171
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Keragaan Kelayakan Usaha dan Kebijakan Perkakaoan
Keragaan kelayakan usaha perkebunan kakao rakyat dicirikan dengan menganalisis kelayakan usaha tersebut, yang bertujuan untuk melihat tingkat
kelayakan usaha perkebunan kakao rakyat baik secara finansial maupun ekonomi. Pendekatan analisis tersebut adalah untuk mengetahui bagaimana
kinerja usahatani kakao rakyat, sehingga dapat memberikan gambaran kondisi usaha pengembangan perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru kedepan.
Kemudian akan dikaji berbagai kebijakan pemerintah serta implikasinya terhadap pengembangan usahatani kakao rakyat, yang diukur dengan menggunakan
analisis PAM Policy Analysis Matrix. Dilanjutkan dengan analisis suplay respon luas areal perkebunan kakao, serta mengkaji pemusatan wilayah komoditi
perkebunan dengan menggunakan analisis lokasional. Pendekatan terhadap analisis lokasional ini adalah untuk mengukur pertumbuhan dan pergeseran
pengembangan usaha perkebunan, yang secara spasial dicerminkan dalam kompetitif dan komparatif komoditi-komoditi perkebunan, sehingga dapat
memberikan gambaran secara implisit kondisi pembangunan perkebunan di Kabupaten Buru.
6.1.1. Analisis Kelayakan Finansial dan Ekonomi
Hasil analisis kelayakan finansial maupun ekonomi dapat dilakukan dengan menggunakan perhitungan terhadap Net Present Value NPV, Benefit
Cost Ratio BCR dan Internal Rate of Return IRR yang merefleksikan tingkat kelayakan usaha perkebunan kakao rakyat setelah dikoreksi dengan tingkat suku
bunga bank. Perhitungan ini didasarkan pada laba usaha pendapatan bersih, yang merupakan selisih dari penerimaan benefit dan total biaya cost yang
diperoleh setiap tahun. Hasil analisis tersebut merupakan gambaran kelayakan
172
usaha perkebunan kakao rakyat, yang dihitung berdasarkan umur produktif tanaman kakao secara ekonomis pada siklus 20 tahun. Analisis kelayakan
finansial dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Analisis Kelayakan Finansial NPV, BC Ratio dan IRR Perkebunan
Kakao Rakyat di Kabupaten Buru pada Tingkat Suku Bunga 12 dan 25 dalam luasan 1 Ha, 2004
Suku Bunga Indikator
12 25
NPV 15.110.869
490.727 BC Ratio
2,51 -
IRR 24,59
Secara keseluruhan usaha perkebunan kakao rakyat di wilayah penelitian masih memberika n nilai keuntungan, apabila didasarkan pada tingkat harga
kakao yang berlaku ditingkat petani harga beli di pedagang pengumpul. Pada Tabel 16 memperlihatkan bahwa secara finansial usaha perkebunan kakao
rakyat layak untuk dikembangkan, hal tersebut ditunjukkan oleh nilai NPV, BC ratio dan IRR setelah dikoreksi dengan tingkat suku bunga df 12 persen yang
berlaku dilapangan. Di mana nilai NPV yang diperoleh bernilai positif 15.110.869, BC ratio yang lebih besar dari satu 2,51 dan nilai IRR sebesar
24,59 yang melebih nilai tingkat suku bunga yang belaku. Dari hasil perhitungan menunjukkan nilai BC ratio lebih besar dari satu
artinya bahwa setiap penambahan cost biaya yang dikeluarkan nilainya lebih kecil bila dibandingkan dengan benefit manfaat yang diperoleh petani. Di mana
setiap satu rupiah yang diinvestasikan dalam usaha ini akan memberikan tambahan manfaat keuntungan bersih sebesar Rp 2,51. Sedangkan nilai IRR
yang lebih besar dari tingkat suku bunga di lapangan, menggambarkan bahwa dalam hal ini petani lebih baik menginvestasikan modal yang dimilikinya untuk
usaha perkebunan kakao, karena manfaat yang diterimanya lebih besar dari pada modal tersebut disimpang di bank. Nilai IRR ini pun menunjukkan bahwa
173
sampai pada tingkat suku bunga df 24.59 persen usaha tani kakao rakyat di Kabupaten Buru masih memberikan nilai keuntungan bagi petani.
Dalam membangun usaha perkebunan kakao, petani memerlukan biaya investasi awal sebesar Rp 4.397.900. Biaya investasi awal ini meliputi biaya
persiapan lahan pemb ibitan, penyedian bibit, pemeliharaan pembibitan, pembukaan lahan dan sarana input lainnya. Besarnya biaya investasi awal lebih
disebabkan oleh tingginya nilai input-input produksi seperti peralatan dan biaya tenaga kerja. Sedangkan Biaya pemeliharan tanaman untuk tahun pertama
penanaman sampai tahun terakhir umur produktif tanaman kakao secara ekonomis berkisar antara Rp 2.122.000 sd Rp 3.896.000 per tahun. Sementara
kisaran biaya oprasional panen dan pascapanen bervariasi tergantung pada produksi tanaman yaitu antara Rp 922.500 sampai 1.458.500 per tahun.
Tingginya biaya tersebut lebih disebabkan pada penggunaan tenaga kerja dan mahalnya harga peralatan usahatani serta biaya transportasi.
Kegiatan usahatani kakao rakyat yang banyak menyedot tenaga kerja antara lain : pembukaan dan pembersihan lahan, penggalian lubang tanam,
penanaman, pembabatan rumput, serta pemangkasan dan panen. Penggunaan tenaga kerja dalam kegiatan usahatani kakao tersebut seringkali digunakan
tenaga kerja luar, sementara tenaga kerja keluarga sebagai tenaga kerja pelengkap atau sering dibutuhkan dalam kegiatan yang sifatnya tidak terlalu
membutuhkan banyak tanaga kerja. Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa seluruh tenaga kerja yang terlibat dalam usaha perkebunan kakao diberikan
insentif, baik itu tenaga kerja luar maupun tenaga kerja keluarga, di mana upah yang dibayar berkisar antara Rp 20.000-25.000 per Hok. Meningkatnya biaya
input-input produksi, seperti peralatan usahatani dan tingginya upah tenaga kerja, serta sulit dan mahalnya harga pupuk dan obat-obatan mengakibatkan
174
petani kurang maksimal dalam mengintensifkan usahataninya, yang berimplikasi pada penurunan produksi kakao.
Meningkatnya biaya input produksi tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan produktivitas tanaman kakao, di mana produktivitas tanaman kakao
per tahun baru mencapai 1,12 tonha. Produktivitas tersebut masih jauh dibawah standar produktivitas yang harus dicapai tanaman kakao yaitu 2 tonha
Spillane, 1995. Rendahnya produktivitas tanaman kakao terkait pula dengan minimnya pengetahuan petani dalam penerapan teknologi budidaya. Di mana
rata-rata petani belum memanfaatkan teknologi pertanian untuk meningkatkan produktivitas tanamannya dengan penggunaan sarana produksi seperti
penggunaan pupuk dan pestisida. Penurunan produksi kakao dan kehilangan hasil akibat serangan hama penyakit tanaman HPT kakao banyak dialami
petani, terutama intensitas serangan hama Pengerek Buah Kakao PBK dan busuk batang, fakta ini menunjukkan bahwa petani belum menerapkan sistem
budidaya pertanian dengan baik dan benar. Bila ada kegiatan pengendalian biasanya dilakukan melalui bantuan dari pemerintah, itu pun tidak bersifat rutin.
Sedangkan penggunaan pupuk dan pestisida hanya dipergunakan pada tanaman padi-padian, palawija dan sayuran. Disamping itu harga pupuk dan
pestisida cukup mahal dan sulit untuk diperoleh. Tanaman kakao memiliki karakteristik yang berbeda dengan tanaman
perkebunan lainnya yaitu mulai berproduksi pada umur tanam 3 tahun dengan produksi dalam setahun 2-3 kali, tergantung pada kondisi perawatan tanaman.
Walaupun demikian, produksi tanaman kakao yang dialami petani di wilayah penelitian dalam setahun hanya dapat berproduksi 2 kali, malahan ada yang
hanya sekali dalam setahun, dengan produksi tertinggi dicapai pada umur tanaman kakao 12 tahun yang kemudian selanjutnya akan berkurang. Hasil
panen kakao yang dipasarkan biasanya dalam bentuk biji kakao kering dengan
175
harga Rp 7.500 per kg ditingkat petani atau harga beli ditingkat pedagang pengumpul. Dari hasil perhitungan secara finansial menunjukkan bahwa
pendapatan yang diperoleh petani dalam usahatani kakao cukup tinggi yang ditunjukkan dengan nilai NPV yang positif, akan tetapi rata-rata pendapatan yang
diterima petani dalam satu tahun untuk luasan 1 ha dari hasil perhitungan ini sangat rendah yaitu sebesar Rp 755.543,5. Kondisi ini mengambarkan bahwa
walaupun usaha perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru layak secara finansial, namun keuntungan yang diperoleh petani belum memadai. Ke tidak
seimbangan antara nilai input-input produksi yang dikeluarkan dengan output yang dihasilkan pertahun, akibatnya dapat berpengaruh terhadap pendapatan
yang diperoleh petani, sehingga pada akhirnya petani belum mampu memperbaiki tinggkat kesejahteraannya.
Untuk melihat keuntungan optimal dari pendapatan petani dalam usahatani perkebunan kakao rakyat dapat dihitung dengan pendekatan analisis ekonomi.
Dari perhitungan secara ekonomi pada Tabel 17 menunjukkan usahatani perkebunan kakao rakyat jauh lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan
pendekatan secara finansial. Tabel 17. Analisis Kelayakan Ekonomi NPV, BC Ratio dan IRR Perkebunan
Kakao Rakyat di Kabupaten Buru pada Tingkat Suku Bunga 12 dan 38 dalam luasan 1 Ha, 2004
Suku Bunga Indikator
12 38
NPV 33.351.438
91.701 BC Ratio
4,96 -
IRR 37,93
Hasil perhitungan menunjukkan nilai NPV yang positif setelah dikoreksi dengan tingkat suku bunga df 12 persen dan diperoleh nilai NPV sebesar
33.351.438, dengan BC ratio lebih besar dari satu yaitu 4,96 dan nilai IRR sebesar 37,93. Indikator yang dipakai untuk menilai bahwa kegiatan usahatani
kakao rakyat yang dijalani petani layak secara ekonomi yaitu ditunjukkan dengan
176
nilai NPV yang positif dan BC ratio lebih besar dari satu. Indikator lainnya adalah nilai IRR yang diperoleh jauh lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku df
12 yang mengindikasikan bahwa sampai pada tingkat suku bunga bank 37,93 persen kegiatan usahatani perkebunan kakao masih dapat memberikan
keuntungan bagi petani. Dengan pengertian bahwa dari pada modal yang dimiliki disimpan di bank lebih baik di investasikan untuk usahatani kakao, karena akan
mendatangkan keuntungan manfaat yang lebih dibandingkan dengan disimpan di bank.
Dari hasil analisis kelayakan usaha baik secara finansial ma upun ekonomi pada usaha perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru menunjukkan bahwa
usahatani kakao rakyat dapat memberikan keuntungan bagi petani, sehingga layak untuk diusahakan dikembangkan, tinggal bagaimana peran pemerintah
dalam menjembatani usaha yang dikembangkan oleh masyarakat tersebut terutama dalam peningkatan produktivitas tanaman dan perbaikan harga. Selain
itu pula perlu memotivasi petani dalam meningkatkan produktivitas usahanya, yaitu melalui perbaikan kualitas SDM untuk dapat memanfaat kan dan
menggunakan teknologi budidaya, penggunaan bibit unggul, membangun infrastruktur khususnya transportasi dan perannya dalam penyediaan informasi
harga berbagai komoditi serta perbaikan harga input produksi maupun output produksi. Sehingga diharapkan dapat memacu petani dalam meningkatkan
usahanya, yang pada akhirnya akan memperbaiki tingkat pendapatan petani dan meningkatkan pendapatan daerah serta mendatangkan devisa bagi negara
.
6.1.2. Analisis Kebijakan Pemerintah