30 Ø Jumlah penerimaan daerah APD rupiah
Ø Jumlah pengeluaran daerah rupiah Ø Jumlah industri unit
Ø Jumlah pasar unit Ø Jumlah mini marketsuper market unit
Ø Jumlah warungtoko unit Ø Jumlah restoran unit
Ø Jumlah bank unit Ø Jumlah KUD unit
Ø Jumlah hotel unit •
Sosial Ø Jumlah penduduk jiwa
Ø Jumlah keluarga penerima kartu sehat KK Ø Jumlah korban kriminalitas meninggal jiwa
Ø Jumlah korba n kriminal luka -luka jiwa Ø Jumlah sarana pendidikan TK, SD, SLTP, SLTA dan PTAkademiunit
Ø Jumlah sarana kesehatan RS, puskesmas, poliklinik, praktek dokter, praktek bidan unit
Ø Jumlah sarana ibadah masjid, langgarsurau, gereja, pura, vihara unit •
Budaya Ø Jumlah sarana hiburan bioskop, diskotik, alun-alun, tempat penyewaan
VCD, dan rumah bilyard. unit •
Trasportasi Ø Jumlah pelabuhan unit
Ø Jumlah stasiun kereta api unit Ø Jumlah terminal unit
b. Variabel-variabel infrastruktur dasar k ota
Peranan infrastruktur dasar kota dalam penataan ruang adalah untuk mendorong pertumbuhan wilayah secara optimal. Semakin tinggi ketersediaan
infrastruktur dasar kota merupakan indikasi semakin baiknya perkembangan suatu
31 wilayah. Variabel infrastruktur dasar kota yang digunakan dalam penelitian ini
adalah infrastruktur esensial dalam percepatan perkembangan wilayah: •
Panjang jalan nasional, provinsi, kabupaten, dan lokal hektometer •
Jumlah pelanggan listrik KK •
Jumlah pelanggan air bersih KK •
Jumlah pelanggan telepon KK
Gambar 8 Peta jaringan jalan Kota Bandar Lampung
c. Variabel fisik wilayah
Variabel fisik wilayah yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Hidrologi
Menurut Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1451
K10MEM2000 tentang Pedoman Teknis Penentuan Debit Pengambilan
Air Bawah Tanah, air bawah tanah didefinisikan sebagai semua air yang terdapat dalam lapisan mengandung air di bawah permukaan tanah, termasuk
mata air yang muncul secara alamiah di atas permukaan tanah. Akuifer atau lapisan pembawa air didefinisikan sebagai lapisan batuan jenuh air dibawah
permukanan tanah yang dapat menyimpan dan meneruskan air dalam jumlah cukup dan ekonomis . Karakteristik akuifer adalah sifat dasar dari hidraulik
suatu akuifer, diantaranya nilai keterusan, nilai kelu lusan, nilai koefisien
32 simpanan. Produktifitas akuifer didefinisikan sebagai kemampuan akuifer
menghasilkan air bawah tanah dalam jumlah tertentu. Klasifikasi produktifitas air bawah tanah menurut Kepmen tersebut adalah
sebagai ber ikut: Ø Air tanah langka atau akuifug atau lapisan kebal air adalah suatu lapisan
kedap air yang tidak mampu mengandung dan meneruskan air. Ø Akuifer produktif atau akuitar atau lapisan lambat air adalah suatu lapisan
sedikit lulus air yang tidak mampu melepaskan air dalam arah mendatar, tetapi melepaskan air cukup berarti ke arah vertikal.
Ø Akuifer dengan produktifitas rendah atau akuiklud atau lapisan kedap air adalah suatu lapisan jenuh air yang mengandung air tetapi tidak mampu
melepaskannya dalam jumlah berarti.
Gambar 9 Peta hidrologi bagian wilayah Kota Bandar Lampung
Ø Akuifer dengan produktifitas sedang atau akuifer bocor adalah akuifer yang dibatasi di bagian atasnya oleh lapisan lambat air dan di bagian
bawahnya oleh lapisan kedap air; muka air bawah tanah pada akuifer ini disebut muka pisometrik yang mempunyai tekanan lebih besar dari
tekanan udara luar. Ø Akuifer dengan produktifitas sedang dan menyebar luas atau akuifer
tertekan atau akuifer artois adalah akuifer yang dibatasi di bagian atas dan
33 bawahnya oleh lapisan kedap air; muka air bawah tanah pada akuifer ini
disebut muka pisometrik yang mempunyai tekanan lebih besar dari tekanan udara luar.
Ø Akuifer dengan produktifitas tinggi adalah akuifer yang dibatasi di bagian atasnya oleh muka air bertekanan sama dengan tekanan udara luar 1
atmosfer dan di bagian bawahnya oleh lapisan kedap air; muka air bawah tanah pada akuifer ini disebut muka air preatik.
2. Geologi Keterangan geologi secara lebih rinci terdapat dalam Tabel Lampiran 6.
Ø Aluvium Ha Ø Batuan granit tak terpisahkan Ha
Ø Endapan gunung api muda Ha Ø Formasi campang Ha
Ø Formasi lampung Ha Ø Formasi tarahan Ha
Ø Sekis way galih Ha
Gambar 10 Peta geologi bagian wilayah Kota Bandar Lampung
3. Kelerangan Ø 0 – 2
Ø 2 – 20
34 Ø 20 – 40
Ø 40
Gambar 11 Peta kelas lereng bagian wilayah Kota Bandar Lampung
Ruang lingkup wilayah
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah administratif Kota Bandar Lampung, mencakup seluruh kecamatan yang ada, yaitu 13 kecamatan dan 98
desakelurahan. Unit analisis terkecil yang digunakan dalam penelitian ini adalah desakelurahan. Secara geografis Kota Bandar Lampung berada pada posisi
50 °
20’ - 50 °
30’ LS dan 105 °
28’ - 105 °
37’ BT dengan luas wilayah daratan 19.220 Ha.
Batas-batas administratif Kota Bandar Lampung a dalah: •
Sebelah utara : Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan.
• Sebelah selatan : Teluk Lampung.
• Sebelah timur
: Kecamatan Tanjung Bintang Kab. Lampung Selatan •
Sebelah barat : Kecamatan Gedung Tataan dan Padang Cermin
Kabupaten Lampung Selatan.
35 Tabel 1 Keterangan nomor urut dan nama desakelurahan
Kecamatan Nomor
DsKel Nama DesaKel
Kecamatan Nomor
DsKel Nama DesaKel
Telukbetung Brt 1
Sukamaju
50
Enggal
2
Keteguhan
51
Pelita
3
Kota Karang
52
Palapa
4
Perwata
53
Kaliawi
5
Bakung
54
Kelapa Tiga
6
Kuripan
55
Tanjung Karang
7
Negri Olok Gading
56
Gunung Sari
8
Sukajaya
57
Pasir Gintung Telukbetung Sel
9
Gedung Pakuon
58
Penengahan
10
Talang Tj Karang Barat
59
Susunan Baru
11
Pesawahan
60
Sukadana Ham
12
Telukbetung
61
Suka Jawa
13
Kangkung
62
Gedung Air
14
Bumi Waras
63
Segala Mider
15
Pecohraya
64
Gunung Terang
16
Sukaraja Kemiling
65
Sumber Agung
17
Geruntang
66
Kedaung
18
Ketapang
67
Pinang Jaya
19
Way Lunik
68
Beringin Raya Panjang
20
Srengsem
69
Sumber Rejo
21
Panjang Selatan
70
Kemiling Permai
22
Panjang Utara
71
Langkapura
23
Pidada Kedaton
72
Sukamenanti
24
Way Laga
73
Sidodadi
25
Way Gubak
74
Surabaya
26
Karang Maritim
75
Per Way Halim Tj Karang Timur
27
Rawa Laut
76
Kedaton
28
Kota Baru
77
Labuan Ratu
29
Tanjung Agung
78
Kampung Baru
30
Kebon Jeruk
79
Sepang Jaya
31
Sawah Lama Rajabasa
80
Rajabasa Raya
32
Sawah Brebes
81
Gedung Meneng
33
Jaga Baya I
82
Rajabasa
34
Kedamaian
83
Rajabasa Jaya
35
Tanjung Raya Tanjung Seneng
84
Labuhan Dalam
36
Tanjung Gading
85
Tanjung Seneng
37
Campang Raya
86
Way Kandis Telukbetung Utr
38
Kupang Kota
87
Per Way Kandis
39
Gunung Mas Sukarame
88
Sukaram e
40
Kupang Teba
89
W Halim Permai
41
Kupang Raya
90
Gunung Sulah
42
Pahoman
91
Way Dadi
43
Sumur Batu
92
Harapan Jaya
44
Gulak Galik Sukabumi
93
Jagabaya II
45
Pengajaran
94
Jagabaya III
46
Sumur Putri
95
Tanjung Baru
47
Batu Putu
96
Kalibalok Kencn Tj Karang Pusat
48
Durian Payung
97
Sukabumi Indah
49
Gotong Royong
98
Sukabumi
Sumber : Bappeda Kota Bandar Lampung tahun 2003
36
Gambar 12 Peta administrasi Kota Bandar Lampung
Pengumpulan Data
Seluruh data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data sekunder. Sumber data untuk masing-masing tujuan adalah sebagai berikut:
• Konsistensi penyusunan RTRW dengan pedoman yang berlaku. Seluruh
pedoman penyusunan RTRW diperoleh di Bappeda Provinsi Lampung. Dokumen RTRW Kota Bandar Lampung beserta Perda No 42004 tentang
RTRW Kota Bandar Lampung diperoleh dari Bappeda Kota Bandar Lampung. •
Konsistensi RTRW Kota Bandar Lampung ditinjau dari aspek keserasian dengan ruang wilayah sekitarnya Inter-Regional Context. Peta rencana
pemanfaatan ruang Kota Bandar Lampung diperoleh dari Bappeda Kota Bandar Lampung, sedangkan peta rencana pemanfaatan ruang Kabupaten
Lampung Selatan diperoleh dari Bappeda Kabupaten Lampung Selatan. •
Implikasi konsistensi penataan ruang terhadap kinerja perkembangan wilayah serta faktor -faktor pendorong perkembangan wilayah prasarana dasar kota
dan kondisi fisik wilayah. Data perkembangan wilayah diperoleh dari PODES 2005, sedangkan data prasarana dasar kota diperoleh dari PDAM Way
Rilau dan P ODES 2005. Data kondisi fisik wilayah berupa peta kemiringan tanah dan peta hidrologi diperoleh dari Bappeda Kota Bandar Lampung,
sedangkan peta geologi diperoleh dari P3G Bandung.
37
Analisis Proses Penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung
Untuk mengetahui kesesuaian antara proses penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung dengan pedoman penyusunan dan ketentuan yang berlaku
dilakukan analisis pe mbandingan tabel proses penyusunan dengan pedoman. Dari hasil analisis tersebut akan diketahui konsistensi proses penyusunan RTRW Kota
Bandar Lampung. Jika konsisten, maka akan dilakukan analisis logika verbal untuk menghasilkan suatu kesimpulan. Jika hasil analisis menunjukkan
inkonsisten, maka akan dilakukan analisis logika verbal untuk menghasilkan suatu saran dan rekomendasi untuk mencari solusi terbaik.
Ya Tidak
Gambar 13 Kerangka proses tujuan pertama
Pengumpulan Dokumen RTRW Kota Bandar Lampung
Pedoman Penyusunan RTRWK
Analisis Logika Verbal Analisis Logika Verbal
SaranRekomendasi Kesimpulan
Teknis Penyusunan RTRW
Dokumen RTRW Kota
Bandar Lampung
Analisis Pembandingan Pedoman Penyusunan
• UU 241992
• PP 471997
• KEPMEN
KIMPRASWIL 3272002
• PERDA 52001
Sesuai Pedoman?
38
Tabel 2 Rancang an tabel analisis proses penyusunan RTRW
No Aspek
Ketentuan Pelaksanaan
Keterangan Prosentase
1 2
3 4
Analisis Konsistensi RTRW dalam Inter-Regional Context
Untuk mengetahui konsistensi rencana pemanfaatan ruang Kota Bandar Lampung dengan wilayah sekitarnya Inter-Regional Context dilakukan dengan
menggunakan metode tumpang tindih map overlay antara peta rencana pemanfaatan ruang Kota Bandar Lampung dengan peta rencana pemanfaatan
ruang Kabupaten Lampung Selatan. Alat kontrol yang digunakan dalam melihat konsistensi tersebut adalah peta rencana pemanfaatan ruang Provins i Lampung.
Ya Tidak
Gambar 14 Kerangka proses tujuan kedua
Dari hasil Map Overlay tersebut akan terlihat kesinergian rencana tata ruang Kota Bandar Lampung dengan ruang sekitarnya serta teridentifikasi apakah
penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung sudah memperhatikan aspek kawasan
Kesimpulan Konsisten?
SaranRekomendasi Peta Rencana TGT Kab Lamsel
Peta Rencana TGT Kota BDL Data Peta
Peta Rencana TGT Prov Lampung Overlay Peta
Analisis Logika Verbal
39 fungsional. Analisis regional antara Kota Bandar Lampung dengan wilayah
sekitarnya dilakukan dengan menggunakan analisis logika verbal.
Analisis K inerja Perkembangan Wilayah
Untuk mengetahui implikasi konsistensi penataan ruang terhadap kinerja perkembangan wilayah dilakukan dengan analisis logika verbal.
Gambar 15 Kerangka proses tujuan ketiga
Lebih lanjut kinerja perkembangan wilayah akan dipengaruhi oleh adanya dorongankekuatan untuk perubahan forces of change yang diidentifikasi
disebabkan karena aspek kondisi fisik wilayah hasil overlay dan konfigurasi ruang infrastruktur dasar kota McGill, 1998.
Spatial Durbin Model Peta Kemiringan
Faktor-Faktor Dominan yang Mempengaruhi Kinerja Perkembangan Wilayah
Overlay Peta
Variabel
2
Indikator Perkembangan Wil
PCA Konfigurasi Ruang
Prasarana Dasar Kota Karakteristik Fisik
Tiap Unit Ruang
Indeks Komposit Perkembangan Wilayah
Data Peta
Data Prasarana Dasar Kota
Data Perkembangan Wilayah
Indeks Komposit Prasarana Dasar Kondisi Fisik Wilayah
PCA Peta Geologi
Peta Hidrologi
40
Gambar 16 Bagan alir tujuan ketiga
Tabel 3 Variabel infrastruktur dasar kota
ASPEK VARIABEL
INDIKATOR UNIT SATUAN
∑ rumah tangga
Infrastruktur dasar kota ↑
∑ pelanggan listrik
∑ PL
∑ RT
↑ KK
∑ pelanggan telepon
∑ PT
∑ RT
↑ KK
∑ pelanggan PDAM
∑ PPDAM
∑ RT
↑ KK
panjang jalan rasio panjang luas wilayah
↑ HkHa
rasio panjang ∑
penduduk HkJiwa
Tabel 4 Variabel fisik wilayah
ASPEK VARIABEL
INDIKATOR UNIT SATUAN
hidrologi air tanah langka x
luas x luas wilayah Ha
akuifer produktif x luas x luas wilayah
Ha akuifer produktifitas rendah x
luas x luas wilayah Ha
akuifer produktifitas sedang x luas x luas wilayah
Ha akuifer produktif sedang
menyebar luasx luas x luas wilayah
Ha akuifer produktif tinggi x
luas x luas wilayah Ha
Geologi aluvium x
luas x luas wilayah Ha
batuan granit tak terpisahkan x luas x luas wilayah
Ha endapan gunung api muda x
luas x luas wilayah Ha
formasi campang x luas x luas wilayah
Ha formasi lampung x
luas x luas wilayah Ha
formasi tarahan x luas x luas wilayah
Ha sekis way galih x
luas x luas wilayah Ha
kelerengan 0 – 2 x
luas x luas wilayah Ha
2 – 20 x luas x luas wilayah
Ha 20 – 40 x
luas x luas wilayah Ha
40 x luas x luas wilayah
Ha
Kinerja Perkembangan
Wilayah
X
1
X
2
Y
1
Y
2
Karakteristik Fisik Wilayah
Konfigurasi Ruang Prasarana
Dasar Kota Konsistensi
Penataan Ruang
41
Tabel 5 Variabel perkembangan wilayah
INDIKATOR ASPEK
VARIABEL Aktual
Standar UNIT SATUAN
fisik ruang ↑
luas wilayah luas kawasan budidaya
↑ rasio luas budidayaluas
wilayah ↑
0,7 Hektar
luas kawasan terbangun ↑
rasio terbangunbudidaya ↑
0,6 Hektar
ekonomi ↑
∑ keluarga miskin
↓ rasio
∑ keluarga miskinRT
↓ KK
∑ penerimaan daerah
↑ Rupiah
∑ pengeluarn daerah
↑ rasio penerimaan total-pengeluaran
rutinpenerimaan total ↑
∑ industri
↑ rasio
∑ industri desa
∑ industri total
↑ Unit
∑ warungtoko
↑ ∑
wartok1.000 pdd 1250
UnitJiwa ∑
mini supermarket ↑
∑ minimarket1.000 pdd
130.000 UnitJiwa
∑ pasar
↑ ∑
pasar1.000 pdd 1120.000
UnitJiwa ∑
restauran ↑
∑ restaurant1.000 pdd
130.000 UnitJiwa
∑ bank
↑ ∑
bank1.000 pdd 1480.000
UnitJiwa ∑
KUD ↑
∑ KUD1.000 pdd
1120.000 UnitJiwa
∑ hotel
↑ ∑
hotel1.000 pdd 1480.000
UnitJiwa sosial
↑ ∑
korban kriminalitas ↓
∑ korban per desa
∑ krban total
↓ Jiwa
∑ TK
↑ ∑
TK1.000 pdd 11.000
UnitJiwa ∑
SD ↑
∑ SD1.000 pdd
11.600 UnitJiwa
∑ SLTP
↑ ∑
SLTP1.000 pdd 14.800
UnitJiwa ∑
SLTA ↑
∑ SLTA1.000 pdd
14.800 UnitJiwa
∑ AkademiPT
↑ ∑
AkPT1.000 pdd 11.000.000
UnitJiwa ∑
KK penerima K sehat ↑
rasio ∑
KK penerima kartu sehat ∑
KK ↑
KK ∑
rumah sakit ↑
∑ RS1.000 pdd
1240.000 UnitJiwa
∑ puskesmas
↑ ∑
puskes1.000 pdd 1120.000
UnitJiwa ∑
poliklinik ↑
∑ polik1.000 pdd
130.000 UnitJiwa
∑ praktek dokter
↑ ∑
praktek dokter1.000 pdd 15000
UnitJiwa ∑
praktek bidan ↑
∑ praktek bidan1.000 pdd
13.000 UnitJiwa
∑ masjid
↑ ∑
masjid1.000 pdd 11.750
UnitJiwa ∑
langgarsurau ↑
∑ surau1.000 pdd
1300 UnitJiwa
∑ gereja
↑ ∑
gereja1.000 pdd 11.750
UnitJiwa ∑
pura ↑
∑ pura1.000 pdd
11.750 UnitJiwa
∑ vihara
↑ ∑
vihara1.000 pdd 11.750
UnitJiwa budaya
↑ ∑
bioskop ↑
∑ bioskop1.000 pdd
130.000 UnitJiwa
∑ diskotik
↑ ∑
diskotik1.000 pdd 130.000
UnitJiwa ∑
alun-alun ↑
∑ alun21.000 pdd
12.500 UnitJiwa
∑ tempat sewa VCD
↑ ∑
tempat sewa 1.000 pdd 130.000
UnitJiwa ∑
rumah bilyard ↑
∑ rmh bilyard 1.000 pdd
130.000 UnitJiwa
transportasi ↑
∑ pelabuhan
↑ 11.000.000
UnitJiwa ∑
stasiun KA ↑
11.000.000 UnitJiwa
∑ terminal
↑ 11.000.000
UnitJiwa
Keterangan : Variabel ↑
menyebabkan aspek ↑
kinerja perkembangan wilayah ↑
Sumber: Kepmen PU No 378KPTS1987
42 Dari indikator -indikator tersebut, selanjutnya dapat dihitung score dengan
pendekatan sebagai berikut:
Xb Xb
Xi Yi
− =
Yi ≥
-1
Yi : Score relatif terhadap standar
Xi : Rasio aktual per 1000 penduduk
Xb : Rasio menurut standar
Untuk mengetahui hubungan antara kinerja perkembangan wilayah dengan konfigurasi spasial prasarana dasar kota dan kondisi fisik wilayah digunakan
metode regresi. Asumsi regresi standar antara lain:
• Antar sampel harus independent saling bebas
• Antar variabel penjelas harus independent saling bebas
Mengingat data yang digunakan adalah data hasil survey tanpa memberi perlakuan, maka dalam data tersebut sangat potensial terjadi multicollinearity,
sehingga struktur data yang dihasilkan akan menjadi bias. Untuk menghindari
terjadinya hal tersebut, maka dilakukan Principal Components Analysis PCA.
Mengingat variabel yang akan diukur memiliki dimensi lokasi, maka berlaku hukum geografi dan ilmu wilayah teori lokasi, bahwa ada keterkaitan antar
wilayah spasial yang mempengaruhi pola hubungan antara kedua variabel. Dengan menggunakan ilustrasi dalam proses pemupukan, bahwa regresi
sederhana hanya sahih digunakan dalam penelitian percobaan laboratorium dimana perlakuan pemupukan antara tanaman di suatu pot hasilnya akan berbeda
dengan perlakuan pemupukan di pot lain. Hal ini karena kejadian dalam suatu pot hanya dipengaruhi oleh perlakuan dalam pot tersebut dan tidak saling berpengaruh
terhadap kejadian di pot lain. Kondisi berbeda akan ditemukan di lapangan, yaitu jika di suatu areal sawah dilakukan pemupukan, maka tanaman pada sawah yang
memiliki aliran air sama dan terletak dibawahnya akan menjadi subur karena adanya pengaruhfaktor aliran antar lokasi. Dengan kata lain kejadian di suatu
tempat tidak hanya dipengaruhi oleh peristiwa di tempat tersebut, tetapi juga dipengaruhi oleh kejadian di tempat lain. Untuk kasus seperti ini, regresi
43 sederhana menjadi kurang sahih untuk digunakan, sehingga regresi yang dapat
digunakan adalah Spatial Durbin Model. Principal Components Analysis PCA
Teknik analisis ini mentransformasikan secara linier satu set peubah ke dalam peubah baru yang lebih sederhana dengan ukuran lebih kecil representatif
dan ortogonal tidak saling berkorelasi Saefulhakim, 2005. Format data untuk PCA dapat disusun membentuk matriks yang berukuran n x p, dengan n : unit
sample jumlah desa dan p ; jumlah peubah kolom. Analisis komponen utama ini dilakukan sampai diperoleh nilai PC Score terbaik, yaitu: PC Score g\dengan
nilai akar ciri eigenvalues diatas 65 ; jumlah faktor-faktor baru yang diperoleh pada tabel factor loading dibawah lima; dan kore lasi antar variabel-variabel asal
dengan faktor -faktor baru pada factor loading dapat diinterpretasikan secara logis.
Tabel 6 Rancangan tabel PCA
Desa Variabel
Perkembangan Desa Infrastruktur Dasar
Kota Variabel Karakteristik
Fisik Wilayah
Persamaan umum PCA adalah:
Yk = ak
1
X
1
+ ak
2
X
2
+ ak
3
X
3
+ … + ak
p
X
p
Adapun maksud dari analisis komponen utama ini adalah untuk mengelompokkan variabel-variabel menjadi beberapa kelompok. Ada dua tujuan
dasar dari PC, yaitu: •
Ortogonalisasi Variabel: mentransformasikan suatu struktur data dengan variabel-variabel yang saling berkorelasi menjadi struktur data baru dengan
variabel-variabel baru yang disebut sebagai Komponen Utama atau Faktor yang tidak saling berkorelasi.
• Penyederha naan Variabel: banyaknya variabel baru yang dihasilkan, jauh
lebih sedikit dari pada variabel asalnya, tapi total kandungan informasinya total ragamnya relatif tidak berubah Saefulhakim, 2005.
44 Hasil PCA antara lain:
Ø Akar ciri eigen value merupakan suatu nilai yang menunjukkan keragaman dari peubah komponen utama dihasilkan dari analisis, semakin besar nilai
eigen value, maka semakin besar pula keragaman data awal yang mampu dijelaskan oleh data baru.
Ø Proporsi dan komulatif akar ciri, nilai pembobot eigen vector merupakan parameter yang menggambarkan hubungan setiap peubah dengan komponen
utama ke -i. Ø Component score adalah nilai yang menggambarkan besarnya titik-titik data
baru dari hasil komponen utama dan digunakan setelah PCA. Ø PC loading menggambarkan besarnya korelasi antar variable pertama dengan
komponen ke-i. PC scores ini yang digunakan jika terjadi analisis lanjutan
setelah PCA. Factor Loadings L
α
adalah sama dengan Factor Score
Coefficients C
α
kali Eigenvalue Faktor atau Komponen Utamanya λ
α
. Dari proses olah kinerja perkembangan wilayah dengan PCA, dihasilkan
indeks komposit yang meliputi: •
Indeks komposit untuk kinerja pembangunan wilayah •
Indeks komposit untuk prasarana dasar kota •
Indeks komposit untuk kondisi fisik wilayah Hasil analisis PCA digunakan untuk menduga parameter model hubungan
antara kinerja perkembangan wilayah dengan konfigurasi ruang prasarana dasar kota dan kondisi fisik wilayah. Teknik yang digunakan untuk menganalisis tujuan
tersebut adalah analisis Spatial Durbin Model LeSage, 1999.
Spatial Durbin Model
Prinsip dasar Spatial Durbin Model hampir sama dengan regresi berbobot weighted regression, dengan variabel yang menjadi pembobot adalah faktor
lokasi. Kedekatan dan keterkaitan antar lokasi ini menyebabkan munculnya fenomena ‘autokorelasi spasial’. Spatial Durbin Model merupakan pengembangan
dari model regresi sederhana yang telah mengakomodasikan fenomena-fenomena autokorelasi spasial, baik dalam variabel tujuan maupun dalam variabel
penjelasnya. Misalnya untuk mengetahui tingkat perkembangan di suatu wilayah
45 selain dipengaruhi variabel bebas hasil olah PCA juga dipengaruhi oleh variabel
lain, yaitu hubungan spasial. Data yang digunakan untuk variabel bebas x berasal dari komponen utama hasil pengolahan PCA. Representasi faktor lokasi
pada Spatial Durbin Model dalam bentuk matriks kedekatan yang disebut dengan contiquity matrix LeSage, 1999 .
Perhitungan contiguity matrix untuk mengetahui hubungan perkembangan wilayah dengan konfigurasi ruang prasarana dasar kota dan karakteristik fisik
wilayah dalam penelitian ini didasarkan pada 2 dua aspek, yaitu: •
Ketetanggaan batas wilayah Jika kedua wilayah berdekatanbertetanggaan, maka keterkaitan antar kedua
wilayah tersebut relatif tinggi. Untuk suatu fasilit as tertentu, kedua wilayah dapat memanfaatkan secara bersama -sama, misalnya penggunaan SLTP.
Dengan kata lain bahwa aktivitas peristiwa di suatu tempat akan dipengaruhi oleh kejadian di tempat lain.
• Kebalikan jarak centroid
Semakin besar nilai jarak antara kedua wilayah, maka semakin kecil keterkaitan antar wilayah berbanding terbalik, sehingga interaksi antar
wilayah relatif berkurang. Untuk karakteristik fisik wilayah, wilayah yang bertetanggaan akan memiliki karakteristik fisik alamiah hampir sama yang
dimungkinkan karena adanya kemiripan prose alamiah. Pendekatan rumus kinerja perkembangan wilayah:
Y
2
=
α
+ Σ
k
ρ
4k
W
k
Y
2
+
β
X
1
+ Σ
k
ρ
1k
W
k
X
1
+
γ
X
2
+ Σ
k
ρ
2k
W
k
X
2
+
µ
X
3
+ Σ
k
ρ
3k
W
k
X
3
+
ε Y
2
: Variabel kinerja perkembangan wilayah α
: Parameter konstanta regresi ρ
4
: Parameter koefisien kontiguitas spasial kinerja perkembangan wilayah W
1
: Matriks kontiguitas antar wilayah desakelurahan berdasarkan ke tetanggaan batas administrasi
• Jika kedua wilayah berbatasan langsung, maka diberi angka 1;
• Jika ke dua wilayah tidak berbatasan langsung atau wilayah tersebut
berbatasan dengan dirinya sendiri, maka diberi angka 0.
46 W
2
: Matriks kontiguitas antar wilayah desakelurahan berdasarkan kebalikan jarak antar centroid wilayah administratif
β : Parameter koefisien infrastruktur dasar kota
ρ
1
: Parameter koefisien kontiguitas spasial infrastruktur dasar kota k
: Variabel sampel desakelurahan X
1
: Variabel infrastruktur dasar kota γ
: Parameter koefisien karakteristik fisik wilayah ρ
2
: Parameter koefisien kontiguitas spasial karakteristik fisik X
2
: Variabel karakteristik fisik wilayah µ
: Parameter koefisien konsistensi pemanfaatan ruang ρ
3
: Parameter koefisien kontiguitas spasial konsistensi pemanfaatan ruang X
3
: Variabel konsistensi pemanfaatan ruang
Tabel 7 Rancangan Contiguity Matrix W terhadap ketetanggaan
Wil A Wil B
Wil C Wil D
Wil E Wil F
Wil A 1
1 Wil B
Wil C Wil D
Wil E Wil F
47
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Keadaan Umum Kota Bandar Lampung
Secara administratif Kota Bandar Lampung dibentuk pada tanggal 17 Juni 1983 sebagai bagian dari wilayah kota dalam pembentukan Keresidenan Provinsi
Lampung yang ditetapkan berdasarkan PP No 3 Tahun 1964. Semula kota ini terdiri dari 4 kecamatan 30 kelurahan, namun dalam perkembangannya telah
terjadi beberapa kali pemekaran wilayah. Terakhir dengan ditetapkannya Perda Kota Bandar Lampung No 4 Tahun 2001 tentang Pembentukan, Penghapusan dan
Penggabungan Kecamatan dan Kelurahan, Kota Bandar Lampung ditetapkan terdiri dari 13 Kecamatan dengan 98 kelurahan.
Kota Bandar Lampung mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam lima tahun terakhir. Perkembangan tersebut tidak terlepas dari fungsi Kota Bandar
Lampung dalam konteks pertumbuhan wilayah Provinsi Lampung sebagai pusat pemerintahan provinsi, pusat perdagangan regional, pusat pelayanan transportasi
regional, pusat pendidikan dan kebudayaan regional, pusat industri maritim dan pengolah bahan baku pertanian, serta pusat penyediaan energi dan telekomunikasi.
Jumlah penduduk pada tahun 2005 tercatat sebanyak 788.337 jiwa yang terdiri dari laki-laki berjumlah 393.061 jiwa dan perempuan berjumlah 395.276
jiwa. Tingkat kepadatan rata-rata di Kota Bandar Lampung adalah 42 jiwaha dengan distribusi yang sangat sangat ber variasi dari yang relatif rendah yaitu
Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling 2 jiwa per ha sampai yang relatif tinggi, yaitu Kelurahan Kelapa Tiga Kecamatan Tanjung Karang Pusat 553 jiwa
per ha. Wilayah dengan kepadatan tinggi didominasi oleh wilayah yang berlokasi di pusat kota , sedangkan wilayah-wilayah dengan kepadatan penduduk rendah
didominasi oleh wilayah yang berlokasi di pinggiran kota. Tabel 8 menunjukkan bahwa jumlah penduduk dan tingkat kepadatan
penduduk di Kota Bandar Lampung tidak merata dan sangat bervariasi, bukan hanya antar kecamatan, tetapi juga antar kelurahan yang terdapat dalam
kecamatan yang sama. Kondisi ini berpotensi menimbulkan terjadinya ketimpangan dalam percepatan pembangunan antar wilayah.
48
Tabel 8 Jumlah dan kepadatan penduduk perkelurahan di Kota Bandar Lampung
Kecamatan Kelurahan
Σ Penduduk Jiwa Luas wilayah Ha
Kepadatan JwHa Sukamaju
4,249 639
7 Keteguhan
8,483 364
24 Kota Karang
14,301 56
256 Perwata
3,842 23
168 Bakung
5,706 107
54 Kuripan
4,636 34
137 Negri Olok Gading
4,359 109
40 Telukberung Barat
Sukajaya 4,236
627 7
Gedung Pakuon 4,181
36 117
Talang 7,913
46 173
Pesawahan 11,242
63 179
Telukbetung 4,643
19 245
Kangkung 12,079
30 403
Bumi Waras 17,239
73 237
Pecohraya 5,116
83 62
Sukaraja 10,209
79 130
Geruntang 6,797
110 62
Ketapang 4,370
124 36
Telukbetung Selatan
Way Lunik 9,370
150 63
Srengsem 7,571
456 17
Panjang Selatan 11,998
106 114
Panjang Utara 12,679
112 114
Pidada 10,878
318 35
Way Laga 6,503
433 16
Way Gubak 3,023
546 6
Panjang
Karang Maritim 8,781
105 84
Rawa Laut 5,298
51 104
Kota Baru 11,647
103 114
Tanjung Agung 7,021
22 320
Kebon Jeruk 5,424
23 236
Sawah Lama 5,815
12 485
Sawah Brebes 7,334
30 245
Jaga Baya I 2,783
17 164
Kedamaian 14,375
128 113
Tanjung Raya 5,772
54 107
Tanjung Gading 2,924
105 28
Tanjung Karang T imur
Campang Raya 8,695
960 10
Kupang Kota 10,410
44 237
Gunung Mas 3,709
104 36
Kupang Teba 11,158
66 170
Kupang Raya 3,424
17 202
Pahoman 4,835
76 64
Sumur Batu 7,882
78 102
Gulak Galik 7,082
72 99
Pengajaran 5,747
116 50
Sumur Putri 4,597
92 50
Telukbetung Utara
Batu Putu 4,108
93 45
Durian Payung 9,480
98 97
Gotong Royong 5,467
38 144
Enggal 5,282
64 83
Pelita 5,537
23 241
Palapa 4,317
30 144
Kaliawi 13,373
42 319
Kelapa Tiga 11,606
21 553
T anjung Karang 3,814
28 137
Gunung Sari 2,888
21 138
Pasir Gintung 5,055
30 169
Tanjung Karang Pusat
Penengahan 6,382
40 160
49
Tabel 8 Lanjutan
Kecamatan Kelurahan
Σ Penduduk Jiwa Luas wilayah Ha
Kepadatan JwHa Susunan Baru
2,804 338
9 Sukadana Ham
2,388 954
3 Suka Jawa
14,385 82
176 Gedung Air
10,647 131
82 Segala Mider
14,436 225
65 Tanjung Karang
Barat
Gunung Terang 7,178
201 36
Sumber Agung 3,027
498 7
Kedaung 1,035
577 2
Pinang Jaya 3,050
195 16
Beringin Raya 13,020
711 19
Sumber Rejo 12,767
703 19
Kemiling Permai 11,403
713 16
Kemiling
Langkapura 8,715
228 39
Sukamenanti 6,369
38 168
Sidodadi 11,230
86 131
Surabaya 10,339
84 124
Perumnas Way Halim 12,018
92 131
Kedaton 13,242
497 27
Labuan Ratu 17,388
312 56
Kampung Baru 7,630
155 50
Kedaton
Sepang Jaya 11,829
138 86
Rajabasa Raya 6,078
227 27
Gedung Meneng 8,587
328 27
Rajabasa 16,883
319 53
Rajabasa Rajabasa Jaya
4,578 319
15 Labuhan Dalam
6,131 227
28 Tanjung Seneng
11,287 312
37 Way Kandis
5,481 307
18 Tanjung Seneng
Perumnas Way Kandis 5,970
319 19
Sukarame 17,851
403 45
Way Halim Permai 8,052
120 68
Gunung Sulah 9,271
97 96
Way Dadi 15,696
348 46
Sukarame Harapan Jaya
7,924 376
22 Jagabaya II
13,599 104
131 Jagabaya III
8,281 103
81 Tanjung Baru
5,681 140
41 Kalibalok Kencana
7,220 125
58 Sukabumi Indah
7,203 271
27 Sukabumi
Sukabumi 10,019
271 37
Sumber : PODES 2005
Penataan Ruang Kota Bandar Lampung RTRW Kota Bandar Lampung
Sesuai amanat UU 24 Tahun 1992, pada tahun 1994 Pemeritah Kota Bandar Lampung menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Kota Bandar
Lampung dan disusun kembali pada tahun 2003 serta mendapat legalitas hukum melalui Perda Nomor 4 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Bandar Lampung Tahun 2005-2015.
50 Dengan posisi yang sangat strategis membawa konsekuensi kota ini
memiliki peranan yang sangat strategis , baik dalam skala nasional sebagaimana diamanatkan dalam PP 47 Tahun 1997 tentang RTRWN maupun dalam skala
provinsi sebagaimana tertuang dalam Perda Nomor 5 Tahun 2001 tentang Penataan Ruang Wilayah Provinsi Lampung, yaitu peran sebagai salah satu Pusat
Kegiatan Nasional PKN dan Kawasan Andalan Nasional. Dalam perannya sebagai PKN membawa konsekuensi bahwa Kota Bandar
Lampung dituntut untuk mampu memberikan pelayanan transportasi yang memadai dan mampu berperan sebagai transhipment point berbagai moda
angkutan lintas regional, nasional dan internasional. Hal ini didukung oleh berba gai rencana pengembangan dalam sistem transportasi regional. Rencana
pembangunan jembatan Selat Sunda yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau Sumatera akan memperlancar aliran pergerakan penumpang dan barang.
Pelabuhan Panjang dilengkapi dengan sistem angkutan antar moda yang memiliki akses terhadap seluruh wilayah di Provinsi Lampung dan Sumatera Bagian
Selatan. Gugusan jaringan kereta api Trans Sumatera menjadi salah satu alternatif sarana pergerakan antar moda. Adanya rencana pembangunan jalan tol ke arah
palembang akan turut mendukung kelancaran aksesibilitas tersebut. Dalam perannya sebagai kawasan andalan, Kota Bandar Lampung dituntut
untuk mampu menjadi stimulan perkembangan wilayah-wilayah disekitarnya, artinya kebijakan-kebijakan pembangunan diarahkan untuk mewujudkan
kesinergian pembangunan dan mampu mendistribusikan hasil-hasil pembangunan kepada kawasan-kawasan sekitarnya spreed effect, bukan menghisap potensi
sekitarnya backwash effect yang hanya akan menimbulkan berbagai permasalahan ketimpangan pembangunan
Selain mempertegas dua peran nasional tersebut, dalam RTRW Provinsi Lampung disebutkan peran Kota Bandar Lampung sebagai pusat pelayanan
primer bagi kawasan-kawasan disekitarnya. Prioritas pengembanganpenanganan Kota Bandar Lampung berdasarkan kebijakan Provinsi Lampung adalah sebagai
pusat pemerintahan, jasa, perdagangan, pariwisata, pendidikan, pelayanan, pelabuhan dan industri.
51 Strategi pengembangan kawasan andalan Kota Bandar Lampung yang
ditetapkan Pemerintah Provinsi Lampung Dokumen Rencana Kawasan Andalan Kota Bandar Lampung dan Sekitarnya dalam keterkaitan dengan perannya
sebagai pusat pelayanan primer adalah: 1. Berorientasi pada kegiatan jasa, perdagangan, perbankan, pariwisata,
pendidikan, riset dan industri yang ramah lingkungan. 2. Pengembangan pelabuhan panjang dan Pelud Radin Inten II.
3. Keterpaduan pengembangan Kota Bandar Lampung dan kota satelit. 4. Pengembangan Bandar Lampung Waterfront City yang berfungsi sebagai
pusat pemerintahan, pariwisata dan jasa. 5. Pengembangan prasarana ekonomi yang selaras dengan prasarana pemenuhan
kebutuhan pokok warga kota. 6. Orientasi sebagai pusat pelayanan regional yang dipersiapkan menghadapi
tantangan globalisasi. Visi Kota Bandar Lampung Tahun 2020 adalah ‘Kota Berbudaya, Nyaman
dan Berkelanjutan BERNYALA’. Berbudaya adalah suatu kondisi dan sikap masyarakat yang menjunjung tinggi nilai agama, moraletika, hukum dan budaya
yang didukung oleh imtaq iman dan taqwa serta iptek ilmu pengetahuan dan teknologi. Nyaman adalah sutau kondisi dimana masyarakat merasa aman, tertib
dan sejahtera. Berkelanjutan adalah suatu kondisi yang menjamin kontinyuitas pengelolaan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam secara
bertanggungjawab.
52
HASIL PEMBAHASAN
Konsistensi Penyusunan Tata Ruang dengan Pedoman yang Berlaku Konsistensi proses penyusunan dengan pedoman
Menurut Kepmen Kimpraswil No 327KPTSM2002, terdapat empat tahapan yang harus dilakukan dalam proses teknis penyusunan RTRW Kota , yaitu
penentuan arah pengembangan, identifikasi potensi dan masalah pembangunan, perumusan RTRW Kota Bandar Lampung dan penetapan RTRW Kota Bandar
Lampung. Dengan menggunakan prosentase perhitungan tingkat konsistensi antara teknis penyusunan RTRW dengan pedoman tersebut serta dengan
menggunakan kriteria sesuai lebih dari sama dengan 75, kurang sesuai 50 - 74 dan tidak sesuai kurang dari 50 diketahui bahwa terdapat
ketidaksempurnaan dalam penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung, khususnya pada tiga tahap pertama. Analisis pembandingan tabel dapat dilihat dalam tabel 8.
Tabel 9 Matriks analisis proses penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung
NO ASPEK
KOMPONEN PENJELASAN
KOMPONEN EKSISTING
RENCANA KETERANGAN
NILAI Penentuan arah
pengembangan Batas perencanaan,
tinjauan SOSEKBUD HANKAN daya
dukung lingkungan Sesuai
Ada sebagian ketentuan dalam pedoman yang
tidak dijadikan rujukan dalam penyusunan
RTRW. 78
Identifikasi potensi dan
masalah pembangunan
Mengidentifikasi berbagai potensi dan
masalah pembangunan dalam wilayah
perencanaan Kurang
Sesuai Syarat paripurna sebuah
kajian tidak didasarkan seluruh syarat item dalam
pedoman 53
Perumusan RTRW Kota
Bandar Lampung
Merupakan pengejawantahan dari
tujuan pengembangan serta perkiraan
kebutuhan pengembangan
Sesuai Ada sebagian ketentuan
dalam pedoman yang tidak dijadikan rujukan
dalam penyusunan RTRW.
84
Penetapan RTRW Kota
Bandar Lampung
Untuk mengoperasionalkan
RTRW, dokumen RTRW ditetapkan
dalam bentuk Perda Sesuai
RTRW Kota Bandar Lampung mendapat
legalitas hukum melalui Perda 42004 tentang
RTRW Kota Bandar Lampung 2005-2015
100
Prosentase Total 79
53 Analisis
proses penyusunan
secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel Lampiran 8. Gambar Lampiran 1 menunjukkan substansi yang belum diakomodir dalam
penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung dan menyebabkan berbagai permasalahan penataan ruang.
Walaupun terdapat ketidaksempurnaan dalam proses penyusunan RTRW, secara keseluruhan proses teknis penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung 79
sudah mengacu pada pedoman teknis yang berlaku. Kendati tidak 100, angka 79 dapat dikatakan sudah cukup memenuhi kriteria. Dalam kurun waktu
berjalan, kontribusi 21 ketidaksempurnaan penyusunan tersebut ternyata menimbulkan permasalahan yang cukup besar dan menjadi kendala dalam upaya
percepatan perkembangan Kota Bandar Lampung. Sebagai contoh adanya ketidaksempurnaan dalam mengidentifikasi potensi perkembangan sosial
kependudukan yang hanya didasarkan pada satu item tingkat pertumbuhan penduduk dari empat item yang ditetapkan ukuran keluarga, budaya dan
pergerakan penduduk menyebabkan rencana yang dihasilkan hanya didasarkan aspek tertentu saja dan tidak mengkaji semua aspek yang notabene sangat
mempengaruhi kehidupan kota. Sementara rencana tata ruang adalah dokumen publik yang komprehensif dan mengatur semua aspek kehidupan yang
menggunakan ruang. Kondisi tersebut menyebabkan rencana tata ruang yang dihasilkan menjadi tidak aspirasisesuai dengan perubahan dan kebutuhan kota.
Konsistensi inter-regional context
Dalam UU 24 Tahun 1992 pasal 1 dan 7 serta Kepmen Kimpraswil 327KPTSM2002 diamanatkan bahwa penyusunan RTRW didasarkan pada
aspek administratif dan kawasan fungsional serta keserasian dengan wilayah sekitarnya. Satu-satunya wilayah administratif yang berbatasan langsung dengan
Kota Bandar Lampung adalah Kabupaten Lampung Selatan. Dari hasil overlay antara peta RTRW Kota Bandar Lampung dengan RTRW Kabupaten Lampung
Selatan dengan kontrol RTRW Provinsi Lampung, menunjukkan bahwa terdapat wilayah kosong dan wilayah yang tumpang tindih overlap diantara Peta RTRW
Kota Bandar Lampung dengan RTRW Lampung Selatan. Kondisi tersebut
54 menunjukkan bahwa sistem informasi spasial belum memadai, mengingat
sebenarnya wilayah-wilayah tersebut secara aktual tidak dijumpai di lapangan. Adapun lokasi ruang yang tidak bertuan tersebut berada disekitar kelurahan
sebagai berikut: •
Pada Kelurahan Rajabasa Jaya, berdasarkan RTRW Provinsi ditetapkan untuk penggunaan lahan pertanian lahan kering.
• Kelurahan Harapan Jaya Sukarame, berdasarkan RTRW Provinsi ditetapkan
untuk penggunaan lahan pertanian lahan kering. •
Kelurahan Campang Raya yang ditetapkan sebagai kawasan pengembangan pertanian lahan kering.
Sedangkan kawasan overlap adalah: •
Sumber Agung, berdasarkan RTRW Kota Bandar Lampung ditetapkan sebagai kawasan lindung, berdasarkan RTRW Kabupaten Lampung Selatan
ditetapkan sebagai kawasan palawija, sedangkan berdasarkan RTRW Provinsi ditetapkan sebagai kawasan lindung. Semestinya pada saat penyusunan
RTRW Kota Bandar Lampung melibatkan Pemda Kabupaten Lampung Selatan untuk mengecek kebenaran batas wilayah serta mencapai kesinergian
dalam alokasi pemanfaatan ruang. Kondisi yang terjadi saat ini akan mengancam keberadaan hutan di wilayah overlap tersebut, karena baik di
wilayah yang tepat overlap maupun diwilayah-wilayah sekitarnya ditetapkan sebagai kawasan budidaya palawija. Kecenderungan yang selama ini sering
terjadi adalah aktivitas budidaya merambah ke kawasan hutan, sehingga kadang keberadaan hutan semakin terkonversi.
• Kemiling Permai dan Rajabasa Raya, berdasarkan RTRW Kota Bandar
Lampung ditetapkan sebagai kawasan perumahan, kebun campuran dan kawasan pendidikan. Menurut RTRW Kabupaten Lampung Selatan ditetapkan
sebagai hutan produksi. Sedangkan berdasarkan RTRW Provinsi Lampung ditetapkan sebagai hutan lindung dan kawasan perkotaan.
• Rajabasa Raya, menurut RTRW Kota Bandar Lampung ditetapkan sebagai
kawasan permukiman dan kebun campuran. Berdasarkan RTRW Kabupaten
55 Lampung Selatan ditetapkan sebagai lahan kering dan hutan produksi tetap.
Sedangkan berdasarkan RTRW Provinsi ditetapkan sebagai kawasan perkotaan.
• Kelurahan Harapan Jaya, berdasarkan RTRW Kota Bandar Lampung
ditetapkan sebagai kebun campuran dan permukiman. Berdasarkan RTRW Kabupaten Lampung Selatan ditetapkan sebagai kawasan lahan kering.
Sedangkan berdasarkan RTRW Provinsi Lampung ditetapkan sebagai kawasan lahan kering dan perkotaan.
Gambar 17 Peta kesesuaian rencana TGT Kota Bandar Lampung dengan Kabupaten Lampung Selatan
Keberadaan lahan kosong tidak be rtuan dan lahan overlap menjadi bagian dua wilayah administratif merupakan keadaan yang tidak dapat diabaikan. Untuk
itu perlu segera dilakukan upaya koordinasi antara dua wilayah yang berbatasan, yaitu Kota Bandar Lampung dengan Kabupaten Lampung Selatan untuk
membahas kepastian batas wilayah dan membuat sistem pemetaan yang sesuai antara batas wilayah aktual dengan pemetaannya. Jika hal tersebut tidak
dilakukan, maka akan menjadi kendala dalam optimasi kinerja penataan ruang, terutama dalam proses pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Keberadaan wilayah-wilayah tersebut juga berpotensi menimbulkan konflik,
56 seperti konflik tata batas yang terjadi antara Kabupaten Lampung Timur dengan
Kota Metro. Koordinasi dan kerjasama dengan wilayah sekitarnya dalam pelaksanaan
pembangunan merupakan salah satu amanat UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Adapun tujuan dari kerjasama antar daerah adalah untuk
mewujudkan efektifitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pembangunan. Tanpa kerjasama dan koordinasi antar daerah, wilayah-wilayah perbatasan akan
mengalami kinerja perkembangan yang semakin tertinggal dari wilayah lainnya di pusat kota. Ketertinggalan salah satu wilayah menurut Hukum Minimum Lybie
justru akan menjadi kendala dalam perkembangan wilayah secara keseluruhan. Dalam jangka panjang ketertinggalan satu wilayah ini akan mengancam eksistensi
wilayah dengan kinerja perkembangan baik. Untuk itu sebenarnya keberimbangan pembangunan sangat penting untuk dilaksanakan, sehingga pencapaian kinerja
pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat lebih optimal Saefulhakim, 2006. Keberimbangan dapat dicapai melalui kerjasama,
koordinasi dan memperhatikan kesinergian ruang kawasan sekitarnya Inter- Regional Context.
Hasil analisis PCA menunjukkan bahwa kinerja perkembangan wilayah- wilayah yang terletak di perbatasan relatif lebih tertinggal daripada kawasan
lainnya. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa proses penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung tidak didasarkan pada kesinergian dengan ruang sekitarnya.
Kurangnya koordinasi dan kerjasama antar wilayah menyebabkan munculnya berbagai permasalahan tersebut. Selain itu proses penyusunan RTRW tidak
memperhatikan rencana tata ruang pada hierarki yang lebih tinggi, yaitu RTRW Provinsi. Kondisi ini terlihat dari wilayah yang menurut RTRW Provinsi
diperuntukkan sebagai fungsi lindung, pada RTRW Kota Bandar Lampung diperuntukkan untuk kawasan pengembangan terbatas. Keadaan ini merupakan
indikasi inkonsistensi dalam penataan ruang dan melanggar amanat UU 24 Tahun 1992. Lebih lanjut sampai saat ini belum ada Rencana Tata Ruang RTR
Kawasan Fungsional antara Kota Bandar Lampung dengan Kabupaten Lampung
57 Selatan, sehingga penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung hanya didasarkan
pada aspek administratif internal Kota Bandar Lampung.
Konsistensi prospek pertumbuhan e konomi
Dalam identifikasi dan masalah pembangunan aspek prospek pertumbuhan ekonomi dari empat syarat yang harus ditinjau berdasarkan Kepmen Kimpraswil
Nomor 327KPTSM2002 yaitu faktor ketenagakerjaan, PDRB dalam lima tahun terakhir, kegiatan usahaproduksi persektor pembangunan serta perkembangan
penggunaan tanah produktifitasnya, penyusunan RTRW hanya memenuhi 3 syarat, sedangkan 1 syarat tidak terpenuhi adalah perkembangan penggunaan
lahan dan produktifitasnya. Inkonsistensi ini menyebabkan perencanaan yang dihasilkan tidak mampu mengakomodasi perkembangan ekonomi di wilayah
perencanaan. Kondisi ini berdampak pada terjadinya kemiskinan di kawasan kota. Berdasarkan data PODES telah terja di peningkatan jumlah masyarakat miskin
prasejahtera dan sejahtera 1 dari 54.446 34,87 pada tahun 2002 meningkat menjadi 80.919 48,58 pada tahun 2005. Indikator keluarga prasejahtera yang
digunakan dalam PODES adalah keluarga yang belum memenuhi salah satu atau lebih syarat, yaitu: 1 dapat makan dua kali sehari atau lebih; 2 mempunyai
pakaian yang berbeda untuk berbagai keperluan; 3 lantai rumah bukan tanah; dan 4 bila anaknya sakit dibawa berobat ke saranapetugas kesehatan.
Sedangkan indikator Keluarga Sejahtera Tahap I adalah keluarga yang sudah memenuhi syarat, yaitu: 1 dapat makan dua kali sehari atau lebih; 2 sudah
mempunyai pakaian yang berbeda untuk keperluan yang berbeda; 3 lantai rumah bukan terbuat dari tanah; 4 sudah sadar membawa anaknya yang sakit ke
saranapetugas kesehatan. Dari besarnya angka kemiskinan masyarakat kota serta dengan melihat
indikator diatas menunjukkan kondisi yang sangat kontras jika dikaitkan dengan peran strategis Kota Bandar Lampung. Peningkatan jumlah masyarakat miskin ini
disebabkan karena pertumbuhan penduduk di perkotaan relatif cepat dan tidak diimbangi dengan penyediaan lapangan kerja. Kondisi ini menyebabkan
peningkatan jumlah pengangguran dan kemiskinan di kota yang merupakan sumber berbaga i permasalahan di Kota Bandar Lampung.
58
Konsistensi rencana penanganan lingkungan kota
Sesuai Pedoman Penyusunan sebagaimana tertuang dalam Kepmen Kimpraswil No 327KPTSM2002, rencana penanganan lingkungan kota
mencakup aspek rencana pengembangan lingkungan yang dikonversi, diremajakan dan diresettlement. Ketentuan ini terkait dengan upaya penanganan
kawasan kumuh slum area dan kawasan ilegal squater area di pusat kota.
Namun hal ini tidak terakomodasi atau diatur dalam RTRW Kota Bandar Lampung. Sementa ra di Kota Bandar Lampung, khususnya Kawasan Teluk
Betung merupakan pusat kota lama kota tua sebelum pusat kota berpindah ke Tanjung Karang, sehingga kawasan ini memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi
tentang terbentuknya Provinsi Lampung. Kendati sampai saat ini kawasan tersebut masih digunakan untuk berbagai aktivitas, khususnya perekonomian, namun kota
yang memiliki nilai sejarah pembentukan Provinsi Lampung tersebut kondisi fisiknya sangat kumuh dan tidak teratur.
Gambar 18 Kawasan kumuh di Telukbetung
Inkonsistensi dalam aspek tersebut berimplikasi pada tidak adanya upaya penanganan maupun pedoman untuk pemanfaatan ruang kawasan kumuh
59 perkotaan. Dipihak lain permasalahan pertanahan di Kota Bandar Lampung
semakin rawan akibat keterbatasan lahan ditambah semakin meningkatkan angka kemiskinan di kota, sementara tuntutan pemenuhan kebutuhan lahan semakin
meningkat secara cepat. Kondisi ini menyebabkan kawasan-kawasan kumuh di pusat kota lama tersebut semakin bertambah kumuh dan terjadi penurunan
kualitas penggunaan ruang yang berdampak pada keadaan lingkungan fisik perkotaan urban setting yang kurang memadai.
Berdasarkan data PODES menunjukkan adanya peningkatan jumlah bangunan kumuh dari 1.423 pada tahun 2002 meningkat drastis menjadi 6.632
unit pada tahun 2005. Adapun permukiman kumuh menurut PODES adalah lingkungan hunian dengan indikator: 1 banyaknya rumah yang tidak layak huni,
2 banyaknya saluran pembuangan limbah yang macet; 3 pendudukbangunan sangat padat; 4 banyaknya penduduk yang membuang air besar tidak di jamban;
5 biasanya berada di areal marginal seperti di tepi sungai, pinggir rel kereta
api. Rumah tidak layak huni adalah rumah yang dibuat dari bahan bekassampah
seperti potongan triplek, lembaran plastik sisa, dan sebagainya yang menurut parameter kesehatan tidak cocok untuk bertempat tinggal, termasuk rumah gubuk.
Kawasan-kawasan kumuh di Kota Bandar Lampung antara lain berlokasi di Kelurahan Sukamaju, Kecamatan Teluk Betung Barat serta kawasan kumuh di
belakang Terminal Sukaraja yang merupakan kompleks kota lama. Harga lahan yang tidak terjangkau masyakat kelas bawah merangsang golongan ini untuk
menempati kawasan-kawasan ilegal seperti sempadan sungai, sempadan jalan, sempadan rel kereta api dan kawasan tegangan listrik untuk tempat tinggal.
Walaupun data PODES menunjukkan penurunan jumlah kawasan ilegal dari 1.743 unit bangunan pada tahun 2003 turun menjadi 1.708 pada tahun 2005,
namun permasalahan ini berdampak pada urban setting yang kurang memadai dan sangat mengganggu citra Kota Bandar Lampung sebagai kota dengan slogan
TAPIS BERSERI. Selain dampak fisik keruangan, permasalahan tersebut berdampak pada terganggunya kinerja pemerintah karena masyarakat yang
menempati kawasan-kawasan ilegal tersebut pada akhirnya mengklaim tanah tersebut sebagai miliknya dan menuntut penerbitan sertifikat. Contoh kasus seperti
yang terjadi pada tanggal 17 Juni dan 14 Agustus 2006 lalu, ratusan masyarakat
60 pesisir Teluk Lampung berunjuk rasa kepada Pemda Kota Bandar Lampung,
menuntut tanah tempat tinggalnya segera disertifikatkan Republika, 2006. Dengan meningkatnya jumlah penduduk miskin kota dan bangunan kumuh,
kedepan wilayah ini akan terus mengalami kemunduran. Dari hasil analisis perkembangan wilayah, ternyata kawasan yang pe rnah menjadi pusat kota ini
hanya masuk dalam kategori perkembangan sedang. Jika tidak segera dilakukan antisipasi untuk penanganannya, dikhawatirkan kawasan ini akan terus mengalami
kemundurandegradasi, kelumpuhan atau bahkan kematian, sehingga menjadi kota mati. Untuk menghindari hal tersebut, perlu segera dicarikan upaya solutif dengan
mengacu pada Pedoma n Kepmen Kimpraswil No 327KPTSM2002 antara lain melalui revitalisasi.
Menurut pedoman penyusunan tersebut, terdapat substansi pengelolaan kawasan kota yang didalamnya mengatur pengembangan kawasan baru, kawasan
yang dikonversi, diremajakan dan ditata kembali resettlement. Kegiatan- kegiatan tersebut dapat dilakukan melalui upaya revitalisasi, yaitu upaya untuk
mendaur ulang recycle lahan kota yang ada dengan tujuan untuk memberikan vitalitas baru, meningkatkan vitalitas yang ada atau bahkan menghidupkan
kembali vitalitas revitalisasi yang pada awalnya pernah ada, namun telah memudar. Dengan kata lain revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali
suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vitalhidup, tetapi kemudian mengalami kemundurandegradasi. Adapun tujuan revitalisasi adalah memberikan
kehidupan kota yang produktif yang akan mampu memberikan kontribusi positif pada kehidupan sosial budaya, terutama kehidupan ekonomi kota Danisworo,
URDI Vol 13. Proses revitalisasi suatu kawasan mencakup perbaikan aspek fisik dan aspek ekonomi. Revitalisasi fisik merupakan strategi jangka pendek yang
dimaksudkan untuk mendorong terjadinya peningkatan kegiatan ekonomi jangka panjang. Revitalisasi fisik diyakini dapat meningkatkan kondisi fisik ruang kota,
namun tidak untuk jangka panjang, sehingga tetap diperlukan perbaikan dan peningkatan aktivitas ekonomi economic revitalization yang meruju k pada
aspek sosial budaya serta aspek lingkungan environmental objectives. Hal tersebut mutlak diperlukan karena pemanfaatan ruang yang produktif dan optimal
merupakan prasyarat terbentuknya sebuah mekanisme perawatan dan kontrol yang
61 langgeng terhadap keberadaan fasilitas dan infrastruktur kota. Mekanisme tersebut
tidak dilakukan dalam RTRW Kota Bandar Lampung.
Konsistensi dalam Pemanfaatan Ruang
Berdasarkan kajian konsistensi proses teknis penyusunan RTRW menunjukkan bahwa proses penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung masih
konsisten dengan pedoman yang berlaku. Namun kondisi di lapangan menunjukkan bahwa terjadi berbagai permasalahan dalam penataan ruang.
Selanjutnya kemungkinan inkonsistensi dalam penataan ruang ada pada tahap pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Berbagai permasalahan inkonsistensi dalam pemanfaatan ruang terjadi di Kota Bandar Lampung. Inkonsistensi tersebut antara lain adalah:
Konversi lahan
Permasalahan konversi lahan terkait dengan inkonsistensi dalam pengklasifikasian legenda peta yang digunakan dalam RTRW Kota Bandar
Lampung. Menurut UU 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang Pasal 22 disebutkan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah KabupatenKota merupakan
Penjabaran dari Rencana Tata Ruang Provinsi. Hal tersebut menunjukkan bahwa produk RTRW Kota harus mengacu pada RTRW Provinsi, termasuk dalam
pengklasifikasian peta rencana pemanfatan ruang minimal harus mengacu pada Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, atau merinci dan mengembangkan
sistem klasifikasi pemanfaatan ruang dengan tetap mengacu pada peristilahanklasifikasi pemanfaatan ruang dalam RTRW Provinsi Lampung. Dari
sistem klasifikasi yang digunakan dalam peta Rencana Pemanfaatan Ruang Kota Bandar Lampung terlihat bahwa telah terjadi inkonsistensi dalam
pengklasifikasian jenis penggunaan lahan yang tidak mengacu pada RTRW Provinsi Lampung.
Kondisi tersebut selain menunjukkan inkonsistensi dalam penataan ruang, baik terhadap UU 24 Tahun 1992 maupun terhadap Perda No 52001, juga
menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam pemanfaatan ruang. Kondisi ini disebabkan karena adanya perbedaan interpretasi para stakeholders akibat
62 perbedaan pengklasifikasian peta dalam RTRW Provinsi dengan RTRW Kota
Bandar Lampung. Dengan menggunakan pendekatan data Pemberian Ijin Pengambilan A ir Tanah Untuk Industri yang dikeluarkan Dinas Pertambangan
Kota Bandar Lampung Tahun 2004 dan 2005 masing-masing berlaku dua tahun, menunjukkan bahwa telah terjadi penyimpangan dalam pemanfaatan ruang dari
rencana yang telah ditetapkan. Penyimpangan dari peruntukan lahan non industri terkonversi menjadi industri antara lain terjadi di kelurahan-kelurahan sebagai
berikut: •
Campang Raya, kawasan yang dialokasikan untuk pengembangan terbatas pada kenyataannya digunakan untuk industri.
• Bagian dari Kawasan Srengsem yang dialokasikan sebagai kawasan lindung,
pada kenyataannya digunakan untuk aktivitas industri, yaitu PT. Tambang Batubara Bukit Asam dan Tanjung Enim Lestari PP Pabrik PULP.
• Kupang Kota, kawasan yang dialokasikan untuk permukiman pada
kenyataannya diberikan ijinrekomendasi mengambil air tanah untuk industri, yaitu PT Tirta Investama dan PT Prabu Tirta Jaya Lestari.
• Garuntang, kawasan yang dialokasikan untuk permukiman, pada
kenyataannya digunakan untuk industri pabrik karet, yaitu PT Garuntang. •
Kelurahan Sukaraja, kawasan yang dialokasikan untuk permukiman, pada kenyataannya diijinkan beroperasi industri PT Vista Grain, sebuah industri
yang bergerak dibidang pabrik pakan. •
Kelurahan Rajabasa Raya, kawasan yang dialokasikan untuk permukiman, pada kenyataannya digunakan untuk industri PT Way Kandis pabrik karet.
• Kelurahan Kedamaian terdapat PT Golden Sari, sebuah industri yang bergerak
dibidang industri kimia zat pemanis berlokasi pada lahan campuran. Inkonsistensi dalam pemanfaatan ruang tersebut telah menimbulkan
berbagai permasalahan dalam pemanfaatan ruang. Antara lain adalah terciptanya lingkungan perkotaan yang tidak nyaman akibat pencemaran industri-industri
yang berada tidak pada peruntukannya, khususnya di lingkungan permukiman. Kondisi ini cukup meresahkan warga dan menjadikan kota sebagai tempat hunian
yang tidak nyaman bagi warganya. Beberapa kejadian yang cukup menjadi issue
63 hangat dan pemberitaan di beberapa media adalah terjadinya pencemaran sungai
Dadap di Kedamaian oleh PT Golden Sari. Pencemaran ini sudah berlangsung cukup lama, yaitu sejak tahun 2000 dan sangat meresahkan serta merugikan
masyarakat sekitarnya Trans Sumatera Post, 2 Agustus 2004. Inkonsistensi lainnya adalah konversi kawasan lindung menjadi kawasan
budid aya. Menurut ketentuan dalam Lampiran V Perda 42004 tentang RTRW Kota Bandar Lampung disebutkan bahwa kawasan perbukitan di pusat kota
seperti Gunung Kunyit dan Gunung Camang ditetapkan sebagai kawasan hutan kota dan resapan air dengan rekomendasi penghentian penambangan. Pada
kenyataannya kawasan yang merupakan salah satu paru-paru kota, kondisinya saat ini semakin gundul akibat aktivitas penambangan batu kapur di Gunung Kunyit
oleh swasta dan masyarakat lokal serta pengerukan tanah di Gunung Camang yang dilakukan oleh swasta. Tanah hasil pengerukan di Gunung Camang
selanjutnya digunakan untuk reklamasi pantai di sepanjang tepi jalan Yos Sudarso Telukbetung yang masih berlangsung sampai saat ini, sementara gunung yang
telah dikepras tersebut dikonversi untuk pembangunan perumahan. Kondisi ini menyebabkan pusat kota yang semula masih cukup asri dengan adanya beberapa
kawasan hijau, perkembangan ke depan akan menjadi kawasan gersang akibat padatnya kawasan terbangun. Selain itu berkurangnya kawasan-kawasan resapan
air akan berdampak pada musibah musiman, yaitu kekeringan dimusim kemarau dan akan terjadi banjir pada musim hujan. Selain itu hilangnya ruang-ruang hijau
kota menyebabkan kota semakin tidak bersahabat, polusi udara dan potensial meningkatkan ’penyakit psikologis’. Menurut Wakil Walikota Bandar Lampung,
maraknya aktivitas pengeprasan bukit disebabkan lemahnya aspek pengendalian dan kinerja pemerintah dalam mengatasi permasalahan tersebut Lampost, 2006.
Sementara jika dicermati lahan-lahan kosong yang belum termanfaatkan dan berpotensi untuk pengembangan di Kota Bandar Lampung masih cukup tersedia,
sehingga Pemerintah Kota Bandar Lampung tidak perlu mengambil kebijakan reklamasi ataupun pengeprasan bukit. Salah satu contoh adalah Kelurahan Sumur
Putri yang dalam RTRW dialokasikan untuk permukiman dan kebun campuran, prosentase lahan terbangun baru mencapai sekitar 14.
64 Masalah keterbatasan lahan juga dapat dilakukan dengan intensifikasi dalam
penggunaan lahan, yaitu mengubah paradigmaorientasi pelaksanaan pembangunan dari horisontal kearah vertikal, sehingga penggunaan ruang dapat
semakin optimal dan efisien. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada dasarnya reklamasi pantai belum diperlukan di Kota Bandar Lampung. Jika aktivitas
reklamasi dipaksakan untuk tetap dilakukan, maka yang terjadi adalah kerusakan lingkungan di kawasan sekitarnya. Selain itu terjadi protes keras dari berbagai
elemen masyarakat terhadap tindakan reklamasi yang terus berlangsung sampai saat ini. Berbagai pihak merasa aktivitas reklamasi akan lebih banyak memberikan
kerugian daripada manfaatnya bagi masyarakat Tempo Interaktif, 2004.
Konsistensi dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Inkonsistensi dalam pemanfaatan ruang mengindikasikan inkonsistensi dalam proses pengendalian pemanfaatan ruang. Menurut Kepmen Kimpraswil No
327KPTSM2002 pengendalian pemanfaatan ruang wilayah diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang
berdasarkan mekanisme perijinan, pemberian insentif dan disinsentif, pemberian kompensasi, mekanisme pelaporan, mekanisme pemantauan, mekanisme evaluasi
dan mekanisme pengenaan sanksi. Adapun tujuan dari pengendalian pemanfaatan ruang Supriatna, 2006 adalah:
Ø Menjamin tercapainya konsistensi pemanfaatan ruang yang telah diteta pkan fungsinya.
Ø Memastikan pemanfaatan ruang sudah sesuai denagn rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
Ø Prasyarat pengendalian dapat berjalan efektif dan efisien, sehingga produk perencanaan kawasannya dapat disusun dengan baik, berkualitas, informatif
dan akurat terhadap praktek-praktek pemanfaatan ruang di daerah. Sifat pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan dalam bentuk arahan
kebijakan Supriatna, 2006 antara lain untuk: 1. Mengarahkan pembangunan
Ø Membuat ketentuan yang bersifat preventif dalam bentuk pengendalian pemanfaatan ruang dengan kebijakan pengendalian pembangunan fisik,
65 pengendalian dalam perijinan, pengawasan rencana lahanlokasi, kebijakan
insentif dan disinsentif. Ø Membuat ketentuan yang bersifat kuratif pemulihan dalam bentuk
penegakan aturan atau hukum yang mengatur pembangunan perkotaan atau kawasan, disertai pemberian sanksi atau denda jika terjadi
penyimpangan. 2. Mendorong pembangunan
Ø Membuat ketentuan yang bersifat kuratif, yaitu dengan menjadikan rencana tata ruang kota sebagai pedoman bagi setiap pelaku pembangunan
untuk melaksanakan rencana kegiatannya. Selain itu untuk mendorong terjadinya proses pertumbuhan kawasan atau pengembangan kota perlu
diberikan adanya kebijakan insentif disinsentif terhadap setiap pelaku dalam mengembangkan investasinya atau disediakannya pengembangan
infrastruktur oleh pemerintah kota untuk merangsang terjadinya kegiatan pembangunan.
Tingkat konsistensi dalam pengendalian pemanfaatan ruang belum dapat diukur karena sampai saat ini Pemerintah Kota Bandar Lampung belum meyusun
dokumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kota. Tetapi inkonsistensi dalam pengendalian pemanfaatan ruang dapat diduga disebabkan karena:
Ø Pemberian ijin IMB, SITU, ijin prinsip, ijin lokasi IPB tidak sesuai dengan RTRW.
Ø Sistem informasi spasial belum memadai. Dalam peta RTRW relatif sulit untuk memperoleh informasi batas-batas koordinat setiap peruntukan lahan,
didukung keterbatasan jumlah benchmark menyebabkan tingkat kesulitan yang tinggi untuk mengetahui, memantau serta mengevaluasi kesesuaian
ketepatan lokasi di lapangan dengan peta rencana. Hal ini menunjukkan pentingnya sistem informasi geografis dalam penataan ruang, terutama untuk
monitoring dan evaluasi pemanfaatan ruang Wegener, 2001. Ø Kurangnya sosialisasi RTRW menyebabkan masyarakat sering tidak
mengetahui peruntukan lahan sesuai RTRW. Kondisi ini menyebabkan masyarakat tidak sadar jika terjadi penyimpangan penggunaan lahan di
66 wilayah sekitarnya. Hal ini berimplikasi pada lemahnya mekanisme pelaporan
terhadap penyimpangan RTRW. Ø RTRW tidak dibreakdown kedalam rencana yang lebih detail, sehingga aspek
pengawasan dan pemantauan menjadi sulit dilakukan. Ø Lemahnya koordinasi antar institusi maupun kinerja BKPRD Badan
Koordinasi Penataan Ruang Daerah.
Gambar 19 Lingkup pengendalian pemanfaatan ruang Kelembagaan penataan ruang diatur dalam Kepmendagri No 147 Tahun
2004 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah yang selanjutnya disebut Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah BKPRD. BKPRD
mengadakan pertemuan minimal 3 bulan sekali untuk membahas issue-issue penataan ruang didaerah serta rekomendasi alternatif kebijakan penataan ruang.
Hasil pertemuan tersebut dilaporkan kepada kepala daerah untuk digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan. Selanjutnya kepala daerah melaporkan hasil
pertemuan tersebut kepada pejabat diatasnya, yaitu bupatiwalikota kepada gubenur dan gubernur kepada menteri dalam negeri.
Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Laporan Perubahan
Pemanfaatan Ruang
Evaluasi Rencana
Pemanfaatan Ruang
Pemantauan Penyimpangan
Pemanfaatan Ruang Sanksi
Administratif Sanksi
Pidana
Sanksi Perdata Pengawasan
Pemanfaatan Ruang BKPRD
RTRW Pemanfaatan
Penertiban Pemanfaatan Ruang Bawasda, Biro Hukum, Tim
Penyelidik Polri Kejaksaan Meknisme
Perijinan BKPRD
67
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah BKPRD
1. Keanggotaan: Penanggungjawab : kepala daerah
Ketua : wakil kepala daerah
Ketua harian : sekretaris daerah
Sekretaris : kepala bappeda
Wakil sekretaris : kepala dinas yang mengurus tata ruang Anggota
: dinasinstansi terkait, sesuai kebutuhan daerah
Gambar 20 Struktur kelembagaan BKPRD
2. Tugas Ø Merumuskan berbagai kebijakan penyelenggaraan penataan ruang dengan
memperhatikan penataan ruang pada hierarki diatas maupun dibawahnya. Ø Mengkoordinasikan penyusunan rencana tata ruang.
Ø Mengkoordinasikan penyusunan rencana rinci tata ruang kawasan sesuai dengan kewenangannya.
Ø Mengintegrasikan dan memaduserasikan rencana tata ruang dengan rencana tata ruang pada hierarki diatas maupun dibawahnya, rencana tata
ruang kawasan tertentu dan rencana tata ruang kawasan sekitarnya. Ø Memaduserasikan rencana pembangunan jangka menengah dan tahunan
yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dengan rencana tata ruang
Ø Melaksanakan kegiatan pengawasan yang meliputi pelaporan, evaluasi dan pemantauan penyelengga raan pemanfaatan ruang.
Ø Memberikan rekomendasi penertiban terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
Ø Memberikan rekomendasi perijinan tata ruang.
BKPRD
Sekretariat Kelompok Kerja
Perencanaan Tata Ruang Kelompok Kerja
Pengendalian Pemanfaatan Ruang
68 Ø Mengoptimalkan peranserta masyarakat dalam perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Ø Mengembangkan informasi penataan ruang untuk kepentingan
penggunaan lahan di jajaran pemerintah, masyarakat dan swasta. Ø Menyosialisasikan dan menyebarluaskan informasi penataan ruang.
Ø Mengkoordinasikan penanganan dan penyelesaian masalah atau konflik yang timbul dalam penyelenggaraan penataan ruang yang menjadi
kewenangannya dan memberikan pengarahan serta saran pemecahannya. Ø Memberikan rekomendasi guna memecahkan masalah atau konflik
pemanfaatan ruang yang menjadi kewenangannya. Ø Melaksanakan fasilitasi, supervisi dan koordinasi dengan dinasinstansi di
wilayahnya, hierarki dibawahnya, masyarakat dan dunia usaha berkaitan dengan penyelenggaraan penataan ruang.
Ø Memadukan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang dengan ruang hierarki dibawahnya maupun dengan
wilayah sekitarnya. Ø Melakukan evaluasi tahunan atas kinerja penataan ruang
Ø Menjabarkan petunjuk kepala daerah berkenaan dengan pelaksanaan fungsi dan kewajiban koordinasi penyelenggaraan penataan ruang
Ø Menyampaikan laporan pelaksanaan tugas BKPRD secara berkala kepada kepala daerah.
Permasalahan inkonsistensi, baik dalam tahap perencanaan, pemanfaatan maupun pengendalian pemanfaatan ruang ini pada akhirnya menimbulkan
berbagai permasalahan inefisiensi yang berdampak pada penurunan kinerja perkembangan wilayah. Permasalahan inkonsistensi dalam penataan ruang tidak
hanya terjadi di Kota Bandar Lampung. Hal yang sama juga terjadi di beberapa kota besar di Indonesia, salah satunya adalah Kota Bandung. Bandung yang tempo
dulu adalah diskripsi penuh romantisme yang memanja dan mempesonakan penghuninya, sehingga dikenal dengan sebutan ’Paris van Java’, saat ini berubah
menjadi sebuah kota yang merepresentasikan ketidaktertiban, ketidaknya manan, serta setumpuk persoalan yang makin lama makin besar tentang tidak jelasnya
arah pembangunan kota yang sudah berusia nyaris 2 abad sejak resmi didirikan.
69 Menurut Zulkaidi, berbagai permasalahan di Kota Bandung disebabkan karena
terjadinya inkonsistensi dalam penataan ruang dan kurangnya responsivitas kebijakan RTRW dalam mengakomodasi kepentingan masyarakat. Pendapat
senada diungkapkan Prabatmodjo bahwa permasalahan di Kota Bandung disebabkan karena belum adanya konsistensi dalam kebijakan penataan ruang di
Kota Bandung Pikiran Rakyat, 2004. Untuk mengatasi permasalahan penataan ruang dan mengantisipasi dampak
lanjut dari inkonsistensi penataan ruang diatas, maka dapat dilakukan upaya perbaikanpenyempurnaan penataan ruang. Upaya yang dilakukan dapat mengacu
pada Kepmen Kimpraswil No 327KPTSM2002.
Tabel 10 Kriteria peninjauan kembali
RTR Simpangan
Faktor Eksternal Tipologi
Sah Tidak
Sah Kecil
Besar Tetap
Berubah I
¥ ¥
¥ II
¥ ¥
¥ III
¥ ¥
¥ IV
¥ ¥
¥ V
¥ ¥
¥ VI
¥ ¥
¥ VII
¥ ¥
¥ VIII
¥ ¥
¥
Sumber : Kepmen Kimpraswil No 327KPTSM2002
Dari kriteria dalam tabel 10 dan dengan melihat kondisi penataan ruang Kota Bandar Lampung dapat disimpulkan bahwa Penataan Ruang Kota Bandar
Lampung mengacu pada kriteria ke IV dengan ciri:
1 . RTRW sah
Proses penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung 79 sudah mengacu pada pedoman yang berlaku. RTRW Kota Bandar Lampung mendapat legalitas
hukum melalui Perda Nomor 4 Tahun 2004 tentang RTRW Kota Bandar
Lampung, sehingga dapat dikatakan sah.
70
2 . Simpangan besar
Simpangan yang terjadi selama kurun waktu dari sejak disusun 2003 dan ditetapkan 2004 sampai tahun 2005 menunjukkan bahwa simpangan yang terjadi
antara rencana dengan kondisi aktual rela tif besar atau tidak sesuai dengan ketentuan dalam RTR, walaupun kondisi RTR sendiri telah memenuhi prosedur
dan ketentuan penyusunannya.
3 . Faktor eksternal relatif tetap
Faktor eksternal yang harus diperhatikan dalam penyusunanpeninjauan kembali RTRW adalah:
• Adanya perubahan dan atau penyempurnaan peraturan danrujukan sistem
penataan ruang. •
Adanya perubahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang danatau sektoral kawasan perkotaan yang berdampak pada pengalokasian kegiatan
pembangunan yang memerlukan ruang berskala besar. •
Adanya ratifikasi kebijaksanaan global yang mengubah paradigma sistem pembangunan dan pemerintahan serta paradigma perencanaan tata ruang.
• Adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang cepat dan
seringkali radikal dalam hal pemanfaatan sumberdaya alam meminimalkan kerusakan lingkungan.
• Adanya bencana alam yang cukup besar, sehingga mengubah struktur dan pola
pemanfaatan ruang dan memerlukan relokasi kegiatan budidaya maupun lindung yang ada demi pembangunan pasca bencana.
Menurut Kepmen tersebut, untuk kriteria ini tidak perlu dilakukan pemutakhiran RTRW karena rencana masih sah dan tidak terjadi perubahan
eksternal, namun karena permasalahannya adalah terjadinya simpangan pada pemanfaatan dan pengendalian, maka aspek-aspek yang perlu diperhatikan adalah:
1. Penyusunan aturan atau rencana sektoral untuk menambahkan atau
menyempurnakan aspek-aspek yang belum dibahas dalam RTRW, misalnya Pedoman atau Rencana Revitalisasi Kota Lama.
71 2.
RTRW Kota Bandar Lampung perlu didetailkan dalam rencana yang lebih rinci, seperti Rencana Detail Tata Ruang Kota RTRWK dan Rencana
Teknik Ruang Kota RTRK. Hal yang perlu diperhatikan dalam pendetailan rencana tata ruang adalah efisiensi dalam pemanfaatan ruang dengan
mengubah paradigma pembangunan dari horisontal kearah vertikal. 3.
Penyempurnaanpeningkatan pe manfaatan RTR sebagai acuan pembangunan, baik dalam penyusunan rencana pembangunan lima tahunan
RPJM maupun dalam rencana pembangunan tahunan, khususnya dalam mekanisme penganggaran.
4. Peningkatan diseminasi rencana tata ruang kepada seluruh stakeholder, baik
pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat luas, sehingga RTRW dapat menjadi dokumen yang memiliki kekuatan untuk mengikat secara eksternal
pedoman bagi masyarakat dalam pemanfaatan ruang kota dan internal pengendali bagi setiap kebijakan program pembangunan.
5. Peningkatan pemanfaatan RTRW sebagai dokumen acuan dalam forum
Rapat Koordinasi Pembangunan. 6.
Penyempurnaan kegiatan pemantauan dan pelaporan secara kontinyu terhadap program pembangunan dan implementasi ruang. Untuk itu,
perkuatan kelembagaan BKPRD dan koordinasi antar dinasinstansi perlu terus ditingkatkan demi terwujudnya konsistensi dan kesinergian penataan
ruang. 7.
Penyempurnaan kegiatan evaluasi terhadap pelaksanaan program implementasi ruang dan perizinan. Hal yang perlu diperhatikan adalah
memperbaiki sistim informasi spasial. Dengan menggunakan sistem ini, mekanisme perijinan akan lebih mudah mengacu pada rencana tata ruang
yang telah ditetapkan. Demikian juga dalam proses evaluasi, akan lebih mudah melihat penyimpangan-penyimpangan dari rencana tata ruang yang
telah ditetapkan.
72
Analisis Perkembangan Wilayah Analisis PCA perkembangan wilayah
Dengan menggunakan kriteria [Factor Loading] 0,65, hasil PCA dari 38 variabel perkembangan wilayah, terdapat 8 variabel yang memiliki pengaruh
nyata terhadap pembentukan variabel baru. Kedelapan variabel tersebut dapat
dirumuskan dalam tiga indeks komposit, yaitu:
1. Indeks perkembangan aktivitas ekonomi transportasi wilayah F1PW Pengaruh terbesar dalam indeks ini adalah aktivitas ekonomi dan transportasi,
dengan penciri utama variabel warung, restoran, bank, hotel dan stasiun. Semua variabel berkorelasi positif, artinya peningkatan pada satu variabel
akan menyebabkan peningkatan pada variabel lainnya. Hal ini cukup logis mengingat keberadaan restoran akan memicu tumbuhnya warung disekitarnya.
2. Indeks perkembangan fisik ruang wilayah F2PW Penciri utama indeks ini adalah variabel kawasan terbangun, yaitu rasio luas
kawasan terbangun terhadap luas kawasan budidaya. 3. Indeks perkembangan aktivitas pendidikan wilayah F3PW
Penciri utama indeks ini adalah keberadaan fasilitas pendidikan, yaitu variabel SLTP dan SLTA. Semua variabel berkorelasi positif, artinya jika jumlah
fasilitas SLTP pada suatu wilayah bertambah, maka dalam wilayah tersebut juga akan dibangun fasilitas SLTA.
Dari 38 variabel perkembangan wilayah, yang paling nyata variasi spasialnya hanya dipengaruhi oleh aspek ekonomi, fisik ruang, pendidikan dan
transportasi. Aspek budaya tidak berpengaruh secara nyata. Variasi spasial dari aspek fisik keruangan yang paling berpengaruh adalah luasan kawasan terbangun.
Variasi spasial dari aspek ekonomi yang paling berpengaruh adalah keberadaan warung, restoran, bank hotel. Variasi spasial dari aspek sosial yang paling
berpengaruh adalah keberadaan sarana pendidikan, yaitu SLTP dan SLTA. Variasi spasial dari aspek transportasi yang paling berpengaruh adalah keberadaan
stasiun.
73
Gambar 21 Plot of eigenvalues perkembangan wilayah
Dari plot eigenvalues dapat diketahui bahwa terdapat empat faktor yang memiliki slope curam. Kecuraman tersebut menunjukkan semakin besar keragaman data
awal yang mampu dijelaskan oleh data baru.
0.00 0.10
0.20 0.30
0.40 0.50
0.60 0.70
5 10 15
20 25
30 35 40
45 50
55 60
65 70
75 80
85 90
95
DesaKelurahan Kinerja Perkembangan Wilayah Hasil PCA
Gambar 22 Scutter plot perkembangan wilayah
Gambar 22 menunjukkan variasi kinerja perkembangan wilayah dari 98 kelurahan yang ada di Kota Bandar Lampung. Gambar tersebut menunjukkan
Plot of Eigenvalues
Number of Eigenvalues 0.0
0.5 1.0
1.5 2.0
2.5 3.0
3.5 4.0
4.5
Value
T B
B a
r a
t T
B S
e l
a t
a n
P a
n j
a n
g T
K T
i m
u r
T B
U t
a r
a T
K P
u s
a t
T K
B a
r a
t K
e m
il i
n g
K e
d a
t o
n S
u k
a b
u m
i S
u k
a r
a m
e T
S e
n e
n g
R B
a s
a
74 disparitas yang cukup mencolok antar kelurahan, walaupun kelurahan tersebut
berada dalam satu kecamatan.
Gambar 23 Peta pola spasial perkembangan wilayah
Gambar 23 menunjukkan kinerja perkembangan wilayah yang dihasilkan dari analisis PCA dengan menggunakan kriteria indeks perkembangan wilayah
baik faktor score = 0,5, indeks perkembangan wilayah sedang faktor score 0,25 - 0,5, dan indeks perkembanga n wilayah kurang faktor score = 0,25. Dalam
gambar tersebut wilayah-wilayah dengan kinerja perkembang pesat adalah Kelurahan-kelurahan Pesawahan, Rawa Laut, Palapa, Tanjung Karang dan
Gedung Meneng. Hal tersebut dapat dipahami mengingat wilayah Gedung Meneng dan sekitarnya merupakan pusat pendidikan bagi Provinsi Lampung.
Pada wilayah ini terdapat berbagai fasilitas pendidikan mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi, baik Perguruan Tinggi Negeri PTN serta beberapa Perguruan
Tinggi Swasta PTS. Keberadaan fasilitas ini merangsang tumbuhnya berbagai aktivitas lain yang berkontribusi terhadap percepatan perkembangan wilayah.
Percepatan kinerja perkembangan keempat kelurahan lainnya dapat dipahami mengingat kelurahan tersebut berlokasi di pusat kota yang merupakan pusat
berbagai aktivitas. Untuk wilayah-wilayah dengan kinerja perkembangan kurang didominasi
oleh wilayah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Lampung Selatan,
75 yaitu Kelurahan-kelurahan Sukamaju, Keteguhan, Batuputu, Kedaung, Pinang
Jaya, Rajabasa Raya, Way Laga dan Srengsem. Sebenarnya wilayah-wilayah tersebut cukup potensial untuk berkembang, seperti Kelurahan Rajabasa Raya,
selain kemudahan askesibilitas ke berbagai tujuan, lokasinya yang berdekatan dengan Bandara Raden Inten, kawasan ini juga berdekatan dengan pusat
pendidikan di Provinsi Lampung negeri dan berbagai perguruan tinggi swasta. Permasalahan yang terjadi adalah kurangnya koordinasi dan kerjasama untuk
mensinergikan atau sebagai upaya percepatan perkembangan wilayah. Tanpa koordinasi, wilayah perbatasan akan menjadi wilayah ‘konflik’ atau ‘terabaikan’
yang jauh dari sentuhan pembangunan. Dengan menerapkan konsep regional planning, yaitu merencanakan wilayah dengan memperhatikan konstelasi wilayah
tersebut dengan wilayah sekitarnya Inter-Regional Context serta memiliki basis spasial yang jelas. Dengan konsep ini, walaupun kedua wilayah tidak memenuhi
skala ekonomi economic of scale, tetapi dengan bekerjasama silaturahmi, wilayah tersebut dapat memenuhi skala ekonomi tersebut.
Prasarana Dasar Kota
Dengan menggunakan kriteria [Factor Loading] 0,65, hasil PCA dari 15 variabel indikator prasarana dasar wilayah, terdapat 7 variabel yang memiliki
pengaruh nyata terhadap variabel baru. Ketujuh variabel tersebut dapat
dirumuskan dalam dua indeks komposit, yaitu:
1. Indeks perkembangan prasarana dasar wilayah F1PD Penciri utama indeks ini adalah variabel rasio jalan kota terhadap luas wilayah
yang merupakan indikator aksesibilitas wilayah, rasio jalan lokal terhadap jumlah penduduk, tingginya layanan PDAM pada kelompok pertama dan
ketiga serta banyaknya jumlah pelanggan telepon. 2. Indeks perkembangan jalan nasional wilayah F2PD
Penciri utama indeks ini adalah jalan nasional, baik rasio terhadap luas wilayah maupun terhadap jumlah penduduk. Kedua variabel berkorelasi
positif, artinya penurunan pada satu variabel akan menyebabkan penurunan pada variabe l lainnya.
76 Dari 15 variabel prasarana dasar, yang paling nyata variasi spasialnya
dipengaruhi oleh prasarana jalan, air bersih dan telepon. Aspek listrik tidak berpengaruh secara nyata. Variasi spasial dari prasarana jalan yang paling
berpengaruh adalah keberadaan prasarana jalan nasional, kota dan lokal. Variasi spasial dari prasarana PDAM yang paling berpengaruh adalah jumlah pelanggan
air bersih yang berasal dari kelompok I dan III. Gambar 24 menunjukkan ketersediaan prasarana dasar yang dihasilkan dari
analisis PCA dengan menggunakan kriteria indeks prasarana dasar baik faktor score = 0,5, indeks prasarana dasar sedang faktor score 0,25 - 0,5, dan indeks
prasarana dasar kurang faktor score = 0,25. Jika dikaitkan dengan kinerja perkembangan wilayah menunjukkan bahwa wilayah-wilayah yang memiliki
kinerja perkembangan baik ternyata memiliki prasarana dasar kota yang baik pula. Walaupun tidak semua wilayah dengan prasarana baik memiliki kinerja
perkembangan wilayah yang baik pula. Secara spasial, ketersediaan prasarana dasar terakumulasi di pusat kota.
Gambar 24 Peta pola spasial prasarana dasar
Fisik wilayah
Dengan menggunakan kriteria [Factor Loading] 0,65, hasil PCA dari 17 variabel kondisi fisik wilayah, terdapat 12 variabel yang memiliki pengaruh nyata
77 terhadap variabel baru. Keduabelas variabel tersebut dapat dirumuskan dalam tiga
indeks komposit, yaitu:
1. Indeks keterjalan kelangkaan air tanah F1FW Penciri utama indeks ini adalah kondisi hidrologi air tanah langka, formasi
geologi alluvium dan formasi campang dengan kelerengan lebih dari 40. Semua variabel penciri berkorelasi positif, artinya secara umum di wilayah
penelitian jika semakin besar wilayah dengan kondisi hidrologi air tanah langka, akan semakin besar pula formasi alluvium dan formasi campang serta
semakin besar pula wilayah dengan kelerengan lebih dari 40. 2. Indeks kelandaian persebaran air tanah produktifitas sedang F2FW
Penciri utama indeks ini adalah kondisi hidrologi akuifer produktifitas sedang dan menyebar luas, formasi endapan gunung api muda dan formasi lampung
serta kelerengan 0-2 dan 2-20. 3. Indeks air tanah produktifitas rendah F3FW
Penciri utama indeks ini adalah kondisi hidrologi akuifer denga n produktifitas rendah, dengan formasi batuan granit tak terpisahkan dan formasi tarahan.
Ketiga variabel penciri tersebut berkorelasi positif.
Gambar 25 Peta pola spasial fisik wilayah
78 Untuk 3 variabel fisik wilayah lainnya merupakan variabel yang tidak nyata
relative homogen, tidak ada keragaman disetiap wilayah penelitian. Jikapun terdapat variasi, hal tersebut lebih disebabkan faktor galateror. Gambar 25
menunjukkan karakteristik fisik wilayah yang dihasilkan dari analisis PCA dengan menggunakan kriteria indeks karakteristik fisik wilayah baik faktor score
= 0,5, indeks karakteristik fisik wilayah sedang faktor score 0,25 - 0,5, dan indeks karakteristik fisik wilayah kurang faktor score = 0,25.
Model Perkembangan Wilayah
Indeks komposit yang dihasilkan dari olah PCA tersebut selanjutnya digunakan sebagai variabel dalam analisis Spatial Durbin Model, yang
menghasilkan 3 model matematis untuk mengukur kinerja perkembangan suatu wilayah, yaitu:
Model Perkembangan Aktivitas Ekonomi Wilayah Ln[F1PW] = -3,877 - 10,399 W2Ln[F1PW] + 5,526 W2Ln[F1PD] - 3,259
W2Ln[F3FW] + 1,678 W1Ln[F1PW] + 1,312 W2Ln[F2FW] + 0,536 W1Ln[F3FW] + 0,449 Ln[F1FW]
Urutan penting faktor penentu perkembangan aktivitas ekonomi di suatu wilayah.
a. Variabel nyata dan elastis