Pengertian Pencatatan Perkawinan. TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN

28 Dengan kecerdasan manusia dan kemampuannya, akal manusia dapat menaklukkan isi bumi ini. Sehingga dibutuhkan manusia yang banyak dalam rangka memakmurkan bumi ini. Dan ini semua bermuara dengan adanya istitusi perkawinan sebagai alat reproduksi yang generatif, ideal dan terhormat mencapai tujuan tersebut. e. Menjaga Kemurnian Nasab Mendapatkan keturunan yang sah hanya dapat diperoleh melalui perkawinan yang sah pula. Melalui perkawinan inilah dapat dilahirkan nasab yang sah pula sebab wanita yang mendapatkan benih dari saluran yang resmi, mampu memberikan keturunan yang dijamin orisinalitasnya. Menjaga keturunan dalam istilah hukum Islam disebut hifdzu nasl adalah sesuatu yang dharury sangat esensial. Karena ketiadaannya dapat menciptakan krisis kemanusiaan, malapetaka yang besar dan dapat merusak sendi kemanusiaan. Sehingga reproduksi generasi di luar nikah tidak mendapatkan legitimasi dan ditentang keras oleh agama Islam. 16

D. Pengertian Pencatatan Perkawinan.

Untuk memastikan status perdata seseorang, ada beberapa peristiwa hukum yang perlu dilakukan pencatatan, salah satunya adalah perkawinan. Fungsi 16 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2001, Cet. I, h. 27-30 29 pencatatan tersebut ialah pembuktian bahwa persitiwa hukum yang dialami oleh seseorang itu benar-benar terjadi. 17 Masalah pencatatan nikah ini menempati terdepan dalam pemikiran fiqih modern, mengingat banyaknya masalah yang timbul dari tidak dicatatnya perkawinan yang berhubungan dengna soal-soal penting seperti asal-usul anak, kewarisan dan nafkah. Timbulnya penertiban administrasi modern dalam kaitan ini telah membawa kemudahan pencatatan akad dan transaksi-transaksi yang berkaitan dengan barang-barang tak bergerak dan perusahaan. Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Meskipun Ulama Indonesia umumnya setuju atas ayat tersebut dan tidak ada reaksi terbuka atasnya, tetapi karena persyaratan pencatatan di atas tidak disebut dalam kitab-kitab fiqih, dalam pelaksanaanya masyarakat muslim Indonesia masih mendua. 18 Sesuai dengan pasal 2 ayat 1 dan pasal 11 ayat 1, 2 dan 3 PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. 19 Pasal 1 1 Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan pernikahannya menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana 17 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya, 2003, h. 48 18 Maratussholihah, Pernikahan dalam perspektif Al-Qur’an, Artikel diakses pada 16 Mei 2010 dari http:one.indoskripsi.comjudul-skripsi-tugas-makalahhukum-islampernikahan-dalam- perspektif-al-qur’an-makalah. 19 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Semarang: Baringin Raya, 30 dimaksudkan dalam undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk. Pasal 11 1 Sesaat sesudah dilaksanakannya perkawinan sesuai dengan ketentuan- ketentuan pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. 2 Akta perkawinan yang telah ditanda tangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditanda tangani pula oleh kedua saksi dan pegawai pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditanda tangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya. 3 Dengan penanda tanganan Akta perkawinan maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Di dalam HIR Akta otentik diatur dalam pasal 165 lihat juga Ps. 1868 BW, 285 RBg yang berbunyi sebagai berikut : “Akta otentik yaitu suatu akta yang dibuat atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak daripadanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bahkan tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok daripada akta. 20 20 Sudikno Martokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberti 1998, Cet. I, h. 124

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG PENCATATAN PERKAWINAN