Hijauan Makanan Ternak Sapi Potong Evaluasi Sumberdaya Lahan untuk Peternakan Ruminansia

52 tetangga dan daerah lainnya, selebihnya adalah untuk pemenuhan kebutuhan lokal. Kebijakan pemerintah untuk penanggulangan keadaan tersebut dengan melakukan beberapa langkah operasional, diantaranya penambahan indukbibit, penyelamatan ternak sapi betina produktif dari pemotongan, penanganan gangguan reproduksi, intensifikasi pelaksanaan Inseminasi Buatan IB, intensifikasi kawin alam distribusi pejantan unggul, pengembangan kelembagaan peternak dan penumbuhan kawasan usaha peternakan. Hal ini juga untuk mencapai Swasembada Daging 2010 dengan melaksanakan beberapa strategi, diantaranya pembuatan pusat pembibitan dan bakalan berbasis pastura dan integrasi dengan tanaman, revitalisasi kelembagaan dan sumberdaya masyarakat fungsional di lapangan, perbaikan dan pengadaan infrastruktur penunjang, dukungan finansial yang realistis dan kebijakan pengembangan pewilayahan sapi potong Faisal 2006.

2.3. Hijauan Makanan Ternak Sapi Potong

Pakan merupakan faktor yang sangat penting pada usaha peternakan sapi, baik hijauan maupun konsentrat. Kontinuitas penyediaan pakan sangat menentukan bagi keberhasilan usaha peternakan sapi terutama sapi kereman karena sepanjang waktu sapi berada di dalam kandang. Pemberian pakan yang tidak kontinu dapat menimbulkan stress dan akan berakibat sapi menjadi peka terhadap berbagai penyakit dan terganggu pertumbuhannya Ahmad et al. 2004. Makanan hijauan ialah semua bahan makanan yang berasal dari tanaman dalam bentuk daun-daunan, termasuk ke dalamnya bangsa rumput gramineae, kacang-kacangan leguminoseae dan hijauan dari tumbuh-tumbuhan lain seperti daun nangka, aur, daun waru dan sebagainya AAK 2005. Perbedaan mutu hijauan dipengaruhi oleh faktor genetis bawaan dan faktor lingkungan berupa jenis dan kesuburan tanah, iklim dan perlakuan manusia. Menurut Sofyan 2003, Hijauan Makanan Ternak yang diperlukan untuk ternak ruminansia sebagian besar berupa rumput-rumputan, sehingga rumput memegang peranan yang penting dalam penyediaan pakan dan telah umum digunakan oleh peternak dalam jumlah besar. Dilihat dari cara tumbuhnya rumput 53 dapat digolongkan menjadi dua, yaitu rumput alami atau rumput liar dan rumput budi daya atau rumput pertanian. Untuk memelihara kontinuitas hijauan pakan ternak sering dilakukan integrasi pakan hijauan dengan tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, pagar hidup, lahan tidur, padang rumput dan lahan kritis. Menurut Nitis 1995, ada beberapa sistem integrasi hijauan pakan ternak, yaitu sistem tanaman sela, sistem lorong, sistem teras bangku, sistem taongya, sistem sorjan, sistem kebun pakan hijauan intensif, sistem pastura unggul, sistem bank pakan, sistem pekarangan dan sistem tiga strata.

2.4. Evaluasi Sumberdaya Lahan untuk Peternakan Ruminansia

Lahan adalah bagian dari bentang alam landscape yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografirelief, hidrologi dan keadaan vegetasi alami natural vegetation yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan FAO 1976. Usaha peternakan sangat berkaitan erat dengan lahan, seperti ternak sapi potong yang sangat tergantung dari bahan dan kualitas pakannya, kualitas pakan hijauan makanan ternak sangat ditentukan oleh kondisi kesuburan tanahnya. Menurut Suratman et al. 1998, berdasarkan kebutuhan lahan, usaha peternakan dapat dibedakan atas dua, yaitu usaha peternakan yang berbasis lahan land based agriculture dan usaha peternakan yang tidak berbasis lahan non land based agriculture . Khusus untuk usaha peternakan yang berbasis lahan yaitu ternak dengan komponen pakannya sebagian besar terdiri atas tanaman hijauan rumput dan leguminosae, lahan merupakan faktor penting sebagai lingkungan hidup dan pendukung pakan. Menurut Sri Kuning 1999, dalam usaha peternakan, lahan merupakan basis atau merupakan faktor produksi sebagai sumber makanan pokok ternak berupa rumput, limbah maupun produk utama pertanian. Sebenarnya kebutuhan lahan untuk peternakan tidak menuntut lahan terbaik subur atau sangat subur, namun usaha ternak dapat dikembangkan pada lahan dengan kelas kemampuan V, VI dan VII, yang biasanya berupa lahan kering dan pada umumnya kurang cocok untuk subsektor pertanian yang lain seperti tanaman pangan dan perkebunan. 54 Walaupun demikian, pengembangan usaha ternak akan lebih baik dan menguntungkan jika dilakukan pada lahan-lahan subur Suparini 1999. Sumberdaya lahan yang dapat dimanfaatkan oleh peternak antara lain : lahan sawah, padang penggembalaan, lahan perkebunan dan hutan rakyat, dengan tingkat kepadatan tergantung pada keragaman dan intensitas tanaman, ketersediaan air dan jenis sapi potong yang dipelihara. Luasnya lahan sawah, kebun, dan hutan tersebut memungkinkan pengembangan pola integrasi ternak- tanaman yang merupakan proses saling menunjang dan saling menguntungkan, melalui pemanfaatan tenaga sapi untuk mengolah tanah dan kotoran sapi sebagai pupuk organik. Sementara lahan sawah dan lahan tanaman pangan menghasilkan jerami padi dan hasil sampingan tanaman yang dapat diolah sebagai makanan sapi. Sedangkan kebun dan hutan memberikan sumbangan berupa rumput alam dan jenis tanaman lain. Pemanfaatan pola integrasi diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan pakan ternak sepanjang tahun, sehingga dapat meningkatkan produksi dan produktivitas ternak Riady 2004. Evaluasi lahan merupakan suatu proses dalam menduga kelas kesesuaian lahan dan potensi lahan untuk penggunaan tertentu, baik untuk pertanian maupun non pertanian. Kelas kesesuaian lahan suatu wilayah untuk suatu pengembangan pertanian pada dasarnya ditentukan oleh kecocokan antara sifat fisik lingkungan yang mencakup iklim, tanah, terrain yang mencakup lereng, topografirelief, batuan di permukaan dan di dalam penampang tanah serta singkapan batuan, hidrologi dan persyaratan penggunaan lahan atau persyaratan tumbuh tanaman Djaenudin et al. 2003. Menurut Sitorus 1998, pada dasarnya evaluasi sumberdaya lahan membutuhkan keterangan-keterangan dari tiga aspek utama, yaitu lahan, penggunaan lahan dan faktor ekonomis. Data tentang lahan dapat diperoleh dari survei sumberdaya alam, termasuk survei tanah. Keterangan-keterangan tentang syarat-syarat atau kebutuhan ekologik dan teknik dari berbagai jenis penggunaan lahan diperoleh dari keterangan-keterangan agronomis, kehutanan, dan disiplin ilmu lainnya yang terkait. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka 2001, evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan tertentu. Hasil evaluasi 55 lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar untuk perencanaan tata guna tanah yang rasional, sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari. Dalam evaluasi lahan terdapat dua macam pendekatan, yaitu pendekatan dua tahap dan pendekatan paralel. Pada pendekatan dua tahap, tahap pertama merupakan evaluasi lahan secara kualitatif. Setelah tahap pertama selesai dan hasilnya disajikan dalam bentuk peta dan laporan, maka tahap kedua kadang- kadang tidak dilakukan analisis sosial ekonomi dapat dilakukan segera atau beberapa waktu kemudian. Sedangkan pada pendekatan paralel, analisis sosial ekonomi terhadap penggunaan lahan yang direncanakan dilakukan bersamaan dengan analisis sifat-sifat fisik dan lingkungan dari lahan tersebut. Hasil dari pendekatan ini biasanya memberi petunjuk mengenai modifikasi penggunaan lahan untuk mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya. Persyaratan penggunaan lahan yang diperlukan bagi tiap-tiap komoditi dijadikan dasar dalam menyusun kriteria kelas kesesuaian lahan, yang dikaitkan dengan kualitas dan karakteristik lahan. Jika tiga kelas yang dipakai dalam ordo Sesuai S dan dua kelas yang dipakai dalam ordo Tidak Sesuai N, maka pembagiannya adalah : 1 kelas S1 yaitu Sangat Sesuai highly suitable, lahan tidak mempunyai pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai pembatas yang secara tidak nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan menaikkan masukan yang telah biasa diberikan, 2 kelas S2 yang Cukup Sesuai moderately suitable, lahan mempunyai pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan, 3 kelas S3 yaitu Sesuai Marginal marginally suitable, lahan mempunyai pembatas-pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau lebih meningkatkan masukan yang diperlukan, 4 kelas N1 yaitu Tidak Sesuai Pada Saat Ini currently not suitable, lahan mempunyai pembatas yang lebih besar, tetapi masih memungkinkan diatasi, tetapi tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengelolaan dengan modal normal. Keadaan pembatas sedemikian besarnya, sehingga mencegah penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang; 5 kelas N2 yaitu Tidak Sesuai Untuk Selamanya permanently not 56 suitable , lahan mempunyai pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang Djaenudin et al . 2003.

2.5. Daya Dukung Lahan