II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penanaman Padi dengan Metode SRI
Metode SRI System of Rice Intensification dikembangkan oleh Henri de Laulanie ketika masa kekeringan terjadi di Madagaskar pada awal tahun 1980. Di
Madagaskar, pada beberapa tanah kurang subur yang produksi normalnya 2 tonha, dengan metode SRI bisa mencapai 8 tonha, beberapa petani memperoleh
10 – 15 tonha, bahkan ada yang mencapai 20 tonha Berkelaar 2001. Pada tahun 1990 dibentuk Association Tefy Saina ATS, sebuah LSM di
Malagasy untuk memperkenalkan SRI. Empat tahun kemudian, Cornell International Institution for Food, Agriculture and Development
CIIFAD, mulai bekerja sama dengan Tefy Saina untuk memperkenalkan SRI di sekitar
Ranomafana National Park di Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for International Development. SRI telah diuji di Cina, India, Indonesia, Filipina, Sri
Langka dan Bangladesh dengan hasil yang positif Mutakin 2008. Penyebaran SRI dibawa oleh Norman Uphoff, ketua CIIFAD, ke luar
Madagaskar pada tahun 1997. Uphoff meyakini SRI sebagai salah satu pilihan dalam metodologi intensifikasi pertanian yang murah, mudah, dan ramah
lingkungan. Setelah turut mengamati perkembangan petani Madagaskar menerapkan SRI, Uphoff memutuskan untuk mempopulerkannya di belahan bumi
lain. Hingga saat ini, SRI telah diterapkan di India, Sri Lanka, Polandia, Vietnam, Jepang, dan Kuba. Di Indonesia, SRI berkembang sejak awal tahun 2000, antara
laindi daerah Cianjur yang diprakarsai oleh Medco Foundation dan Yayasan Alik. Metode SRI, seperti dijelaskan Uphoff, adalah pilihan yang bisa
membantu manajemen pertanian baik dari sisi alam maupun materi pertanian itu
sendiri. SRI mampu menghasilkan produksi padi hingga dua kali lipat dari hasil produksi padi non SRI. Pengelolaan lahan sawah pun menjadi lebih bijak. Air dan
tanah dapat dikelola dengan lebih bijaksana dan ramah lingkungan Anonim 2008.
Menurut Rabenandrasana 1999 dalam Uphoff dan Randriamiharisoa 2002, pada SRI terdapat beberapa cara yang berbeda dengan penanaman yang
biasa dilakukan oleh para petani, di antaranya yaitu: 1.
Bibit dipindah lapang trasplantasi lebih awal. Transplantasi bibit muda, biasanya ketika berumur 8 – 12 hari, dan kurang
dari 15 hari. Sebenarnya, masa transplantasi ini lebih ditentukan oleh proses biologi yang diukur dengan munculnya pilokron dan bukan oleh hitungan
kalender. Petani melakukan transplantasi ketika terdapat dua daun kecil pada bibit. Tranplantasi awal mempertahankan kemampuan pertumbuhan akar
yang dapat hilang jika transplantasi dilakukan ketika pilokron keempat telah muncul.
2. Bibit ditanam satu tiap lubang.
Penanaman bibit tunggal pada setiap lubang tanam. Pada kondisi tanah tertentu, terkadang dilakukan juga penanaman dua bibit pada satu lubang. Hal
ini bertujuan agar tanaman memiliki ruang untuk menyebar dan memperdalam perakaran sehingga tanaman tidak bersaing terlalu ketat untuk
memperoleh ruang tumbuh, cahaya atau nutrisi dalam tanah. 3.
Jarak tanam yang lebar. Penanaman bibit dilakukan dengan bentuk persegi dalam jarak yang cukup
lebar. Jarak tanam yang direkomendasikan mulai dari 25 x 25 cm, tetapi, pada
tanah yang kaya akan sumber biologi, jarak tanam yang lebih lebar 30 x 30 cm atau 40 x 40 cm, sampai 50 x 50 cm dengan jumlah tanaman lebih sedikit
per m
2
memberikan hasil yang lebih tinggi. Menurut Berkelaar 2001, sebaiknya petani mencoba berbagai jarak tanam, karena jarak tanam yang
optimum tergantung pada struktur, nutrisi, suhu, kelembaban, dan kondisi tanah yang lain.
4. Penanaman dilakukan dengan posisi akar horizontal secara cepat, dangkal dan
hati-hati. Saat menanam, bibit dibenamkan dalam posisi horizontal agar ujung-ujung
akar tidak menghadap ke atas ini terjadi jika bibit ditanam vertikal ke dalam tanah. Ujung akar membutuhkan keleluasaan untuk tumbuh ke bawah.
Transplantasi bibit muda secara hati-hati dapat mengurangi guncangan dan meningkatkan kemampuan tanaman dalam memproduksi batang dan akar
selama tahap pertumbuhan vegetatif. 5.
Kondisi tanah tetap lembab tetapi tidak tergenang air. Secara tradisional, penanaman padi biasanya selalu digenangi air. Padi
memang mampu bertahan dalam lahan yang tergenang, akan tetapi sebenarnya penggenangan itu membuat sawah menjadi hypoxic kekurangan
oksigen bagi akar dan tidak ideal untuk pertumbuhan. Dengan SRI, tanah cukup dijaga tetap lembab selama fase vegetatif untuk memberikan lebih
banyak oksigen bagi pertumbuhan akar. Sesekali tanah harus dikeringkan sampai retak agar oksigen dari udara mampu masuk ke dalam tanah dan
mendorong akar untuk “mencari” air. Kondisi tidak tergenang akan
menghasilkan lebih banyak udara masuk ke dalam tanah dan akar akan berkembang lebih besar sehingga dapat menyerap nutrisi lebih banyak.
6. Pendagiran
Pendagiran membersihkan gulma dan rumput dilakukan minimal sebanyak 2x. Pendagiran pertama dilakukan 10 – 12 hari setelah transplantasi dan
diulangi pada 10 – 12 hari berikutnya. Tiga sampai empat kali pendagiran direkomendasikan untuk meningkatkan aerasi tanah.
7. Asupan organik
Pada awalnya, SRI dikembangkan dengan menggunakan pupuk kimia untuk meningkatkan hasil panen pada tanah-tanah tandus di Madagaskar. Tetapi
saat subsidi pupuk dicabut pada akhir tahun 1980-an, petani disarankan untuk menggunakan kompos dan ternyata hasilnya lebih bagus. Pemberian kompos
dapat menambah nutrisi tanah secara perlahan-lahan, memperbaiki struktur tanah, dan meningkatkan diversitas mikroorganisme dalam tanah.
2.2 Karakteristik Tanah Sawah Secara Umum