185
lembaga pemasaran tersebut. Sehingga petani kakao sering dirugikan karena selalu menerima harga yang lebih rendah akibat tidak adanya pilihan dalam
penjualan output. Instabilitas keamanan wilayah Maluku pada saat itu akibat terjadinya konflik sosial, menyebabkan banyak pengusaha yang lari keluar dari
wilayah Maluku dan belum mau kembali. Sehingga petani sulit untuk menjual hasil usahanya maupun sulit untuk mendapatkan input produksi, karena pasar
output hanya di kendalikan oleh beberapa pengusaha pedagang besar, itu pun terletak pada wilayah tertentu. Sementara desakan faktor ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan keluarga, mengakibatkan petani menjual hasilnya kepada pedagang pengumpul atau pedagagan besar dengan resiko menerima harga
yang lebih rendah dari harga yang sewajarnya. Dengan lemahnya instrumen kebijakan pemerintah dalam mekanisme
pasar input-output, maka dampak langsung terhadap petani kakao adalah berkurangnya manfaat usaha yang seharusnya mereka terima yaitu sebesar 78,8
persen EPC. Dalam artian bahwa perekonomian kakao rakyat di Kabupaten Buru terjadi pengalihan keuntungan dari pihak petani selaku produsen ke pihak
lain pelaku pasar input, pedagang pengumpul dan pedagang besar.
6.1.3. Respon Luas Areal Tanaman Kakao
Pada persamaan luas areal tanaman kakao rakyat APR
t
, peubah penjelas yang dimasukkan adalah harga riel kakao di tingkat petani HBK
t
, harga riel cengkeh HC
t
, peubah bedakala APR
t- 1
dan dummy otonomi daerah D sedangkan upah riel tenaga kerja tidak dimasukkan dalam persamaan ini karena
berpengaruh jelek terhadap seluruh peubah penjelas. Pendugaan parameter dengan menggunakan metode jumlah kuadrat terkecil ordinary least square,
pendugaan parameter ini dilakukan dengan bantuan perangkat lunak software komputer Mikrofit 4,0.
186
Berdasarkan hasil pendugaan parameter model respon luas areal komoditi kakao rakyat pada Tabel 19, telah diperoleh koefisien determinasi R
2
sebesar 0,988, artinya keragaman luas areal tanaman kakao dapat dijelaskan oleh
keragaman peubah penjelas sebesar 98,8 persen, dan sisanya sebesar 1,2 persen yang tidak dapat dijelaskan dalam model tersebut. Nilai F hitung 123,5
dan nyata pada taraf 1 persen, mengindikasikan bahwa model cukup baik, karena dapat menerangkan pengaruh peubah penjelas terhadap luas areal
tanaman kakao dengan tingkat kepercayaan sebesar 98 persen. Dari hasil pendugaan parameter memperlihatkan bahwa secara parsial
hanya parameter peubah harga riel kakao, peubah bedakala luas areal dan dummy otonomi daerah yang nyata terhadap luas areal. Sedangkan parameter
lainnya yang tidak nyata terhadap luas areal adalah harga riel cengkeh. Tabel 19. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Ln Luas Areal dan Nilai
Elastisitas pada Tanaman Kakao dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang di Kabupaten Buru,1993-2004
Peubah Koefisien
Standard Error
T. Ratio P. Value
Intercep 2,0701
0,68765 3,0103
0,024 Ln Harga Riel Kakao
HBK
t
2,7420 0,095268
2,8782 0,028
Ln Harga Riel Cengkeh HC
t
-0,068431 0,13225
-0,5174 0,623
Ln Peubah Bedakala Luas Areal APR
t-1
0,48776 0,12240
3,9850 0,007
Dummy Otonomi Daerah D
0,74080 0,14142
5,2383 0,002
R
2
= 0,988
F. Ratio = 123,5441
DW = 2,73
P. Value = 0,000
Parameter dugaan harga riel kakao bertanda positif dan sesuai dengan harapan karena berpengaruh nyata terhadap luas areal pada taraf 1 persen.
Artinya dengan kenaikan harga kakao dapat memberikan dorongan dan mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan perluasan areal tanaman
kakao. Hal ini dapat dipahami karena setiap kenaikan harga kakao semakin memacu motivasi petani dalam melakukan aktivitas usahanya, atau dengan kata
187
lain harga merupakan insentif bagi petani untuk meningkatkan perluasan arealnya.
Parameter dugaan harga riel cengkeh bertanda negatif dan tidak berpengaruh nyata terhadap luas areal. Parameter dugaan tersebut bertanda
negatif mengindikasikan bahwa ada kecenderungan tanaman cengkeh merupakan pesaing kompetitor dalam hal lahan bagi tanaman kakao. Dapat
pula memberikan makna bahwa merosotnya harga cengkeh mendorong dan mempengaruhi keputusan petani untuk meningkatkan luas areal kakao. Kondisi
ini dapat dipahami karena pada awalnya sebagian besar petani di wilayah penelitian rata-rata bergantung pada komoditi cengkeh, sehingga ketika harga
cengkeh merosot petani membiarkan kebunnya terlantar dan beralih profesi sebagai buru bangunan serta mencoba mengusahakan dan mengembangkan
tanaman perkebunan lain yang memiliki nilai ekonomi baik dari sisi harga maupun produksi, semua ini dilakukan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya. Dengan dibiarkannya kebun cengkeh yang terlantar mengakibatkan
tanaman cengkeh banyak yang rusak dan mati. Disamping itu pula ada upaya petani untuk mengalih fungsikan lahan atau mengkonversi kebun cengkeh
dengan komoditi kakao. Dengan kata lain, petani mengalih fungsikan lahan cengkeh dengan tanaman kakao turut di pengaruhi oleh menurunnya harga
cengkeh. Hal tersebut didukung dengan fakta di lapangan yang menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan luas areal tanaman kakao setiap tahun,
sedangkan luas areal cengkeh tidak menunjukkan peningkatan. Parameter peubah bedakala luas areal tanaman kakao rakyat tahun
sebelumnya bernilai positif dan berpengaruh nyata terhadap luas areal pada taraf 1 persen. Memberikan pengertian bahwa peubah bedakala luas areal tahun
sebelumnya dapat memberikan dorongan dan mempengaruhi keputusan petani
188
untuk perluasan areal tanaman kakao. Hal tersebut didasarkan pada kondisi riel di lapangan yang memperlihatkan bahwa petani melakukan perluasan areal
tanamannya jika tanaman kakao yang diusahakan sebelumnya sudah menghasilkan. Sebab pada umumnya petani dalam melakukan perluasan areal
sering menghadapi kendala keterbatasan tenaga kerja serta keterbatasan modal usaha.
Parameter dugaan kebijakan pemerintah otonomi daerah bertanda positif dan berpengaruh nyata terhadap luas areal tanaman kakao pada taraf 1 persen.
Artinya bahwa dengan diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2000 telah memberikan insentif kebijakan yang merangsang serta semakin memacu petani
untuk melakukan perluasan areal tanaman kakao. Fakta ini ditunjang dengan semakin meningkatnya luas areal tanaman kakao setelah diberlakukannya
otonomi daerah, di mana pada tahun 1999 luas areal yang diusahakan petani hanya seluas 1.473 ha dan mengalami peningkatan seluas 5.764,43 ha tahun
2003. Dengan kata lain, adanya otonomi memungkinkan pemerintah daerah untuk mengorientasikan pembangunan infrastruktur sebanyak mungkin di setiap
sentra produksi, sehingga memberikan peluang harga kakao lebih baik serta memudahkan petani untuk mengakses informasi pasar dan dapat memasarkan
hasil panennya.
6.1.4. Analisis Lokasional