Karakteristik Tanah Sawah Secara Umum

menghasilkan lebih banyak udara masuk ke dalam tanah dan akar akan berkembang lebih besar sehingga dapat menyerap nutrisi lebih banyak. 6. Pendagiran Pendagiran membersihkan gulma dan rumput dilakukan minimal sebanyak 2x. Pendagiran pertama dilakukan 10 – 12 hari setelah transplantasi dan diulangi pada 10 – 12 hari berikutnya. Tiga sampai empat kali pendagiran direkomendasikan untuk meningkatkan aerasi tanah. 7. Asupan organik Pada awalnya, SRI dikembangkan dengan menggunakan pupuk kimia untuk meningkatkan hasil panen pada tanah-tanah tandus di Madagaskar. Tetapi saat subsidi pupuk dicabut pada akhir tahun 1980-an, petani disarankan untuk menggunakan kompos dan ternyata hasilnya lebih bagus. Pemberian kompos dapat menambah nutrisi tanah secara perlahan-lahan, memperbaiki struktur tanah, dan meningkatkan diversitas mikroorganisme dalam tanah.

2.2 Karakteristik Tanah Sawah Secara Umum

Tanah sawah merupakan tanah yang digunakan atau berpotensi digunakan untuk penanaman padi. Berdasarkan definisi tersebut, setiap tanah pada zona iklim apa pun dengan suhu yang sesuai untuk menanam padi satu masa tanam dalam setahun dapat disebut tanah sawah jika tersedia air yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tanaman sepanjang pertumbuhannya Kyuma 2004a. Tanah sawah bukan merupakan salah satu jenis tanah, akan tetapi istilah ini lebih merupakan salah satu jenis penggunaan lahan Dudal 1958 dalam De Datta 1981. Tanah sawah dapat berasal dari lahan kering dan lahan rawa. Soepraptohardjo dan Suhardjo 1978 dalam De Datta 1981 menyatakan bahwa di Indonesia, tanah sawah yang berasal dari bahan aluvial dan Regosol memiliki keragaman dalam bahan induk dan berada pada daerah humid dan subarid. Selain itu, tanah sawah juga tersebar pada tanah-tanah Regosol, Grumusol, Podsolik, dan Latosol, serta sebagian lagi pada tanah Andosol dan Mediteranian. Menurut Kyuma 2004b, pada umumnya tanah sawah digenangi selama beberapa bulan dalam setahun, baik itu disebabkan oleh proses alami atau pun karena perbuatan manusia. Beberapa manfaat yang diperoleh melalui proses penggenangan pada tanah sawah di antaranya adalah: 1. Peningkatan ketersediaan nitrogen, basa-basa dan silika. 2. Peningkatan P tersedia dalam tanah. 3. Adanya perubahan sifat fisik tanah. 4. Detoksifikasi kelebihan unsur-unsur hara. 5. Detoksifikasi senyawa-senyawa kimia pertanian. 6. Tahan terhadap erosi tanah. 7. Relatif aman dari gulma. Tanah yang disawahkan memiliki sifat fisik, kimia, dan biologi yang berbeda dengan tanah yang tidak disawahkan. Menurut De Datta 1981, perbedaan yang nyata dalam hal ini adalah munculnya horison berwarna keabuan akibat proses reduksi di dalam tanah. Menurut Moorman dan van Breemen 1978, perubahan sifat yang terjadi pada tanah sawah dapat bersifat sementara atau permanen. Perubahan sifat tanah yang bersifat sementara dipengaruhi oleh pelumpuran dan reduksi oksidasi redoks. Keuntungan proses pelumpuran di antaranya yaitu penanggulangan gulma relatif mudah, meningkatkan daya menahan air dan meningkatkan kelarutan basa-basa. Tetapi, pelumpuran juga menimbulkan kerugian seperti menurunkan laju perkolasi, menurunkan nilai potensial redoks dan merusak struktur tanah. Penurunan nilai E h menyebabkan mobilitas besi dan mangan lebih tinggi. Perubahan yang bersifat permanen terdiri dari perubahan sifat tanah akibat penerasan, perubahan sifat fisik akibat pengolahan tanah, perubahan sifat kimia dan mineralogi tanah akibat pengaruh air, dan perubahan regim kelembaban tanah. De Datta 1981 mengemukakan bahwa beberapa sifat fisik, kimia fisik, dan biokimia mengalami perubahan seiring dengan proses penggenangan tanah. Beberapa perubahan sifat kimia dan elektrokimia yang penting akibat penggenangan tanah yaitu: 1. Keterbatasan oksigen dalam tanah. Ketika tanah digenangi, air akan menggantikan udara dalam pori tanah. Selain pada lapisan tipis di permukaan tanah, dan terkadang di lapisan bawah tapak bajak, kebanyakan lapisan tanah berada dalam kondisi bebas oksigen dalam beberapa jam setelah penggenangan. Pada kondisi seperti ini, mikroorganisme tanah menggunakan bagian oksidatif tanah dan beberapa metabolit organik untuk menggantikan peran oksigen sebagai aseptor elektron pada proses respirasi mikroorganisme tersebut sehingga membentuk kondisi reduktif dalam tanah. Kondisi anaerob ini mempengaruhi ketersediaan beberapa unsur hara dan zat-zat bersifat racun dalam tanah. 2. Penurunan potensial redoks tanah. Penggenangan tanah memberikan kondisi reduksi dan menurunkan nilai potensial redoks tanah hingga stabil dengan nilai E h +0,2 sampai +0,3 V tergantung pada tanah, tetapi nilai E h di permukaan air dan beberapa mm dari top soil tetap berkisar antara +0,3 sampai +0,5 V Ponnamperuma 1972 dalam De Datta 1981. 3. Perubahan nilai pH tanah Penggenangan tanah dalam beberapa minggu menyebabkan peningkatan pH pada tanah masam dan penurunan pH tanah berkapur dan tanah sodik. Perubahan pH ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya yaitu perubahan ferri menjadi ion Fe 2+ , akumulasi amonium, perubahan sulfat menjadi sulfida, dan perubahan karbon dioksida menjadi metana dalam kondisi reduksi. 4. Reduksi FeIII menjadi FeII Setelah proses penggenangan, FeIII oksida hidrat tereduksi menjadi senyawa FeII. Hal ini menyebabkan warna tanah mengalami perubahan dari cokelat menjadi abu-abu, dan sejumlah besar FeII terlarut ke dalam larutan tanah. Faktor lain yang mempengaruhi kadar FeII dalam tanah tergenang yaitu alam dan kadar FeIII oksida hidrat, pH tanah, dan suhu. 5. Reduksi MnIV menjadi MnII Pada tanah tergenang, reduksi mangan dengan bilangan oksidasi yang lebih tinggi terjadi secara simultan dengan proses denitrifikasi. Dalam hal ini, mangan berperan sebagai aseptor elektron dari proses respirasi mikroorganisme dan oksidan bagi produk reduksi. 6. Peningkatan ketersediaan nitrogen. Ketersediaan nitrogen dalam tanah tergenang lebih tinggi daripada tanah yang tidak digenangi. Ketersediaan nitrogen tersebut mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan kadar nitrogen dalam tanah, pH tanah, suhu dan lama waktu pengeringan tanah pada periode sebelumnya Ponnamperuma 1965 dalam De Datta 1981.

2.3 Potensial Redoks Tanah