Model pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo

(1)

TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO

S U Y I T M A N

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi saya yang berjudul ”Model Pengembangan Kawasan Agropolitan Berkelanjutan Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Situbondo” adalah merupakan disertasi hasil penelitian saya sendiri, dengan arahan komisi pembimbing. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program studi sejenis di perguruan tinggi manapun. Semua sumber informasi yang berasal dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain yang digunakan dalam penulisan disertasi ini telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Juli 2010

Suyitman NRP. P061060031


(3)

on Animal Husbandry at Situbondo. Under the supervision of SURJONO HADI SUTJAHJO as committee chairman, CATUR HERISON and MULADNO as committee members.

Rural development for Situbondo Region which based on agriculture and animal husbandry is Agropolitan Region based on animal husbandry. The purposes of this research were (1) to identify the potency, development level, and sustainability of The Situbondo Region. 2) to develop a model of sustainable agropolitan region based on animal husbandry; and 3) to formulate policy direction and strategy of agropolitan development. Research conducted at some areas of the ranch based in Situbondo, namely: Asembagus, Jangkar, Arjasa, Kapongan, and Mangaran. Types of data analysis applied in this study were location quotient (LQ) analysis, analysis of superior and leading commodity, the analysis of farming, analysis of area typology, principle component analysis (PCA), cluster analysis, scalogram analysis, and analysis of centrality, multidimensional scaling (MDS), prospective analysis, and dynamic system analysis. The results showed that Situbondo Region had some bases commodities on farm such as: beef cattle, sheep, goats, and ducks. Cattle production (fattening) as a leading commodity gives highest profit for farmer (Rp 4 250 000,-/head/year). Situbondo Region also constitutes Pre-Agropolitan II category; including 4 villages at advanced level, 17 villages at medium level and 21 villages at low level of growth development. From the sustainability analysis which analysed 73 attributes only 24 attributes are sensitive to the value of sustainability index based on farms area. Considering status of eco-dimensional (46.50%), technology of infrastructure (45.48%), and institutional (47.46%) showed the status of less sustainable, whereas the economic dimensions (69.53%) and socio-cultural (55.14%) showed quite sustainable condition. Focussed on repairing these sensitive attributes that affected sustainability, it can improves the sustainability status for future scenarios. With dynamic system analysis, we can find out that up to 2025, the population patterns tends to grow positively and exponentially, while agropolitan productions and farming profits have the same patterns until at one point, will moves to an equilibrium point (stable conditions) because of the “limit to growth” processes (archetype). Therefore, optimistic scenarios with great intervention on one or more affected variables need to apply to increase the model performance. Finally, Situbondo development policies should based on The County Farm by forming Village Growth Center and hinterland completed with facilities and infrastructures, actuation commodity diversification and home industries breeders, improvement production through extensification and intensification, fostering economic and social institutions, entwining partnership between stakeholders, and capability improvement of human resources especially for the breeders.

Keywords: agropolitan region, animal husbandry, status of sustainability, and dynamic system.


(4)

Pembangunan perdesaan khususnya di Wilayah Kabupaten Situbondo yang berbasiskan pertanian dan peternakan harus mulai didorong untuk mengatasi permasalahan pembangunan yang terjadi yang didukung oleh kemampuan pelayanan infrastruktur, pendidikan, sosial, kesehatan, dan lainnya sehingga mampu menggerakkan perekonomian perdesaan dan menciptakan nilai tambah yang dapat dinikmati oleh masyarakat.

Pembangunan pertanian harus bersinergi dengan pembangunan wilayah perdesaan dengan tujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Dalam mencapai tujuan tersebut, pengembangan kawasan potensial dengan basis perdesaan sebagai pusat pertumbuhan akan menstranformasikan perdesaan menjadi kota-kota pertanian atau dikenal dengan pengembangan kawasan agropolitan merupakan salah satu pilihan strategis yang tepat.

Penelitian ini bertujuan untuk menyusun suatu model pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan terpadu di Kabupaten Situbondo dalam rangka meningkatkan taraf kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Untuk mencapai tujuan utama tersebut, maka ada beberapa kegiatan yang perlu dilakukan sebagai tujuan antara, seperti:

1) Menganalisis potensi wilayah berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo. 2) Menganalisis tingkat perkembangan dan keberlanjutan wilayah Kabupaten

Situbondo.

3) Menganalisis sistem kawasan peternakan di Kabupaten Situbondo.

4) Merumuskan kebijakan dan skenario strategi pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo. Penelitian dilaksanakan di wilayah berbasis peternakan sapi potong di Kabupaten Situbondo, yaitu: Kecamatan Asembagus, Jangkar, Arjasa, Kapongan, dan Mangaran. Penelitian dilakukan mulai bulan Mei 2008 sampai bulan Mei 2009. Analisis data meliputi:

1) Identifikasi potensi wilayah Kabupaten Situbondo terdiri atas: analisis location quotient (LQ), analisis komoditas unggulan dan andalan, dan analisis usahatani. 2) Tingkat perkembangan wilayah Kabupaten Situbondo terdiri atas: analisis

tipologi (strata) kawasan, principle component analysis (PCA), analisis cluster, analisis skalogram, dan analisis sentralitas.

3) Status keberlanjutan kawasan Kabupaten Situbondo dianalisis dengan multidimensional scaling (MDS) yang disebut Rap-BANGKAPET, analisis leverege, analisis Monte Carlo, dan analisis prospektif.

4) Menyusun model pengembangan kawasan agropolitan dengan analisis powersim constructor versi 2,5 C.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah Kabupaten Situbondo merupakan basis beberapa komoditas peternakan, seperti: sapi potong, domba, kambing, dan itik. Dari komoditas ternak tersebut, penggemukan ternak sapi potong merupakan komoditas unggulan dan memberikan keuntungan yang tertinggi bagi peternak, yaitu Rp 4 250 000,-/ekor/tahun. Wilayah Kabupaten Situbondo juga merupakan pengembangan tanaman


(5)

dengan 4 desa termasuk dalam tingkat perkembangan maju, 17 desa termasuk tingkat perkembangan sedang, dan 21 desa termasuk tingkat perkembangan rendah.

Status keberlanjutan dimensi ekologi (46.50 %), infrastruktur/teknologi (45.48 %), dan kelembagaan (47.46 %) termasuk status kurang berkelanjutan, sedangkan dimensi ekonomi (69.53 %) dan sosial budaya (55.14 %) termasuk cukup berkelanjutan. Dari 73 atribut yang dianalisis, 24 atribut yang sensitif berpengaruh terhadap peningkatan nilai indeks keberlanjutan wilayah berbasis peternakan. Untuk meningkatkan status keberlanjutan ke depan skenario, yang dapat dipilih adalah melakukan perbaikan secara menyeluruh pada atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan.

Hasil analisis sistem dinamik, menunjukkan setiap komponen penyusun model, menunjukkan kecenderungan membentuk kurva pertumbuhan positif naik mengikuti kurva eksponential. Namun pada beberapa komponen sub model, seperti peningkatan pertumbuhan penduduk dan peningkatan luas lahan selalu diimbangi oleh laju pengurangan jumlah penduduk dan konversi lahan ke non pertanian sehingga dalam model ini terjadi hubungan timbal balik positif melalui proses reinforcing dan timbal balik negatif melalui proses balancing. Peningkatan jumlah penduduk yang terus bertambah memberikan tekanan terhadap sumberdaya yang ada termasuk terhadap jumlah populasi ternak dan sumberdaya lahan. Akibat tekanan ini, peningkatan yang terjadi terhadap semua komponen dalam sistem pada suatu saat akan sampai pada suatu titik keseimbangan tertentu dan selanjutnya terjadi penurunan akibat penekanan terhadap sumberdaya yang tersedia. Fenomena ini mengikuti konsep limit to growth sehingga bentuk model yang terjadi dapat disebut mengikuti pola dasar (archetype) “limit to growth” dalam sistem dinamik. Untuk meningkatkan perubahan kinerja model maka skenario yang perlu dilakukan adalah skenario optimis dengan melakukan intervensi yang lebih besar satu atau lebih variabel yang berpengaruh dalam model.

Arah kebijakan pengembangan wilayah berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo adalah pengembangan kawasan agropolitan. Strategi yang perlu dilakukan adalah membentuk Desa Pusat Pertumbuhan (DPP) dan hinterland-nya dengan melengkapi sarana dan prasarana yang dibutuhkan, menggerakkan diversifikasi komoditas unggulan dan industri rumah tangga peternak, meningkatkan produksi melalui kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi, menumbuh-kembangkan kelembagaan ekonomi dan sosial masyarakat, dan menjalin kemitraan dengan stakeholder, serta meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia (SDM) peternak.


(6)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber:

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO

S U Y I T M A N

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(8)

1. Ujian Tertutup Tanggal : 1 Februari 2010

Penguji Luar Komisi : a. Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Sc. : b. Dr. Drh. Akhmad Arif Amin

2. Ujian Terbuka Tanggal : 29 Juli 2010

Penguji Luar Komisi :

a. Dr. Ir. Gunawan, M.S.

(Direktur Perbibitan, Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian)

b. Dr. Ir. Yuli Retnani, M.Sc.

(Dosen dan Peneliti Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB, Bogor)


(9)

N a m a : S u y i t m a n NRP : P 061060031

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

Disetujui: Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M.S.

Dr. Ir. Catur Herison, M.Sc.

Anggota Anggota

Prof. Dr. Ir. Muladno, M.S.A.

Mengetahui:

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Institut Pertanian Bogor Alam dan Lingkungan (PSL)

Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M.S.

NIP. 1960 02 04 1985 03 1003 NIP. 1956 04 04 1980 11 1002

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(10)

ridho-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi dengan judul: ”Model Pengembangan Kawasan Agropolitan Berkelanjutan Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Situbondo. Disertasi ini merupakan tugas akhir Program Doktor (S3) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Sekolah Pascasarjana (SPs) Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini adalah atas sumbangsih dari berbagai pihak, oleh sebab itu penulis menyampaikan rasa terimakasih yang tulus kepada semua pihak yang telah memberikan berbagai masukan dalam penulisan ini, khususnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M.S., Bapak Dr. Ir. Catur Herison, M.Sc., dan Bapak Prof. Dr. Ir. Muladno, M.S.A., selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, bantuan, dan arahan sejak penyusunan proposal sampai penyelesaian disertasi ini. Semoga ilmu yang telah diberikan dan diamalkan mendapatkan imbalan dari Allah SWT. Terimakasih juga disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Sc. dan Bapak Dr. Drh. Akhmad Arif Amin, Bapak Dr. Ir. Gunawan, M.S. dan Ibu Dr. Ir Yuli Retnani, M.Sc. yang telah bersedia menjadi Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup dan Ujian Terbuka serta telah memberikan kritik dan saran yang konstruktif terkait penulisan disertasi ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Ketua dan Sekretaris beserta staf Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dan Rektor IPB beserta segenap jajarannya yang telah banyak memfasilitasi penulis selama menempuh pendidikan di SPs-IPB. Ucapan yang sama juga disampaikan kepada Rektor Universitas Andalas dan Dekan Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang, Pemda Kabupaten Situbondo dan semua pihak yang telah banyak membantu dan mendukung dalam penyusunan disertasi ini. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada ayahanda, ibunda, isteri dan anak, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat diharapkan agar disertasi ini menjadi lebih baik. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi kita sekalian. Amien …

Bogor, Juli 2010


(11)

Penulis dilahirkan di Situbondo pada tanggal 1 Mei 1961 sebagai anak sulung dari pasangan Abdul Syakur dan Syafinatun. Pada tahun 1989, penulis menikah dengan Dra. Retno Palupi, dan telah dikaruniai dua anak, yaitu anak pertama Dear Rahmatullah Ramadhan lahir pada tanggal 4 April 1991, dan anak kedua Prisca Sari Paramudhita lahir pada tanggal 5 Februari 1993.

Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta lulus pada tahun 1985. Pada tahun 1991, penulis diterima di Program Studi Ilmu Ternak pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung dan menamatkannya pada tahun 1993. Pada tahun 2006, penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan program doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui program penyelenggaraan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari Departemen Pendidikan Nasional.

Pada tahun 1986, penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai Dosen di Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang sampai sekarang. Pada tahun 1998-2005, penulis diberi kepercayaan menjadi Kepala Laboratorium Hijauan Pakan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang. Karya ilmiah terbaru yang ditulis akan diterbitkan (in press) pada jurnal ilmiah (Jurnal Agro Ekonomi: Akreditasi: Kep. Dikti-Depdiknas-RI No.26/Dikti/Kep/2005 dan No.64/AKRED-LIPI/P2MBI/12/ 20060) Tahun 2009/2010 dengan judul: Status keberlanjutan wilayah berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo untuk pengembangan kawasan agropolitan. Bantuan dana penelitian diperoleh melalui Program Hibah Doktor Dikti pada tahun 2009.


(12)

i

DAFTAR TABEL ... ... iv

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 8

1.3 Kerangka Pemikiran ... 8

1.4 Perumusan Masalah ... 12

1.5 Manfaat Penelitian ... 16

1.6 Kebaruan (Novelty) Penelitian ... 17

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 19

2.1 Ketimpangan Pembangunan Kota dan Desa ... 19

2.2 Pembangunan Perdesaan ... 20

2.3 Konsep Kawasan Agropolitan ... 24

2.4 Pengembangan Kawasan Agropolitan ... 26

2.5 Pengembangan Komoditas Peternakan ... 31

2.6 Pembangunan Usaha Peternakan secara Berkelanjutan ... 42

2.7 Usaha Peternakan Sapi Potong Terpadu ... 49

2.8 Pendekatan Sistem ... 53

2.9 Kabupaten Situbondo ... 58

III. METODE PENELITIAN ... 62

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 62

3.2 Teknik Penentuan Responden ... 63

3.3 Metode Analisis Data ... 64

3.4 Definisi Operasional ... 68

IV. KONDISI UMUM WILAYAH ... 72

4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi... 72

4.2 Jenis Tanah, Topografi, dan Iklim... 73

4.3 Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Kabupaten Situbondo... 74

4.3.1 Kependudukan... 76


(13)

ii

4.4.1 Aksesibilitas... 79

4.4.2. Kelistrikan... 80

4.4.3. Sarana Air Bersih... 80

4.4.4. Telekomunikasi... 81

4.4.5. Sarana Pendidikan... 82

4.4.6. Sarana Kesehatan... 83

4.4.7. Sarana Keagamaan ... 83

4.5 Kondisi Pertanian di Wilyah Kabupaten Situbondo... 85

4.5.1. Sistem Pertanian... 85

4.5.2 Pemanfaatan Lahan ……… 86

4.5.3 Produksi dan Produktivitas Komoditas Pertanian... 87

4.5.4 Produksi dan Produktivitas Komoditas Peternakan... 89

4.5.5 Kelembagaan... 92

4.6 Kondisi Sistem Agribisnis Kawasan ... 93

4.6.1. Subsistem Agribisnis Hulu ... 93

4.6.2. Subsistem Agribisnis Budidaya Peternakan ... 94

4.6.3. Subsistem Agribisnis Hilir ... 95

4.6.4. Subsistem Jasa Penunjang Agribisnis ... 96

V. IDENTIFIKASI POTENSI WILAYAH KABUPATEN SITUBONDO Abstrak... 97

5.1 Pendahuluan... 98

5.2 Metode Analisis Identifikasi Potensi Wilayah Kabupaten Situbondo... 99

5.3 Hasil dan Pembahasan Analisis Potensi Wilayah Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Situbondo... 104

5.4 Kesimpulan... 119

VI. TINGKAT PERKEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN SITUBONDO... 122

Abstrak... 122

6.1 Pendahuluan... 123

6.2 Metode Analisis Kajian Tingkat Perkembangan Wilayah Kabupaten Situbondo... 123

6.3 Hasil dan Pembahasan Analisis Tingkat Perkembangan Wilayah Kabupaten Situbondo... 126

6.3.1 Tipologi Wilayah Kabupaten Situbondo... 126

6.3.2 Perkembangan Wilayah Berdasarkan Kelengkapan Fasilitas... 131

6.3.3 Persepsi Masyarakat dan Alternatif Pengambilan Keputusan untuk Pengembangan Kawasan Agropolitan... 139


(14)

iii

SITUBONDO... 146

Abstrak... 146

7.1 Pendahuluan... 147

7.2 Metode Analisis Status Keberlanjutan Wilayah Kabupaten Situbondo... 149

7.3 Hasil dan Pembahasan Analisis Status Keberlanjutan Wilayah Kabupaten Situbondo... 158

7.4 Kesimpulan... 179

VIII. MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN DI KABUPATEN SITUBONDO... 181

Abstrak... 181

8.1 Pendahuluan... 182

8.2 Metode Analisis Sistem Kawasan Peternakan Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Situbondo ... 183

8.3 Hasil dan Pembahasan Sistem Kawasan Peternakan Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Situbondo ... 193

8.3.1. Simulasi Model Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu... 193

8.3.2. Simulasi Skenario Model Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Paternakan Sapi Potong Terpadu ... 208

8.3.3. Konsep Pengembangan Agribisnis Peternakan Sapi Potong Terpadu yang Diharapkan... 217

8.3.4. Uji Validasi Model... 232

8.3.5. Uji Kestabilan dan Sensitivitas Model... 234

8.4 Kesimpulan... 235

IX. PEMBAHASAN UMUM ... 242

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN... 250

10.1 Kebijakan Umum... 250

10.2 Kebijakan Operasional... 251

XI. KESIMPULAN DAN SARAN... 257

11.1 Kesimpulan... 257

11.2 Saran-saran ... ... 261

DAFTAR PUSTAKA... 262

LAMPIRAN ... 269


(15)

iv

1 Populasi ternak (ekor) di Kabupaten Situbondo……… 3

2 Jumlah aktivitas ekonomi dan infrastruktur di Kabupaten Situbondo dan Kota Surabaya ……….. 13

3 Jenis, sumber data, dan metode analisis model pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo ... 65

4 Luas kecamatan lokasi penelitian pada tahun 2008 ... 73

5. Luas penyebaran tanah di lokasi penelitian pada tahun 2008 ... 73

6. Jumlah penduduk di lokasi penelitian pada tahun 2008 ... 76

7. Jumlah dan persentase penduduk Kabupaten Situbondo menurut mata pencaharian pada tahun 2008... 77

8. Jumlah penduduk menurut mata pencaharian di lokasi penelitian pada tahun 2008 ... 77

9. Jumlah penduduk berdasarkan pendidikan di lokasi penelitian pada tahun 2008 ... 78

10.Jarak antara ibukota kecamatan dan kota Situbondo ... 79

11.Jumlah listrik masuk desa di lokasi penelitian pada tahun 2008 ... 80

12.Jumlah sarana telekomunikasi di lokasi penelitian pada tahun 2008 ... 81

13.Jumlah lembaga pendidikan di Kabupaten Situbondo pada tahun 2008 ... 82

14.Jumlah lembaga pendidikan di lokasi penelitian pada tahun 2008 ... 82

15.Jumlah sarana kesehatan di lokasi penelitian pada tahun 2008... 83

16.Jumlah tempat ibadah di lokasi penelitian pada tahun 2008 ... 84

17.Jumlah sarana keagamaan di lokasi penelitian pada tahun 2008 ... 84

18.Luas wilayah menurut penggunaan tanah di Kabupaten Situbondo tahun 2008 ... 86


(16)

v 21.Luas panen dan produksi tanaman pangan di lokasi penelitian pada tahun

2008 ... 88 22.Luas areal dan produksi tanaman perkebunan pada tahun 2008 ... 89 23.Populasi ternak ruminansia dan unggas dari tahun 2003 – 2007 ... 90 24.Populasi ternak ruminansia dan unggas di lokasi penelitian pada tahun

2007 ... 91 25.Jumlah ternak ruminansia dan unggas yang dipotong di Kab. Situbondo

dari tahun 2003 – 2007... 91 26.Jumlah ternak ruminansia dan unggas yang dipotong di lokasi penelitian

pada tahun 2007 ... 92 27.Produksi daging, telur, susu, dan kulit di Kabupaten Situbondo dari tahun

2004 – 2007 ... 92 28.Jumlah lembaga keagamaan di lokasi penelitian pada tahun 2007 ... 93 29.Nilai LQ beberapa jenis ternak di wilayah Kabupaten Situbondo ... 104 30.Nilai LQ beberapa jenis tanaman pangan di wilayah Kabupaten Situbondo. 107 31.Nilai LQ beberapa jenis tanaman perkebunan di wilayah Kabupaten

Situbondo... 111 32.Penilaian komoditas ternak di Wilayah Kabupaten Situbondo tahun 2007 . 112 33.Penilaian komoditas tanaman pangan di Wilayah Kabupaten Situbondo

tahun ... 113 34.Penilaian komoditas tanaman perkebunan di Wilayah Kabupaten Situbondo

tahun 2007 ... 114 35.Hasil analisis usahatani beberapa komoditas peternakan di Kabupaten

Situbondo ... 116 36.Hasil analisis usahatani beberapa komoditas pertanian di Kabupaten


(17)

vi 38.Tipologi wilayah desa pada lima kecamatan di wilayah Kabupaten

Situbondo berdasarkan kemiripan karakteristiknya... 130 39.Hierarkhi wilayah desa di lima kecamatan basis peternakan di Kabupaten

Situbondo berdasarkan kelengkapan fasilitas ... 136 40.Tingkat perkembangan desa di lima kecamatan basis peternakan di

Kabupaten Situbondo berdasarkan analisis sentralitas ... 138 41. Atribut-atribut dan skor keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan

berbasis peternakan ... . 153 42.Kategori status keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan

berdasarkan nilai indeks hasil analisis Rap-BANGKAPET ... 153 43.Pedoman penilaian prospektif dalam pengembangan kawasan agropolitan

berbasis peternakan ... 155 44.Pengaruh antar faktor dalam pengembangan kawasan agropolitan berbasis

peternakan ... 156 45.Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Monte Carlo dengan Analisis

Rap-BANGKAPET ... 174 46.Hasil analisis Rap-BANGKAPET untuk nilai stress dan koefisien

determinasi (R2) ... 174 47.Faktor-faktor kunci yang berpengaruh dalam pengembangan kawasan

agropolitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo ... 175 48.Analisis kebutuhan aktor/stakeholder dalam pengembangan kawasan

agropolitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo ... 185 49.Simulasi perkembangan pemanfaatan lahan agropolitan (ha) di wilayah

basis peternakan di Kabupaten Situbondo... 198 50.Simulasi jumlah penduduk dan jumlah peternak di wilayah berbasis

peternakan di Kabupaten Situbondo tahun 2004 – 2024... 203 51.Simulasi jumlah sapi potong (ekor) di wilayah berbasis peternakan di


(18)

vii 53.Simulasi limbah industri peternakan (kg) di kawasan agropolitan berbasis

peternakan di Kabupaten Situbondo tahun 2004-2025... .... 207 54.Simulasi skenario sumbangan PDRB (Rp) di kawasan agropolitan berbasis

peternakan sapi potong terpadu ... 215 55.Konsep pengembangan peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten

Situbondo ... 231 56.Perbandingan jumlah sapi potong aktual dan hasil simulasi di wilayah

berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo tahun 2004-2007 ... 234 57.Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan petani, Pemerintah Daerah Tingkat

II Kabupaten Situbondo, Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Timur, dan Pemerintah Pusat …………... 256


(19)

viii Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian model pengembangan kawasan agropolitan

berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu ... 11

2. Skema perumusan masalah model pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kab. Situbondo ... 15

3. Contoh model agribisnis di kawasan agropolitan ... 28

4. Lingkup pembangunan agribisnis peternakan ... 36

5. Pohon industri ternak ... 40

6. Pola umum saluran tataniaga ternak ... 41

7. Usaha agribisnis peternakan yang ramah lingkungan ... 46

8. Pola usahatani peternakan sapi potong terpadu dengan tanaman pangan dan perkebunan……….. 52

9. Lokasi penelitian ... 63

10. Tahapan dan metode analisis data penelitian pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo. 67 11 Dendrogram koefisien korelasi beberapa variabel penciri tipologi desa di lima kecamatan di Kabupaten Situbondo ... 129

12 Pengetahuan masyarakat tentang agropolitan ... 140

13 Sumber informasi mengenai agropolitan ... 140

14 Pengembangan kawasan agropolitan akan dapat menciptakan lapangan kerja .. 141

15 Pengembangan kawasan agropolitan dapat memberikan keuntungan ekonomi . 142 16 Kondisi jalan di kecamatan ... 142

17 Pemberdayaan masyarakat dalam agropolitan ... 143

18 Ilustrasi indeks keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sebesar 50 % (berkelanjutan) ... 154


(20)

ix 20 Penentuan elemen kunci pengembangan kawasan agropolitan berbasis

peternakan ... 157 21 Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan wilayah Kabupaten

Situbondo ... 159 22 Peran masing-masing atribut aspek ekologi yang dinyatakan dalam bentuk

nilai root mean square (RMS) ... 162

23 Peran masing-masing atribut aspek ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS) ... 165

24 Peran masing-masing atribut aspek sosial budaya yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS) ... 167

25 Peran masing-masing atribut aspek infrastruktur dan teknologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS) ... 169

26 Peran masing-masing atribut aspek hukum dan kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS) ... 172

27 Indeks keberlanjutan multidimensi wilayah Kabupaten Situbondo ... 173 28 Hasil analisis tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada sistem

yang dikaji ... 178 29 Diagram input-output (black box) pengembangan kawasan agropolitan

berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu ... 188 30 Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) pengembangan kawasan

agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu ... ... 189 31 Struktur model dinamik pengembangan kawasan agropolitan berbasis

peternakan di Kabupaten Situbondo... 196 32 Sub model pengembangan lahan agropolitan……… 197 33 Sub model budidaya sapi potong ... 200 34 Simulasi jumlah penduduk dan jumlah peternak di wilayah berbasis


(21)

x berbasis peternakan sapi potong terpadu ... 216


(22)

xi Halaman

1 Hasil analisis loqation quotient (LQ) beberapa komoditas pertanian di

Kabupaten Situbondo... 269

2 Hasil analisis komoditas unggulan dan andalan komoditas peternakan di Kabupaten Situbondo... . 275 3 Hasil analisis usahatani komoditas peternakan di Kabupaten Situbondo ... 275 4 Nilai strata masing-masing kecamatan wilayah berbasis peternakan di

Kabupaten Situbondo berdasarkan hasil analisis tipologi ... 279 5 Hasil analisis komponen utama (AKU) terhadap variabel yang berpengaruh

pada tipologi wilayah berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo ... 280 6 Karekteristik desa-desa di kecamatan berbasais peternakan di Kabupaten

Situbondo ... . 282 7 Tingkat perkembangan desa wilayah berbasis peternakan di Kabupaten

Situbondo berdasarkan hasil analisis sentralitas ... 284 8 Nilai skor pendapat pakar existing condition dimensi keberlanjutan wilayah

berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo ... 286 9 Nilai indeks lima dimensi keberlanjutan wilayah berbasis peternakan di

Kabupaten Situbondo ... 290 10 Sistem penggaduhan sapi potong di Kabupaten Situbondo... 296 11 Hasil analisis usahatani penggemukan sapi potong ... 297 12 Hasil analisis usahatani penggemukan sapi potong/ekor (kondisi eksisting)... 297 13 Hasil analisis usahatani pembibitan sapi potong/ekor (kondisi eksisting)... 298 14 Hasil analisis usahatani tanaman padi/hektar/musim (intensif)... 299 15 Hasil analisis usahatani jagung/hektar/musim (intensif)... 300 16 Hasil analisis usahatani tebu kepras/hektar/musim/tahun (intensif)... 301


(23)

xii (4 ekor/tahun) ... 302 19 Usahatani Rumput Raja per ha... 303 20 Asumsi model pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan di


(24)

1.1. Latar Belakang

Dalam rangka mempercepat pembangunan pertanian dan perdesaan, pemerintah pada tahun 2002 mencanangkan Program Pengembangan Kawasan Agropolitan. Program ini mencakup aspek fisik, sosial, dan ekonomi yang basis pengembangannya adalah daerah pusat pertumbuhan perdesaan, yaitu sentra pertanian (Deptan 2002). Melalui pembangunan tersebut diharapkan dapat menyeimbangkan pembangunan dan mengurangi disparitas desa-kota, serta perlu memperhatikan aspek lingkungan, karena pengembangan kawasan agropolitan akan mempengaruhi lingkungan yang memerlukan biaya cukup besar.

Pembangunan pertanian haruslah sinergi dengan pembangunan wilayah perdesaan, yaitu memiliki tujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, pengembangan kawasan potensial dengan basis perdesaan sebagai pusat pertumbuhan dengan mentransformasikan perdesaan menjadi kota-kota pertanian atau dikenal dengan pengembangan kawasan agropolitan merupakan salah satu pilihan strategis yang tepat. Agropolitan dapat diartikan sebagai kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya (Deptan 2002). Kota pertanian ini diharapkan dapat berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang mendorong pertumbuhan pembangunan perdesaan dan desa-desa hinterland atau wilayah sekitarnya melalui pengembangan ekonomi yang tidak terbatas sebagai pusat pelayanan sektor pertanian, tetapi juga pembangunan sektor secara luas seperti usaha pertanian (tanaman pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan), industri kecil, pariwisata, jasa pelayanan, dan pelayanan lainnya.


(25)

Menurut Rustiadi et al. (2006) bahwa pengembangan kawasan agropolitan, pada dasarnya memiliki keunggulan-keunggulan, yaitu: (1) mendorong ke arah terjadinya desentralisasi pembangunan maupun kewenangan, (2) menanggulangi hubungan saling memperlemah antara perdesaan dan perkotaan, dan (3) menekankan kepada pengembangan ekonomi yang berbasis sumberdaya lokal dan diusahakan dengan melibatkan sebesar mungkin masyarakat perdesaan itu sendiri. Menurut UU No. 26 Tahun 2007 bahwa kawasan agropolitan ini terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya kegiatan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agribisnis.

Kabupaten Situbondo merupakan daerah agraris. Hal ini disebabkan sebagian besar wilayah ini dimanfaatkan untuk lahan pertanian. Beberapa tahun belakangan ini lahan pertanian di Kabupaten Situbondo mempunyai permasalahan utama yang sangat serius, yaitu ketersediaan pasokan air dari Sungai Sampean yang selama ini menjadi andalan petani Kabupaten Situbondo untuk pengairan lahan pertanian, ketersediaannya semakin berkurang. Hal ini disebabkan hutan di hulu Sungai Sampean banyak yang rusak, apalagi kalau menghadapi musim kemarau yang sangat panjang. Petani yang sebelumnya bisa menanam padi sepanjang tahun (3 kali per tahun), saat ini paling banyak 1-2 kali dalam setahun dan sisanya ditanami palawija. Untuk meningkatkan pendapatan, selain menanam tanaman pangan (padi, kedele, jagung, kacang tanah, kacang hijau, ketela pohon, dan lain sebagainya), petani juga banyak yang beternak secara semi intensif maupun intensif. Jenis ternak yang dipelihara, antara lain: sapi potong, kambing, domba, kerbau, ayam bukan ras (buras), ayam ras, dan itik. Animo masyarakat Kabupaten Situbondo sangat tinggi terhadap sub sektor peternakan, khususnya peternakan sapi potong (misalnya: Sapi Simental, Hereford, Limousin, Brahman, Brangus, dan Peranakan Onggole) serta domba dan kambing. Peternakan sapi potong beberapa tahun terakhir ini mengalami kemajuan yang cukup signifikan dan menarik animo masyarakat. Hal ini disebabkan keuntungan dari beternak sapi potong cukup menjanjikan dan keuntungan dari usaha pertanian tanaman pangan semakin menurun dan prospeknya kurang


(26)

menggembirakan. Selain itu harga-harga sarana produksi pertanian (seperti: bibit, pupuk, obat-obatan, dan tenaga kerja) semakin meningkat serta ketersediaan lahan pertanian semakin berkurang, Populasi ternak 5 (lima) tahun terakhir mulai tahun 2003 sampai dengan 2007 pada umumnya menunjukkan peningkatan seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Populasi ternak (ekor) di Kabupaten Situbondo tahun 2003-2007 No Jenis Ternak 2003 2004 2005 2006 2007

1 Sapi Potong 134 799 135 068 136 253 137 058 137 361

2 Sapi Perah 67 72 72 73 60

3 Kerbau 732 735 733 735 721

4 Kambing 47 465 47 804 48 222 48 507 48 601

5 Domba 77 292 77 872 78 540 78.993 79 108

6 Ayam Buras 564 321 568 222 562 116 557 916 530 988 7 Ayam Ras 24 900 25 500 26 529 27 618 29 000

8 Itik 45 069 45 600 46 893 47 753 48 295

Sumber: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008

Di Kabupaten Situbondo Jawa Timur peternakan sapi potong mempunyai potensi yang sangat baik untuk dikembangkan dan telah ditetapkan sebagai komoditas unggulan daerah. Kebijakan ini sangat direspon oleh masyarakat berdasarkan 6 (enam) fakta di lapangan. Pertama, permintaan pasar terhadap komoditas peternakan cukup tinggi. Hal ini dicerminkan oleh banyaknya ternak yang dipotong dan ternak yang keluar setiap tahunnya di Kabupaten Situbondo. Untuk tahun 2007 jumlah ternak yang dipotong sebagai berikut: 8 464 ekor Sapi Potong; 727 ekor Kambing; 2 733 ekor Domba; 693 027 ekor Ayam Buras; dan 741 210 ekor Ayam Ras. Jumlah ternak yang keluar adalah sebagai berikut: 20 407 ekor Sapi Potong; 128 ekor Kerbau; 495 ekor Kuda; 20 933 ekor Kambing; 31 886 ekor Domba (Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008). Kedua, potensi lahan yang tersedia dan ketersediaan sumber pakan sangat mendukung untuk pengembangan usaha peternakan. Kondisi ini ditunjukkan oleh pemanfaatan tanah di Kabupaten Situbondo untuk kehutanan (44.80 %), sawah (18.56 %); pertanian tanah kering


(27)

(17.09 %); padang rumput (4.56 %) dari total luas wilayah 163 850 ha. Pada umumnya jenis tanahnya adalah: Aluvial, Gleysol, dan Regosol, dengan tingkat kemiringan lahan: 0-2 % (27.22 %) dan 2-15 % (21.24 %). Kedalaman efektif tanah: 91 cm lebih (36.07 %) dan 60 – 90 cm (30.63 %), sedangkan tekstur tanah termasuk sedang (debu, lempung berdebu, lempung, dan lempung berpasir sangat halus) adalah (96.26 %) dan drainase tanah termasuk tidak pernah tergenang sebanyak 99.42 % (Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008). Sumber pakan yang tersedia di daerah ini cukup memadai karena peternak selain memanfaatkan padang rumput, lahan-lahan kosong (tepi jalan, kebun, pekarangan, tegal, sempadan sungai, tanggul irigasi) untuk di tanami rumput unggul (Rumput Benggala, Gajah, dan Raja), peternak juga memanfaatkan sebagian lahan kehutanan dan limbah tanaman pangan (jerami padi, daun ketela pohon, daun jagung, daun kacang tanah, daun kedelai, dan pucuk tebu) yang cukup banyak di daerah ini, serta limbah agroindustri (dedak padi, ampas tahu, ampas kecap, dan ampas tebu) yang terdapat di sekitar lokasi peternak. Ketiga, kesesuaian kondisi agroklimat. Seperti halnya daerah lain di Indonesia, Kabupaten Situbondo memiliki iklim tropis yang ditandai dengan adanya dua musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau atau panas berlangsung antara bulan Mei – September, sedangkan musim penghujan berlangsung antara bulan Oktober – April dengan curah hujan rata-rata 994 mm hingga 1 053 mm/tahun dengan temperatur lebih kurang antara 24.7 0C – 27.9 0C. Kondisi ini cukup ideal untuk pengembangan usaha peternakan, terutama untuk ternak ruminansia. Keempat, budaya masyarakat dan tenaga kerja yang terdapat di daerah ini cukup mendukung pengembangan usaha peternakan. Jumlah penduduk di Kabupaten Situbondo sampai dengan tahun 2007 adalah sebesar 638 537 jiwa, yang terdiri atas 311 119 jiwa penduduk laki-laki dan 327 338 jiwa penduduk perempuan. Dengan luas wilayah 1 638.50 km2, maka kabupaten Situbondo memiliki kepadatan penduduk sebesar 390 jiwa/km2. Sebagian besar masyarakat Kabupaten Situbondo adalah Suku Madura dan Jawa yang banyak bekerja di bidang pertanian (tanaman pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan) karena daerah ini dikenal daerah agraris. Kondisi ini sangat mendukung perkembangan usaha peternakan, karena


(28)

masyarakat sudah tidak asing lagi dengan dunia peternakan, terutama peternakan sapi potong (Sapi Madura, Peranakan Onggole, Simental, Brahman, Brangus, Limousin, dan Hereford), domba, serta kambing. Kelima, dukungan pemerintah daerah terhadap sektor peternakan cukup baik. Hal ini ditandai dengan disediakannya fasilitas-fasilitas peternakan, seperti: rumah potong hewan (RPH) sebanyak 3 (tiga) unit, pasar hewan sebanyak 3 (tiga) unit, petugas inseminasi buatan (IB) tersebar pada setiap kecamatan sebanyak 17 (tujuh belas) unit dengan jumlah petugas IB sebanyak 1-2 orang, demikian juga Poskeswan terdapat pada setiap kecamatan, penyediaan bibit rumput unggul (rumput gajah, rumput raja, dan setaria) tersedia di Dinas Peternakan Tingkat II Kabupaten Situbondo. Keenam, pasar produk peternakan memberikan peluang pasar yang sangat baik. Selain produk peternakan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat Kabupaten Situbondo, juga untuk melayani permintaan dari kota-kota lain seperti Surabaya, Malang, dan Jakarta. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya ternak dan unggas yang dipotong serta ternak yang keluar setiap tahunnya. Kontribusi sektor peternakan dan hasil-hasilnya pada tahun 2007 dapat menyumbangkan produk domestik regional bruto (PDRB) sebanyak 9.87 % atau sebesar Rp 146 804 670 000,- (Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008).

Pengembangan sapi potong di Kabupaten Situbondo sangat mendapat dukungan dari masyarakat, Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Situbondo, Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Timur, maupun Pemerintah Pusat. Hal ini disebabkan pemerintah kembali mencanangkan program untuk mewujudkan swasembada daging sapi, yaitu Program Swasembada Daging Sapi 2014 (PSDS-2014), yang merupakan kelanjutan program sebelumnya, yaitu Swasembada Daging 2005 dan Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (P2SDS) 2010 yang kedua program ini telah ”gagal” dicapai. Saat ini PSDS 2014 merupakan salah satu program dari 21 program utama Departemen Pertanian terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis sumberdaya domestik. Program ini juga merupakan peluang untuk dijadikan pendorong dalam mengembalikan Indonesia sebagai eksportir sapi seperti masa lalu. Ada 11 (sebelas) langkah pendekatan yang akan dilakukan dalam mencapai sasaran PSDS tahun 2014 yaitu: (1) pengembangan


(29)

pembibitan, (2) penyediaan bibit melalui kredit usaha pembibitan sapi (KUPS), (3) optimalisasi insemininasi buatan dan intensifikasi kawin alam, (4) penyediaan dan pengembangan mutu pakan, (5) pengembangan usaha, (6) pengembangan integritas, (7) penanggulangan gangguan reproduksi dan peningkatan pelayanan kesehatan hewan, (8) peningkatan kualitas rumah potong hewan, (9) pencegahan pemotongan

betina produktif, (10) pengendalian sapi import bakalan dan daging serta (11) pengendalian distribusi dan pemasaran. Diharapkan melalui sejumlah program,

penyediaan daging sapi dari dalam negeri diproyeksikan meningkat dari 67 persen pada tahun 2010 menjadi 90 persen pada 2014 dan populasi sapi potong ditargetkan meningkat dari 12 juta ekor pada tahun 2009 menjadi 14.6 juta ekor pada tahun 2014 (Meilani 2009).

Sebagai suatu sistem, pengembangan peternakan sapi potong pada saat ini masih menghadapi berbagai kendala. Menurut Dinas Peternakan Kabupaten Situbondo (2006) bahwa permasalahan-permasalahan yang sering muncul di daerah ini adalah: (1) harga obat hewan yang semakin tinggi, (2) kesulitan untuk memperoleh bibit, (3) kesulitan untuk akses ke sumber modal, (4) rendahnya nilai tambah yang diperoleh peternak, (5) rendahnya angka kelahiran dan masih tingginya angka kematian ternak, (6) masih tingginya angka pemotongan ternak betina produktif, (7) manajemen pakan yang kurang baik, (8) masih rendahnya tingkat keberhasilan teknologi inseminasi buatan, dan (9) rendahnya upaya pemanfaatan limbah pertanian sebagai sumber pakan dan kotoran ternak sebagai pupuk organik secara intensif.

Program pengembangan kawasan agropolitan yang menekankan pada aspek agribisnis berbasis pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan belum banyak diselenggarakan pada berbagai daerah di Indonesia. Sumberdaya peternakan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbarui (renewable) dan berpotensi untuk dikembangkan guna meningkatkan dinamika ekonomi daerah. Hal ini, menurut Saragih (2000) didasarkan atas 4 (empat) pertimbangan. Pertama, kegiatan peternakan relatif bersifat tidak tergantung pada ketersediaan lahan dan tidak terlalu menuntut kualitas tenaga kerja yang tinggi.


(30)

Kedua, kegiatan budidaya peternakan memiliki kelenturan bisnis dan teknologi yang luas dan luwes. Ketiga, produk peternakan merupakan produk yang memiliki nilai elastisitas permintaan terhadap perubahan pendapatan yang tinggi. Keempat, sifat produk peternakan yang memiliki nilai elastisitas permintaan terhadap perubahan pendapatan yang tinggi dan kegiatan peternakan yang dilihat sebagai suatu sistem agribisnis, akan mampu menciptakan kesempatan kerja, kesempatan berusaha dan peningkatan pendapatan, mulai pada agribisnis hulu, budidaya, agribisnis hilir, dan kegiatan jasa terkait tranportasi, dan perbankan.

Untuk mendapatkan manfaat yang optimal, pengembangan pengelolaan peternakan perlu memenuhi kriteria pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang mempersekutukan antara kepentingan ekonomi, sosial budaya, dan kelestarian ekologi (Saragih dan Sipayung 2002). Diharapkan dengan menerapkan pengembangan kawasan agropolitan secara berkelanjutan berbasis peternakan, dapat meningkatkan pendapatan petani/peternak dan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD), menyerap tenaga kerja dan memeratakan pendapatan, mengaplikasikan teknologi untuk meningkatkan produktivitas, patuh hukum serta berfungsinya kelembagaan peternakan. Dengan demikian, diperlukan penelitian yang komprehensif untuk merumuskan kebijakan dan skenario pengembangan kawasan agropolitan secara berkelanjutan berbasis peternakan terpadu.

Sejalan dengan program pembangunan ekonomi nasional bidang pertanian, sektor peternakan memiliki peranan penting dalam upaya mendukung program peningkatan ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis. Sektor Peternakan berpotensi besar untuk dikembangkan tidak hanya sebagai penghasil daging, susu, dan telur yang merupakan komponen penting dalam rantai pangan modern serta sumber protein hewani yang bernilai tinggi, akan tetapi juga penting dilihat dari fungsi non pangan seperti penyerapan tenaga kerja, penyediaan tenaga kerja ternak, daur ulang nutrisi (nutrient recycling), kotoran ternak yang dapat mengkompensasi kurangnya akses terhadap input modern seperti pupuk dan gas, serta fungsi lainnya dalam membantu mempertahankan kelangsungan hidup dan kelestarian fungsi lingkungan (Dirjen Bina Produksi Peternakan 2002).


(31)

Hasil penelitian pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo ini diharapkan dapat mengubah paradigma pembangunan daerah yang selama ini mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan, menjadi pembangunan perdesaan yang berkelanjutan yang setara dengan kota dengan memandang desa sebagai basis potensial kegiatan ekonomi melalui investasi sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan pertanian/peternakan dengan memberdayakan masyarakat lokal.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menyusun suatu model pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo dalam rangka meningkatkan taraf kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Untuk mencapai tujuan utama tersebut, maka ada beberapa kegiatan yang perlu dilakukan sebagai tujuan antara, seperti:

1). Menganalisis potensi wilayah berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo. 2). Menganalisis tingkat perkembangan wilayah berbasis peternakan di

Kabupaten Situbondo.

3). Menganalisis status keberlanjutan wilayah berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo.

4). Menganalisis sistem kawasan peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo.

5). Merumuskan kebijakan dan skenario strategi pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo.

1.3. Kerangka Pemikiran

Kebijakan pembangunan nasional mengamanatkan bahwa pendayagunaan sumberdaya alam sebagai pokok-pokok kemakmuran rakyat dilakukan secara terencana, rasional optimal bertanggungjawab, dan sesuai dengan kemampuan daya dukungnya dengan mengutamakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta


(32)

memperhatikan fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup bagi pembangunan yang berkelanjutan. Namun proses pembangunan yang dilaksanakan selama ini, selain memberikan dampak positif seperti diamanatkan dalam kebijakan pembangunan nasional, di sisi lain telah menimbulkan masalah yang cukup besar dan kompleks.

Pendekatan pembangunan yang lebih menonjolkan pertumbuhan ekonomi secara cepat tidak bisa dipungkiri telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah yang cukup besar, dimana investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah-wilayah perdesaan (hinterland) mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan. Ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah/kawasan tentunya akan berdampak semakin buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya yang menciptakan inefisiensi dan tidak optimalnya sistem ekonomi, serta potensi konflik yang cukup besar, dimana wilayah yang dulunya kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Di sisi lain akumulasi pembangunan di wilayah perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan mendorong terjadinya migrasi penduduk ke perkotaan, sehingga kota-kota dan pusat-pusat pertumbuhan mengalami over urbanization, sementara di wilayah perdesaan mengalami krisis tenaga kerja akibat arus urban yang cukup besar.

Menyadari terjadinya ketidakseimbangan pembangunan, maka pemerintah telah menyelenggarakan berbagai program-program pengembangan wilayah/kawasan yang didasarkan atas keunggulan-keunggulan komparatif (comparative advantages) berupa upaya-upaya peningkatan produksi dan produktivitas kawasan yang didasarkan atas pertimbangan optimalisasi daya dukung (carryng capacity), kapabilitas (capability), dan kesesuaian (suitability) sumberdaya wilayah diantaranya pembangunan wilayah melalui pengembangan kawasan agropolitan (Rustiadi et al. 2003).

Konsep pengembangan agropolitan pertama kali diperkenalkan Friedmann dan Douglass (1976) sebagai siasat untuk pengembangan perdesaan. konsep ini pada dasarnya memberikan pelayanan perkotaan di kawasan perdesaan atau dengan istilah lain yang digunakan Friedmann adalah ”kota di ladang”. Dengan demikian petani atau masyarakat desa tidak perlu ke kota untuk mendapatkan pelayanan, baik dalam


(33)

pelayanan yang berhubungan dengan kebutuhan sosial budaya dan kehidupan setiap hari. Peran agropolitan adalah untuk melayani kawasan produksi pertanian di sekitarnya dimana berlangsung kegiatan agribisnis oleh para petani setempat. Departeman Pertanian dan Departemen Kimpraswil untuk tahun anggaran 2002 mengangkat agropolitan sebagai isu nasional yang tujuannya untuk mengembangkan sistem dan usaha agribisnis, mendorong dan meningkatkan percepatan pembangunan wilayah, serta meningkatkan keterkaitan desa dan kota di daerah calon kawasan agropolitan.

Dalam pengembangan kawasan agropolitan secara berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu, maka perlu dilakukan pengkajian mengenai potensi wilayah dan kendala yang dihadapi dalam mendukung rencana pengembangan kawasan agropolitan tersebut. Adapun kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.


(34)

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian model pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu

Pembangunan Wilayah

Perdesaan Perkotaan

Akumulasi Pembangunan

Pusat Pertumbuhan

Ekonomi Infrastuktur

Lengkap Pusat Industri,

Perdagangan, dan Jasa

Pembangunan Agropolitan Berkelanjutan Berbasis Peternakan

Sapi Potong Terpadu

Budidaya Agroindustri Pemasaran Infrastruktur Suprastruktur Pengembangan

Wilayah Produksi Kelestarian

Lingkungan

Kelembagaan / Kemitraan

Pemberdayaan Masyarakat

Unggulan Lokal

KAPET, KUAT, KPP, dll AGROPOLITAN (Peternakan Sapi Potong Terpadu) Ketimpangan Pembangunan

- Non Trickle Down Effect - Backwash

Effect

- Kemiskinan Tinggi - Urbanisasi ke

Kota

- SDM Rendah - Infrastuktrur


(35)

1.4. Perumusan Masalah

Kabupaten Situbondo merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang cukup dikenal dengan sebutan Daerah Wisata Pantai Pasir Putih yang letaknya berada di ujung Timur Pulau Jawa bagian Utara. Kabupaten Situbondo merupakan daerah agraris yang memiliki potensi pertanian cukup baik. Potensi sektor pertanian yang memiliki kontribusi terbesar diantaranya adalah produksi pertanian tanaman pangan, peternakan, perkebunan, perikanan, dan kehutanan. Namun seiring dengan perkembangan pembangunan, kenyataan menunjukkan telah terjadi ketimpangan pertumbuhan ekonomi di daerah ini yang disebabkan oleh 2 (dua) hal utama, yaitu:

1). Disparitas pembangunan antara wilayah perkotaan dengan perdesaan.

Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, diharapkan memberikan kegairahan bagi pelaksanaan pembangunan Kabupaten dan Kota termasuk di Kabupaten Situbondo, karena memperoleh kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri. Namun demikian, salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam pembangunan daerah, yaitu pemerataan pembangunan wilayah belum tampak secara optimal. Pembangunan wilayah perkotaan sebagai pusat pertumbuhan yang dicirikan oleh aktivitas ekonomi dominan berupa industri pengolahan, perdagangan dan jasa yang kuat, sumberdaya manusia berkualitas, serta tingkat pelayanan infrastruktur yang cukup dan lengkap memberikan kesan lebih dominan dibandingkan dengan pembangunan wilayah perdesaan. Sebaliknya wilayah perdesaan didominasi oleh kegiatan sektor pertanian dalam arti luas, kualitas sumberdaya manusia rendah, kemiskinan, dan infrastruktur yang terbatas. Disparitas pembangunan antara wilayah perkotaan dengan perdesaan dapat dilihat pada Tabel 2.


(36)

Tabel 2 Jumlah aktivitas ekonomi dan infrastruktur di Kabupaten Situbondo dan Kota Surabaya

No Uraian Kabupaten Situbondo Kota Surabaya

1 PDRB (Triliun) 5.104 684.23

2 SLA (Unit) 15 168

3 Perguruan Tinggi (Unit) 3 77

4 Rumah Sakit Umum (Unit) 2 39

5 Puskesmas (Unit) 17 53

Sumber: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008 serta BPS Kota Surabaya 2008

2). Perbedaan tingkat kesejahteraan antara masyarakat perkotaan dan perdesaan.

Berkembangnya kota sebagai pusat-pusat pertumbuhan, ternyata tidak memberikan efek penetesan ke bawah (trickle down effect), tetapi justru menimbulkan efek pengurasan sumberdaya dari wilayah sekitarnya (backwash effect). Hal ini akan menyebabkan wilayah perkotaan tumbuh dengan pesat, sementara wilayah perdesaan di sekitarnya mengalami pengurasan sumberdaya yang belebihan sehingga terjadi ketimpangan tingkat kesejahteraan dan pembangunan wilayah perkotaan dan perdesaan. Kondisi ini dapat dilihat dari jumlah persentase rumah tangga miskin yang terdapat di wilayah Kabupaten Situbondo sebanyak 15.60% sedangkan di Kota Surabaya sebanyak 7.98% (Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008 serta BPS Kota Surabaya ).

Berdasarkan ketimpangan-ketimpangan pertumbuhan ekonomi tersebut di atas serta mengacu pada kerangka pemikiran, maka salah satu pendekatan pengembangan kawasan perdesaan untuk mewujudkan kemandirian pembangunan perdesaan yang didasarkan atas potensi wilayah di Kabupaten Situbondo adalah dengan pengembangan kawasan agropolitan yang merupakan konsep pengembangan atau pembangunan perdesaan (rural development) dengan mengaitkan atau menghubungkan perdesaan dengan pembangunan wilayah perkotaan (urban development) pada tingkat lokal.


(37)

Konsep pengembangan kawasan agropolitan yang pertama kali diperkenalkan Friedmann dan Douglass pada tahun 1974, sebagai siasat untuk mengembangkan perdesaan. Konsep ini pada dasarnya memberikan pelayanan perkotaan di kawasan perdesaan. Di Indonesia agropolitan baru diperkenalkan pada tahun 2002 oleh Departemen Pertanian yang bertujuan untuk: (1) meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani di perdesaan, (2) mendorong berkembangnya sistem dan usaha

agribisnis yang berdaya saing, berbasiskan kerakyatan dan berkelanjutan, (3) meningkatkan keterkaitan desa dan kota, (4) mempercepat pertumbuhan kegiatan

ekonomi perdesaan yang berkeadilan, (5) mempercepat industrialisasi di wilayah

perdesaan, (6) mengurangi arus urbanisasi atau migrasi dari desa ke kota, (7) memberi peluang usaha serta menciptakan lapangan pekerjaan, dan (8) meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Dalam rangka menyeimbangkan

pembangunan, mengurangi disparitas desa-kota, dan menyiapkan lapangan kerja di desa agar tidak terjadi urbanisasi, pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo merupakan salah satu alternatif yang tepat. Perumusan masalah model pengembangan kawasan agropolitan secara berkelanjutan berbasis peternakan dapat dilihat pada Gambar 2.


(38)

Gambar 2 Skema perumusan masalah model pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo

Pembangunan Wilayah Kabupaten Situbondo

Wilayah Perkotaan : - Pusat Pertumbuhan Ekonomi - Infrastruktur Lengkap, SDM Tinggi - Pusat Industri, Perdagangan, dan Jasa

Ketimpangan Pembangunan

Wilayah Perdesaan - Backwash Effect

- Infrastruktur Tidak Lengkap - Kemiskinan Tinggi, SDM Rendah

Pengembangan Kawasan Agropolitan Berkelanjutan Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu Analisis Potensi Kawasan (Mengidentifikasi Potensi Wilayah untuk Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu

di Kabupaten Situbondo Analisis Keberlanjutan Kawasan (Menentukan Indeks Keberlanjutan Wilayah Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Situbondo)

Analisis Tingkat Perkembangan Kawasan (Mengetahui Sejauh mana Tingkat Perkembangan Wilayah untuk Mendukung Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu)

Model Pengembangan Kawasan Agropolitan Berkelanjutan Berbasis

Peternakan Sapi Potong Terpadu Kebijakan Pembangunan


(39)

Rumusan permasalahan pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu adalah:

1). Bagaimana kondisi dan potensi wilayah Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa Timur menunjang pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu?

2). Bagaimana tingkat perkembangan wilayah Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa Timur untuk menunjang pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu?

3). Bagaimana keberlanjutan potensi wilayah Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa Timur dapat mendukung pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu?

4). Bagaimana sistem pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo?

5). Bagaimana rumusan kebijakan dan skenario strategi pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo?

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:

1). Manfaat bagi pemerintah daerah, dapat dijadikan pedoman untuk menyusun perencanaan pembangunan wilayah khususnya pembangunan perdesaan melalui pengembangan kawasan agropolitan secara berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu.

2). Manfaat bagi masyarakat (stakeholder), memberikan kontribusi hasil pemikiran secara ilmiah bagi mayarakat dan pengusaha/investor yang akan menginvestasikan modalnya dalam pengelolaan peternakan sapi potong terpadu secara berkelanjutan di kawasan agropolitan.

3). Manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, sebagai bahan referensi dan pengkajian lebih lanjut perencanaan pembangunan pedesaan berbasis perkotaan yang berpihak pada optimalisasi di sektor pertanian/peternakan.


(40)

1.6. Kebaruan (Novelty) Penelitian

Dasar pertimbangan dalam menentukan kebaruan (novelty) dalam penelitian ini adalah didasarkan pada beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya baik yang menyangkut pengembangan kawasan agropolitan, analisis keberlanjutannya, dan lokasi penelitian dilaksanakan. Penelitian-penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian ini yang telah dilaksanakan terdahulu antara lain: 1. Hasan (2003), dengan judul penelitian ” Model Tata Ruang Kota Tani yang

Berorientasi Ekonomi dan Ekologis (Studi Kasus di Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan)”, menyimpulkan bahwa interaksi kawasan kota tani dengan beberapa kawasan sekitarnya (hinterland) adalah salah satu segmen aglomerasi wilayah dalam mengatasi permasalahan dan ketimpangan ekonomik sosial, dan lingkungan yaitu saling melengkapi dalam mengembangkan fungsi kota tani sebagai pusat pelayanan, produksi, dan pemasaran hasil pertanian kawasan. 2. Departemen Pekerjaan Umum (2005) telah menyusun Laporan Akhir

”Pengembangan Keterkaitan Infrastruktur Intra dan Inter Kawasan Agropolitan dan Perdesaan”. Dalam laporan akhir tersebut dirumuskan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan agropolitan dan perdesaan.

3. Pranoto (2005), dengan judul penelitian ”Pembangunan Perdesaan Berkelanjutan melalui Model Pengembangan Agropolitan” menyimpulkan bahwa pengembangan agropolitan sebagai pendekatan pembangunan perdesaan yang berkelanjutan dapat tercapai jika peningkatan produksi pertanian, peningkatan sarana dan prasarana pemukiman, transportasi, dan pemasaran disertai dengan peningkatan konservasi sumberdaya alam; pengembangan agribisnis dan pembangunan agroindustri dibarengi dengan perbaikan pemasaran secara berkelanjutan, perencanaan dan pelaksanaan program dibarengi dengan peningkatan peran dan kinerja kelembagaan yang ada.

4. Thamrin (2008), dengan judul penelitian ”Model Pengembangan Kawasan Agropolitan secara Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat (Studi Kasus Wilayah Perbatasan Kabupaten Bengkayang-Sarawak). Menyimpulkan bahwa sebanyak 92 % penduduk setuju jika wilayah ini


(41)

dijadikan wilayah pengembangan kawasan agropolitan karena mereka yakin dapat menciptakan lapangan kerja (84 %). Adapun alternatif pengembangan kawasan agropolitan yang dapat dilakukan adalah pengembangan kawasan agropolitan terpadu antara agropolitan tanaman pangan dengan peternakan.

Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut selanjutnya ditemukan kebaruan yang membedakan dengan penelitian terdahulu. Adapun kebaruan (novelty) dalam penelitian ini, yaitu kebaruan dari segi hasil penelitian adalah mempertimbangkan keberlanjutan pembangunan wilayah dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, infrastruktur/teknologi, hukum/kelembagaan, serta tersusunnya skenario strategi pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo.


(42)

2.1. Ketimpangan Pembangunan Kota dan Desa

Orang desa termasuk kelompok yang rendah pendapatannya. Bekerja di bidang pertanian ternyata kurang menarik, karena pendapatannya lebih rendah apabila dibandingkan bekerja di bidang non pertanian. Pada tahun 2003 pendapatan tenaga kerja pertanian sebesar Rp 1 694 619,- per tahun, sementara non pertanian sebesar Rp 7 340 531,- per tahun. Hal ini berarti bekerja pada bidang pertanian, pendapatannya hanya sekitar 25 % dari pendapatan apabila bekerja di bidang non pertanian. Bekerja di kota ternyata lebih baik dan menjanjikan dari pada bekerja dengan lumpur di perdesaan (Suwandi 2005).

Adanya ketimpangan pembangunan antara desa sebagai produsen pertanian dengan kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi telah mendorong aliran sumberdaya dari wilayah perdesaan ke kawasan perkotaan secara tidak seimbang. Akibatnya jumlah dan persentase penduduk miskin lebih banyak terdapat di perdesaan dari pada di perkotaan. Berbagai program untuk mengatasi beberapa permasalahan kesenjangan pembangunan wilayah, sebenarnya telah dilakukan sejak Repelita (1968 – 1973). Pada waktu itu pemerintah menetapkan tiga asas dalam menetapkan lokasi proyek pembangunan yaitu efisiensi, perimbangan antar daerah dan perimbangan di dalam daerah. Program tersebut antara lain:

1). Percepatan pembangunan wilayah-wilayah unggulan/potensial berkembang, tetapi relatif tertinggal dengan menetapkan kawasan-kawasan seperti: (a) kawasan andalan (Kadal) dan (b) kawasan pembangunan ekonomi terpadu (Kapet) yang merupakan salah satu Kadal terpilih di tiap provinsi.

2). Program percepatan pembangunan yang bernuansa mendorong pembangunan kawasan perdesaan dan sentra produksi pertanian seperti: (a) kawasan sentra produksi (KSP atau Kasep); (b) pengembangan kawasan tertinggal; dan (c) proyek pengembangan ekonomi lokal.

3). Program-program sektoral dengan pendekatan wilayah seperti: (a) program Bimas dengan pengembangan kelembagaan pelayanan perdesaan dan


(43)

pengembangan kapasitas petaninya (dilakukan lebih dari 35 tahun); (b) perwilayahan komoditas unggulan; (c) pengembangan sentra industri

kecil; (d) pengembangan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP); (e) program pengembangan kecamatan (PPK); dan (f) program kemiskinan.

2.2. Pembangunan Perdesaan

Menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang didefinisikan kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kata kawasan sendiri dapat diartikan sebagai wilayah dengan fungsi utama adalah lindung atau budidaya, sedangkan wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.

Menurut Suwandi (2005), desa selama ini diartikan sebagai struktur pemerintahan dan tidak pernah ditonjolkan desa sebagai aset nasional, aset perekonomian nasional. Desa tiada lain adalah kawasan fungsional dengan ciri kegiatan utama adalah sektor pertanian. Pembangunan perdesaan dan politik perberasan nasional, yang dilakukan sejak Repelita I, ternyata mematikan desa sebagai desa industri. Coba perhatikan hilangnya kelembagaan lokal dan pemrosesan beras oleh rakyat, tranportasi beras dari desa ke kota, semua itu proses industri menjadi pupus dengan dibangunnya secara sentralistik BULOG. Sikap mencari nilai tambah yang menjadi ciri industri hilang dari perdesaan. Desa sebagai aset perekonomian menjadi mandul, berubah menjadi aparat pelaksana proyek pemerintah. Di era 90-an yang menggaungkan agribisnis, yang mengharapkan bisa menggugah masyarakat desa/petani berbisnis besar yang beroreintasi pasar, tidak bisa juga merubah sikap petani yang sama sekali tidak mencirikan suatu ciri pelaku industri. Petani adalah produsen, produknya adalah produk kotor yang bisnisnya sekedar sampai ke pengepul. Tidak peduli produk itu mau diapakan, mudahnya mendapatkan uang merupakan target satu-satunya yang dikuasai. Itulah agribisnisnya.


(44)

Adanya krisis multi dimensi menyebabkan konsep pengembangan kawasan agropolitan dilirik kembali setelah perekonomian nasional terpuruk. Konsep pengembangan kawasan agropolitan untuk negara-negara berkembang di Asia, telah dianjurkan Friedmann dan Douglass pada tahun 1975. Menurut Suwandi (2005), sektor industri yang diyakini dapat mengejar ketinggalan bangsa dan negara, seperti yang dilakukan Indonesia, ternyata gagal menumbuhkan dasar perekonomian yang kuat. Di lain pihak recovery pembangunan pertanian yang terputus oleh adanya prioritas pembangunan industrialisasi, jauh lebih susah daripada membangun baru sistem pertanian pada konsep pengembangan wilayah transmigrasi atau pengembangan wilayah yang bersifat resourses base yang lain. Perombakan akumulasi kesalahan pada proses pembangunan pertanian yang lalu tidak dapat otomatis menyelasaikan masalah lemahnya nilai tukar produk pertanian ke produk industri manufaktur, sehingga dapat me-recover keunggulan kompetitif dan komparatif produk pertanian yang dihasilkan. Dewasa ini pengembangan kawasan agropolitan bukan saja harus disiapkan sebagai suatu revolusi mental petani dan pejabat saja, tetapi juga harus didukung oleh komitmen nasional yang konsisten untuk jangka panjang.

Pengembangan kawasan agropolitan di Indonesia, yang diuji coba mulai tahun 2002 merupakan salah satu upaya dalam merealisasikan pembangunan ekonomi berbasis pertanian pada kawasan pertanian terpilih dengan pendekatan pertanian industri. Kawasan pertanian yang terpilih ini dapat merupakan kawasan atau sentra produksi pertanian berbasis tanaman pangan atau berbasis hortikultura atau berbasis perkebunan atau berbasis perternakan atau komoditas campuran.

Pradhan (2003) menyatakan bahwa pembangunan perdesaan hanya dapat berkesinambungan apabila fasilitas prasarana dan sarana yang tersedia dapat menstimulasi serta mendorong aktivitas produksi dan pasar di wilayah perdesaan. Perdesaan sebagai pemasok hasil produksi pertanian dalam bentuk produk-produk primer harus didorong menjadi desa-desa yang mampu menghasilkan bahan olahan atau industri hasil pertanian sehingga menjadi kawasan pertumbuhan ekonomi lokal.


(45)

Menurut Pranoto (2002) untuk mencapai tujuan pembangunan perdesaan diperlukan integrasi kegiatan-kegiatan pokok yang meliputi:

1). Pembangunan sarana dan prasarana. 2). Pembangunan sistem agribisnis.

3). Pengembangan industri kecil dan rumah tangga.

4). Penguatan lembaga dan organisasi ekonomi masyarakat. 5). Pengembangan jaringan produksi dan pemasaran. 6). Penguasaan teknologi tepat guna.

7). Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan peningkatan kehidupan sosial ekonomi kelompok keluarga miskin secara terpadu.

8). Menyempurnakan struktur organisasi pemerintah desa dan lembaga-lembaga ekonomi lainnya. Menurut Kurnia (1999) upaya untuk melakukan modernisasi dan penguatan ekonomi perdesaan adalah melalui dukungan penyediaan infrastruktur perdesaan seperti jalan, listrik, air bersih, dan prasarana kegiatan ekonomi lainnya.

Miyoshi (1997) mengemukakan pernyataan Friedmann dan Douglass, bahwa strategi pembangunan perdesaan yang cocok supaya memperhatikan:

1). Sektor pertanian harus dipandang sebagai leading sektor,

2). Kesenjangan pendapatan dan kondisi kehidupan antara kota dan desa harus dikurangi,

3). Dikembangkan small scale production untuk pemasaran lokal harus dilindungi melawan kompetisi dari pengusaha besar.

Menurut Tong Wu (2002) strategi pembangunan dapat mencakup: 1). Redistribusi dengan pertumbuhan.

2). Substitusi export.

3). Penciptaan lapangan kerja dan pembangunan perdesaan.

Pembangunan berkelanjutan atau sustainable development merupakan gagasan atau konsep pembangunan yang sudah sejak lama dicanangkan baik oleh sekelompok masyarakat tertentu, negara, maupun oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).


(46)

Konsep tersebut dipicu oleh kekhawatiran manusia terhadap kelestarian tempat dimana mereka tinggal, disamping upaya mencari kemungkinan tempat tinggal lain di luar planet bumi. Namun demikian, yang lebih penting bagi manusia adalah bagaimana melestarikan tempat tinggal yang ada saat ini sehingga generasi penerus atau anak cucu kita dapat menikmatinya.

Menurut WCED (1987), definisi pembangunan berkelanjutan adalah sebagai berikut: ”Humanity has the ability to make development sustainable to ensure that it meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”. Pembangunan berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai “upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkup hidup termasuk sumberdaya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan”.

Dalam definisi tersebut, dapat dipahami bahwa konsep pembangunan berkelanjutan didirikan atau didukung oleh tiga pilar, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ketiga pendekatan tersebut bukanlah pendekatan yang berdiri sendiri, tetapi saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain (Munasinghe 1993). Tantangan pembangunan berkelanjutan adalah menemukan cara untuk meningkatkan kesejahteraan sambil menggunakan sumberdaya alam secara bijaksana. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan harus memberi perhatian untuk perlunya menata kembali landasan sistem pengelolaan asset-aset di wilayah baik di perkotaan maupun di perdesaan. Penataan kembali tersebut lebih berupa integrasi kepada pemanfaatan ganda, yaitu ekonomi dan lingkungan/ekosistem, dan keberhasilannya dapat dilihat dan dirumuskan dengan melihat indikator-indikator antara lain: kontribusi terhadap keberlanjutan lingkungan lokal, kontribusi terhadap keberlanjutan penggunaan sumberdaya alam, kontribusi terhadap peningkatan lapangan kerja, kontribusi terhadap keberlanjutan ekonomi makro, efektivitas biaya, dan kontribusi terhadap kemandiran teknis.


(47)

2.3. Konsep Kawasan Agropolitan

Menurut Departemen Pertanian (2002) agropolitan berasal dari kata agro berarti pertanian dan politan berarti kota, yaitu kota pertanian yang tumbuh dan berkembang yang mampu memacu berkembangnya sistem dan usaha agribisnis sehingga dapat melayani, mendorong, dan menarik kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Agropolitan dapat juga diartikan sebagai kota pertanian atau kota di daerah lahan pertanian. Agropolitan jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah Kota Tani.

Friedmann dan Douglass (1976) menyarankan kawasan agropolitan (kota pertanian dan desa-desa penyangganya/sentra produksi pertanian) sebagai aktivitas pembangunan berpenduduk antara 50 000 sampai 150 000 orang. Barangkali luasan dan besaran penduduk ini, secara administrasi setara dengan 1 (satu) Wilayah Pengembangan Partial (WPP) pemukiman transmigrasi, sedangkan di Pulau Jawa berkisar 1 (satu) sampai 5 (lima) kecamatan. Sebagai contoh di luar Pulau Jawa pada kawasan pertanian di Kabupaten Agam yang sekarang dirintis sebagai kawasan agropolitan dengan komoditas unggulan sapi penggemukan, terdiri atas 5 (lima) kecamatan yang jumlah penduduknya sekitar 56 000 jiwa. Di Pulau Jawa pada kawasan Kecamatan Pacet Cianjur penduduknya sebanyak 171 000 jiwa. Menurut Friedmann dan Doglass tersebut, kawasan agropolitan terdiri atas distrik-distrik agropolitan dan distrik agropolitan didefinisikan sebagai kawasan pertanian perdesaan yang memiliki kepadatan penduduk rata-rata 200 jiwa/km2. Dalam distrik agropolitan akan dijumpai kota-kota tani yang berpenduduk 10 000-25 000 jiwa.

Agropolitan merupakan salah satu bentuk rencana untuk penataan kota di perdesaan yang aktivitasnya di sektor pertanian. Agropolitan merupakan gagasan yang baru diperkenalkan di Indonesia oleh Departemen Pertanian pada tahun 2002, namun sampai saat ini perhatian pembangunan masih tetap berorientasi dan didominasi oleh kota-kota besar. Dalam rangka pembangunan perdesaan yang setara kota dimana sektor pertanian yang mendominasi aktifitas masyarakat di perdesaan, maka solusi penataan pembangunannya seyogyanya difokuskan pada sektor pertanian.


(48)

Agropolitan menjadi sangat relevan dengan wilayah perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam memang merupakan mata pencaharian utama dari sebagian besar masyarakat perdesaan. Otoritas perencanaan dan pengambilan keputusan sebaiknya didesentralisasikan sehingga masyarakat yang tinggal di perdesaan akan mempunyai tanggung jawab penuh terhadap perkembangan dan pembangunan daerahnya sendiri (Rustiadi et al. 2006).

Menurut Rustiadi et al. (2006) pengembangan kawasan agropolitan di Indonesia lebih cocok dilakukan pada skala kecamatan (district scale) karena pada skala kecamatan, akan memungkinkan hal-hal sebagai berikut:

1). Akses lebih mudah bagi rumah tangga atau masyarakat perdesaan untuk menjangkau kota.

2). Cukup luas untuk meningkatkan/mengembangkan wilayah pertumbuhan ekonomi (scope of economic growth) dan cukup luas dalam upaya pengembangan diversifikasi produk dalam rangka mengatasi keterbatasan-keterbatasan pemanfaatan desa sebagai unit ekonomi.

3). Pengetahuan lokal (local knowledge) akan mudah diinkorporasikan dalam proses perencanaan.

Namun demikian, sebagai unit wilayah fungsional, agropolitan selain dapat berada dalam satu wilayah kecamatan, pengembangan kawasan agropolitan dapat juga berada dalam beberapa kecamatan dalam satu wilayah kabupaten, atau beberapa kecamatan dalam lintas wilayah beberapa kabupaten, atau beberapa kabupaten dalam satu provinsi atau lintas provinsi tergantung kemampuan dan kesiapan wilayah pengembangan tersebut.

Menurut Rustiadi et al. (2006) pengembangan kawasan agropolitan adalah bertujuan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pembangunan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdayasaing. Sasaran pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk mengembangkan kawasan pertanian yang berpotensi menjadi kawasan agropolitan, melalui:


(49)

1). Pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis agar mampu meningkatkan produksi, produktivitas komoditi pertanian serta produk-produk olahan pertanian, yang dilakukan dengan pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang efisien.

2). Penguatan kelembagaan petani.

3). Pengembangan kelembagaan agribisnis (penyedia agroinput, pengelolaan hasil, pemasaran, dan penyedia jasa).

4). Pengembangan kelembagaan penyuluhan pembangunan terpadu. 5). Pengembangan iklim yang kondusif bagi usaha dan investasi.

2.4. Pengembangan Kawasan Agropolitan

Pengembangan kawasan agropolitan dirancang dan dilaksanakan dengan jalan mensinergikan berbagai potensi yang ada di masyarakat, pengusaha, dan pemerintah. Tanggung jawab keberhasilan dan pengembangan kawasan agropolitan terletak dari kemampuan pemerintah daerah dalam hal ini Pemerintah Kabupaten/Kota untuk dapat bertumbuh sebagai inisiator dan motivator dalam menggali dan mengembangkan semua potensi yang ada di mayarakat, sedangkan pemerintah provinsi dan pusat lebih berperan dalam membantu fasilitasi yang diperlukan untuk dapat berlangsung dengan kegiatan pengembangan agropolitan.

Menurut Suwandi (2005) keberhasilan pengembangan kawasan agropolitan sangat ditentukan oleh 3 (tiga) kegiatan yaitu:

1). Sosialisasi

Kegiatan ini sangat penting agar masyarakat mengerti dan memahami kawasan agropolitan. Pemahaman ini diperlukan agar masyarakat dapat berperan aktif secara optimal. Sosialisasi juga diperlukan untuk jajaran pemerintah kabupaten/kota baik pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif agar fasilitasi pengembangan kawasan dapat lebih tajam dengan skala prioritas yang didasarkan dengan kemampuan dan kebutuhan yang ada.


(1)

Lampiran 14 Hasil analisis usahatani tanaman padi/hektar/musim (intensif)

Uraian Satuan Jumlah Harga

Satuan

Total Harga Pengeluaran/musim/4bulan

Sewa lahan/1x tanam/ha hektar 1 2 500 000 2 500 000

Bibit padi kg 40 6 500 260 000

Bajak tanah paket 1 500 000 500 000

Tabunan dan gem-gem orang 8 25 000 200 000

Ongkos tanam orang 12 25 000 300 000

Pupuk I: 1 kwintal urea kwintal 1 120 000 120 000

Bersihkan rumput orang 56 25 000 1 400 000

Pupuk II: 2 kwintal urea kwintal 2 120 000 240 000 Pupuk NPK 0.5 kwintal kwintal 0.5 200 000 100 000

Bersihkan rumput orang 56 25 000 1 400 000

Pupuk III: 2 kwintal urea kwintal 2 120 000 240 000 Pupuk NPK 0.5 kwintal kwintal 0.5 200 000 100 000 Obat pestisida dan ongkos paket 1 300 000 300 000

Ongkos memupuk orang 6 15 000 90 000

Ongkos mengairi sawah/merawat paket 1 300 000 300 000

Ongkos panen paket 1 500 000 500 000

Ongkos giling beras kg 3 000 225 675 000

Iuran HIPPA musim 1 100 000 100 000

Total pengeluaran/musim/4 bulan 9 325 000

Pendapatan/musim/4 bulan

Produksi beras 3 000 5 000 15 000 000

Produksi jerami padi 4 UT/musim kg 12 000 100 1 200 000

Total pendapatan usahatani padi 16 200 000

Keuntungan/musim/4 bulan 6 875 000


(2)

Lampiran 15 Hasil analisis usahatani jagung/hektar/musim (intensif)

Uraian Satuan Jumlah Harga Satuan Total Harga

Pengeluaran/musim/4 bln

Sewa lahan/tanam/ha hektar 1 2 500 000 2 500 000

Bibit jagung kg 20 55 000 1 100 000

Ongkos tanam orang 12 25 000 300 000

Ongkos nyisip tanaman orang 4 25 000 100 000

Ongkos ngebruk/gemburkan orang 12 25 000 300 000

Pupuk cair mobil 2 400 000 800 000

Pupuk urea kwintal 4 120 000 480 000

Obat-obatan pestisida paket 1 100 000 100 000

Ongkos memupuk urea orang 4 25 000 100 000

Ongkos mengobat orang 5 20 000 100 000

Ongkos panen paket 1 500 000 500 000

Ongkos giling jagung kg 8 000 175 1 400 000

Iuran HIPPA musim 1 100 000 100 000

Total pengeluaran/musim/4 bln 7 880 000

Total pendapatan/musim/4 bln

Produksi jagung 8 000 2 000 16 000 000

Produksi daun jagung 3 UT/4 bl kg 10 000 100 1 000 000

Total pendapatan/musim/4 bln 17 000 000

Keuntungan/musim/4 bulan 9 120 000


(3)

Lampiran 16 Hasil analisis usahatani tebu kepras/hektar/musim/tahun (intensif)

Uraian Satuan Jumlah Harga

Satuan

Total Harga Menbakar lahan tebu: (1.175 lolos/ha) lolos 1 175 200 235 000

Keprasan lolos 1 175 500 587 500

Sulam tanaman yang mati lolos 1 175 200 235 000

Pupuk I lolos 1 175 100 117 500

Pupuk II lolos 1 175 100 117 500

Torapan: 4 kali x (250,-/kali) lolos 1 175 1 000 1 175 000

Bumbun lolos 1 175 300 352 500

Ngolpat dan membersihkan gulma ke-1 lolos 1 175 350 411 250 Longgarkan tanah dengan garpu lolos 1 175 500 587 500 Bersihkan gulma ke-II pakai herbisida lolos 1 175 300 352 500 Memperdalam selokan/jurungan keliling meter 325 400 130 000 Memperdalam selokan/jurungan mojur meter 125 400 50 00 Memperdalam selokan/jurungan malang meter 1 100 300 330 000 Ngolpat dan membersihkan gulma ke-II lolos 1 175 350 411 250

Ngolpat/rao ke-III lolos 1 175 350 411 250

Ongkos angkut pupuk ke sawah kali 2 50 000 100 000 Sewa pompa air selama kemarau kali 3 750 000 2 250 000

Pupuk ZA: 6 kwintal kwintal 6 105 000 630 000

Pupuk Phonska: 4 kwintal kwintal 4 175 000 700 000

Biaya tebang: 500,-/kwintal kwintal 950 500 475 000 Biaya giling (34% dari produksi gula)

Uang dapur: 1 juta paket 1 1 000 000 1 000 000

Sewa lahan: 7.5 juta/tahun paket 1 7 500 000 7 500 000 Bunga bank: 8%/tahun persen 0.08 18 158 750 1 452 700

Total pengeluaran 19 611 450

Produksi gula petani dalam 1 tahun Produksi gula:950 kwintal,

rendemen:6,5 %; untuk petani: 66% kwintal 950 0.0429

Pendapatan gula: harga gula: 6.650,-/kg kg 4 075.5 6 650 27 102 075 Harga tetes: 1.300,-/kg (2,5 kg/kw tebu) kg 2 375 1 300 3 087 500

Penerimaan uang dapur paket 1 1 000 000 1 000 000

Daun pucuk tebu 1 UT/tahun kg 10 000 100 1 000 000

Total penerimaan 32 189 575

Keuntungan dalam 1 tahun 12 578 125


(4)

Lampiran 17 Hasil analisis usahatani penggemukan sapi potong (2 ekor/tahun)

Uraian Satuan Jumlah Harga Satuan Total Harga Pengeluaran selama 6 bulan

Bibit sapi unggul ekor 1 5 000 000 5 000 000

Obat-obatan dan vitamin kali 3 25 000 75 000

Pakan hijauan hari 180 5 000 900 000

Dedak dan ampas hari 180 3 000 540 000

Tenaga kerja hari 180 2 000 360 000

Penyusutan kandang hari 180 1 000 180 000

Pengeluaran/periode/6 bulan ekor 1 7 055 000 Penerimaan/periode/6 bulan

Jual sapi potong ekor 1 9 500 000 9 500 000

Keuntungan/periode/6 bulan 1 2 445 000

Keuntungan dalam 1 tahun ekor 2 4 890 000

R/C ratio 1.69

Lampiran 18 Hasil analisis usahatani penggemukan sapi potong secara intensif (4 ekor/tahun)

Uraian Satuan Jumlah Harga Satuan

Total Harga Pengeluaran selama 3 bulan

Bibit sapi unggul ekor 1 5 000 000 5 000 000

Obat-obatan dan vitamin kali 3 25 000 75 000

Pakan hijauan hari 90 4 000 360 000

Dedak/ampas/tetes/boss dext/probion hari 90 6 000 540 000

Tenaga kerja hari 90 2 000 180 000

Penyusutan kandang hari 90 1 000 90 000

Pengeluaran/periode/3 bulan ekor 1 6 245 000 Penerimaan/periode/3 bulan

Jual sapi potong ekor 1 8 000 000 8 000 000

Keuntungan/periode/3 bulan ekor 1 1 755 000

Keuntungan dalam 1 tahun ekor 4 7 020 000


(5)

Lampiran 19 Usahatani Rumput Raja per ha

Pengeluaran Satuan Jumlah Harga Satuan Total Harga Sewa lahan selama 1 tahun hektar 1 7 500 000 7 500 000

Mengolah tanah hektar 1 500 000 500 000

Pupuk kandang 15.000/30 kg kg 5 000 500 2500 000

Sebar pupuk kandang orang 6 25 000 150 000

Pupuk SP36 kwintal 1.5 200 000 300 000

Pupuk KCl kwintal 1 200 000 200 000

Sebar pupuk (SP 36 dan KCl) orang 1 25 000 25 000 Bibit rumput (60 x 60) cm Stek 55 778 50 2 788 900

Ongkos tanam orang 10 25 000 250 000

Pupuk urea kwintal 1 120 000 120 000

Ongkos sebar pupuk orang 1 25 000 25 000

Bumbun orang 12 25 000 300 000

Pupuk urea kwintal 2 120 000 240 000

Ongkos sebar pupuk orang 2 25 000 50 000

Panen I orang 8 25 000 200 000

Pupuk kandang 15.000/30 kg kg 1 000 500 500 000

Ongkos sebar pupuk orang 2 25 000 50 000

Pupuk SP36 kwintal 1.5 200 000 300 000

Pupuk KCl kwintal 1 200 000 200 000

Pupuk urea kwintal 2 120 000 240 000

Ongkos sebar pupuk orang 3 25 000 75 000

Bumbun orang 12 25 000 300 000

Panen II orang 8 25 000 200 000

Pupuk kandang 15.000/30 kg kg 1 000 500 500 000

Ongkos sebar pupuk orang 2 25 000 50 000

Pupuk SP36 kwintal 1.5 200 000 300 000

Pupuk KCl kwintal 1 200 000 200 000

Pupuk urea kwintal 2 120 000 240 000

Ongkos sebar pupuk orang 3 25 000 75 000

Bumbun orang 12 25 000 300 000

Panen III orang 8 25 000 200 000

Pupuk kandang 15.000/30 kg kg 1 000 500 500 000

Ongkos sebar pupuk orang 2 25 000 50 000

Pupuk SP36 kwintal 1.5 200 000 300 000

Pupuk KCl kwintal 1 200 000 200 000

Pupuk urea kwintal 2 120 000 240 000

Ongkos sebar pupuk orang 3 25 000 75 000

Bumbun orang 12 25 000 300 000

Panen IV orang 8 25 000 200 000


(6)

Pupuk SP36 kwintal 1.5 200 000 300 000

Pupuk KCl kwintal 1 200 000 200 000

Pupuk urea kwintal 2 120 000 240 000

Ongkos sebar pupuk orang 3 25 000 75 000

Bumbun orang 12 25 000 300 000

Panen V orang 8 25 000 200 000

Pupuk kandang 15.000/30 kg kg 1 000 500 500 000

Ongkos sebar pupuk orang 2 25 000 50 000

Pupuk SP36 kwintal 1.5 200 000 300 000

Pupuk KCl kwintal 1 200 000 200 000

Pupuk urea kwintal 2 120 000 240 000

Ongkos sebar pupuk orang 3 25 000 75 000

Bumbun orang 12 25 000 300 000

Panen VI orang 8 25000 200 000

Pupuk kandang 15.000/30 kg kg 1 000 500 500 000

Ongkos sebar pupuk orang 2 25 000 50 000

Pupuk SP36 kwintal 1.5 200 000 300 000

Pupuk KCl kwintal 1 200 000 200 000

Pupuk urea kwintal 2 120 000 240 000

Ongkos sebar pupuk orang 3 25 000 75 000

Bumbun orang 12 25 000 300 000

Panen VII orang 8 25 000 200 000

Total Pengeluaran /1 tahun 26 338 900

Total Pemasukan kg 700 000 150 105 000 000

Penerimaan 78 661 100