Tujuan Pencatatan Perkawinan GAMBARAN UMUM TENTANG PENCATATAN PERKAWINAN

D. Tujuan Pencatatan Perkawinan

Pernikahan sebaiknya diproyeksikan untuk mencegah mudharat yang akan terjadi bila pembinaan rumah tangga tidak dikelola dengan baik dan penuh tanggung jawab. Pencatatan nikah bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan dan khususnya bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan nikah yang dibuktikan oleh akta, apabila terjadi perselisihan di antara suami isteri maka salah satu diantaranya dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut, suami isteri memiliki bukti autentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan. 7 Pencatatan nikah juga berfungsi sebagai pengatur lalu lintas praktik poligami yang sering dilakukan secara diam-diam oleh pihak-pihak tertentu yang hanya menjadikan nikah di bawah tangan atau nikah tanpa pencatatan sebagai alat poligami atau berpoliandri. Setiap pasangan yang akan menikah di KUA Kantor Urusan Agama atau KCS Kantor Catatan Sipil bisaanya harus melalui mekanisme pengumuman status calon mempelai setelah terdaftar sebagai pasangan yang hendak menikah. Ketika data tentang status masing-masing calon 7 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Rajawali Grafindo Persada, 2000, h. 107 mempelai diumumkan dan ternyata ada yang berkeberatan perkawinan bisa saja batal. 8 Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 5 ayat 1, pasal 6 ayat 2 dan pasal 7 ayat 1 jo. Penjelasan Undang-undang Perkawinan Nomor 4 huruf b: Pasal 5 1 Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat Pasal 6 2 Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatatn Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum Pasal 7 Perkawinan hanya dapat dibuktikan oleh Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah 9 Penjelasan Undang-undang perkawinan nomor 4 huruf b berbunyi: “Dalam Undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut agama dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku” 10 Penjelasan itu menunjukkan bahwa tujuan pencatatan perkawinan itu tiada lain semata-mata untuk kepentingan administrasi Penstadiran dan tidak ada hubungannya dengan sahnya suatu perkawinan. 11 8 Happy Susanto, Nikah Siri Apa Untungnya, h. 101 9 Lihat KHI 10 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Semarang: Baringin Raya, 11 K. Wantjik Saleh dalam uraian peraturan pelaksanaan UU Perkawinan, h. 16 Dengan adanya Akta Nikah, akan memberikan kepastian hukum yang kuat kepada suami isteri, baik dalam lingkungan masyarakat dimana mereka tinggal maupun di muka hakim di persidangan karena Akta merupakan salah satu bukti tertulis yang harus diperlihatkan.

BAB IV PERANAN PEMBANTU PEGAWAI PENCATAT NIKAH P3N DALAM

PELAKSANAAN ADMINISTRASI PERKAWINAN

A. Peranan dan Tugas P3N dalam Administrasi Perkawinan

1. Peran Pembantu Pegawai Pencatat Nikah

Lembaga pencatatan nikah merupakan syarat administratif, selain substansinya bertujuan untuk mewujudkan ketertiban hukum, ia mempunyai cakupan manfaat yang sangat besar bagi kepentingan dan kelangsungan suatu perkawinan. 1 Pasal 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 berbunyi: 1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. 2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku 2 Dari apa yang di atur di dalam pasal 2 ayat 1 Undang-undang No.1 Tahun 1974 dapat kita ketahui bahwa di Indonesia perkawinan sudah dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, akan tetapi selanjutnya di dalam ayat 2 disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini menggambarkan bahwa perkawinan yang dilakukan 1 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000, Cet. IV, h. 111 2 Undang-undang Pokok Perkawinan, Jakarta: Bumi Aksara, 1989, Cet. I 45