Perbandingan Data Ekspor Indonesia dengan Data Impor Negara Maju Perbandingan Data Ekspor Indonesia dengan Data Impor Negara Berkembang

4.2.3. Persentase discrepancy trade statistics komoditi palm oil and its fraction,

not chemically modified Bangladesh, Thailand dan Vietnam merupakan negara berkembang yang memiliki data impor yang lebih besar dari data ekspor Indonesia untuk komoditi palm oil and its fraction, not chemically modified . Persentase discrepancy trade statistics masing-masing negara tersebut berturut-turut adalah Bangladesh memiliki persentase sebesar -88,49, Thailand memiliki persentase sebesar - 15,17, Vietnam memiliki persentase sebesar -4,75. Sedangkan negara berkembang yang memiliki data impor yang lebih kecil dari data ekspor Indonesia adalah Srilanka, Filipina, India, Malaysia dan Pakistan. Persentase discrepancy trade statistics ke lima negara tersebut berturut-turut adalah Srilanka memilki persentase sebesar 75,35, Filipina memilki persentase sebesar 43,62, India memilki persentase sebesar 20,93, Malaysia memilki persentase sebesar 12,90 dan Pakistan memilki persentase sebesar 0,96. Hasil pengolahan data tersebut disajikan pada Tabel 8 berikut ini: Tabel 8 Discrepancy trade statistics komoditi palm oil and its fraction, not chemically modified Mitra dagang Rata-rata Discrepancy Ekspor Impor Bangladesh 86.340.136 162.738.529,90 -76.398.393,92 -88,49 Filipina 14.617.904,33 8.241.661,44 6.376.242,89 43,62 India 623.953.672,90 493.329.311,70 130.624.361,15 20,93 Malaysia 136.186.344,50 118.612.934,60 17.573.409,84 12,90 Pakistan 318.819.740,70 315.764.148,50 3.055.592,17 0,96 Srilanka 47.496.358,64 11.705.533,64 35.790.825,00 75,35 Thailand 5.188.250,60 5.975.174,20 -786.923,60 -15,17 Vietnam 50.139.692,75 52.518.961,88 -2.379.269,13 -4,75

4.3. Perbandingan Data Ekspor Indonesia dengan Data Impor Negara Maju

Pada komoditi plywood, veneer panel and similar laminated wood, Kanada, Cina, Prancis, Jerman dan Jepang memiliki data impor yang berbeda dengan data ekspor Indonesia, dengan kecenderungan nilai data impor yang lebih besar dibanding-kan data ekspor Indonesia. Berbeda dengan kelima negara tersebut, Australia, Italia dan Amerika Serikat memiliki data impor yang sama dengan data ekspor Indonesia. Hasil pengolahan data tersebut disajikan pada Tabel 9 di bawah ini: Tabel 9 Hasil uji t-berpasangan negara maju No ReporterPartner Hasil uji t-paired test Plywood Pulp Palm Oil 1 Indonesia-Australia Beda Beda Beda 2 Indonesia-Kanada Beda - Beda 3 Indonesia-Cina Beda Beda Sama 4 Indonesia-Prancis Beda Beda Beda 5 Indonesia-Jerman Beda Beda Beda 6 Indonesia-Italia Sama Sama - 7 Indonesia-Jepang Beda Beda Beda 8 Indonesia-USA Beda Sama Sama Cina, Prancis dan Jerman yang menjadi mitra dagang Indonesia memiliki data impor yang berbeda dengan data ekspor Indonesia untuk komoditi chemical wood pulp, sodasulphate, non conifer, bleached. Sedangkan Australia, Jepang, Italia dan Amerika Serikat memiliki data impor yang sama dengan data ekspor Indonesia. Walaupun keempat negara tersebut memiliki data impor yang sama dengan data ekspor Indonesia namun nilai data impor Amerika Serikat lebih rendah dibandingkan nilai data ekspor Indonesia. Sementara untuk komoditi palm oil and its fraction, not chemically modified, Kanada, Prancis, dan Jerman memiliki data impor yang berbeda dengan data ekspor Indonesia. Sedangkan Australia, Cina, Amerika Serikat dan Jepang memiliki data impor yang sama dengan data ekspor Indonesia, namun nilai data impor Australia lebih besar dibandingkan data ekspor Indonesia.

4.4. Perbandingan Data Ekspor Indonesia dengan Data Impor Negara Berkembang

. Negara berkembang yang memiliki data impor yang berbeda dari data ekspor Indonesia untuk komoditi plywood, veneer panel and similar laminated wood adalah India, Malaysia, Srilanka dan Vietnam. Sedangkan negara berkembang yang memiliki data impor yang sama dengan data ekspor Indonesia adalah Bangladesh, Filipina, Pakistan dan Thailand. Filipina, Malaysia, Srilanka dan Vietnam merupakan negara berkembang yang memiliki data impor yang berbeda dengan data ekspor untuk komoditi chemical wood pulp, sodasulphate, non conifer, bleached . Lain halnya dengan keempat negara tersebut di atas, Banglades, India dan Thailand memiliki data impor yang sama dengan data ekspor Indonesia, dimana nilai data impor Thailand dan Vietnam lebih besar dibandingkan nilai data impor Malaysia dan Pakistan terhadap nilai data ekspor Indonesia. Pada komoditi palm oil and its fraction, not chemically modified, Bangladesh, dan Srilanka memiliki data impor yang berbeda dari data ekspor Indonesia. Negara berkembang yang memiliki data impor yang sama dengan data ekspor Indonesia adalah Filipina, India, Pakistan dan Vietnam. Hasil pengolahan disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Hasil uji t-berpasangan negara berkembang No ReporterPartner Hasil uji t-paired test Plywood Pulp Palm Oil 1 Indonesia-Bangladesh Sama Sama Beda 2 Indonesia-Filipina Sama Beda Sama 3 Indonesia-India Beda Sama Sama 4 Indonesia-Malaysia Beda Sama Sama 5 Indonesia-Pakistan Sama Beda Sama 6 Indonesia-Srilanka Beda Sama Beda 7 Indonesia-Thailand Sama Beda Sama 8 Indonesia-Vietnam Beda Beda Sama Dari hasil pengolahan data untuk ketiga komoditi pada negara berkembang, di-temukan adanya pengambilan keputusan yang salah, yaitu terima hipotesis nol H o dan menolak hipotesis satu H 1 , padahal sesungguhnya H 1 benar. Kesalahan dalam pengambilan keputusan ini disebut dengan galat jenis II β. Untuk komoditi plywood, veneer panel and similar laminated wood, Bangladesh, Filipina dan Pakistan merupakan negara yang pengambilan keputusannya salah berdasarkan pengolahan data dengan uji t-berpasangan dapat dilihat pada Lampiran 45, 46 dan 49. Adapun nilai β galat jenis II untuk ketiga negara tersebut adalah 0,1401, 0,1825 dan 0,5959. Arti nilai galat tersebut adalah dengan nilai peluang melakukan galat jenis II yang cukup besar tersebut, maka cukup besar pula kemungkinan untuk menyalahkan keputusan sama pada uji t- berpasangan yang telah dilakukan. Sama halnya dengan komoditi plywood, veneer panel and similar laminated wood , pada komoditi chemical wood pulp, sodasulphate, non conifer, bleached juga terjadi pengambilan keputusan galat jenis II yang salah. Pengambilan keputusan yang salah tersebut terjadi pada Malaysia dan Srilanka Lampiran 56 dan 57. Nilai β kedua negara tersebut adalah 0,1888 dan 0,0644. Sedangkan untuk komoditi palm oil and its fraction, not chemically modified, ada empat negara yang pengambilan keputusannya salah berdasarkan uji t-berpasangan, yaitu Filipina, India, Malaysia dan Thailand Lampiran 61, 62,63 dan 66 dengan nilai β masing-masing negara tersebut sebesar 0,1056, 0,2691, 0,1892 dan 0,4856. Sehingga dari permasalahan ini dapat dibuat suatu catatan yang menyatakan bahwa didalam pengolahan data statistik tidak selamanya pengambilan keputusan itu tepat sesuai dengan hipotesis yang dibuat, dimana ada kalanya pengambilan keputusan itu berbeda dengan hipotesis yang dibuat sehingga perlu dilakukan pengujian kebenaran keputusan yang diambil. 4.5 Analisis Perbedaan Data ekspor dan Data Impor Antara Indonesia dengan Negara maju dan Negara Berkembang Berdasarkan analisis hasil pengolahan data, diketahui bahwa terdapat selisih antara data ekspor Indonesia dengan data impor negara maju dan negara berkembang, dimana persentase selisih discrepancy trade statistic berbeda-beda untuk setiap negara. Menurut SDS 2005, secara teori, data ekspor yang dilaporkan oleh negara eksportir harus sama dengan data impor yang dilaporkan oleh negara importir. Namun realita di dalam perdagangan bilateral data ekspor dan impor antar negara sangat sulit tercapai dan bahkan bervarisi antara data yang dibuat oleh pihak importir maupun data yang dibuat oleh pihak eksportir. Ada beberapa kemungkinan dibalik perbedaan pencatatan ini. Pertama, praktek bad governance yang dilakukan oleh Indonesia atau sebaliknya. Pelakunya bisa eksportir dan importir yang “bermain mata” dengan petugas bea cukai, pajak, pemda dan perbankan dalam pelaporan perdagangan data ekspor maupun data impor. Dimana pada kasus ini bisa saja eksportir Indonesia membayar oknum pemerintah guna melindungi produk ilegal yang ingin diperdagangkan oleh pihak eksportir ke negara importir melalui pasar gelap black market . Dalam perkembangannya, pajak resmi mulai dihiasi oleh adanya penarikan upeti-upeti tidak resmi. Upeti tidak resmi ini bisa muncul karena adanya perlindungan dan fasilitas tak resmi yang ditawarkan oknum pemerintah yang diminati oleh oknum para pelaku illegal trade. Sehingga dari kegiatan ilegal tersebut terbentuklah sistem pasar gelap yang mempertemukan permintaan dan penawaran, antara jasa tidak resmi dari negara di satu sisi, dengan upeti tidak resmi atau sogokan di sisi lain. Kedua, banyak yang mensinyalir ada manipulasi dokumen ekspor-impor oleh perusahaan asing. Dalam praktek bisnis internasional, ini dikenal dengan istilah transfer pricing , yaitu melakukan perbedaan harga transfer antar perusahaan afiliasi yang kebetulan berada di negara berlainan. Tujuannnya untuk mengurangi kewajiban membayar beban pajak. Manipulasi yang dilakukan suatu perusahaan adalah me-laporkan volume atau jumlah komoditi yang lebih rendah pada dokumen ekspor atau sebaliknya negara importir melakukan pencatatan impor yang lebih tinggi pada dokumen impornya. Sebagai contoh eksportir bisa saja membuat data ekspor lebih besar dari data impor hal ini bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari wesel-wesel perdagangan yang ditarik melalui Letter of Credit LC yang dibuka pihak importir atas nama negara eksportir di bank luar negeri, hal ini akan berdampak pada terjadinya penggelembungan uang yang memberikan keuntungan kepada eksportir. Apabila dilihat dari besarnya nilai selisih data ekspor dan data impor antara Indonesia dengan mitra dagangnya, Indonesia maupun mitra dagangnya dapat dikatakan kerap kali melakukan aktivitas ilegal didalam kegiatan perdagangan bilateral. Oleh sebab itu, eksportir Indonesia disatu sisi dapat disebut sebagai “maling pajak “penghianat negara”” dan disisi lain mitra dagang Indonesia dapat dikatakan sebagai negara “penadah” produk-produk ilegal dari Indonesia. Demikian juga sebaliknya adakalanya Indonesia dapat disebut sebagai negara “penadah” produk-produk ilegal dari negara lain dan oknum pengekspor produk tersebut dapat disebut sebagai “maling pajak” negaranya sendiri. Perbedaan data ini terjadi karena adanya keinginan seseorang untuk mendapat-kan keuntungan yang besar dari modal yang sedikit. Karena jika ingin mengirimkan sesuatu yang dilindungi dengan jalan resmi atau legal, itu membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit untuk mengurus kelengkapan administrasi suatu komoditas yang akan diperdagangkan tersebut. Orang yang ingin mendapatkan keuntunganpun mencari jalan cepat yaitu melakukan berbagai aktivitas ilegal dalam memperjual belikan suatu komoditi ke negara lain. Salah satu penyebab perdagangan ilegal terjadi adalah adanya UU yang tidak tegas dan sanksi yang kurang membuat jera dan takut para pelaku illegal trade. Tak hanya itu, pelaksanaan UU pun tidak terdengar gaungnya. UU tersebut hanya terdengar ketika sebuah kasus penyelundupan terkuak. UU yang dianggap kurang tegas tersebut adalah UU No 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan. Oleh sebab itu pemerintah harus kembali mengkaji ulang UU No 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan tersebut, dimana didalam UU ini terjadi ketidak tegasan dalam pemberian sanksi dan hukuman kepada pihak-pihak yang melanggar hukum. Ketidak tegasan ini tertuang dalam pasal 102. Didalam pasal tersebut dinyatakan bahwa ”Barang siapa yang mengimpor atau mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan UU ini dipidana karena melakukan penyelundupan”. Pasal ini dinilai kurang tegas karena pengertian ”tanpa mengindahkan” adalah sama sekali tidak memenuhi ketentuan atau prosedur. Hal ini berarti jika memenuhi salah satu kewajiban seperti menyerahkan pemberitahuan pabean tanpa melihat benar atau salah, tidak dapat dikategorikan sebagai penyelundupan. Perbedaan data statistik ini menyiratkan ketidakmampuan dan ketidakseriusan instansi negara kita dalam mengatasi masalah penyelundupan atau under-invoicing . Disamping tidak adanya keseriusan dalam mengatasi maraknya kegiatan ilegal dalam perdagangan, pemerintah juga perlu mengkaji dan meneliti setiap kebijakan-kebijakan dan UU tentang perdagangan dan perpajakan yang akan dibuat. Karena dalam meneyelesaikan suatu masalah perlu kebijakan atau penyelesaian yang tepat juga sehingga apa yang menjadi target dan sasaran dapat dicapai.. Akan tetapi perlu diingat bahwa perbedaan antara data ekspor yang tercatat disatu negara dengan data impor dari negara tersebut di negara lain tidak dapat dianggap sepenuhnya sebagai penyelundupan atau under-invoicing, dimana perbedaan data tersebut dapat terjadi karena adanya kondisi dimana barang atau komoditi tersebut diekspor kembali re-export ke negara lain sehingga menambah biaya yang harus dikeluarkan, selain itu faktor fluktuasi nilai tukar rupiah juga berpengaruh pada nilai ekspor komoditi yang masih berada di negara eksportir berbeda pada saat sudah sampai di negara tujuan ekspor. Namun seberapa besar hal tersebut mempengaruhi perbedaan data ekspor dan data impor perlu diteliti lebih lanjut, guna mengetahui seberapa besar pengaruh re-export, waktu keterlambatan dan fluktuasi nilai tukar mata uang terhadap perbedaan data ekspor dan data impor.

4.6 Implikasi Perbedaan Data Ekspor dan Data Impor Terhadap Perekonomian Indonesia