1936 No. 247 dan 607, Stbl. 1938 No. 246 dan 247 dan 170 jo. No. 264, Stbl. 1939 No. 288 tentang pencatatan pernikahan ini diatur pada bagian keenam pasal 48-58. 2. Bagi Tionghoa berlaku Reglemen Pencatatan Sipil Tionghoa, yaitu Ordonatie tanggal 29 Mei 1917 Stbl. 1917 No. 130, mulai berlaku tanggal 1 Mei 1919. Stbl 1919 No. 81. Mengenai pencatatan pernikahan dalam Reglemen ini diatur pada bagian kelima mulai dari pasal 67-72. 3. Bagi mereka yang termasuk golongan Eropa pencatatan pernikahan diatur dalam Reglemen Pencatatan Sipil Eropa Stbl. 1849 No. 25 yang telah mengalami perubahan dan penambahan. Dalam reglemen tersebut pencatatan perkawinan diatur dalam bagian kegita dan keempat sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 54-63. 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ini adalah unifikasi karena hanya ada satu Undang-undang yang berlaku untuk semua warga Negara. Tetapi isinya adalah diferensiasi bervariasi yang jelas dapat dibaca pada pasal 2 ayat 1 yang berbunyi, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agama dan kepercayaannya itu. Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukum masing-masing pasal 37. Yang dimaksud dengan “hukumnya” ialah, “Hukum Agama”, Hukum Adat dan hukum-hukum lainnya”. Demikian bunyi penjelasan pasal tersebut. Diferensiasi berdasarkan perbedaan agama, juga tampak dalam pencatatan perkawinan: untuk yang 4 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional: Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975, Medan: CV Zahir, 1975, Cet. I, h. 15-16 beragama Islam oleh Pegawai Pencatat NTR, sedang untuk mereka yang bukan muslim oleh pegawai Catatan Sipil. 5 Pelaksanaan pencatatan perkawinan itu tidaklah menjadi suatu ketentuan sahnya suatu perkawinan, hanya menyatakan bahwa peristiwa perkawinan itu tidaklah menjadi suatu ketentuan sahnya suatu perkawinan hanya menyatakan bahwa peristiwa perkawinan itu memang ada dan terjadi, hal ini hanya semata- mata bersifat administratif. Sedangkan mengenai sahnya suatu perkawinan, sebagaimana dengan tegas dinyatakan oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 2, bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaanya itu. Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 2 menentukan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Namun tidak dijelaskan tentang maksud diadakannya suatu pencatatan. Penjelasan umum hanya mengatakan bahwa tiap- tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dengan surat-surat keterangan yang berbentuk akta resmi yang juga dimuat dalam daftar catatan. 6 5 Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 24 6 Joko Prakoso SH, Ketut Murtika, SH, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1987, Cet. I, h. 16 Pelaksanaan pencatatan nikah mempunyai dasar hukum, yaitu: a. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk jo Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 b. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan c. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama pasal 84 ayat 1, 2, dan 3. d. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang- undang Nomor 1 Tahun 197 tentang perkawinan. e. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 tentang Hakim f. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 tentang Pembantu Pegawai Pencatat Nikah. g. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1990 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah h. Keputusan Menteri Agama Nomor 40 Tahun 1991 tentang Biaya Nikah dan Rujuk bagi Umat Islam. i. Keputusan Menteri Agama Nomor 40 Tahun 1991 tentang Pengelolaan Biaya Nikah dan Rujuk bagi umat Islam. j. Surat Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor 16 Tahun 1992 tentang Pedoman Pelaksanaan Biaya Nikah dan Rujuk bagi Umat Islam.

D. Tujuan Pencatatan Perkawinan