Correlation between Redox Potential (Eh) with Fate of Mn and Fe in Paddy Soil and its Relation to Potential of Mn Toxicity in Rice.
HUBUNGAN ANTARA POTENSIAL REDOKS (Eh) DENGAN PERILAKU Mn DAN Fe PADA TANAH SAWAH DAN KAITANNYA DENGAN
POTENSI KERACUNAN Mn PADA TANAMAN PADI
OLEH
DINA ALVA PRASTIWI A24104098
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
(2)
SUMMARY
DINA ALVA PRASTIWI. Correlation between Redox Potential (Eh) with Fate of Mn and Fe in Paddy Soil and its Relation to Potential of Mn Toxicity in Rice. Supervised by Darmawan and Basuki Sumawinata.
Rice plantation using SRI technique gives higher yield production than conventional rice plantation system, but its application does not grow well in Indonesia. In some areas, SRI was reported to have almost similar yield with the conventional. It was particularly occurred in plantation in rainy season with high dosage of organic material. In that field, the plant shows reddish yellow colored leaves. This symptom is regarded as specific indicator of manganese toxicity in rice.
Organic material addition in high dosage decreases soil Eh and increases Fe and Mn solubility. However, Fe and Mn solubility does not always correlate with soil Eh and Fe2O3 and MnO2 content in soil. There were some areas which were estimated to have low content of MnO2 but the symptom is still observed. Therefore, the correlation of redox potential with Mn and Fe behavior in paddy soils which are enriched by organic material should be studied in order to determine measuring rod of potential Mn toxicity on rice.
Soil samples in this research were taken from Cihideung (Bogor), Bobojong (Cianjur), Margakaya (Karawang), and Kaserangan (Serang). Organic material was added in various comparison into each sample, then the mixtures were flooded for several days. Eh and pH measurements were done during the flooding period. Fe and Mn contents in dry soil were determined with extraction using citric acid 2%, DTPA 0.005M, HCl 0.1N, and DCB. After flooding, Fe and Mn contents in soil were determined with DTPA 0.005M and HCl 0.1N. Fe and Mn contents in soil solution were also determined by AAS.
The results showed that the decreasing of Eh was happened faster in soil having high value of pe+pH and low content of Fe2O3. Paddy soil of Cihideung (Bogor) which was added with organic material such as in SRI application has high potent to cause Mn toxicity in rice due to its high content of Mn and low Fe/Mn ratio. Fe and Mn in paddy soil from Margakaya (Karawang) and Kaserangan (Serang) were relatively low, so that those soils do not have potent to cause Mn toxicity on rice plant.
(3)
RINGKASAN
DINA ALVA PRASTIWI. Hubungan antara Potensial Redoks (Eh) dengan Perilaku Mn dan Fe pada Tanah Sawah dan Kaitannya dengan Potensi Keracunan Mn pada Tanaman Padi. Di bawah bimbingan Darmawan dan Basuki Sumawinata.
Penanaman padi metode SRI memberikan hasil yang jauh lebih tinggi daripada cara konvensional, namun perkembangan aplikasinya tidak menggembirakan. Di beberapa daerah produksi padi SRI relatif sama dengan konvensional. Hal ini terlihat pada padi yang ditanam di awal musim hujan dengan pemberian bahan organik yang tinggi dimana tanaman menunjukkan gejala daun tanaman berwarna kuning kemerahan. Gejala tersebut merupakan indikator khas keracunan mangan pada tanaman padi.
Penambahan bahan organik dalam dosis tinggi menurunkan nilai Eh tanah dan meningkatkan kelarutan Fe dan Mn. Namun, kelarutan Fe dan Mn tidak selalu berkorelasi langsung dengan nilai Eh dan kadar Fe2O3 dan MnO2 tanah. Ada tanah yang memiliki kadar Fe2O3 dan MnO2 yang diduga rendah tetapi muncul gejala keracunan Mn pada tanaman, sehingga perlu dipelajari hubungan antara potensial redoks dengan perilaku Mn dan Fe pada beberapa tanah sawah yang diperkaya bahan organik sebagai upaya mencari tolok ukur potensi keracunan Mn pada tanaman padi.
Bahan tanah untuk penelitian ini diambil dari daerah Cihideung (Bogor), Bobojong (Cianjur), Margakaya (Karawang), dan Kaserangan (Serang). Masing-masing tanah ditambahkan bahan organik dengan berbagai perbandingan dan digenangi selama beberapa hari. Selama penggenangan dilakukan pengukuran Eh dan pH. Kadar Fe dan Mn dalam tanah kering ditetapkan dengan pengekstrak asam sitrat 2%, DTPA 0,005 M, HCl 0,1 N, dan DCB. Setelah penggenangan, ditetapkan kadar Fe dan Mn dalam tanah dengan pengekstrak DTPA 0,005 M dan HCl 0,1 N. Selain Fe dan Mn dalam tanah ditetapkan juga Fe dan Mn dalam larutan tanah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan Eh lebih cepat terjadi pada tanah dengan pe+pH tinggi dan kadar Fe2O3 rendah. Tanah sawah di Cihideug (Bogor) yang ditambahkan bahan organik seperti pada aplikasi SRI berpotensi menyebabkan keracunan mangan pada tanaman padi karena memiliki kadar Mn tinggi dan rasio Fe/Mn rendah. Sementara kadar Fe dan Mn pada tanah Margakaya (Karawang) dan Kaserangan (Serang) relatif rendah sehingga kedua tanah tersebut tidak berpotensi menyebabkan keracunan Mn pada tanaman padi. Kata kunci : keracunan Mn, SRI, tanah sawah
(4)
HUBUNGAN ANTARA POTENSIAL REDOKS (Eh) DENGAN PERILAKU Mn DAN Fe PADA TANAH SAWAH DAN KAITANNYA DENGAN
POTENSI KERACUNAN Mn PADA TANAMAN PADI
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
OLEH
DINA ALVA PRASTIWI
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
(5)
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Hubungan antara Potensial Redoks (Eh) dengan
Perilaku Mn Dan Fe pada Tanah Sawah dan Kaitannya dengan Potensi Keracunan Mn pada Tanaman Padi
Nama Mahasiswa : Dina Alva Prastiwi Nomor Pokok : A24104098
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,
Dr. Ir. Darmawan M.Sc Dr. Ir. Basuki Sumawinata M.Agr
NIP. 131 879 335 NIP. 130 937 095
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian IPB
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
(6)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Majalengka pada tanggal 25 Februari 1986, dari
Ayahanda Adi Santoso dan Ibunda Nina Wiyantina, sebagai anak pertama dari
tiga bersaudara. Dua adik penulis ialah Ramadhani Dwi Santoso dan Dini Ratu
Fitria.
Pada tahun 1991 penulis memulai pendidikan di SDN Panaragan 2 Bogor
dan lulus pada tahun 1997. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan
ke SLTP Negeri 6 Bogor dan lulus pada tahun 2000. Kemudian penulis
melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Analis Kimia Bogor (SMAKBo)
dan lulus pada tahun 2004.
Pada bulan Agustus 2004, penulis diterima sebagai mahasiswa
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Insitut
Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).
Selama kuliah di IPB, penulis mendapat kesempatan menjadi asisten praktikum
mata kuliah Survei Tanah dan Evaluasi Lahan tahun ajaran 2007-2008. Penulis
juga bergabung dalam beberapa kepanitiaan yang diselenggarakan oleh Himpunan
(7)
KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam semoga dicurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya dan pengikut-pengikutnya
sampai akhir zaman. Skripsi ini mengambil judul “Hubungan antara Potensial
Redoks (Eh) dengan Perilaku Mn dan Fe pada Tanah Sawah dan Kaitannya dengan Potensi Keracunan Mn pada Tanaman Padi”.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak
Dr. Ir. Darmawan M.Sc selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing
skripsi serta Bapak Dr. Ir. Basuki Sumawinata M.Agr selaku pembimbing skripsi
atas segala bimbingan, saran, motivasi, dan bantuannya selama penelitian dan
penyusunan skripsi ini.
Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Rahayu Widyastuti, MSc. selaku dosen penguji atas saran dan
masukannya.
2. Keluarga yang selalu mendukung penulis, terutama mama dan papa atas
segala doa, kasih sayang, pengorbanan, bimbingan, kepercayaan, kesabaran,
serta perjuangan yang tulus dan tiada hentinya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan pendidikan hingga ke jenjang S1.
3. Seluruh staf dan dosen pengajar Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya
(8)
4. Ibu Oktori K. Zaini dan Ibu Yani Maryani atas bantuannya selama penulis
melaksanakan penelitian.
5. Teman-teman seperjuangan di Laboratorium Pengembangan Sumberdaya
Fisik Lahan atas segala dukungan, bantuan, dan canda tawa selama ini.
6. Soilers lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Akhir kata penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Bogor, Januari 2009
(9)
DAFTAR ISI
Teks Hlm
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... v
DAFTAR GAMBAR ... vi
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3
2.1 Penanaman Padi dengan Metode SRI ... 3
2.2 Karakteristik Tanah Sawah Secara Umum ... 6
2.3 Potensial Redoks Tanah ... 10
2.4 Besi di Dalam Tanah ... 12
2.5 Mangan di Dalam Tanah ... 13
III. METODOLOGI ... 16
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 16
3.2 Bahan dan Alat yang Digunakan ... 16
3.3 Pelaksanaan Penelitian ... 17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19
4.1 Kadar Fe dan Mn dalam Tanah Kering ... 19
4.2 Nilai Eh dan pe+pH Tanah pada Berbagai Kondisi Reduksi ... 22
(10)
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 32
5.1 Kesimpulan ... 32
5.2 Saran... 32
DAFTAR PUSTAKA ... 33
(11)
HUBUNGAN ANTARA POTENSIAL REDOKS (Eh) DENGAN PERILAKU Mn DAN Fe PADA TANAH SAWAH DAN KAITANNYA DENGAN
POTENSI KERACUNAN Mn PADA TANAMAN PADI
OLEH
DINA ALVA PRASTIWI A24104098
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
(12)
SUMMARY
DINA ALVA PRASTIWI. Correlation between Redox Potential (Eh) with Fate of Mn and Fe in Paddy Soil and its Relation to Potential of Mn Toxicity in Rice. Supervised by Darmawan and Basuki Sumawinata.
Rice plantation using SRI technique gives higher yield production than conventional rice plantation system, but its application does not grow well in Indonesia. In some areas, SRI was reported to have almost similar yield with the conventional. It was particularly occurred in plantation in rainy season with high dosage of organic material. In that field, the plant shows reddish yellow colored leaves. This symptom is regarded as specific indicator of manganese toxicity in rice.
Organic material addition in high dosage decreases soil Eh and increases Fe and Mn solubility. However, Fe and Mn solubility does not always correlate with soil Eh and Fe2O3 and MnO2 content in soil. There were some areas which were estimated to have low content of MnO2 but the symptom is still observed. Therefore, the correlation of redox potential with Mn and Fe behavior in paddy soils which are enriched by organic material should be studied in order to determine measuring rod of potential Mn toxicity on rice.
Soil samples in this research were taken from Cihideung (Bogor), Bobojong (Cianjur), Margakaya (Karawang), and Kaserangan (Serang). Organic material was added in various comparison into each sample, then the mixtures were flooded for several days. Eh and pH measurements were done during the flooding period. Fe and Mn contents in dry soil were determined with extraction using citric acid 2%, DTPA 0.005M, HCl 0.1N, and DCB. After flooding, Fe and Mn contents in soil were determined with DTPA 0.005M and HCl 0.1N. Fe and Mn contents in soil solution were also determined by AAS.
The results showed that the decreasing of Eh was happened faster in soil having high value of pe+pH and low content of Fe2O3. Paddy soil of Cihideung (Bogor) which was added with organic material such as in SRI application has high potent to cause Mn toxicity in rice due to its high content of Mn and low Fe/Mn ratio. Fe and Mn in paddy soil from Margakaya (Karawang) and Kaserangan (Serang) were relatively low, so that those soils do not have potent to cause Mn toxicity on rice plant.
(13)
RINGKASAN
DINA ALVA PRASTIWI. Hubungan antara Potensial Redoks (Eh) dengan Perilaku Mn dan Fe pada Tanah Sawah dan Kaitannya dengan Potensi Keracunan Mn pada Tanaman Padi. Di bawah bimbingan Darmawan dan Basuki Sumawinata.
Penanaman padi metode SRI memberikan hasil yang jauh lebih tinggi daripada cara konvensional, namun perkembangan aplikasinya tidak menggembirakan. Di beberapa daerah produksi padi SRI relatif sama dengan konvensional. Hal ini terlihat pada padi yang ditanam di awal musim hujan dengan pemberian bahan organik yang tinggi dimana tanaman menunjukkan gejala daun tanaman berwarna kuning kemerahan. Gejala tersebut merupakan indikator khas keracunan mangan pada tanaman padi.
Penambahan bahan organik dalam dosis tinggi menurunkan nilai Eh tanah dan meningkatkan kelarutan Fe dan Mn. Namun, kelarutan Fe dan Mn tidak selalu berkorelasi langsung dengan nilai Eh dan kadar Fe2O3 dan MnO2 tanah. Ada tanah yang memiliki kadar Fe2O3 dan MnO2 yang diduga rendah tetapi muncul gejala keracunan Mn pada tanaman, sehingga perlu dipelajari hubungan antara potensial redoks dengan perilaku Mn dan Fe pada beberapa tanah sawah yang diperkaya bahan organik sebagai upaya mencari tolok ukur potensi keracunan Mn pada tanaman padi.
Bahan tanah untuk penelitian ini diambil dari daerah Cihideung (Bogor), Bobojong (Cianjur), Margakaya (Karawang), dan Kaserangan (Serang). Masing-masing tanah ditambahkan bahan organik dengan berbagai perbandingan dan digenangi selama beberapa hari. Selama penggenangan dilakukan pengukuran Eh dan pH. Kadar Fe dan Mn dalam tanah kering ditetapkan dengan pengekstrak asam sitrat 2%, DTPA 0,005 M, HCl 0,1 N, dan DCB. Setelah penggenangan, ditetapkan kadar Fe dan Mn dalam tanah dengan pengekstrak DTPA 0,005 M dan HCl 0,1 N. Selain Fe dan Mn dalam tanah ditetapkan juga Fe dan Mn dalam larutan tanah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan Eh lebih cepat terjadi pada tanah dengan pe+pH tinggi dan kadar Fe2O3 rendah. Tanah sawah di Cihideug (Bogor) yang ditambahkan bahan organik seperti pada aplikasi SRI berpotensi menyebabkan keracunan mangan pada tanaman padi karena memiliki kadar Mn tinggi dan rasio Fe/Mn rendah. Sementara kadar Fe dan Mn pada tanah Margakaya (Karawang) dan Kaserangan (Serang) relatif rendah sehingga kedua tanah tersebut tidak berpotensi menyebabkan keracunan Mn pada tanaman padi. Kata kunci : keracunan Mn, SRI, tanah sawah
(14)
HUBUNGAN ANTARA POTENSIAL REDOKS (Eh) DENGAN PERILAKU Mn DAN Fe PADA TANAH SAWAH DAN KAITANNYA DENGAN
POTENSI KERACUNAN Mn PADA TANAMAN PADI
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
OLEH
DINA ALVA PRASTIWI
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
(15)
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Hubungan antara Potensial Redoks (Eh) dengan
Perilaku Mn Dan Fe pada Tanah Sawah dan Kaitannya dengan Potensi Keracunan Mn pada Tanaman Padi
Nama Mahasiswa : Dina Alva Prastiwi Nomor Pokok : A24104098
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,
Dr. Ir. Darmawan M.Sc Dr. Ir. Basuki Sumawinata M.Agr
NIP. 131 879 335 NIP. 130 937 095
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian IPB
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
(16)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Majalengka pada tanggal 25 Februari 1986, dari
Ayahanda Adi Santoso dan Ibunda Nina Wiyantina, sebagai anak pertama dari
tiga bersaudara. Dua adik penulis ialah Ramadhani Dwi Santoso dan Dini Ratu
Fitria.
Pada tahun 1991 penulis memulai pendidikan di SDN Panaragan 2 Bogor
dan lulus pada tahun 1997. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan
ke SLTP Negeri 6 Bogor dan lulus pada tahun 2000. Kemudian penulis
melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Analis Kimia Bogor (SMAKBo)
dan lulus pada tahun 2004.
Pada bulan Agustus 2004, penulis diterima sebagai mahasiswa
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Insitut
Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).
Selama kuliah di IPB, penulis mendapat kesempatan menjadi asisten praktikum
mata kuliah Survei Tanah dan Evaluasi Lahan tahun ajaran 2007-2008. Penulis
juga bergabung dalam beberapa kepanitiaan yang diselenggarakan oleh Himpunan
(17)
KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam semoga dicurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya dan pengikut-pengikutnya
sampai akhir zaman. Skripsi ini mengambil judul “Hubungan antara Potensial
Redoks (Eh) dengan Perilaku Mn dan Fe pada Tanah Sawah dan Kaitannya dengan Potensi Keracunan Mn pada Tanaman Padi”.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak
Dr. Ir. Darmawan M.Sc selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing
skripsi serta Bapak Dr. Ir. Basuki Sumawinata M.Agr selaku pembimbing skripsi
atas segala bimbingan, saran, motivasi, dan bantuannya selama penelitian dan
penyusunan skripsi ini.
Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Rahayu Widyastuti, MSc. selaku dosen penguji atas saran dan
masukannya.
2. Keluarga yang selalu mendukung penulis, terutama mama dan papa atas
segala doa, kasih sayang, pengorbanan, bimbingan, kepercayaan, kesabaran,
serta perjuangan yang tulus dan tiada hentinya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan pendidikan hingga ke jenjang S1.
3. Seluruh staf dan dosen pengajar Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya
(18)
4. Ibu Oktori K. Zaini dan Ibu Yani Maryani atas bantuannya selama penulis
melaksanakan penelitian.
5. Teman-teman seperjuangan di Laboratorium Pengembangan Sumberdaya
Fisik Lahan atas segala dukungan, bantuan, dan canda tawa selama ini.
6. Soilers lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Akhir kata penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Bogor, Januari 2009
(19)
DAFTAR ISI
Teks Hlm
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... v
DAFTAR GAMBAR ... vi
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3
2.1 Penanaman Padi dengan Metode SRI ... 3
2.2 Karakteristik Tanah Sawah Secara Umum ... 6
2.3 Potensial Redoks Tanah ... 10
2.4 Besi di Dalam Tanah ... 12
2.5 Mangan di Dalam Tanah ... 13
III. METODOLOGI ... 16
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 16
3.2 Bahan dan Alat yang Digunakan ... 16
3.3 Pelaksanaan Penelitian ... 17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19
4.1 Kadar Fe dan Mn dalam Tanah Kering ... 19
4.2 Nilai Eh dan pe+pH Tanah pada Berbagai Kondisi Reduksi ... 22
(20)
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 32
5.1 Kesimpulan ... 32
5.2 Saran... 32
DAFTAR PUSTAKA ... 33
(21)
DAFTAR TABEL
No. Teks Hlm
1. Kadar Fe dalam Masing-masing Contoh Tanah ... 19
2. Kadar Mn dalam Masing-masing Contoh Tanah ... 20
3. Kadar Fe dan Mn Oksida (Ekstraksi dengan Metode DCB) ... 21
4. Nilai Eh Tanah Selama Beberapa Hari Setelah Penggenangan ... 23
(22)
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Hlm
1. Diagram Alir Perlakuan Tanah untuk Memperoleh Berbagai Nilai Eh .. 17 2. Hasil Penghitungan Nilai pe+pH pada Masing-masing Tanah ... 24
3. Kadar Fe dalam Larutan Tanah ... 25
4. Kadar Mn dalam Larutan Tanah ... 26
5. Kadar Fe dalam Tanah pada Berbagai Nilai Eh (Ekstraksi dengan HCl 0.1N) ... 29
6. Kadar Mn dalam Tanah pada Berbagai Nilai Eh (Ekstraksi dengan HCl 0.1N) ... 30
(23)
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Penanaman padi dengan metode SRI (System of Rice Intensification)
berkembang di Indonesia sejak awal tahun 2000-an. Metode SRI sangat berbeda
dengan penanaman padi secara konvensional (sawah), tetapi memberikan hasil
yang jauh lebih banyak. Pada SRI, penambahan bahan organik lebih banyak
daripada penanaman konvensional, pemberian air minimum, dan bibit ditanam
secara tunggal ketika bibit berumur 7 – 15 hari.
Dalam perkembangannya, aplikasi SRI di berbagai daerah dilaporkan
memberikan hasil yang jauh lebih tinggi dari penanaman konvensional dengan
produksi rata-rata mencapai 8 – 15 ton/ha. Akan tetapi, berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Darmawan dan Sastiono (2007), aplikasi SRI di Sindang
Barang dan Cihideung, Bogor, memberikan hasil yang berbeda-beda. Ketika padi
ditanam di akhir musim hujan menuju musim kemarau, tanaman tumbuh dengan
baik dan memberikan hasil yang memuaskan. Tetapi, ketika padi ditanam di awal
musim hujan, produksi yang dihasilkan relatif sama dengan sistem konvensional;
dan pada masa tanamnya, tanaman menunjukkan gejala berupa daun tanaman
berwarna kuning kemerahan.
Beberapa ahli penyakit tanaman menyatakan bahwa tanaman tersebut
terserang penyakit tungro, tetapi pendapat tersebut tidak terbukti karena gejala ini
hanya muncul pada tanaman yang ditanam pada lahan dengan dosis bahan organik
tinggi dan tidak menulari tanaman lain yang ditanam pada lahan dengan dosis
(24)
Secara ilmu tanah, gejala tersebut sangat mirip dengan gejala keracunan
mangan pada tanaman padi. Setelah dilakukan analisis kimia, kadar mangan yang
terdapat di dalam tanah tidak melebihi batas kritis kadar mangan yang dapat
meracuni tanaman. Akan tetapi, berdasarkan gejala yang muncul, tetap diyakini
bahwa tanaman mengalami keracunan mangan. Mangan di dalam tanah memiliki
karakteristik yang unik, kelarutannya sangat dipengaruhi oleh nilai potensial
redoks (Eh), bentuk mangan dalam tanah dan penambahan bahan organik.
1.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari hubungan antara potensial
redoks dengan perilaku Mn dan Fe sebagai upaya mencari tolok ukur potensi
keracunan Mn pada tanaman padi pada tanah-tanah sawah yang diperkaya bahan
(25)
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penanaman Padi dengan Metode SRI
Metode SRI (System of Rice Intensification) dikembangkan oleh Henri de
Laulanie ketika masa kekeringan terjadi di Madagaskar pada awal tahun 1980. Di
Madagaskar, pada beberapa tanah kurang subur yang produksi normalnya 2
ton/ha, dengan metode SRI bisa mencapai 8 ton/ha, beberapa petani memperoleh
10 – 15 ton/ha, bahkan ada yang mencapai 20 ton/ha (Berkelaar 2001).
Pada tahun 1990 dibentuk Association Tefy Saina (ATS), sebuah LSM di
Malagasy untuk memperkenalkan SRI. Empat tahun kemudian, Cornell
International Institution for Food, Agriculture and Development (CIIFAD), mulai
bekerja sama dengan Tefy Saina untuk memperkenalkan SRI di sekitar
Ranomafana National Park di Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for
International Development. SRI telah diuji di Cina, India, Indonesia, Filipina, Sri
Langka dan Bangladesh dengan hasil yang positif (Mutakin 2008).
Penyebaran SRI dibawa oleh Norman Uphoff, ketua CIIFAD, ke luar
Madagaskar pada tahun 1997. Uphoff meyakini SRI sebagai salah satu pilihan
dalam metodologi intensifikasi pertanian yang murah, mudah, dan ramah
lingkungan. Setelah turut mengamati perkembangan petani Madagaskar
menerapkan SRI, Uphoff memutuskan untuk mempopulerkannya di belahan bumi
lain. Hingga saat ini, SRI telah diterapkan di India, Sri Lanka, Polandia, Vietnam,
Jepang, dan Kuba. Di Indonesia, SRI berkembang sejak awal tahun 2000, antara
laindi daerah Cianjur yang diprakarsai oleh Medco Foundation dan Yayasan Alik.
Metode SRI, seperti dijelaskan Uphoff, adalah pilihan yang bisa
(26)
sendiri. SRI mampu menghasilkan produksi padi hingga dua kali lipat dari hasil
produksi padi non SRI. Pengelolaan lahan sawah pun menjadi lebih bijak. Air dan
tanah dapat dikelola dengan lebih bijaksana dan ramah lingkungan (Anonim
2008).
Menurut Rabenandrasana (1999) dalam Uphoff dan Randriamiharisoa
(2002), pada SRI terdapat beberapa cara yang berbeda dengan penanaman yang
biasa dilakukan oleh para petani, di antaranya yaitu:
1. Bibit dipindah lapang (trasplantasi) lebih awal.
Transplantasi bibit muda, biasanya ketika berumur 8 – 12 hari, dan kurang
dari 15 hari. Sebenarnya, masa transplantasi ini lebih ditentukan oleh proses
biologi yang diukur dengan munculnya pilokron dan bukan oleh hitungan
kalender. Petani melakukan transplantasi ketika terdapat dua daun kecil pada
bibit. Tranplantasi awal mempertahankan kemampuan pertumbuhan akar
yang dapat hilang jika transplantasi dilakukan ketika pilokron keempat telah
muncul.
2. Bibit ditanam satu tiap lubang.
Penanaman bibit tunggal pada setiap lubang tanam. Pada kondisi tanah
tertentu, terkadang dilakukan juga penanaman dua bibit pada satu lubang. Hal
ini bertujuan agar tanaman memiliki ruang untuk menyebar dan
memperdalam perakaran sehingga tanaman tidak bersaing terlalu ketat untuk
memperoleh ruang tumbuh, cahaya atau nutrisi dalam tanah.
3. Jarak tanam yang lebar.
Penanaman bibit dilakukan dengan bentuk persegi dalam jarak yang cukup
(27)
tanah yang kaya akan sumber biologi, jarak tanam yang lebih lebar (30 x 30
cm atau 40 x 40 cm, sampai 50 x 50 cm) dengan jumlah tanaman lebih sedikit
per m2 memberikan hasil yang lebih tinggi. Menurut Berkelaar (2001), sebaiknya petani mencoba berbagai jarak tanam, karena jarak tanam yang
optimum tergantung pada struktur, nutrisi, suhu, kelembaban, dan kondisi
tanah yang lain.
4. Penanaman dilakukan dengan posisi akar horizontal secara cepat, dangkal dan
hati-hati.
Saat menanam, bibit dibenamkan dalam posisi horizontal agar ujung-ujung
akar tidak menghadap ke atas (ini terjadi jika bibit ditanam vertikal ke dalam
tanah). Ujung akar membutuhkan keleluasaan untuk tumbuh ke bawah.
Transplantasi bibit muda secara hati-hati dapat mengurangi guncangan dan
meningkatkan kemampuan tanaman dalam memproduksi batang dan akar
selama tahap pertumbuhan vegetatif.
5. Kondisi tanah tetap lembab tetapi tidak tergenang air.
Secara tradisional, penanaman padi biasanya selalu digenangi air. Padi
memang mampu bertahan dalam lahan yang tergenang, akan tetapi
sebenarnya penggenangan itu membuat sawah menjadi hypoxic (kekurangan
oksigen) bagi akar dan tidak ideal untuk pertumbuhan. Dengan SRI, tanah
cukup dijaga tetap lembab selama fase vegetatif untuk memberikan lebih
banyak oksigen bagi pertumbuhan akar. Sesekali tanah harus dikeringkan
sampai retak agar oksigen dari udara mampu masuk ke dalam tanah dan
(28)
menghasilkan lebih banyak udara masuk ke dalam tanah dan akar akan
berkembang lebih besar sehingga dapat menyerap nutrisi lebih banyak.
6. Pendagiran
Pendagiran (membersihkan gulma dan rumput) dilakukan minimal sebanyak
2x. Pendagiran pertama dilakukan 10 – 12 hari setelah transplantasi dan
diulangi pada 10 – 12 hari berikutnya. Tiga sampai empat kali pendagiran
direkomendasikan untuk meningkatkan aerasi tanah.
7. Asupan organik
Pada awalnya, SRI dikembangkan dengan menggunakan pupuk kimia untuk
meningkatkan hasil panen pada tanah-tanah tandus di Madagaskar. Tetapi
saat subsidi pupuk dicabut pada akhir tahun 1980-an, petani disarankan untuk
menggunakan kompos dan ternyata hasilnya lebih bagus. Pemberian kompos
dapat menambah nutrisi tanah secara perlahan-lahan, memperbaiki struktur
tanah, dan meningkatkan diversitas mikroorganisme dalam tanah.
2.2 Karakteristik Tanah Sawah Secara Umum
Tanah sawah merupakan tanah yang digunakan atau berpotensi digunakan
untuk penanaman padi. Berdasarkan definisi tersebut, setiap tanah pada zona
iklim apa pun dengan suhu yang sesuai untuk menanam padi satu masa tanam
dalam setahun dapat disebut tanah sawah jika tersedia air yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan tanaman sepanjang pertumbuhannya (Kyuma 2004a). Tanah
sawah bukan merupakan salah satu jenis tanah, akan tetapi istilah ini lebih
merupakan salah satu jenis penggunaan lahan (Dudal 1958 dalam De Datta 1981).
Tanah sawah dapat berasal dari lahan kering dan lahan rawa.
(29)
di Indonesia, tanah sawah yang berasal dari bahan aluvial dan Regosol memiliki
keragaman dalam bahan induk dan berada pada daerah humid dan subarid. Selain
itu, tanah sawah juga tersebar pada tanah-tanah Regosol, Grumusol, Podsolik, dan
Latosol, serta sebagian lagi pada tanah Andosol dan Mediteranian.
Menurut Kyuma (2004b), pada umumnya tanah sawah digenangi selama
beberapa bulan dalam setahun, baik itu disebabkan oleh proses alami atau pun
karena perbuatan manusia. Beberapa manfaat yang diperoleh melalui proses
penggenangan pada tanah sawah di antaranya adalah:
1. Peningkatan ketersediaan nitrogen, basa-basa dan silika.
2. Peningkatan P tersedia dalam tanah.
3. Adanya perubahan sifat fisik tanah.
4. Detoksifikasi kelebihan unsur-unsur hara.
5. Detoksifikasi senyawa-senyawa kimia pertanian.
6. Tahan terhadap erosi tanah.
7. Relatif aman dari gulma.
Tanah yang disawahkan memiliki sifat fisik, kimia, dan biologi yang
berbeda dengan tanah yang tidak disawahkan. Menurut De Datta (1981),
perbedaan yang nyata dalam hal ini adalah munculnya horison berwarna keabuan
akibat proses reduksi di dalam tanah.
Menurut Moorman dan van Breemen (1978), perubahan sifat yang terjadi
pada tanah sawah dapat bersifat sementara atau permanen. Perubahan sifat tanah
yang bersifat sementara dipengaruhi oleh pelumpuran dan reduksi oksidasi
(redoks). Keuntungan proses pelumpuran di antaranya yaitu penanggulangan
(30)
kelarutan basa-basa. Tetapi, pelumpuran juga menimbulkan kerugian seperti
menurunkan laju perkolasi, menurunkan nilai potensial redoks dan merusak
struktur tanah. Penurunan nilai Eh menyebabkan mobilitas besi dan mangan lebih tinggi. Perubahan yang bersifat permanen terdiri dari perubahan sifat tanah akibat
penerasan, perubahan sifat fisik akibat pengolahan tanah, perubahan sifat kimia
dan mineralogi tanah akibat pengaruh air, dan perubahan regim kelembaban
tanah.
De Datta (1981) mengemukakan bahwa beberapa sifat fisik, kimia fisik,
dan biokimia mengalami perubahan seiring dengan proses penggenangan tanah.
Beberapa perubahan sifat kimia dan elektrokimia yang penting akibat
penggenangan tanah yaitu:
1. Keterbatasan oksigen dalam tanah.
Ketika tanah digenangi, air akan menggantikan udara dalam pori tanah.
Selain pada lapisan tipis di permukaan tanah, dan terkadang di lapisan bawah
tapak bajak, kebanyakan lapisan tanah berada dalam kondisi bebas oksigen
dalam beberapa jam setelah penggenangan. Pada kondisi seperti ini,
mikroorganisme tanah menggunakan bagian oksidatif tanah dan beberapa
metabolit organik untuk menggantikan peran oksigen sebagai aseptor elektron
pada proses respirasi mikroorganisme tersebut sehingga membentuk kondisi
reduktif dalam tanah. Kondisi anaerob ini mempengaruhi ketersediaan
beberapa unsur hara dan zat-zat bersifat racun dalam tanah.
2. Penurunan potensial redoks tanah.
Penggenangan tanah memberikan kondisi reduksi dan menurunkan nilai
(31)
tergantung pada tanah, tetapi nilai Eh di permukaan air dan beberapa mm dari top soil tetap berkisar antara +0,3 sampai +0,5 V (Ponnamperuma 1972
dalam De Datta 1981).
3. Perubahan nilai pH tanah
Penggenangan tanah dalam beberapa minggu menyebabkan peningkatan pH
pada tanah masam dan penurunan pH tanah berkapur dan tanah sodik.
Perubahan pH ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya yaitu
perubahan ferri menjadi ion Fe2+, akumulasi amonium, perubahan sulfat menjadi sulfida, dan perubahan karbon dioksida menjadi metana dalam
kondisi reduksi.
4. Reduksi Fe(III) menjadi Fe(II)
Setelah proses penggenangan, Fe(III) oksida hidrat tereduksi menjadi
senyawa Fe(II). Hal ini menyebabkan warna tanah mengalami perubahan dari
cokelat menjadi abu-abu, dan sejumlah besar Fe(II) terlarut ke dalam larutan
tanah. Faktor lain yang mempengaruhi kadar Fe(II) dalam tanah tergenang
yaitu alam dan kadar Fe(III) oksida hidrat, pH tanah, dan suhu.
5. Reduksi Mn(IV) menjadi Mn(II)
Pada tanah tergenang, reduksi mangan dengan bilangan oksidasi yang lebih
tinggi terjadi secara simultan dengan proses denitrifikasi. Dalam hal ini,
mangan berperan sebagai aseptor elektron dari proses respirasi
mikroorganisme dan oksidan bagi produk reduksi.
6. Peningkatan ketersediaan nitrogen.
Ketersediaan nitrogen dalam tanah tergenang lebih tinggi daripada tanah yang
(32)
seiring dengan peningkatan kadar nitrogen dalam tanah, pH tanah, suhu dan
lama waktu pengeringan tanah pada periode sebelumnya (Ponnamperuma
1965 dalam De Datta 1981).
2.3 Potensial Redoks Tanah
Oksidasi-reduksi merupakan reaksi pemindahan elektron dari donor
elektron kepada aseptor elektron. Donor elektron akan teroksidasi karena
pelepasan elektron, sedangkan aseptor elektron akan terduksi karena penambahan
elektron. Proses ini berlangsung secara simultan, sehingga sering disebut sebagai
reaksi redoks (Kyuma 2004a).
Menurut Tan (1982), keseimbangan redoks biasanya dinyatakan dengan
konsep potensial redoks (Eh). Secara umum, reaksi sel-paruh dari suatu sistem oksidasi-reduksi dapat digambarkan sebagai berikut:
Bentuk teroksidasi + ne- Bentuk tereduksi
Potensial sel-paruh dari reaksi di atas dapat dirumuskan menurut hukum
Nernst sebagai berikut:
Eh = E0 + RT/nF log (bentuk teroksidasi)/(bentuk tereduksi)
Potensial redoks (Eh) adalah potensial elektroda standar sel-paruh diukur terhadap suatu elektroda penunjuk standar, yaitu elektroda hidrogen. Sedangkan
E0 adalah suatu tetapan, yang disebut potensial redoks baku dari sistem, dan RT/F=0.0592 pada 25oC. Jika aktivitas dari spesies-spesies teroksidasi dan tereduksi sama dengan satu, rasio tersebut menjadi=1, dan nilai log-nya = 0, maka
Eh= E0. Oleh karena itu, potensial redoks baku didefinisikan sebagai potensial redoks dari sistem dengan aktivitas spesies teroksidasi dan tereduksi sama dengan
(33)
Selain Eh, reaksi redoks juga dicirikan oleh aktivitas elektron, e-. Jumlah e -atau aktivitas elektron menentukan proses oksidasi-reduksi. Berdasarkan reaksi di
atas, jika proses reduksi dominan, maka jumlah elektron akan meningkat.
Hubungan antara potensial redoks dengan aktivitas elektron dapat dirumuskan
sebagai berikut:
Eh = (2,3RT/F) pe
Aktivitas elektron dinyatakan dengan pe, dimana pe = -log [e-], R = konstanta gas, T = temperatur absolut(K), dan F = tetapan Faraday. Pada suhu 298
K (25oC), maka rumus tersebut menjadi: Eh = 0.059 pe
Menurut Ponnamperuma (1978), nilai Eh atau pe yang tinggi dan positif menunjukkan kondisi oksidatif, sebaliknya nilai Eh atau pe yang rendah bahkan
negatif menunjukkan kondisi reduktif. Potensial redoks mempengaruhi status N
dalam tanah, ketersediaan P dan Si, kadar Fe2+, Mn2+, dan SO42- secara langsung dan kadar Ca2+, Mg2+, Cu2+, Zn2+ dan MoO42- secara tidak langsung, dan dekomposisi bahan organik dan H2S.
Pengukuran Eh pada tanah-tanah reduktif memiliki beberapa keterbatasan. Sistem tanah sangat heterogen dan sulit untuk memperoleh potensial
keseimbangan yang tepat. Selain itu, beberapa pasangan redoks yang penting,
seperti NO3-/ NH4+, SO42-/S2-, CO2/CH4, dan pasangan redoks organik, tidak bersifat elektroaktif, tetapi dapat mengganggu pengukuran Eh dengan menghasilkan potensial campuran (Kyuma 2004a).
Menurut Stumm dan Morgan (1970) dalam Kyuma (2004a), pengukuran
(34)
dengan kadar lebih tinggi dari 10-5 M dalam air alami. Menurut Lindsay (1979), elektroda platina biasa digunakan untuk pengukuran potensial redoks dalam tanah.
Akan tetapi, elektroda tersebut tidak berfungsi dengan baik pada tanah yang
berada pada kondisi oksidatif.
Reaksi redoks terjadi pada hampir semua tanah. Biasanya, reaksi oksidasi
berkaitan dengan kondisi tanah berdrainase baik, sedangkan proses reduksi
berkaitan dengan kondisi tanah berdrainase buruk atau apabila terdapat air
berlebih. Kondisi redoks tanah mempengaruhi stabilitas senyawa-senyawa besi
dan mangan.
2.4 Besi di Dalam Tanah
Senyawa besi di dalam tanah terdiri dari berbagai bentuk. Besi merupakan
unsur utama berbagai mineral dan bahan organik tanah. Sumber unsur Fe di dalam
tanah bisa berupa batuan yang mengandung Fe-silikat, mineral sulfida, dan
senyawa Fe oksida atau hidroksida. Selain itu, pada beberapa bagian di dalam
tanah, Fe ditemukan di lapisan alumino-silikat: nontronit, montmorilonit,
vermikulit, dan klorit (Orlov 1992).
Senyawa Fe di dalam tanah diklasifikasikan oleh Zonn dalam Orlov
(1992), sebagai berikut:
1. Fe-silikat
2. Fe-nonsilikat (bebas)
Senyawa Fe terkristalisasi; terkristalisasi kuat dan lemah; Senyawa Fe amorf;
berikatan dan tidak berikatan dengan humus.
Reaksi senyawa Fe yang terjadi di dalam tanah yaitu mobilisasi senyawa
(35)
senyawa organik, reaksi oksidasi-reduksi, pembentukan senyawa organomineral
(umumnya merupakan senyawa kompleks), interaksi adsorpsi, dan pembentukan
senyawa-senyawa hidroksida, sulfida, dan fosfat.
Umumnya, Fe dalam bentuk Fe (II) dan Fe(III), ion hidroksida, beberapa
fosfat dan sulfida menjadi bagian dalam reaksi oksidasi-reduksi. Nilai potensial
oksidasi normal untuk Fe3+ - Fe2+ yaitu 0,771 V pada suhu 25oC. Berikut ini adalah persamaan reaksi redoks dalam tanah untuk senyawa Fe:
1. Fe(OH)3 + 4H+ + e- Fe2+ + 3H2O 2. α-FeOOH + 3H+ + e- Fe2+ + H2O 3. α-Fe2O3 + 6H+ + 2e- 2Fe2+ + 3H2O
Ponnamperuma (1978) menyatakan bahwa penggenangan membatasi
difusi oksigen ke dalam tanah, sehingga mereduksi Fe oksida dan meningkatkan
kadar Fe(II) dalam larutan tanah dari 0,07 sampai 6600 ppm. Peningkatan kadar
Fe2+ yang terlarut dalam tanah memberikan keuntungan pada tanah sawah karena mengatasi defisiensi Fe dan menekan keracunan Mn2+ pada tanah masam.
2.5 Mangan di Dalam Tanah
Mangan memiliki bilangan oksidasi yang bervariasi dengan kisaran +2
sampai +7. Mangan yang terdapat di alam umumnya yaitu mangan dengan
bilangan oksidasi +2, +3, dan +4 (Kyuma 2004a). Menurut Orlov (1992), mangan
ditemukan di dalam tanah dalam bentuk ion (Mn2+) dan oksida (MnO2). Sedangkan Mn3+ bersifat kurang stabil di dalam tanah. Senyawa Mn dengan bilangan oksidasi yang lebih tinggi seperti +5, +6, dan +7 tidak ditemukan di
(36)
Mn menyusun mineral-mineral dalam bentuk oksida, karbonat, silikat, dan
sulfat (Taylor et al. 1964 dalam Lindsay 1979). Sedangkan di dalam tanah, selain
terdapat sebagai senyawa oksida dan hidroksida yang mudah larut, Mn juga
membentuk garam-garam dengan senyawa organik dan silikat dengan berbagai
tingkat kelarutan (Orlov 1992). Senyawa Mn(II) meliputi garam-garam mudah
larut dan Mn2+ dapat dipertukarkan, yang umumnya ditemukan pada tanah-tanah masam dan agak masam.
Senyawa Mn juga dipengaruhi oleh sistem oksidasi-reduksi yang terjadi di
dalam tanah, terutama jika tanah berada dalam kondisi anaerob seperti tanah-tanah
yang tergenang (tanah sawah). Van Breemen dan Brinkman (1976) dalam Tan
(1982), menyatakan bahwa penggenangan tanah pada awalnya akan mereduksikan
NO3- dalam tanah, setelah NO3- hilang, Mn akan direduksi, kamudian disusul oleh Fe. Sistem Mn4+/Mn2+ mempunyai nilai Eh +1510 mV dan sistem Fe3+/Fe2+ mempunyai nilai Eh +771 mV, sehingga Mn lebih mudah tereduksi daripada Fe. Berikut ini adalah persamaan reaksi redoks dalam tanah untuk senyawa Fe:
1. MnO2 + 4H+ + 2e- = Mn2+ + H2O 2. Mn2O3 + 6H+ + 2e- = 2Mn2+ + 3H2O 3. Mn3O4 + 3H+ + 2e- = 3Mn2+ + 4H2O
Sebagaimana Fe, kelarutan Mn dalam tanah meningkat seiring dengan
peningkatan kemasaman dan kondisi reduksi. Ponnamperuma (1978) menyatakan
bahwa penggenangan dapat meningkatkan kadar Mn2+ dalam larutan tanah dari 1 sampai 100 ppm. Peningkatan kadar Mn dalam kondisi reduktif dapat bersifat
racun bagi tanaman, terutama apabila kadar Mn mudah direduksi di dalam tanah
(37)
(IRRI 2000 dalam FFTC 2001). Tanaman yang mengalami keracunan Mn,
khususnya padi, menunjukkan gejala seperti pertumbuhan lambat, adanya noda
berwarna coklat kekuningan diantara urat daun, ujung daun mengering pada saat
tanaman berumur 8 mst, klorosis pada daun muda, pertumbuhan yang lambat, dan
(38)
III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan tanah yang digunakan sebagai contoh diambil dari Desa Cihideung
(Kec. Ciampea, Kab.Bogor), Desa Bobojong (Kec. Mande, Kab. Cianjur), Desa
Margakaya (Kec. Telukjambe, Kab. Karawang), dan Desa Kaserangan (Kec.
Kragilan, Kab. Serang). Penelitian dilaksanakan selama bulan Mei - Desember
2008 di Laboratorium Pengembangan Sumberdaya Fisik Lahan, Departemen Ilmu
Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat yang Digunakan
Bahan-bahan yang digunakan terdiri dari contoh tanah, pereaksi untuk
analisis kimia, dan bahan organik. Contoh-contoh tanah yang diambil dari
berbagai tempat tersebut di atas dipilih untuk mewakili tanah-tanah dengan kadar
Fe dan Mn yang berbeda. Tanah Bobojong (Cianjur) merupakan tanah Latosol
dengan bahan induk batuan sedimen dan batuan volkanik kuarter yang berasal dari
erupsi Gunung Gede, tanah Cihideung (Bogor) merupakan tanah Latosol dengan
bahan induk batuan volkanik kuarter muda yang berasal dari erupsi Gunung
Salak, tanah Margakaya (Karawang) merupakan tanah Aluvial yang bahannya
berasal dari Sungai Citarum dan Cimalaya, sedangkan tanah Kaserangan (Serang)
merupakan tanah Planosol dengan bahan induk batuan Formasi Tufa Banten yang
berasal dari erupsi Gunung Danau (Yogaswara 1977). Bahan organik yang
digunakan yaitu kotoran sapi yang belum matang.
Alat-alat yang digunakan untuk persiapan perlakuan tanah yaitu ember,
(39)
wrap, plastik hitam, sedotan, dan kain kasa. Sedangkan alat yang digunakan untuk
analisis kimia di antaranya yaitu alat-alat gelas, Eh-meter, pH-meter, water-bath, dan AAS.
3.3 Pelaksanaan Penelitian
Penelitan ini dilakukan dengan tiga tahapan, yaitu:
a. Pengukuran kadar Fe dan Mn dalam tanah kering.
b. Perlakuan penambahan bahan organik dan penggenangan.
c. Pengukuran kadar Mn dan Fe dalam tanah dan larutan tanah pada berbagai
nilai Eh.
Sebagai persiapan, bahan tanah dikeringudarakan, kemudian ditumbuk
dan diayak sehingga diperoleh bahan tanah lolos saringan 2 mm. Analisis awal
yang dilakukan yaitu pengukuran kadar Fe dan Mn dalam tanah kering setelah
tanah diekstrak dengan dithionite-citrate-bicarbonate (DCB), asam sitrat 2%,
DTPA 0,005M, dan HCl 0,1N.
Selanjutnya, nilai Eh yang berbeda-beda diperoleh setelah penambahan bahan organik dan penggenangan tanah. Secara ringkas, tahapan ini digambarkan
pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram Alir Perlakuan Tanah untuk Memperoleh Berbagai Nilai Eh Ditempatkan ke dalam wadah, digenangi dan ditutup Kotoran sapi diencerkan Dicampurkan dengan perbandingan 1:1 sampai 1:10 Bahan tanah dilumpurkan Pengukuran Eh dilakukan mulai hari pertama (H+1) setelah perlakuan Diperoleh tanah dengan berbagai
(40)
Sekitar 6 - 7 kg bahan tanah dilumpurkan dengan ± 4 liter air. Disiapkan
juga kotoran sapi yang telah diencerkan. Kedua bahan tersebut kemudian
dicampurkan dengan berbagai perbandingan, mulai dari 1 : 10 (1 bagian kotoran
sapi dicampur dengan 10 bagian tanah) sampai 1 : 1 (1 bagian kotoran sapi
dicampur dengan 1 bagian tanah). Selain itu juga disiapkan kontrol, yaitu bahan
tanah yang telah dilumpurkan tanpa penambahan kotoran sapi. Campuran bahan
tanah dan kotoran sapi tersebut ditempatkan pada gelas plastik, digenangi air
sebanyak ± 30 ml (setinggi ± 2 cm di atas permukaan campuran bahan tanah dan
kotoran sapi) dan ditutup dengan plastik wrap. Begitu juga dengan kontrol.
Penggenangan dan penambahan bahan organik bertujuan untuk menurunkan nilai
Eh tanah. Nilai Eh masing-masing perlakuan diukur dengan Eh-meter mulai hari pertama setelah perlakuan (H+1) selama beberapa hari sampai diperoleh nilai Eh yang bervariasi.
Setelah tanah direduksi, dilakukan pengambilan larutan tanah dan tanah
dengan nilai Eh yang berbeda-beda. Larutan tanah yang diperoleh selanjutnya disaring, diasamkan, dan diukur kadar Fe dan Mn dengan AAS. Sementara itu,
pengukuran kadar Fe dan Mn dalam tanah dilakukan setelah tanah diekstrak
(41)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kadar Fe dan Mn dalam Tanah Kering
Analisis awal yang dilakukan yaitu pengukuran kadar Fe dan Mn dalam
tanah dengan pengekstrak DCB, asam sitrat 2%, HCl 0,1N, dan DTPA 0,005M.
DCB mengekstrak Fe dan Mn oksida yang mudah tereduksi. Asam sitrat 2%,
DTPA 0,005M, dan HCl 0,1N merupakan pengekstrak yang umum digunakan
dalam analisis tanah. Asam sitrat digunakan pada penetapan P dalam tanah karena
P terlarut di zona perakaran yang suasananya mirip dengan pH yang dihasilkan
asam sitrat 2%. Jika P tersedia dalam suasana tersebut, maka seharusnya Fe dan
Mn pun juga diserap tanaman dalam suasana yang sama. Akan tetapi, pengekstrak
yang biasa digunakan untuk penetapan unsur mikro tanah kering adalah HCl 0,1N
dan DTPA 0,005M, analisis awal dengan berbagai pengekstrak ini dimaksudkan
untuk membandingkan kadar Fe dan Mn terekstrak dalam hubungannya dengan
Fe dan Mn tersedia ketika tanah direduksi. Hasil analisis awal disajikan pada
Tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Kadar Fe dalam Masing-masing Contoh Tanah
Asal Contoh Kadar Fe (ppm)
DCB Asam Sitrat 2% HCl 0,1N DTPA 0,005M
Bobojong (Cianjur) 19478.19 3479.13 1237.54 668.67
Cihideung (Bogor) 33947.06 370.24 138.55 77.32
Margakaya (Karawang) 15727.26 932.47 264.16 236.83
Kaserangan (Serang) 1738.03 242.86 117.58 41.45
Berdasarkan Tabel 1, diketahui bahwa untuk setiap tanah, DCB
mengekstrak Fe dalam jumlah tertinggi, kemudian diikuti asam sitrat 2%, HCl
0,1N, dan DTPA 0,005M. DCB mengekstrak Fe oksida bebas total yang direduksi
(42)
sitrat, karena itu, Fe yang terekstrak jauh lebih banyak daripada ketiga
pengekstrak lainnya. Asam sitrat dan HCl bersifat asam dan keduanya dapat
melarutkan Fe dalam tanah, akan tetapi asam sitrat juga membentuk senyawa
kompleks organo logam dengan Fe sehingga Fe yang terekstrak asam sitrat lebih
tinggi daripada HCl. DTPA hanya membentuk chelat dengan Fe sehingga Fe yang
terekstrak DTPA lebih sedikit daripada pengekstrak lainnya.
Tabel 2. Kadar Mn dalam Masing-masing Contoh Tanah
Asal Contoh Kadar Mn (ppm)
DCB Asam Sitrat 2% HCl 0,1N DTPA 0,005M
Bobojong (Cianjur) 510.64 175.53 262.51 156.42
Cihideung (Bogor) 546.33 179.64 78.81 69.70
Margakaya (Karawang) 231.77 42.33 103.61 76.67
Kaserangan (Serang) 893.74 416.83 113.21 69.94
Merujuk pada Tabel 2, diketahui bahwa kadar Mn yang terekstrak dari
setiap tanah memiliki pola yang bervariasi. Pada tanah Bobojong (Cianjur), kadar
Mn yang terekstrak DCB > HCl 0,1N > asam sitrat 2% > DTPA 0,005M. Pada
tanah Cihideung (Bogor) dan Kaserangan (Serang), kadar Mn yang terekstrak
DCB > asam sitrat 2% > HCl 0,1N > DTPA 0,005M. Pada tanah Margakaya
(Karawang), Kadar Mn yang terekstrak DCB > HCl 0,1N > DTPA 0,005M >
asam sitrat 2%.
Perbedaan yang nyata terlihat pada tanah Bobojong (Cianjur) dan
Margakaya (Karawang). Pada kedua tanah tersebut, kadar Mn yang terekstrak
asam sitrat relatif rendah. Hal ini dikarenakan asam sitrat telah membentuk
kompleks lebih dulu dengan Fe sehingga asam sitrat yang mengkompleks Mn
(43)
Berdasarkan data pada Tabel 1 dan 2, pengekstrak yang dapat
mencerminkan kadar Fe dan Mn dalam kondisi reduktif adalah DCB, karena Fe
dan Mn oksida akan tereduksi pada kondisi tersebut. Hasil penghitungan kadar Fe
dan Mn oksida ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Kadar Fe dan Mn Oksida (ekstraksi dengan metode DCB) Asal Contoh % Fe2O3 % MnO2
Bobojong (Cianjur) 2.783 0.079 Cihideung (Bogor) 4.850 0.084 Margakaya (Karawang) 2.247 0.036 Kaserangan (Serang) 0.248 0.138
Berdasarkan data pada tabel 3, diketahui bahwa kadar Fe2O3 tertinggi terdapat pada tanah Cihideung (Bogor), diikuti tanah Bobojong (Cianjur),
Margakaya (Karawang), dan Kaserangan (Serang). Kadar Fe2O3 pada tanah Kaserangan (Serang) sangat rendah, bahkan dapat dikatakan bahwa tanah tersebut
mengalami defisiensi Fe karena hanya mengandung 0,248% Fe2O3. Menurut Kyuma (2004a), apabila tanah hanya mengandung 1 % Fe2O3, maka tanah tersebut mengalami defisiensi Fe.
Kadar MnO2 tertinggi terdapat pada tanah Kaserangan (Serang), diikuti tanah Cihideung (Bogor), Bobojong (Cianjur), dan Margakaya (Karawang).
Tingginya kadar Fe2O3 dan MnO2 ini dapat mengindikasikan adanya kemungkinan terganggunya pertumbuhan tanaman akibat tersedianya unsur mikro
dalam jumlah yang berlebih, dalam hal ini yaitu unsur Mn.
Seperti yang telah dicantumkan sebelumnya, tanah Bobojong (Cianjur)
dan Cihideung (Bogor) merupakan tanah Latosol yang mempunyai distribusi liat
(44)
kandungan Fe di dalamnya. Tanah Margakaya (Karawang) merupakan tanah
aluvial dengan karakteristik mempunyai susunan berlapis atau kadar C-organik
tidak teratur dan tidak memiliki horison diagnostik. Tanah Margakaya
(Karawang) yang dijadikan contoh juga berwarna merah kecoklatan. Ketiga
contoh berasal dari lahan yang digunakan sebagai area pesawahan secara intensif.
Sedangkan tanah Kaserangan (Serang) merupakan tanah Planosol. Tanah Planosol
merupakan tanah yang mempunyai horison E albik terletak di atas horison dengan
permeabilitas lambat (Hardjowigeno 1993). Horison E adalah horison mineral
yang telah kehilangan liat silikat, besi, atau alumunium atau kombinasinya
sehingga meninggalkan partikel debu dan pasir. Karakteristik tersebut
menyebabkan rendahnya kadar Fe2O3 di dalam tanah Kaserangan (Serang). Warna tanahnya pun pucat, dan hal ini juga menunjukkan rendahnya kadar Fe di dalam
tanah tersebut. Sedangkan kadar MnO2 dalam tanah Kaserangan (Serang) cukup tinggi jika dibandingkan dengan ketiga tanah lainnya. Hal ini disebabkan karena
tanah ini berasal dari lahan yang hanya sesekali saja disawahkan, akibatnya kadar
MnO2 di dalamnya masih cukup tinggi karena tanah tidak berada dalam kondisi reduktif yang dapat melarutkan senyawa tersebut.
4.2 Nilai Eh dan pe+pH Tanah pada Berbagai Kondisi Reduksi
Bahan organik yang digunakan berupa kotoran sapi yang masih segar
karena aktivitas mikroorganisme di dalamnya dapat membantu pembentukan
kondisi reduksi dalam tanah. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Lindsay (1979),
tanah bersifat lebih reduktif karena organisme di dalamnya melepaskan elektron
(45)
kondisi tanah yang semakin reduktif. Kondisi reduksi tanah akibat penambahan
bahan organik dan penggenangan selama beberapa hari dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Nilai Eh Tanah Selama Beberapa Hari setelah Perlakuan
Perbandingan BO : Tanah
Tanah Bobojong (Cianjur) Tanah Cihideung (Bogor) Tanah Margakaya (Karawang) Tanah Kaserangan (Serang) H+1 H+2 H+3 H+1 H+2 H+3 H+1 H+2 H+3 H+1 H+2 H+3 1 : 1 79 -90 -156 78 -25 -92 7 -200 -206 -135 -286 -236 1 : 2 105 -46 -125 80 10 -68 32 -191 -197 -135 -286 -249 1 : 3 142 -37 -85 115 32 -60 69 -175 -191 -145 -289 -256 1 : 4 151 -24 -84 130 42 -41 96 -148 -187 -146 -285 -253 1 : 5 173 10 -50 138 45 -30 134 -128 -172 -147 -289 -240 1 : 6 170 4 -45 146 49 -23 148 -114 -164 -144 -287 -244 1 : 7 188 21 -24 145 66 -5 171 -86 -144 -141 -273 -232 1 : 8 188 22 -17 130 60 11 181 -74 -119 -112 -256 -226 1 : 9 199 30 -25 105 63 26 202 -58 -104 -73 -236 -213 1 : 10 205 40 2 127 100 39 220 -16 -76 -1 -174 -180 Kontrol 272 113 88 211 149 76 297 150 42 96 115 102
Berdasarkan Tabel 4, dapat diketahui bahwa secara umum, semakin lama
tanah digenangi, maka Eh tanah semakin rendah. Tetapi, dapat juga dilihat pada tanah Kaserangan (Serang), setelah menurun secara drastis, nilai Eh kembali meningkat. Selain itu, diketahui bahwa kecepatan penurunan Eh masing-masing tanah berbeda-beda. Pada perlakuan dan hari penggenangan yang sama, terlihat
bahwa penurunan nilai Eh pada tanah Kaserangan (Serang), Margakaya
(Karawang) dan Bobojong (Cianjur) lebih cepat daripada tanah Cihideung
(Bogor).
Selanjutnya, dilakukan pengukuran pH tanah pada hari ke-3. Nilai Eh dan pH merupakan variabel untuk memperoleh konstanta pe+pH masing-masing
(46)
tanah yang diperoleh dari penghitungan Eh (mV)/59,2 (Lindsay 1979). Konstanta pe+pH tanah pada kondisi alami berbeda dengan kondisi reduktif. Semakin tinggi
pe+pH tanah pada kondisi alami menunjukkan kemampuan tanah berperan
sebagai oksidator, sementara semakin tinggi pe+pH pada kondisi tanah yang
direduksikan menunjukkan kemampuan tanah untuk bertahan dalam kondisi
oksidatif. Nilai pe+pH tanah pada kondisi oksidatif diperoleh dari pengukuran Eh dan pH kontrol, sedangkan nilai pe+pH tanah pada kondisi reduktif diperoleh dari
pengukuran Eh dan pH masing-masing perlakuan pada hari ketiga setelah perlakuan. Hasil penghitungan tersebut disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Hasil Penghitungan Nilai pe+pH pada Masing-masing Tanah
Selanjutnya, Gambar 2 menunjukkan bahwa nilai pe+pH tanah
Kaserangan (Serang) pada kondisi oksidatif jauh lebih tinggi daripada ketiga
tanah lainnya, sehingga tanah berperan sebagai oksidator kuat yang ketika
ditambahkan bahan organik mengakibatkan peningkatan jumlah elektron bebas
dalam tanah. Tingginya jumlah elektron dalam tanah memudahkan tercapainya
(47)
Setelah direduksi, diketahui bahwa pe+pH tanah Cihideung (Bogor) >
tanah Bobojong (Cianjur) > tanah Margakaya (Karawang) > tanah Kaserangan
(Serang). Urutan nilai pe+pH tersebut menunjukkan bahwa tanah Cihideung
(Bogor) lebih sulit direduksi daripada ketiga tanah lainnya. Berdasarkan Tabel 3,
diketahui bahwa kadar Fe2O3 tanah Cihideung (Bogor) > tanah Bobojong (Cianjur) > tanah Margakaya (Karawang) > tanah Kaserangan (Serang). Tanah
dengan kadar Fe2O3 yang tinggi memiliki daya sangga untuk mempertahankan kondisi oksidatifnya ketika tanah ditambahkan bahan organik. Dengan demikian,
ada indikasi bahwa kecepatan penurunan Eh dipengaruhi oleh kadar Fe2O3 dan nilai pe+pH tanah pada kondisi oksidatif.
4.3 Ketersediaan Fe dan Mn pada Berbagai Kondisi Reduksi
Pada berbagai nilai Eh, larutan tanah dan tanah masing-masing contoh dianalisis. Hasil analisis larutan tanah dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.
(48)
Gambar 4. Kadar Mn dalam Larutan Tanah
Secara umum, penurunan nilai Eh diikuti dengan peningkatan kadar Fe dan Mn terlarut. Peningkatan kadar Fe dan Mn terlarut ini disebabkan karena dalam
kondisi tersebut, Fe dan Mn dalam tanah akan direduksikan menjadi Fe2+ dan Mn2+. Kadar Fe2+ tanah Margakaya (Karawang) lebih tinggi daripada ketiga tanah lainnya, hal ini disebabkan nilai pe+pH tanah Margakaya (Karawang) pada
kondisi oksidatif cukup tinggi sehingga ketika ditambahkan bahan organik, Fe
yang tereduksi lebih banyak daripada tanah Bobojong (Cianjur) dan Cihideung
(Bogor). Walaupun pe+pH tanah Kaserangan (Serang) lebih tinggi, kadar Fe2O3 tanah Kaserangan (Serang) sangat rendah sehingga Fe yang terlarut sedikit. Kadar
Mn2+ pada tanah Bobojong (Cianjur), Cihideung (Bogor), dan Margakaya (Karawang) pada nilai Eh tertentu berpotensi meracuni tanaman padi karena kadarnya > 2 ppm (IRRI 2000 dalam FFTC 2001).
Pada Eh yang sama, kadar Fe2+ untuk tanah Cihideung (Bogor) dan Bobojong (Cianjur) lebih rendah daripada kadar Mn2+, pada tanah Margakaya (Karawang) kadar Fe2+ lebih tinggi daripada kadar Mn2, sedangkan untuk tanah Kaserangan (Serang), pada Eh tertentu, kadar Fe2+ lebih tinggi daripada Mn2+ dan
(49)
pada kondisi sangat reduktif (Eh < -200 mV), kadar Mn2+ lebih tinggi daripada kadar Fe2+.
Jika dibandingkan dengan penelitian Nursyamsi (2000), penurunan Eh diikuti dengan peningkatan kandungan Fe2+ dan Mn2+, pada Eh yang sama, kandungan Fe2+ lebih rendah daripada Mn2+. Menurut Tan (1982), pada kondisi tanah yang digenangi, Mn akan direduksi lebih dulu daripada Fe sehingga kadar
Mn2+ akan lebih tinggi daripada Fe2+. Sedangkan menurut Bohn (1979), pada kondisi reduktif, kadar Fe2+ dalam larutan tanah dapat berkisar antara subppm sampai ratusan ppm. Peningkatan kadar Mn2+ dalam larutan tanah juga dapat mencapai ratusan ppm, akan tetapi peningkatan ini tidak sebanyak Fe2+.
Ketersediaan Fe dan Mn dalam tanah diekstrak dengan DTPA 0,005M dan
dibandingkan dengan HCl 0,1N. Data hasil analisis tanah dengan pengekstrak
DTPA 0,005M dapat dilihat pada Tabel 4, sedangkan hasil analisis tanah dengan
(50)
Tabel 5. Kadar Fe dan Mn dalam Tanah setelah Direduksi (Ektraksi dengan DTPA 0,005M)
Asal Tanah Perbandingan Eh (mV) ppm Fe ppm Mn Fe/Mn Bobojong
(Cianjur)
Kontrol1 189 222.45 158.60 1.40
Kontrol2 91 217.59 359.35 0.61
1 : 10 -84 1153.18 878.87 1.31 1 : 9 -101 1332.68 777.13 1.71 1 : 8 -125 1283.93 761.99 1.68
1 : 6 -164 1481.98 774.24 1.91
1 : 2 -189 1758.42 511.07 3.44
1 : 1 -204 1964.78 515.45 3.81
Cihideung (Bogor)
Kontrol 247 182.59 230.33 0.79
1 : 10 79 112.22 257.12 0.44 1 : 9 62 276.77 312.98 0.88 1 : 8 25 337.47 346.91 0.97
1 : 6 -16 611.19 573.33 1.07
1 : 5 -97 1120.41 585.17 1.91
1 : 4 -125 1219.84 565.76 2.16
1 : 2 -165 1588.70 504.04 3.15
1 : 1 -196 1766.47 490.44 3.60
Margakaya (Karawang)
Kontrol1 42 526.78 140.51 3.75
Kontrol2 29 604.75 141.61 4.27
1 : 10 -76 646.11 139.75 4.62
1 : 9 -144 717.21 132.14 5.43
1 : 4 -187 735.78 127.98 5.75
1 : 1 -206 824.14 129.18 6.38
Kaserangan (Serang)
Kontrol1 82 15.95 133.39 0.12
Kontrol2 42 26.23 195.37 0.13
1 : 10 -141 17.49 224.51 0.08
1 : 9 -200 105.53 437.63 0.24
1 : 8 -215 106.73 380.28 0.28
1 : 7 -231 148.54 445.60 0.33
1 : 5 -243 156.72 416.81 0.38
DTPA mengekstrak Fe dan Mn yang terdapat sebagai Fe dan Mn tersedia,
termasuk Fe dan Mn terlarut, dapat dipertukarkan, dan mudah tereduksi. Menurut
Orlov (1992), Mn terlarut dan Mn dapat dipertukarkan merupakan Mn tersedia
bagi tanaman. Senyawa Mn potensial tersedia merupakan Mn yang mudah
(51)
Berdasarkan Tabel 5, secara umum kadar Fe dalam tanah mengalami
peningkatan seiring dengan penurunan nilai Eh. Setelah direduksi, kadar Fe tertinggi ditemukan pada tanah Bobojong (Cianjur), kemudian tanah Cihideung
(Bogor), Margakaya (Karawang), dan Kaserangan (Serang). Sementara kadar Mn
dalam tanah meningkat sampai Eh tertentu kemudian mengalami penurunan pada kondisi sangat reduktif (Eh < -180). Kadar Mn pada tanah Bobojong (Cianjur) dan Cihideung (Bogor) cukup tinggi sehingga berpotensi meracuni tanaman padi.
Kadar Mn dalam tanah Margakaya (Karawang) relatif rendah (120 - 142 ppm).
Sedangkan kadar Mn tersedia dalam tanah Kaserangan (Serang) memiliki kisaran
yang cukup besar (133 – 446 ppm). Jika merujuk pada Eh tanah sawah secara umum (> -200 mV), maka Mn tersedia pada tanah Kaserangan (Serang) masih
dalam batas normal karena < 300 ppm (Kyuma 2004a). Sehingga dapat dikatakan
bahwa tanah Margakaya (Karawang) dan tanah Kaserangan (Serang) tidak
berpotensi menyebabkan keracunan Mn pada tanaman padi.
Gambar 5. Kadar Fe dalam Tanah pada Berbagai Nilai Eh (Ekstraksi dengan HCl)
(52)
Gambar 6. Kadar Mn dalam Tanah pada Berbagai Nilai Eh (Ekstraksi dengan HCl 0,1N)
Hasil ekstraksi menunjukkan terdapat perbedaan yang cukup tinggi antara
hasil ekstraksi dengan DTPA dan HCl, hal ini dikarenakan HCl akan melarutkan
Fe dan Mn yang ada di dalam tanah, sedangkan DTPA membentuk chelat dengan
kedua unsur tersebut.
Hasil ekstraksi menunjukkan terdapat perbedaan yang cukup tinggi antara
hasil ekstraksi dengan DTPA dan HCl, hal ini dikarenakan HCl akan melarutkan
Fe dan Mn yang ada di dalam tanah, sedangkan DTPA membentuk chelat dengan
Fe dan Mn yang terdapat sebagai Fe dan Mn tersedia, termasuk Fe dan Mn
terlarut, dapat dipertukarkan, dan mudah tereduksi. Terdapat indikasi bahwa Fe
dan Mn dalam tanah tidak membentuk chelat dengan DTPA. Menurut Motomura
(1969) dalam Kyuma (2004a), senyawa Fe dalam tanah dapat berupa fraksi inaktif
yang terjerap partikel tanah dan hanya bisa terekstrak dengan HCl. Hasil ekstraksi
DTPA lebih mencerminkan kadar Mn yang dapat diserap tanaman, sehingga
(53)
Pada kondisi lapang, bahan organik biasa ditambahkan dengan dosis 5 - 10
ton/ha. Akan tetapi, penambahan bahan organik tersebut tidak merata, di beberapa
titik sangat mungkin dijumpai kondisi pencampuran yang hampir setara dengan
perbandingan 1 : 10 sampai 1 : 8 pada penelitian ini. Sebagaimana yang
ditampilkan Tabel 5, pada tanah Bobojong (Cianjur), penambahan bahan organik
dalam dosis tersebut mampu mereduksikan tanah sampai Eh nya < -20. Walaupun Mn tersedia sangat tinggi dan berpotensi meracuni tanaman (> 300 ppm), tidak
pernah dilaporkan adanya keracunan Mn pada padi yang ditanam di Bobojong
(Cianjur). Menurut Ponnamperuma (1978), tingginya kadar Fe dalam tanah dapat
menekan keracunan Mn. Setelah dianalisis, diketahui kadar Fe tersedia pada tanah
Bobojong (Cianjur) pun tinggi sehingga mampu mengimbangi jumlah Mn yang
dapat terserap tanaman. Dengan kata lain, potensi Mn meracuni tanaman pada
tanah Bobojong (Cianjur) relatif rendah.
Pada tanah Cihideung (Bogor), Eh yang dicapai tanah dengan penambahan bahan organik pada perbandingan 1 : 10 sampai 1 : 8 masih bernilai positif atau
mendekati nol. Pada kondisi tersebut, Mn yang tersedia cukup tinggi, sedangkan
Fe tersedia lebih rendah daripada Mn, sehingga tanah ini berpotensi menyebabkan
(54)
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian, diketahui bahwa kecepatan penurunan Eh setiap tanah berbeda-beda. Penurunan Eh lebih cepat terjadi pada tanah dengan pe+pH tinggi dan kadar Fe2O3 rendah.
Setelah direduksi, kadar Fe dan Mn tanah terekstrak DTPA dan HCl serta
dalam larutan tanah meningkat sejalan dengan penurunan Eh, kecuali Mn pada tanah Margakaya (Karawang). Kadar Mn tanah sawah di Cihideung (Bogor) dan
Bobojong (Cianjur) tergolong tinggi tapi tanah sawah Cihideung (Bogor) lebih
berpotensi menyebabkan keracunan Mn pada tanaman padi ketika ditambahkan
bahan organik seperti pada aplikasi SRI karena memiliki rasio Fe/Mn rendah.
Kadar Mn pada tanah Margakaya (Karawang) dan Kaserangan (Serang) relatif
rendah sehingga tidak berpotensi menyebabkan keracunan Mn pada tanaman padi.
5.2 Saran
Penambahan bahan organik pada aplikasi SRI perlu dilakukan secara
merata agar tidak terjadi akumulasi bahan organik di beberapa titik yang dapat
menimbulkan keracunan Mn pada tanaman padi. Selain itu, jika penanaman
dilakukan pada musim hujan, pengaturan air perlu diperhatikan agar tidak
(55)
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008. SRI, Teknologi Ramah Lingkungan. //www.portalhr.com/cetak.php?cid=1&id=1033&url=http%3A%2F%2Fw
ww.portalhr.com%2Fmajalah%2Fedisiterbaru%2Fteknologi%2F1id1033. html [09.01.09]
Berkelaar, D., 2001. Sistem Intensifikasi Padi (The System of Rice Intensification – SRI): Sedikit dapat Memberi Lebih Banyak. www.elsppat.or.id/download/file/SRI-echo%20note.htm [05 Jan 2009]
Bohn, H. L., McNeal, B. L., and O’Connor, G. A., 1979. Soil Chemistry. John Wiley & Sons, Canada.
Darmawan dan Sastiono, A., 2007. Uji Keunggulan Sistem Tanam Padi “SRI” (System of Rice Intensification) dalam Rangka Peningkatan Produksi Padi. LPPM, IPB.
De Datta, S. K., 1981. Principles and Practices of Rice Production. John Wiley & Sons, Singapore.
FFTC, 2001. Asian Crops and Micronutrient Toxicity. //www.agnet.org/library/bc/51008/ [19 Jan 2009].
Hardjowigeno, S., 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Presindo, Jakarta.
Kyuma, K., 2004a. Paddy Soil Science. Kyoto University Press and Trans Pasific Press, Tokyo and Melbourne.
Kyuma, K., 2004b. Paddy Soils Around The World. In Rice is Life: Scientific Perspective for The 21st Century. Proceedings of The World Rice Research Conference, Tsukuba-Japan.
Lindsay, W. L., 1979. Chemical Equilibria in Soils. John Wiley & Sons, New York.
Moorman, F. R., and van Breemen, N., 1978. Rice: Soil, Water, Land. International Rice Research Institute, Los Banos – Philippines.
Mutakin, J., 2008. Budidaya dan Keunggulan Padi Organik Metode SRI
(System of Rice Intensification).
www.garutkab.go.id/download_files/article/ARTIKEL%20SRI.pdf [10 Jan 2009]
Nursyamsi, D., dan Suryadi, M. E., 2000. Pengaruh Drainase Terputus dan Pemupukan Terhadap pH, Eh, Fe dan Mn pada Sawah Baru di Ultisol Bandar Abung (Lampung) dan Tapin (Kalsel). Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan: 3(2): 8 – 17.
(56)
Orlov, D. S., 1992. Soil Chemistry. A. A. Balkema Publishers, Brookfield.
Ponnamperuma, F. N., 1976. Physicochemical Properties of Submerged Soils in Relation to Fertility. In The Fertility of Paddy Soils and Fertilizer Appplications For Rice. Food and Fertilizer Technology Center, Taipei.
Tan, K. H., 1982. Principles of Soil Chemistry. Marcel Dekker, Inc., New York.
Uphoff, N. and Randriamiharisoa, R., 2002. Reducing Water Use in Irrigated Rice Production with The Madagaskar System of Rice Intensification (SRI). In Water-wise Rice Production. IRRI, Phillipines.
Yogaswara, S. A., 1977. Seri-seri Tanah di Tujuh Tempat di Jawa Barat. Tesis. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian-Institut Pertanian Cihideung (Bogor).
(57)
(58)
Lampiran 1. Hasil Pengukuran Eh Tanah Sawah di Lapang Titik ke- Eh (mV) Titik ke- Eh (mV) Titik ke- Eh (mV) Titik ke- Eh (mV) Titik ke- Eh (mV)
1 91 21 -26 41 -66 61 -90 81 -112
2 68 22 -28 42 -68 62 -90 82 -114
3 63 23 -30 43 -70 63 -90 83 -117
4 55 24 -33 44 -72 64 -94 84 -121
5 53 25 -36 45 -73 65 -94 85 -121
6 53 26 -39 46 -74 66 -97 86 -122
7 48 27 -39 47 -76 67 -98 87 -123
8 42 28 -40 48 -76 68 -98 88 -125
9 36 29 -45 49 -76 69 -98 89 -128
10 23 30 -45 50 -78 70 -100 90 -129
11 21 31 -48 51 -80 71 -100 91 -132
12 14 32 -48 52 -84 72 -101 92 -136
13 4 33 -49 53 -84 73 -102 93 -140
14 1 34 -51 54 -86 74 -105 94 -141
15 -14 35 -53 55 -86 75 -105 95 -147 16 -17 36 -53 56 -87 76 -107 96 -156 17 -17 37 -55 57 -88 77 -107 97 -157 18 -18 38 -57 58 -88 78 -108 98 -165 19 -19 39 -57 59 -88 79 -110 99 -169 20 -21 40 -58 60 -88 80 -110 100 -175
(59)
Lampiran 2. Hasil Analisis Larutan Tanah
Tanah Eh Fe (ppm) Mn (ppm)
Bobojong (Cianjur)
-26 0.63 3.08
-122 0.31 3.36
-159 0.73 9.92
-197 1.11 10.04
-215 3.33 10.20
Cihideung (Bogor)
-85 0.19 2.42
-120 0.41 3.42
-154 1.56 3.46
-206 1.77 4.64
-231 1.41 5.78
Margakaya (Karawang)
-76 4.30 1.79
-172 5.59 3.20
-187 5.86 3.02
-197 7.60 3.89
-206 9.07 3.20
Kaserangan (Serang)
82 0.65 0.04
-141 0.93 0.22
-206 1.35 4.76
-239 0.61 7.28
(60)
Gambar 7. Proses Pelumpuran Tanah
Gambar 8. Kotoran Sapi yang Telah Diencerkan
(61)
Gambar 10. Penempatan Masing-masing Perlakuan Tanah
Gambar 11. Pengukuran Nilai Eh Tanah
(62)
(1)
(2)
Lampiran 1. Hasil Pengukuran Eh Tanah Sawah di Lapang Titik ke- Eh (mV) Titik ke- Eh (mV) Titik ke- Eh (mV) Titik ke- Eh (mV) Titik ke- Eh (mV)
1 91 21 -26 41 -66 61 -90 81 -112
2 68 22 -28 42 -68 62 -90 82 -114
3 63 23 -30 43 -70 63 -90 83 -117
4 55 24 -33 44 -72 64 -94 84 -121
5 53 25 -36 45 -73 65 -94 85 -121
6 53 26 -39 46 -74 66 -97 86 -122
7 48 27 -39 47 -76 67 -98 87 -123
8 42 28 -40 48 -76 68 -98 88 -125
9 36 29 -45 49 -76 69 -98 89 -128
10 23 30 -45 50 -78 70 -100 90 -129 11 21 31 -48 51 -80 71 -100 91 -132 12 14 32 -48 52 -84 72 -101 92 -136 13 4 33 -49 53 -84 73 -102 93 -140 14 1 34 -51 54 -86 74 -105 94 -141 15 -14 35 -53 55 -86 75 -105 95 -147 16 -17 36 -53 56 -87 76 -107 96 -156 17 -17 37 -55 57 -88 77 -107 97 -157 18 -18 38 -57 58 -88 78 -108 98 -165 19 -19 39 -57 59 -88 79 -110 99 -169 20 -21 40 -58 60 -88 80 -110 100 -175
(3)
Lampiran 2. Hasil Analisis Larutan Tanah
Tanah Eh Fe (ppm) Mn (ppm)
Bobojong (Cianjur)
-26 0.63 3.08
-122 0.31 3.36
-159 0.73 9.92
-197 1.11 10.04
-215 3.33 10.20
Cihideung (Bogor)
-85 0.19 2.42
-120 0.41 3.42
-154 1.56 3.46
-206 1.77 4.64
-231 1.41 5.78
Margakaya (Karawang)
-76 4.30 1.79
-172 5.59 3.20
-187 5.86 3.02
-197 7.60 3.89
-206 9.07 3.20
Kaserangan (Serang)
82 0.65 0.04
-141 0.93 0.22
-206 1.35 4.76
-239 0.61 7.28
(4)
Gambar 7. Proses Pelumpuran Tanah
Gambar 8. Kotoran Sapi yang Telah Diencerkan
(5)
Gambar 10. Penempatan Masing-masing Perlakuan Tanah
Gambar 11. Pengukuran Nilai Eh Tanah
(6)