Analisis pengembangan perkebunan kakao rakyat di kabupaten Buru provinsi Maluku

(1)

ANALISIS PENGEMBANGAN

PERKEBUNAN KAKAO RAKYAT

DI KABUPATEN BURU PROVINSI MALUKU

IDRIS LOILATU

PROGRAM STUDI

ILMU PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PERDESAAN SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006


(2)

ABSTRAK

IDRIS LOILATU, Analisis Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Buru Provinsi Maluku. ( HERMANTO SIREGAR sebagai Ketua dan

AFFENDI ANWAR sebagai Anggota Komisi Pembimbing ).

Penelitian ini dilakukan untuk mengungkapkan bagaimana pengaruh harga kakao, tingkat kelayakan usahatani dan dampak intervensi pemerintah terhadap pengembangan komoditi kakao rakyat di Kabupaten Buru. Dalam penelitian ini dikaji sistem kelembagaan yang mendukung pengembangan komoditi kakao; kelayakan usahatani; pengaruh harga terhadap peningkatan luas areal dengan menggunakan analisis regresi; aliran pemasaran dan keterpaduan pasar yang ditelusuri dengan analisis marjin tataniaga, elastisitas trasmisi harga dan integrasi pasar; efisiensi ekonomis dan dampak intervensi pemerintah dengan menggunakan policy analysis matrix, serta keunggulan komparatif dan kompetitif suatu wilayah dengan pendekatan analisis lokasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan komoditi kakao rakyat di wilayah Kabupaten Buru memberikan keuntungan secara finansial maupun ekonomi karena memiliki keunggulan komparatif. Petani kakao sangat responsif terhadap perubahan harga. Kajian integrasi pasar memperlihatkan bahwa keterpaduan pasar hanya berlangsung dalam jangka pendek. Marjin keuntungan yang diterima petani lebih kecil daripada pedagang pengumpul dan pedagang besar.

Key Word : Respon Harga, Kebijakan Intervensi pemerintah, Kelayakan Finansial dan Ekonomi, Pengembangan Kakao Rakyat.


(3)

ANALISIS PENGEMBANGAN

PERKEBUNAN KAKAO RAKYAT

DI KABUPATEN BURU PROVINSI MALUKU

IDRIS LOILATU

P053020111

Tesis

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(4)

Judul Penelitian : Analisis Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Buru Provinsi Maluku

Nama Mahasiswa : Idris Loilatu

Nomor Pokok : P053020111

Program Studi : Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah Dan Perdesaan

Program : Magister Sains (S2)

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. H. Hermanto Siregar, M.Ec

Ketua

Prof. Dr. Ir. H. Affendi Anwar, M.Sc

Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan

Wilayah dan Perdesaan

Prof. Dr. Ir. Isang Gonarsyah

Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc


(5)

PRAKATA

Segala puji dan syukur hanya diperuntukan kepada Allahul Wahid yang telah memberikan rahmat dan petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat merampungkan Tesis ini dengan judul: “Analisis Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Buru Provinsi Maluku” yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Institut Pertanian Bogor.

Penulisan tesis ini tidak dapat terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr.Ir. H. Hermanto Siregar, M.Ec, dan Prof.Dr.Ir. H. A. Anwar, M.Sc, selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bantuan yang konstruktif selama bimbingan kepada penulis dalam penyelesaian penulisan tesis.

2. Prof.Dr.Ir. Isang Gonarsyah, selaku Ketua Program Studi PWD dan sebagai penguji luar komisi.

3. Keluargaku tercinta yang telah memberikan motivasi dan pengorbanan yang begitu besar baik secara material maupun spiritual.

4. Pemerintah Daerah Kabupaten Buru yang telah menfasilitasi dalam pemberian biaya selama penulis menjalani pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB.

5. Seluruh rekan-rekan mahasiswa S2 di Program studi PWD 2002 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, serta semua pihak yang turut membantu penulis dalam penyelesaian penulisan tesis ini.

Semoga segala bantuan yang telah diberikan bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Amin Yaa Robbal A’lamin

Akhirnya, saran dan kritik sangat diharapkan demi kesempurnaannya dan semoga dapat bermanfaat.

Bogor, Pebruari 2006


(6)

RIWAYAT HIDUP

IDRIS LOILATU, dilahirkan di Desa Selasi-Ambalau Kabupaten Buru - Maluku, pada tanggal 15 Juli 1972, merupakan anak ke enam dari tujuh bersaudara dari pasangan Ayah H. Majud Loilatu dan Ibu Hj. Sarafiah Loilatu.

Pendidikan dasar dimulai pada tahun 1979 di Madrasah Ibtidaiyah Alhillal Elara Ambalau dan lulus tahun 1985. Kemudian pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan pada Madrasah Tsanawiyah Alhillal Wailua Ambalau dan lulus tahun 1988, melanjutkan jenjang pendidikan atas pada SMA Muhammadiyah Ambon dan lulus pada tahun 1991. Pendidikan perguruan tinggi ditempuh pada Jurusan Budidaya Pertanian (Agronomi ) Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon dan lulus pada tahun 1998. Selanjutnya pada tahun 2000 penulis diterima sebagai pegawai negeri sipil oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Buru Provinsi Maluku, dan sampai saat ini ditempatkan sebagai staf pada Dinas Perkebunan dan Hortikultura Kabupaten Buru. Pada tahun 2002 diberikan kesempatan dan kepercayaan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Buru untuk mengikuti pendidikan Program Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN

DAFTAR TABEL ……….………. iii

DAFTAR GAMBAR ….………. iv

DAFTAR LAMPIRAN ……… v

I. PENDAHULUAN ……… 1

1.1. Latar Belakang ……… 1

1.2. Perumusan Masalah ………... 7

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 12

1.3.1. Tujuan Penelitian ………. 12

1.3.2. Manfaat Penelitian ………... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA ...……… 13

2.1. Pengembangan Usaha Komoditi Kakao Rakyat ………. 13

2.2. Kajian Pengembangan Kakao ……….. 14

2.3. Kelayakan Pemasaran Kakao Rakyat ……… 20

2.4. Kelembagaan Usaha Perkebunan Kakao Rakyat ……….... 24

2.5. Pembangunan Wilayah ……….. 32

2.5.1. Pembangunan Ekonomi Wilayah ………. 32

2.5.2. Teori Basis Ekonomi (Teori Lokasi) ………. 35

2.6. Kelayakan Usaha Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat ..………. 38

2.6.1. Kelayakan Finansial ……… 38

2.6.2. Kelayakan Ekonomi ……… 40

2.6.3. Kelayakan Ekonomi Privat dan Sosial ……….. 42

III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ………. 47

3.1. Kerangka Pemikiran ………... 47

3.2. Hipotesis …...…....………..… 54

IV. METODE PENELITIAN ……….……… 55

4.1. Lokasi Dan Waktu Penelitian ……….……... 55

4.2. Metode Penarikan Contoh ..……….. 55

4.3. Jenis dan Sumber Data ……….. 56

4.4. Metode Analisis ……… 56

4.4.1. Analisis Kelayakan Usaha Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat ……….. 57

4.4.1.1. Net Present Value (NPV) ………..………. 57

4.4.1.2. Internal Rate of Return (IRR) ………. 57

4.4.1.3. Net Benefit Cost (Net B/C) ………. 58

4.4.2. Model Respon Luas Areal Kakao Rakyat ……… 59

4.4.3. Analisis Marjin Tataniaga ……….. 60

4.4.4. Analisis Elastisitas Trasmisi Harga ………. 60

4.4.5. Analisis Integrasi Pasar ……….. 61

4.4.6. Policy Analysis Matrix (PAM) ………. 62

4.4.7. Analisis Lokasional ……… ……….. 63

4.4.7.1. Analisis Location Quotient (LQ) ……….. 63

4.4.7.2. Shift-Share Analysis (SSA) ……… 64


(8)

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ………... 69

5.1. Letak Geografis dan Fisik Wilayah ………. 69

5.2. Wilayah Administrasi ……….. 73

5.3. Karakteristik Penduduk ……….. 73

5.4. Karakteristik Pertumbuhan Ekonomi Wilayah ……… 77

5.5. Karakteristik Usahatani Kakao Rakyat ……… 81

5.6. Karakteristik Petani Perkebunan Kakao ………. 86

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 89

6.1. Keragaan Kelayakan Usaha dan Kebijakan Perkakaoan ..……… 89

6.1.1. Analisis Kelayakan Finansial dan Ekonomi ……… 89

6.1.2. Analisis Kebijakan Pemerintah ..……… 94

6.1.2.1. Dampak Divergensi dan Kebijakan Pemerintah ..………… 96

6.1.2.2. Dampak Kebijakan Harga Input ……….. 97

6.1.2.3. Dampak Kebijakan Harga Output ..……… 99

6.1.2.4. Dampak Bersih Kebijakan Harga Input-Output ……… 100

6.1.3. Respon Luas Areal Tanaman Kakao ……… 103

6.1.4. Analisis Lokasional ……… 106

6.2. Kajian Sistem Pemasaran Kakao Rakyat …...……… 116

6.2.1. Struktur Pemasaran ……….. 116

6.2.2. Marjin Tataniaga ………. 119

6.2.3. Elastisitas Trasmisi Harga ……… 124

6.2.4. Integrasi Pasar ..……… 125

6.2.5. Opsi Kelembagaan ..……… 127

VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ……… 130

7.1. Simpulan ...……… 130

7.2. Implikasi Kebijakan ..……….. 131

DAFTAR PUSTAKA ...……… 132

LAMPIRAN ………..……… 135

DAFTAR TABEL


(9)

1. Luas Areal dan Produksi Komoditas Kakao Indonesia

Menurut Pengusahaan, 1993-2003………. 2

2. Distribusi Presentase PDRB Kabupaten Buru Atas Harga Berlaku

Untuk Sektor Pertanian dan Subsektor Lainnya, 1998-2002 ………. 7 3. Unsur-unsur Perbedaan dalam Analisis Finansial dan Analisis

Ekonomi ……….. 41

4. Formulasi Model Policy Analysis Matrix (PAM)………. 43 5. Jenis dan Jumlah Responden Masing-masing Lokasi Penelitian ….. 56 6. Model Policy Analysis Matrix (PAM) ……… ………... 62 7. Wilayah Administratif dan Luas Wilayah Kecamatan ……….. 72 8. Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Kabupaten

Buru Menurut Kecamatan ……… 74

9. Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di

Kabupaten Buru ………. 75

10. Hasil PDRB Kabupaten Buru Tahun 1996 sampai 2002 ……… 78 11. PDRB Seluruh Sektor di Kabupaten Buru Atas Harga Konstan

1993. ……… 79

12. Karakteristik Usahatani Kakao Rakyat di Kabupaten Buru, 2004 …. 81 13. Perkembangan Luas Tanam dan Produksi Beberapa Komoditi

Perkebunan Penting di Kabupaten Buru tahun 2001-2003 ………… 84 14. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Keterlibatan Rumah

Tangga Usahatani Perkebunan Kakao Menurut Kecamatan di

Kabupaten Buru ………. 85

15. Karakteristik Petani Kakao di Kabupaten Buru, 2004 … ………. 86 16. Analisis Kelayakan Finansial (NPV, BC Ratio dan IRR) Perkebunan

Kakao Rakyat di Kabupaten Buru pada Tingkat Suku Bunga 12%

dan 25% dalam luasan 1 Ha, 2004 ………. 90 17. Analisis Kelayakan Ekonomi (NPV, BC Ratio dan IRR) Perkebunan

Kakao Rakyat di Kabupaten Buru pada Tingkat Suku Bunga 12%

dan 38% dalam luasan 1 Ha, 2004 ………. 93 18. Matrik Hasil Analisis Kebijakan pada Perkebunan Kakao Rakyat di

Kabupaten Buru, 2004. ………. 95

19. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Ln Luas Areal dan Nilai Elastisitas pada Tanaman Kakao dalam Jangka Pendek dan

Jangka Panjang di Kabupaten Buru,1993-2004. ………. 104 20 Hasil Location Quotient Analysis Berdasarkan Luas Areal Komoditi

Perkebunan di Kabupaten Buru, Tahun 2003. ………. 107 21. Hasil Shift Share Analysis Berdasarkan Luas Areal Komoditi

Perkebunan di Kabupaten Buru, Tahun 2003 ……….. 112 22. Marjin Pemasaran Kakao Rakyat di Kabupaten Buru, 2004 ……….. 121 23. Hasil Pendugaan Koefisien Persamaan Regresi Harga Kakao di


(10)

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman

1 Penentuan Pilihan Institusi Melalui Analisis Ekonomi Biaya-biaya

Transaksi (transaction cost) ……….……… 26 2 Kerangka Berfikir Tiga Dimensi Tentang Keberlanjutan………….. 33 3 Kerangka Pikir Penelitian Analisis Pengembangan Perkebunan

Kakao Rakyat di Kabupaten Buru………... 53 4 Saluran Pemasaran Komoditi Kakao di Kabupaten Buru 117


(11)

ANALISIS PENGEMBANGAN

PERKEBUNAN KAKAO RAKYAT

DI KABUPATEN BURU PROVINSI MALUKU

IDRIS LOILATU

PROGRAM STUDI

ILMU PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PERDESAAN SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006


(12)

ABSTRAK

IDRIS LOILATU, Analisis Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Buru Provinsi Maluku. ( HERMANTO SIREGAR sebagai Ketua dan

AFFENDI ANWAR sebagai Anggota Komisi Pembimbing ).

Penelitian ini dilakukan untuk mengungkapkan bagaimana pengaruh harga kakao, tingkat kelayakan usahatani dan dampak intervensi pemerintah terhadap pengembangan komoditi kakao rakyat di Kabupaten Buru. Dalam penelitian ini dikaji sistem kelembagaan yang mendukung pengembangan komoditi kakao; kelayakan usahatani; pengaruh harga terhadap peningkatan luas areal dengan menggunakan analisis regresi; aliran pemasaran dan keterpaduan pasar yang ditelusuri dengan analisis marjin tataniaga, elastisitas trasmisi harga dan integrasi pasar; efisiensi ekonomis dan dampak intervensi pemerintah dengan menggunakan policy analysis matrix, serta keunggulan komparatif dan kompetitif suatu wilayah dengan pendekatan analisis lokasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan komoditi kakao rakyat di wilayah Kabupaten Buru memberikan keuntungan secara finansial maupun ekonomi karena memiliki keunggulan komparatif. Petani kakao sangat responsif terhadap perubahan harga. Kajian integrasi pasar memperlihatkan bahwa keterpaduan pasar hanya berlangsung dalam jangka pendek. Marjin keuntungan yang diterima petani lebih kecil daripada pedagang pengumpul dan pedagang besar.

Key Word : Respon Harga, Kebijakan Intervensi pemerintah, Kelayakan Finansial dan Ekonomi, Pengembangan Kakao Rakyat.


(13)

ANALISIS PENGEMBANGAN

PERKEBUNAN KAKAO RAKYAT

DI KABUPATEN BURU PROVINSI MALUKU

IDRIS LOILATU

P053020111

Tesis

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(14)

Judul Penelitian : Analisis Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Buru Provinsi Maluku

Nama Mahasiswa : Idris Loilatu

Nomor Pokok : P053020111

Program Studi : Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah Dan Perdesaan

Program : Magister Sains (S2)

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. H. Hermanto Siregar, M.Ec

Ketua

Prof. Dr. Ir. H. Affendi Anwar, M.Sc

Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan

Wilayah dan Perdesaan

Prof. Dr. Ir. Isang Gonarsyah

Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc


(15)

PRAKATA

Segala puji dan syukur hanya diperuntukan kepada Allahul Wahid yang telah memberikan rahmat dan petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat merampungkan Tesis ini dengan judul: “Analisis Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Buru Provinsi Maluku” yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Institut Pertanian Bogor.

Penulisan tesis ini tidak dapat terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr.Ir. H. Hermanto Siregar, M.Ec, dan Prof.Dr.Ir. H. A. Anwar, M.Sc, selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bantuan yang konstruktif selama bimbingan kepada penulis dalam penyelesaian penulisan tesis.

2. Prof.Dr.Ir. Isang Gonarsyah, selaku Ketua Program Studi PWD dan sebagai penguji luar komisi.

3. Keluargaku tercinta yang telah memberikan motivasi dan pengorbanan yang begitu besar baik secara material maupun spiritual.

4. Pemerintah Daerah Kabupaten Buru yang telah menfasilitasi dalam pemberian biaya selama penulis menjalani pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB.

5. Seluruh rekan-rekan mahasiswa S2 di Program studi PWD 2002 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, serta semua pihak yang turut membantu penulis dalam penyelesaian penulisan tesis ini.

Semoga segala bantuan yang telah diberikan bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Amin Yaa Robbal A’lamin

Akhirnya, saran dan kritik sangat diharapkan demi kesempurnaannya dan semoga dapat bermanfaat.

Bogor, Pebruari 2006


(16)

RIWAYAT HIDUP

IDRIS LOILATU, dilahirkan di Desa Selasi-Ambalau Kabupaten Buru - Maluku, pada tanggal 15 Juli 1972, merupakan anak ke enam dari tujuh bersaudara dari pasangan Ayah H. Majud Loilatu dan Ibu Hj. Sarafiah Loilatu.

Pendidikan dasar dimulai pada tahun 1979 di Madrasah Ibtidaiyah Alhillal Elara Ambalau dan lulus tahun 1985. Kemudian pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan pada Madrasah Tsanawiyah Alhillal Wailua Ambalau dan lulus tahun 1988, melanjutkan jenjang pendidikan atas pada SMA Muhammadiyah Ambon dan lulus pada tahun 1991. Pendidikan perguruan tinggi ditempuh pada Jurusan Budidaya Pertanian (Agronomi ) Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon dan lulus pada tahun 1998. Selanjutnya pada tahun 2000 penulis diterima sebagai pegawai negeri sipil oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Buru Provinsi Maluku, dan sampai saat ini ditempatkan sebagai staf pada Dinas Perkebunan dan Hortikultura Kabupaten Buru. Pada tahun 2002 diberikan kesempatan dan kepercayaan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Buru untuk mengikuti pendidikan Program Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.


(17)

DAFTAR ISI

HALAMAN

DAFTAR TABEL ……….………. iii

DAFTAR GAMBAR ….………. iv

DAFTAR LAMPIRAN ……… v

I. PENDAHULUAN ……… 1

1.1. Latar Belakang ……… 1

1.2. Perumusan Masalah ………... 7

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 12

1.3.1. Tujuan Penelitian ………. 12

1.3.2. Manfaat Penelitian ………... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA ...……… 13

2.1. Pengembangan Usaha Komoditi Kakao Rakyat ………. 13

2.2. Kajian Pengembangan Kakao ……….. 14

2.3. Kelayakan Pemasaran Kakao Rakyat ……… 20

2.4. Kelembagaan Usaha Perkebunan Kakao Rakyat ……….... 24

2.5. Pembangunan Wilayah ……….. 32

2.5.1. Pembangunan Ekonomi Wilayah ………. 32

2.5.2. Teori Basis Ekonomi (Teori Lokasi) ………. 35

2.6. Kelayakan Usaha Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat ..………. 38

2.6.1. Kelayakan Finansial ……… 38

2.6.2. Kelayakan Ekonomi ……… 40

2.6.3. Kelayakan Ekonomi Privat dan Sosial ……….. 42

III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ………. 47

3.1. Kerangka Pemikiran ………... 47

3.2. Hipotesis …...…....………..… 54

IV. METODE PENELITIAN ……….……… 55

4.1. Lokasi Dan Waktu Penelitian ……….……... 55

4.2. Metode Penarikan Contoh ..……….. 55

4.3. Jenis dan Sumber Data ……….. 56

4.4. Metode Analisis ……… 56

4.4.1. Analisis Kelayakan Usaha Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat ……….. 57

4.4.1.1. Net Present Value (NPV) ………..………. 57

4.4.1.2. Internal Rate of Return (IRR) ………. 57

4.4.1.3. Net Benefit Cost (Net B/C) ………. 58

4.4.2. Model Respon Luas Areal Kakao Rakyat ……… 59

4.4.3. Analisis Marjin Tataniaga ……….. 60

4.4.4. Analisis Elastisitas Trasmisi Harga ………. 60

4.4.5. Analisis Integrasi Pasar ……….. 61

4.4.6. Policy Analysis Matrix (PAM) ………. 62

4.4.7. Analisis Lokasional ……… ……….. 63

4.4.7.1. Analisis Location Quotient (LQ) ……….. 63

4.4.7.2. Shift-Share Analysis (SSA) ……… 64


(18)

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ………... 69

5.1. Letak Geografis dan Fisik Wilayah ………. 69

5.2. Wilayah Administrasi ……….. 73

5.3. Karakteristik Penduduk ……….. 73

5.4. Karakteristik Pertumbuhan Ekonomi Wilayah ……… 77

5.5. Karakteristik Usahatani Kakao Rakyat ……… 81

5.6. Karakteristik Petani Perkebunan Kakao ………. 86

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 89

6.1. Keragaan Kelayakan Usaha dan Kebijakan Perkakaoan ..……… 89

6.1.1. Analisis Kelayakan Finansial dan Ekonomi ……… 89

6.1.2. Analisis Kebijakan Pemerintah ..……… 94

6.1.2.1. Dampak Divergensi dan Kebijakan Pemerintah ..………… 96

6.1.2.2. Dampak Kebijakan Harga Input ……….. 97

6.1.2.3. Dampak Kebijakan Harga Output ..……… 99

6.1.2.4. Dampak Bersih Kebijakan Harga Input-Output ……… 100

6.1.3. Respon Luas Areal Tanaman Kakao ……… 103

6.1.4. Analisis Lokasional ……… 106

6.2. Kajian Sistem Pemasaran Kakao Rakyat …...……… 116

6.2.1. Struktur Pemasaran ……….. 116

6.2.2. Marjin Tataniaga ………. 119

6.2.3. Elastisitas Trasmisi Harga ……… 124

6.2.4. Integrasi Pasar ..……… 125

6.2.5. Opsi Kelembagaan ..……… 127

VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ……… 130

7.1. Simpulan ...……… 130

7.2. Implikasi Kebijakan ..……….. 131

DAFTAR PUSTAKA ...……… 132

LAMPIRAN ………..……… 135

DAFTAR TABEL


(19)

1. Luas Areal dan Produksi Komoditas Kakao Indonesia

Menurut Pengusahaan, 1993-2003………. 2

2. Distribusi Presentase PDRB Kabupaten Buru Atas Harga Berlaku

Untuk Sektor Pertanian dan Subsektor Lainnya, 1998-2002 ………. 7 3. Unsur-unsur Perbedaan dalam Analisis Finansial dan Analisis

Ekonomi ……….. 41

4. Formulasi Model Policy Analysis Matrix (PAM)………. 43 5. Jenis dan Jumlah Responden Masing-masing Lokasi Penelitian ….. 56 6. Model Policy Analysis Matrix (PAM) ……… ………... 62 7. Wilayah Administratif dan Luas Wilayah Kecamatan ……….. 72 8. Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Kabupaten

Buru Menurut Kecamatan ……… 74

9. Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di

Kabupaten Buru ………. 75

10. Hasil PDRB Kabupaten Buru Tahun 1996 sampai 2002 ……… 78 11. PDRB Seluruh Sektor di Kabupaten Buru Atas Harga Konstan

1993. ……… 79

12. Karakteristik Usahatani Kakao Rakyat di Kabupaten Buru, 2004 …. 81 13. Perkembangan Luas Tanam dan Produksi Beberapa Komoditi

Perkebunan Penting di Kabupaten Buru tahun 2001-2003 ………… 84 14. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Keterlibatan Rumah

Tangga Usahatani Perkebunan Kakao Menurut Kecamatan di

Kabupaten Buru ………. 85

15. Karakteristik Petani Kakao di Kabupaten Buru, 2004 … ………. 86 16. Analisis Kelayakan Finansial (NPV, BC Ratio dan IRR) Perkebunan

Kakao Rakyat di Kabupaten Buru pada Tingkat Suku Bunga 12%

dan 25% dalam luasan 1 Ha, 2004 ………. 90 17. Analisis Kelayakan Ekonomi (NPV, BC Ratio dan IRR) Perkebunan

Kakao Rakyat di Kabupaten Buru pada Tingkat Suku Bunga 12%

dan 38% dalam luasan 1 Ha, 2004 ………. 93 18. Matrik Hasil Analisis Kebijakan pada Perkebunan Kakao Rakyat di

Kabupaten Buru, 2004. ………. 95

19. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Ln Luas Areal dan Nilai Elastisitas pada Tanaman Kakao dalam Jangka Pendek dan

Jangka Panjang di Kabupaten Buru,1993-2004. ………. 104 20 Hasil Location Quotient Analysis Berdasarkan Luas Areal Komoditi

Perkebunan di Kabupaten Buru, Tahun 2003. ………. 107 21. Hasil Shift Share Analysis Berdasarkan Luas Areal Komoditi

Perkebunan di Kabupaten Buru, Tahun 2003 ……….. 112 22. Marjin Pemasaran Kakao Rakyat di Kabupaten Buru, 2004 ……….. 121 23. Hasil Pendugaan Koefisien Persamaan Regresi Harga Kakao di


(20)

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman

1 Penentuan Pilihan Institusi Melalui Analisis Ekonomi Biaya-biaya

Transaksi (transaction cost) ……….……… 26 2 Kerangka Berfikir Tiga Dimensi Tentang Keberlanjutan………….. 33 3 Kerangka Pikir Penelitian Analisis Pengembangan Perkebunan

Kakao Rakyat di Kabupaten Buru………... 53 4 Saluran Pemasaran Komoditi Kakao di Kabupaten Buru 117


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Teks Halaman

1. Lampiran 1. Hasil Analisis Finansial Usahatani Perkebunan Kakao

Rakyat untuk Luasan 1 Ha (1100 Tanaman) di Kabupaten Buru ….. 135 2. Hasil Analisis Ekonomi Usahatani Perkebunan Kakao Rakyat untuk

Luasan 1 Ha (1100 Tanaman) di Kabupaten Buru ……….. 136 3. Matrik Analisis Kebijakan Harga dalam Pengembangan Usahatani

Kakao Rakyat di Kabupaten Buru, 2004 ……… 137 4. Data Luas Areal Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Buru,

Tahun 1993 sampai 2003 ……… 138

5. Hasil Regresi Respon Luas Areal Tanaman Kakao Rakyat di

Kabupaten Buru, 2004 ……….. 139

6. Data Luas Areal Tanaman Perkebunan di Kabupaten Buru Untuk

Analisis Lokasional ……… 140

7.

Data Harga Kakao di Tingkat Petani dan Pedagang Besar (Pasar Referensi) Untuk Menghitung Elastisitas Transmisi Harga dari Juli

2002 sampai Juni 2004 ……… 141

8. Hasil Regresi Untuk Menghitung Elastisitas Transmisi Harga Kakao

di Kabupaten Buru, Tahun 2003 ………. 142 9.

Data Harga Kakao di Tingkat Petani dan Pedagang Besar (Pasar Referensi) Untuk Menghitung Indek Keterpaduan Pasar dari Juli

2002 sampai Juni 2004 ………. 143

10. Hasil Regresi untuk Menghitung Indek Keterpaduan Pasar Kakao

di Kabupaten Buru, Tahun 2004 ………. 144

11. Peta Kabupaten Buru …….……….. 145


(22)

1.1. Latar Belakang

Komoditi perkebunan merupakan salah satu komponen sektor pertanian yang memberikan peranan penting dan mempunyai kontribusi cukup besar terhadap pembangunan ekonomi nasional. Ketika Indonesia diterpa krisis multidimensi pertengahan tahun 1997, hampir seluruh sektor pembangunan ekonomi telah mengalami kelumpuhan, namun sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan telah memberikan andil dalam meningkatkan devisa negara. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa subsektor perkebunan merupakan sektor basis yang banyak diusahakan oleh masyarakat di pedesaan, dan merupakan sumber mata pencaharian utama bagi sebagian penduduk di beberapa provinsi. Dalam tahun 2002, dari total penerimaan sektor pertanian sebesar US$ 5.364 juta, subsektor perkebunan telah menyumbangkan sekitar 88,76 % dari perolehan devisa yang dihasilkan dari sektor non-migas (Ditjenbun, 2004).

Di lain sisi, gambaran kegagalan pembangunan ekonomi pada saat terjadinya krisis, memberikan hikmah pentingnya merubah paradigma pembangunan yang selama ini bercorak sektoral, lebih bertumpuh pada kegiatan-kegiatan eksploitasi sumberdaya alam dan tidak berbasis sumberdaya domestik. Dengan semakin terbatasnya sumberdaya alam yang tidak terbaharui (unrenewab le) serta menurunya kapasitas produksi sumberdaya alam terbaharui (renewable

recsources), memberikan isyarat bahwa di masa akan datang paradigma

pembangunan ekonomi tidak lagi didasarkan kepada kegiatan-kegiatan eksploitasi sumberdaya alam, namun lebih mengarah kepada pembangunan ekonomi wilayah yang berbasis komunitas lokal (local community-based

economy) dan sumberdaya domestik (domestic resource-based economy).

Menurut Rustiadi (2000) bahwa pembangunan yang berbasis komonitas lokal merupakan pembangunan yang ditujukan dan dilaksanakan oleh masyarakat


(23)

lokal untuk meningkatkan kesejahteraannya secara berkelanjutan yang disesuaikan dengan kapasitas dan kondisi lingkungan sumberdaya alamnya, sedangkan pembangunan yang berbasis sumberdaya domestik dalam penggunaannya harus mencakup sumberdaya fisik-alam (natural resource), sumberdaya manusia (human capital) sumberdaya sosial (social capital) dan sumberdaya buatan (man-mad capital).

Sektor pembangunan ekonomi yang memenuhi kriteria dan kondisi paradigma pembangu nan tersebut adalah sektor pertanian. Salah satu komoditas perkebunan dari sektor pertanian yang memberikan andil dalam pembangunan ekonomi nasional adalah tanaman kakao. Ditinjau dari sudut pengusahaan maka komoditas ini mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar, karena secara nasional hampir 87 persen pengembangan kakao diusahakan oleh perkebunan rakyat, sedangkan sisanya diusahakan oleh Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS), (Ditjenbun 2004).

Tabel 1. Luas Areal dan Produksi Komoditas Kakao Indonesia Menurut Pengusahaan, 1993-2003

Luas Areal (Ha) Produksi (ton)

Tahun

PR PBN PBS Jumlah PR PBN PBS Jumlah

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003* 376.636 415.522 428.923 488.815 380.811 436.576 534.670 641.133 710.044 798.628 801.332 65.525 69.760 66.021 63.025 62.455 58.261 59.990 52.690 55.291 54.815 54.815 93.124 111.729 107.484 103.491 85.791 77.716 73.055 56.094 56.114 60.608 61.487 535.285 597.011 602.428 655.331 529.057 572.553 667.715 749.917 821.449 914.051 917.634 187.529 198.001 231.991 304.013 263.846 369.887 304.549 363.628 476.924 511.379 512.251 40.638 42.086 40.933 36.456 35.644 46.307 37.064 34.790 33.905 34.083 34.310 29.892 29.894 31.941 33.530 30.729 32.733 25.862 22.724 25.975 25.693 26.079 258.059 269.981 304.866 373.999 330.219 448.927 367.475 421.142 536.804 571.155 572.640

Sumber : Ditjenbun 2004

Keterangan : *) Angka Sementara.


(24)

pengembangan komoditas ini. Kondisi riel di lapangan menunjukkan bahwa pada tahun 1993 luas areal kakao hanya mencapai 535.285 ha dengan produksi nasionalnya sebesar 258.059 ton, namun pada tahun 2002 terjadi peningkatan luas areal sebesar 914.051 ha, pertambahan luas areal tersebut telah mendorong peningkatan jumlah produksi kakao nasional sebesar 571.155 ton. Dari peningkatan produksi tersebut perkebunan kakao rakyat memberikan kontribusi produksi kakao sebesar 511.379 ton dari total produksi nasional.

Pengusahaan perkebunan kakao rakyat di Provinsi Maluku, pada umumnya hampir sama dengan daerah lain di luar pulau Jawa, yaitu secara monokultur maupun kebun campuran. Hal ini tidak terlepas dari karakteristik petani pada wilayah ini yang memiliki keragaman dalam pola usahatani. Secara historis pengusahaan tanaman perkebunan di wilayah ini, sudah lama berlangsung. Di mana komoditi perkebunan yang menjadi perioritas pengembangan dan sumber pendapatan petani, pada mulanya adalah tanaman cengkeh, kelapa dan pala.

Secara umum aktivitas masyarakat Kabupaten Buru masih berorientasi pada usaha tanaman perkebunan dan menjadikan komoditi perkebunan sebagai sumber mata pencaharian utama. Pengembangan tanaman kakao di Kabupaten Buru sebagian besar adalah perkebunan rakyat yang diusahakan oleh petani lokal dalam skala kecil dan pengelolaannya masih bersifat tradisional, karena belum ada yang diusahakan oleh perkebunan besar negara maupun perkebunan besar swasta. Dalam pengembangannya komoditi ini mengalami peningkatan yang cukup pesat, hal ini selain dipengaruhi oleh perubahan harga berbagai komoditi perkebunan, di lain sisi karena ditunjang oleh keadaan agroklimat wilayah yang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman perkebunan.

Di tinjau dari aspek agronomis, tanaman kakao mulai berproduksi pada umur tiga tahun dengan umur ekonomisnya sekitar dua puluh tahun. Pengusahaan tanaman kakao oleh petani memiliki spesifikasi tersendiri dalam


(25)

sistem usahatani (farming system). Sebab dalam pelaksanaannya, tanaman ini sering dibudidayakan dengan pola sistem tumpangsari dengan tanaman perkebunan lainnya, seperti kelapa dan tanaman buah-buahan. Bahkan dalam penanamannya kebanyakan diawali dengan penanaman pohon pelindung yang nantinya mempunyai nilai ekonomis baik secara langsung maupun tidak langusng. Penanaman kakao rata-rata diusahakan pada lahan-lahan yang hak kepemilikannya adalah milik perorangan dan hak kepemilikan bersama (hak ulayat). Proses pembentukan hak-hak masyarakat atas lahan ini umumnya bersifat turun-temurun dan pengakuan atas hak-hak (property right) masyarakat telah berlangsung lama sejak mereka ada dilokasi tersebut.

Sejalan dengan semakin meningkatnya permintaan pasar lokal, nasional maupun dunia menyebabkan laju pertumbuhan pengusahaan komoditas ini semakin pesat, bila dibandingkan dengan pengembangan komoditi perkebunan lainya seperti kelapa, cengkeh, pala, jambu mete dan kopi. Sehingga dalam kurung waktu delapan tahun pengembangan komoditi ini mengalami peningkatan yang cukup pesat, baik luas areal maupun produksinya. Di mana pada tahun 1995 luas lahan pengembangan kakao hanya sebesar 830 ha dengan jumlah produksinya 115,5 ton, maka pada tahun 2003 meningkat menjadi 5.764,43 ha dengan jumlah produksinya 4.893,18 ton yang diusahakan oleh 9.894 KK (Disbun dan Hortikultura Kab. Buru, 2004).

Di samping permintaan pasar, pengaruh harga sangat signifikan terhadap pengembangan komoditi kakao rakyat. Hal ini dikarenakan komoditi kakao merupakan komoditi ekspor sehingga pengusahaannya lebih banyak disebabkan oleh adanya isyarat harga komoditas tersebut di pasar internasional. Akan tetapi peningkatan tersebut tidak signifikan dengan produksi dan kualitas biji (mutu hasil) kakao. Rendahnya mutu hasil dan volume produksi tersebut, kemungkinan


(26)

disebabkan oleh terjadinya spasial monopsoni yang berakibat pada tidak kompetitifnya harga komoditi kakao.

Dalam sistem tataniaga, permintaan pasar terhadap komoditi kakao oleh industri pengolahan kebanyakan dalam bentuk biji kakao yang bermutu tinggi yaitu biji kakao yang fermentasi sempurna (full fermentation), namun dalam kenyataannya ada juga permintaan pasar dalam bentuk biji kakao setengah fermentas yang sudah tentu harganya lebih rendah. Pemasaran komoditi kakao oleh petani di Kabupaten Buru sering dilakukan lewat perdagangan antar pulau dalam wilayah Provinsi Maluku dan antar Provinsi. Dalam sistem pemasarannya, pedagang pengumpul dan pedagang antar pulau memiliki peranan yang cukup kuat dalam menentukan harga komoditi kakao.

Peranan mereka yang cukup menonjol tersebut disebabkan posisi bargaining petani sangat lemah dalam pengusahaan maupun tataniaga komoditi kakao, kondisi ini dipicu pula oleh tidak terorganisirnya kelembagaan petani dan belum tertata sistem kelembagaan pemasaran dengan baik. Di samping itu institusi-institusi adat yang ada di masyarakat lokal kurang diberdayakan serta kurang mendapat porsi dalam pemanfaatan potensi sumberdaya alam. Kelembagaan formal yang dibentuk pemerintah seperti KUD atau koperasi kurang berperan dalam pengembangan komoditi kakao maupun memberikan pelayanan yang baik bagi petani dalam peningkatan produksi, perbaikan kualitas dan pemasaran. Pembentukan kelompok tani yang merupakan wadah bertemunya para petani dalam mensinergikan berbagai pemikiran dalam meningkatkan usahanya lebih bersifat temporer, hanya mengejar target dan tidak berkelanjutan. Sehingga kelembagaan tataniaga yang berkembang di tingkat petani adalah kelembagaan informal berupa sistem kontrak tradisional melalui sistem kekerabatan dan kepercayaan antar petani dengan tengkulak/pengusaha.


(27)

Kegiatan perdagangan memainkan peranan penting dalam perekonomian, karena untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan harus diciptakan kondisi yang dapat menjamin kelancaran pemasaran baik di dalam maupun di luar negeri. Pemasaran kakao tentunya melalui beberapa lembaga pemasaran yang ada dalam suatu sistem pemasaran. Sistem pemasaran yang produktif dan efisien tergantung pada efisiensi penggunaan sumberdaya dan proses penciptaan kegunaan waktu, keguna an bentuk serta kegunaan tempat dalam pergerakan barang dan jasa dari kegiatan produksi. Produksi komoditas pertanian yang tinggi yang tidak diikuti dengan sistem pemasaran yang baik, maka produksi tersebut tidak dapat memberikan manfaat yang besar dalam usaha peningkatan pendapatan petani, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan petani.

Kelancaran pemasaran akan tercapai melalui upaya penyempurnaan lembaga pemasaran serta sistem pemasaran, keadaan ini diharapkan dapat mendorong kegiatan produksi, sehingga dapat memperluas kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan petani serta pertumbuhan pembangunan wilayah.

Berangkat dari berbagai hal tersebut, maka kondisi ini menarik dilakukan penelitian untuk mengetahui berbagai faktor dalam “Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Buru Provinsi Maluku”.

1.2. Perumusan Masalah

Pembangunan pertanian tidak saja tercermin dari peningkatan luas areal dan produksi, tetapi juga harus diikuti dengan perbaikan mutu hasil, penguasaan managemen usahatani, penataan sistem kelembagaan dan pemasaran. Sehingga dapat memiliki daya saing baik di pasar nasional, regional maupun internasional, dengan tujuan akhirnya adalah untuk meningkatkan pendapatan petani dan mendatangkan devisa bagi negara.


(28)

Pada umumnya struktur perekonomian Kabupaten Buru masih bertumpuh pada sektor pertanian. Salah satu sektor pertanian yang memberikan andil terhadap distribusi pendapatan daerah adalah subsektor perkebunan. Berdasarkan distribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Buru periode tahun 1998-2002 menunjukan bahwa peranan sektor pertanian (tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan) sangat besar terhadap penambahan pendapatan daerah dan pembangunan wilayah.

Tabel 2. Distribusi Presentasi PDRB Kabupaten Buru Atas Dasar Harga Berlaku Untuk Sektor Pertanian dan Subsektor lainya Tahun 1998-2002

Sektor/Subsektor 1998 1999 2000 2001 2002

Pertanian 47,32 58,49 62,38 62,,48 62,05

Tanaman 11,03 18,16 21,81 21,07 21,86

Perkebunan 16,87 24,69 27,23 29,59 27,05

Peternakan 1,52 2,93 3,05 2,98 3,03

Kehutanan 15,79 9,39 6,69 6,28 6,19

perikanan 2,11 3,31 3,59 3,56 3,90

Sumber : BPS Kabupaten Buru, 2003

Untuk sektor pertanian, kontribusi dari subsektor perkebunan bila dibandingkan dengan subsektor lainya menunjukan peningkatan yang cukup signifikan terhadap penerimaan PDRB Kabupaten Buru. Tercatat dari tahun 1998 penerimaan PDRB dari subsektor perkebunan sebesar 16,87 persen, dan terjadi kenaikan sebesar 29,59 persen (2001), namun mengalami penurunan pada tahun 2002 yaitu 21,86 persen. Walaupun demikian, subsektor perkebunan masih tetap memperlihatkan kontribusinya yang besar terhadap penerimaan PDRB Kabupaten Buru bila dibandingkan dengan sektor lainnya. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa subsektor perkebunan merupakan subsektor andalan di Kabupaten Buru yang banyak diusahakan oleh masyarakat dan perlu mendapatkan perhatian dalam pengembangannya.

Komoditi perkebunan yang banyak diusahakan dan merupakan komoditi unggulan di Kabupaten Buru adalah kelapa, kakao, cengkeh, pala, jambu mete


(29)

dan kopi. Di mana komoditi kakao merupakan komoditi primadona yang sangat diminati untuk dibudidayakan oleh petani disamping komoditi kelapa dan komoditi perkebunana lainnya.

Tanaman perkebunan yang pada awalnya menjadi prioritas pengembangan oleh masyarakat di Kabupaten Buru adalah tanaman cengkeh dan kelapa. Namun faktor merosotnya harga cengkeh dan belum membaiknya harga kelapa di pasar nasional maupun lokal, dan semakin membaiknya prospek harga kakao di tingkat petani menyebabkan semakin besar perhatian petani pada pengembagan komoditi kakao. Pilihan petani terhadap pengembangan komoditas ini juga dipicu oleh begitu besarnya tuntutan kebutuhan pokok keluarga tani yang terus meningkat, sementara meningkatnya kebutuhan tersebut tidak seiring dengan pendapatan petani, selain itu pula faktor keterbatasan lapangan pekerjaan dan tingkat pendidikan menjadi kendala dalam mencari pekerjaan lain. Kondisi inilah yang menjadikan tanaman kakao sebagai komoditi perkebunan yang memiliki luas lahan terbesar kedua setelah kelapa.

Pengembangan perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru masih memiliki peluang dan potensi yang cukup besar, terutama bila dikaitkan dengan kehidupan masyarakat yang sebagian besar masih mengandalkan tanaman perkebunan sebagai sumber mata pencaharian utama. Ketersedian lahan potensial yang masih luas dan didukung oleh kebijakan pemerintah daerah dalam pengembangan tanaman kakao setelah pemekaran Kabupaten Buru pada tahun 1999, turut memberikan peluang yang besar terhadap pengembangan usaha tanaman kakao di wilayah ini. Permasalahan yang perlu dikaji kemudian adalah terkait dengan penguasaan perkebunan kakao rakyat yang masih terbatas dengan tingkat produktivitas dan kualitas yang masih rendah, fluktuasi harga dan pasar komoditi ini yang tidak stabil, serta tingginya harga beberapa


(30)

menyebabkan margin yang diterima petani menjadi lebih rendah. Kendala lainnya yang berhubungan dengan pemasaran kakao adalah yang terkait dengan aspek kelembagaan tataniaga yang sampai saat ini belum ditata dengan baik dan penguasaan manajemen usahatani.

Secara teknis pertanian, usaha pengembangan perkebunan kakao lebih mengarah pada perluasan areal tanaman, peningkatan produktivitas tanaman serta perbaikan mutu hasil. Berdasarkan laporan Dinas Perkebunan dan Hortikultura Kab. Buru (2003) bahwa produktivitas tanaman kakao di Kabupaten Buru sekitar 1,12 ton/ha, angka tersebut masih jauh dibawah tingkat produktivitas potensial yang bisa dicapai tanaman kakao yaitu sebesar 2,0 ton/ha (Spillane, 1995). Permasalahan rendahnya produktivitas atau produksi ini kemungkinan juga terkait dengan luas kepemilikan lahan yang rata-rata masih dibawah skala ekonomi usahatani yaitu 0,66-1,00 ha/KK, karena agak sulit untuk meningkatkan produksi bila petani memiliki areal yang sempit.

Masalah lain yang sering dialami petani adalah kendala minimnya modal usaha, rendahnya pengetahuan dan ketrampilan petani, kurangnya penggunaan teknologi pertanian, maupun penataan kelembagaan petani dan sistem pemasaran, kemungkinan merupakan penyebab produksi kakao yang dihasilkan petani belum optimal, sehingga keuntungan yang diperoleh para petani juga belum maksimum. Disamping itu, optimalisasi lahan sangat rendah, hal ini terkait dengan cara pengelolaan yang kurang intensif dan masih bersifat tradisional, yang berakibat pada tingkat efisiensi pengusahaan yang juga belum pada kondisi yang efisien secara ekonomi. Oleh karena itu, sampai saat ini usahatani kakao belum mampu menjadi sumber pendapatan utama bagi keluarga tani di Kabupaten Buru.

Permasalahan produktivitas dan perbaikan mutu produksi sangat berpengaruh terhadap penerimaan marjin dan insentif oleh petani, dan sering


(31)

dikaitkan dengan tingkat motivasi dan pengetahuan petani. Hal ini mengisyaratkan bahwa tingkat marjin dan insentif sangat terkait dengan aspek kelembagaan pemasaran dan manajemen usaha tani.

Bila peran kelembagaan petani terorganisir dengan baik dan sistem kelembagaan pemasaran semakin kuat, akan memberikan peluang usaha petani kakao semakin besar, serta bargaining position petani dengan pemerintah semakin kuat. Dengan demikian semakin mendorong petani dalam mengembangkan usaha komoditi kakao dan meningkatkan produksinya, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan.

Permasalahan lain yang sering dihadapi petani di wilayah pedesaan yaitu mengalami berbagai kendala infrastruktur dan komunikasi yang masih sederhana. Informasi pasar langkah dan mahal untuk diperoleh, sehingga harga tidak berfungsi sebagai kordinator informasi untuk pengalokasian sumber daya secara efisien serta kelembagaan pertukaran formal seperti KUD dan Koperasi tani yang tadinya diharapkan dapat memberikan peranan dalam penentuan harga ternyata kinerjanya semakin kurang mengembirakan. Kondisi inilah yang menyebabkan petani kakao lebih memilih sistem kelembagaan pertukaran diluar institusi pasar (extra market institution) dalam bentuk kelembagaan

principle-agent, walaupun konsekuensinya akan menerima harga yang lebih kecil (Anwar,

1998). Opsi kelembagaan sering dihubungkan dengan kuatnya ikatan antara petani dengan tengkulak, dan hubungan ini lebih bersifat emosional karena kelembagaan formal yang selalu diharapkan kurang memberikan akses dalam menampung semua jenis transaksi yang diperlukan oleh petani. Persoalan mendasar dari hubungan perinciple-agent adalah adanya informasi yang asimetrik, di mana satu pihak memiliki informasi yang lebih banyak dari pihak lain sehingga menimbulkan persoalan buruknya pilihan (adverse selection) yang


(32)

bersifat ex-post. Hal ini mengakibatkan terjadinya agency cost atau biaya transaksi yang sangat berpengaruh terhadap kelembagaan yang dipilih oleh petani kakao dalam tataniaga pemasaran hasil.

Komponen permasalahan tersebut, mencerminkan bahwa tingkat kesejahteraan petani kakao di Kabupaten Buru belum mencapai taraf hidup optimal. Kondisi ini perlu dikajian lebih mendalam terhadap pengembangan perkebunan kakao rakyat, baik itu dalam perluasan lahan usaha, produktivitas tanaman, perbaikan mutu hasil, maupun penataan sistem kelembagaan petani dan pemasarannya, yang disesuaikan dengan potensi wilayah sehingga dapat meningkatkan pengembangan pembangunan wilayah yang pada akhirnya adalah untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan petani.

Mengacu pada berbagai uraian permasalahan tersebut, maka dapat ditetapkan beberapa masalah yang perlu dikaji, antara lain:

1. Bagaimana keunggulan komparatif dan kompetitif pola pengusahaan perkebunan kakao rakyat terhadap pemanfatan potensi luas lahan di Kabupaten Buru ?

2. Bagaimana kinerja finansial dan ekonomi pengembangan perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru ?

3. Bagaimana marjin tataniaga dan integrasi pasar sebagai opsi kelembagaan petani dalam sistem tataniaga komoditi kakao di Kabupaten Buru ?

4. Bagaimana respon luas areal terhadap harga kakao dalam pengembangan usaha perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru?

5. Bagaimana peran dan kebijakan pemerintah dalam pengembangan perkebunan kakao rakyat, khususnya terhadap proteksi harga input dan ouput di Kabupaten Buru ?


(33)

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang dipaparkan dalam latar belakang dan perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Mengkaji keunggulan komparatif dan kompetitif pola pengusahaan perkebunan kakao rakyat terhadap pemanfatan potensi luas lahan di Kabupaten Buru.

2. Menelaah kinerja finansial dan ekonomi pengembangan perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru.

3. Mengkaji marjin tataniaga dan integrasi pasar sebagai opsi kelembagaan petani dalam sistem tataniaga komoditi kakao di Kabupaten Buru.

4. Mengkaji respon luas areal terhadap harga kakao dalam pengembangan usaha perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru.

5. Menelaah peran dan kebijakan pemerintah dalam pengembangan perkebunan kakao rakyat, khususnya terhadap proteksi harga input dan ouput di Kabupaten Buru.

1.3.2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai masukan bagi Pemerintah Kabupaten Buru dalam menyusun arah kebijakan pembangunan pada sektor pertanian, khususnya dibidang perkebunan.

2. Sebagai masukan bagi petani untuk mengembangkan usahanya dan pihak investor yang tertarik untuk menanamkan modalnya pada komoditi kakao di Kabupaten Buru, sekaligus sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya.


(34)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengembangan Usaha Komoditas Kakao

Dari segi kesesuaian agroekosistem Kabupaten Buru termasuk daerah potensial untuk pengembangan kakao rakya t, dengan memiliki topografi wilayah yang tidak beda jauh dengan daerah-daerah lain di wilayah provinsi Maluku yaitu sebagian besar merupakan perbukitan dan pegunungan dengan tingkat kemiringan rata-rata antara 15 persen sampai 40 persen, kondisi topografi semacam ini sangat cocok untuk pengusahaan tanaman kakao. Secara umum budidaya kakao (Theobroma cacao L,) terdiri atas : pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pasca panen. Sebelum dilakukan kegiatan penanaman, lahan terlebih dulu ditanami pohon pelindung atau dapat dilakukan penanaman dibawah pohon yang sudah ada sebelumnya, dengan pola sistem tumpangsari. Kegiatan budidaya diawali dengan pembibitan kakao yang dilakukan dengan menyamaikan bijinya pada polybag sampai bibit berumur sekitar 6 bulan. Setelah itu bibit dipindahkan ke lapangan, di mana lubang-lubang penanaman dan pohon pelindung telah disiapkan sebelumnya. Jarak tanam kakao yang sangat ideal dalam pola sistem tumpangsari tanaman atau pohon pelindung adalah 3 meter dalam baris dan 6 meter jarak antar baris, sehingga barisan pohon pelindung terletak di antara barisan tanaman kakao.

Selama masa pemeliharaan, kegiatan yang perlu dilakukan adalah mempertahankan kesuburan tanah dengan cara mengadakan pemupukan, penyiangan, pengendalian hama dan penyakit serta pemangkasan. Maksud dari pemangkasan adalah agar tajuk tidak saling bersinggungan sehingga menghalangi sinar matahari dalam proses fotosintesis. Tujuan lain dari


(35)

pemangkasan adalah agar dapat merangsang pertumbuhan dan pembuahan yang lebih baik.

Tanaman kakao mulai berbuah setelah berumur 3 tahun dengan umur ekonomis 20 sampai 25 tahun. Pemanenan buah kakao dilakukan dengan mengamati tanda yang terjadi pada buah tersebut. Buah yang masak, setelah kulit buah yang merah menjadi orange atau kulit buah yang hijau menjadi kuning, di mana perubahan warna kulit buah tersebut menandakan bahwa buah tersebut sudah masak dan siap dipanen. Secara fisiologi, pada saat demikian maka biji-biji dalam buah mulai lepas dari diding buah.

Setelah panen, pengolahan biji kakao untuk siap dipasarkan meliputi kegiatan antar lain : fermentasi, pencucian dan penjemuran. Waktu yang diperlukan untuk fermentasi biasanya 2 sampai 3 hari, kemudian dilanjutkan dengan dilakukan pencucian dengan maksud untuk menghindari kapan atau jamur. Setelah pencucian, tahap selanjutnya biji kakao dikeringkan yaitu dengan penjemuran selama kurang lebih tiga hari, kemudian dilakukan sortasi sebelum dipasarkan ke pabrik pengolahan.

Biji kakao digunakan dalam industri pengolahan untuk dijadikan berbagai produk makanan, minuman dan bahan campuran kosmetik. Sedangkan sebagai by product, kulit buah kakao dapat diolah menjadi bahan makanan ternak.

2.2. Kajian Pengembangan Kakao

Penelitian Widyastutik (2005) tentang mungkinkah Indonesia mencapai swasembada gula secara berkelanjutan?, yang dilakukan di Kabupaten Madium dengan tujuan untuk menganalisis kemungkinan Indonesia untuk mencapai swasembada gula secara berkelanjutan dan siapa yang sebenarnya menikmati


(36)

proteksi tinggi yang diberikan terhadap industri gula selama ini. Penelitian ini dengan menggunakan metode analisis Policy Analysis Matrix (PAM).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara ekonomi pengusahaan gula pada berbagai pola tidak menguntungkan. Nilai DRC>1 mengindikasikan bahwa pengusahaan gula pada berbagai pola tidak memiliki keunggulan komparatif. Keunggulan privat yang dimiliki oleh pengusahaan gula lebih banyak disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang terlalu protektif terhadap sistem komoditi, yaitu dalam bentuk tarif impor dan penentuan harga referensi pada ouput, dan subsidi pada input. Untuk mencapai DRC=1, analisis simulasi menunjukkan diperlukannya upaya peningkatan efisiensi pengusahan gula (dari subsistem agribisnis hulu hingga ke hilir) yang sangat tinggi dan dalam waktu yang sangat singkat, sehingga upaya mencapai swasembada gula secara berkelanjutan tidak akan mungkin terwujud. Tambahan pula, proteksi yang tinggi yang diberikan kepada industri gula selama ini tidak dinikmati oleh petani tebu.

Menurut Siregar dan Romdhon (2004) dalam penelitian tentang dayasaing industri kecil gula kelapa di Kabupaten Banyumas, dengan menggunakan pendekatan matriks analisis kebijakan dan opsi kelembagaan. Tujuannya dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kenerja finansial dan ekonomi pengusahaan gula kelapa dengan pendekatan analisis matriks kebijakan (PAM), dan mengkaji faktor yang menyebabkan produsen memilih bentuk kelembagaan pemasaran tertentu.

Hasilnya menunjukkan bahwa pengusahaan komoditas gula kelapa memiliki dayasaing yang relatif tinggi. Pengusahaan komoditas tersebut memberikan keuntungan secara privat maupun secara sosial. Hasil analisis menunjukkan bahwa keuntungan sosial lebih besar dibandingkan keuntungan privat. Lebih lanjut dikatakan bahwa distorsi ini terutama disebabkan oleh adanya kegagalan pasar, dan berkenaan dengan kontrak tradisional yang umumnya


(37)

mengikat produsen gula kelapa (penderes). Sedangkan analisis fungsi logistik menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga penderes, karakteristik komoditas yang diusahakan dan karakteristik kelembagaan merupakan faktor-faktor penentu opsi kelembagaan pemasaran yang akan dipilih oleh penderes.

Aris (2003) melakukan penelitian tentang analisis pengembangan agribisnis kelapa rakyat di Kabupaten Indragiri Hilir. Peubah penjelas yang dimasukkan dalam persamaan respon luas areal adalah harga riel kopra, harga riel tandan buah segar sawit, upah riel tenaga kerja, peubah bedakala dan dummy otonomi daerah. Hasilnya menunjukkan bahwa secara parsial hanya parameter peubah bedakala luas areal dan dummy otonomi daerah yang nyata, sedangkan parameter lainnya tidak nyata terhadap luas areal.

Persamaan produktivitas peubah penjelas yang dimasukkan adalah harga riel kopra, harga riel tandan buah segar sawit, upah riel tenaga kerja, tingkat suku bunga investasi, peubah bedakala dan dummy kebijakan pemerintah dibidang perkebunan kelapa. Hasilnya menunjukkan bahwa produktivitas tanaman kelapa respon terhadap harga kopra, harga sawit, upah riel tenaga kerja dan dummy program pemerintah, namun tidak respon terhadap peubah suku bunga investasi dan bedakala luas areal.

Tetapi secara keseluruhan penawaran kelapa di Indragiri Hilir, luas areal lebih responsif dibandingkan dengan produktivitas terhadap perubahan harga kopra dan tingkat upah dalam jangka panjang, namun dalam jangka pendek produktivitas lebih tinggi dan responsif dibandingkan luas areal. Elastisitas penawaran terhadap harga kopra dan upah tenaga kerja dalam jangka panjang lebih besar dibandingkan elastisitas jangka pendek, hal ini disebabkan koefisien penyesuaian bernilai relatif kecil.


(38)

Hilir sudah tidak layak untuk diusahakan. Namun secara ekonomi usahatani kelapa rakyat di wilayah tersebut masih layak untuk dikembangkan, yang ditunjukkan dengan nilai B/C ratio lebih besar dari satu, NPV yang positif dan IRR yang jauh lebih besar dari suku bunga bank. Untuk analisis kebijakan kelapa rakyat di Indragiri Hilir dengan menggunakan analisis PAM, memperlihatkan bahwa usahatani kelapa rakyat mempunyai keunggulan baik secara kompetitif maupun secara komparatif dengan menggunakan kriteria rasio biaya privat (PCR) dan rasio biaya sumberdaya domestik (DRC) yang diperoleh lebih kecil dari satu.

Penelitian Bafadal (2000), tentang produksi dan respon penawaran kakao rakyat di Sulawesi Tenggara. Dalam persamaan luas areal peubah yang dimasukkan adalah harga riel kakao, harga riel cengkeh, upah riel tenaga kerja, harga riel pupuk urea dan peubah bedakala. Sedangkan persamaan produktivitas, peubah penjelas yang dimasukkan adalah harga riel kakao, harga riel cengkeh, upah riel tenaga kerja, harga riel pupuk urea, curah hujan, luas areal dan peubah bedakala. Hasilnya menunjukkan bahwa luas areal tanaman kakao respon terhadap perubahan harga kakao, harga pupuk dan peubah bedakala. Sedangkan hasil respon produktivitas menunjukkan bahwa produktivitas tanaman kakao tidak berpengaruh terhadap perubahan harga kakao, upah tenaga kerja, harga pupuk urea, curah hujan dan luas areal.

Lolowang (1999) dalam penelitian tentang analisis penawaran dan permintaan kakao Indonesia di pasar domestik dan internasional. Data yang digunakan adalah data sekunder runtun waktu 1969-1996, dengan menggunakan pendekatan ekonometrika dengan persamaan simultan.

Hasilnya menunjukkan bahwa perilaku luas areal tanaman di Indonesia bagian barat dan bagian timur dalam jangka pendek tidak responsif terhadap perubahan harga kakao domestik, harga kopi do mestik, upah tenaga kerja dan


(39)

tingkat bunga bank. Produktivitas kakao di bagian barat dan bagian timur dalam jangka pendek tidak responsif terhadap harga kakao domestik, harga pupuk dan areal tanaman.

Lebih lanjut menurut Lolowang bahwa negara tujuan ekspor kakao Indonesia yaitu Amerika Serikat, Singapura dan Jerman dalam jangka pendek tidak responsif terhadap harga kakao dunia, harga ekspor cocoa butter, produksi kakao Indonesia, nilai tukar rupiah dan tingkat suku bunga. Harga kakao dunia baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang responsif terhadap penawaran ekspor dunia, sedangkan terhadap permintaan impor dunia tidak responsif dalam jangka pendek tetapi responsif dalam jangka panjang. Harga kakao domestik tidak responsif terhadap harga kakao dunia, penawaran kakao domestik dan nilai tukar rupiah dalam jangka pendek dan jangka panjang.

Wardani, dkk (1997) menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas untuk melihat hubungan antara masukan atau input dengan produktivitas kakao serta pengaruh faktor-faktor endowment (faktor manajemen, lingkungan, intrinsik tanaman) terhadap pergeseran fungsi produksi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 21 peubah yang dimasukkan, terdapat 5 peubah yang berpengaruh nyata positif, 4 peubah berpengaruh negatif dan sisanya berpengaruh tidak nyata terhadap produktivitas kakao. Peubah yang berpengaruh nyata adalah penggunaan pupuk urea (0,02), pupuk kieserite (0,02), fungisida tembaga (0,01) dan tenaga kerja tetap untuk pemupukan (0,02).

Faktor endowment yang paling berpengaruh terhadap pergeseran fungsi produksi adalah penerapan manajemen. Manajemen kebun yang baik dapat menggeser fungsi produksi ke atas hingga 284,79 persen, dan manajemen yang kurang baik menggeser fungsi produksi ke bawah hingga 44,20 persen dari


(40)

Menurut penelitian Noorsapto (1994) tentang keunggulan komparatif dan dampak kebijakan pemerintah pada komoditas kakao di perkebunan rakyat, perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta, dengan menggunakan pendekatan metode analisi s matriks kebijakan atau Policy Analysis Matrix (PAM). Dari penelitian tersebut memperlihatkan bahwa semua sistem komoditas kakao adalah menguntungkan baik secara finansial maupun ekonomi. Di mana ketiga bentuk pengusahaan tersebut memiliki keunggulan komparatif dan secara finansial mempunyai keunggulan kompetitif (sebagai komoditi ekspor).

Hal yang sama dilakukan oleh Yudhistira (1997), dalam penelitiannya tentang kajian keunggulan komparatif komoditas kakao di PBN Rajamandala Jawa Barat. Bahwa baik secara finansial dan ekonomi pengusahaan komoditas kakao menguntungkan atau layak diteruskan. Dari analisis keuntungan privat diperoleh nilai Rp 303.909/kg kakao kering, dan dengan analisis ekonomi diperoleh keuntungan sebesar Rp 498,54/kg kakao kering. Artinya baik dalam pasar persaingan sempurna dan pasar terdistorsi (ada campur tangan pemerintah) maka pengusahaan kakao layak untuk dijalankan (dikembangkan). Dengan menggunakan kriteria rasio biaya privat (PCR) dan rasio biaya sumberdaya domestik (DRC), pengusahaan komoditas kakao memiliki keunggulan komparatif dengan nilai PCR dan DRC lebih kecil dari satu, yaitu 0,76 dan 0,58.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Iswandi (1996) terhadap pengusahan kakao oleh petani di Provinsi Sulawesi Tenggara, mengatakan bahwa secara finansial usaha kakao rakyat masih menguntungkan dengan net B/C ratio (pada df 18%) sebesar 3,39, artinya setiap investasi sebesar Rp 1 akan memperoleh penerimaan bersih Rp 3,39. Dengan demikian, dari tinjauan investasi, pengusahaan ko moditas ini oleh petani memang layak. Sedangkan struktur pasar kakao menurut Iswandi adalah persaingan sempurna, karena


(41)

secara perorangan petani tidak mampu mempengaruhi volume pasar. Hal tersebut disebabkan sebagian besar petani kakao memiliki lahan yang berskala kecil. Lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran biji kakao adalah pedagang pengumpul desa, pedagang tingkat kabupaten, pedagang besar dan eksportir di Ujung Pandang, di mana ada hubungan kerjasama yang baik antara lembaga pemasaran dalam permodalan dan informasi harga.

Bahwa petani menerima bagian harga sebesar 80 persen dari harga yang berlaku di tingkat eksportir. Harga di tingkat petani adalah Rp 2.000/kg dan di tingkat eksportir Rp 2.500/kg. Marjin pemasaran kotor yang diperoleh pedagang pengumpul sebesar Rp 100/kg dengan keuntungan Rp 44/kg. Pedagang di tingkat kabupaten memperoleh marjin kotor Rp 135/kg, di mana keuntungannya sebesar Rp 47,7/kg. Sedangkan pedagang besar di Ujung Pandang rata-rata memperoleh marjin kotor Rp 265/kg, dan dari marjin tersebut keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 112,6/kg.

Sehingga total marjin pemasaran sebesar Rp 500/kg yang dapat diperinci atas biaya pemasaran Rp 295,7/kg dan keuntungan lembaga pemasaran Rp 204,3/kg. Besarnya biaya pemasaran ini terserap pada bagian angkut, muat, bongkar dan timbang. Kondisi ini dapat difahami karena komoditas kakao adalah komoditas ekspor, sehingga kualitas terutama kadar air perlu diperhatikan, disamping itu faktor jarak antara petani dengan eksportir di Ujung Pandang menjadi salah satu penyebab tingginya biaya pemasaran.

Dalam analisis elastisitas transmisi harga dan integrasi pasar, memperlihatkan nilai elastisitas transmisi harga adalah 0,80, artinya perubahan harga 1 persen pada tingkat eksportir hanya akan menyebabkan perubahan harga pada tingkat petani sebesar 0,80 persen. Sedangkan indeks keterpaduan pasar jangka pendek sebesar 0,94 dan dalam jangka panjang (IMC) adalah 0,36,


(42)

pasar referensi (eksportir), di mana perubahan harga pada tingkat eksportir tidak kuat mempengaruhi perubahan harga pada tingkat petani. Hal ini dipengaruhi oleh faktor jarak yang relatif berjauhan antara kedudukan tempat eksportir dengan sentra produksi.

Penelitian yang dilakukan oleh Siregar (1991) tentang teknologi produksi pada tanaman lahan kering dengan menggunakan pendekatan input multi-output. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa elastisitas harga penawaran terhadap harga sendiri dan harga tanaman lain dan harga output adalah inelastis. Elastisitas permintaan pupuk terhadap harga jagung dan harga kacang tanah adalah elastis, yaitu masing-masing 1.165 dan 1.795. Berdasarkan perhitungan

return to scale dalam jangka pendek diperoleh hasil yang menurun. Hal tersebut

memperlihatkan bahwa peningkatan keuntungan tidak dapat dilakukan tanpa peningkatan areal.

2.3. Kelayakan Pemasaran Kakao

Pengusahaan tanaman perkebunan pada umumnya diorientasikan ke pasar, bukan untuk dikonsumsi sendiri, oleh karena itu sistem pemasaran merupakan hal yang harus mendapatkan perhatian dalam memproduksi suatu komoditas. Aspek yang paling menonjol dalam meningkatkan sektor basis dalam perekonomian wilayah adalah aktivitas pemasaran komoditas (Esmara, 1984). Dengan demikian kegiatan pemasaran komoditas secara tidak langsung akan meningkatkan permintaan barang dan jasa baik dari dalam wilayah maupun dari luar wilayah bersangkutan, sehingga dapat mendorong motivasi petani untuk lebih meningkatkan produktivitas usahanya.

Sedangkan pemasaran sering didefenisikan sebagai suatu sisitem keseluruhan dari kegiatan usaha yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mendistribusikan barang dan jasa yang dapat memuaskan


(43)

kebutuhan baik kepada pembeli yang ada maupun pembeli potensial (Stanton

dalam Swastha dan Handoko, 1982). Sementara itu kegiatan pemasaran adalah

proses yang meliputi pengumpulan dari tingkat petani atau sentra-sentra produksi di mana komoditas itu dihasilkan. Kemudian disalurkan ke pasar lokal, ke pasar yang lebih luas dan selanjutnya ke tingkat konsumen. Umumnya rantai pemasarn komoditas pertanian mengikuti rantai pemasaran yang demikian, namun biasanya ada juga perbedaan rantai pemasaran komoditas yang diekspor dengan yang tidak diekspor.

Tingkat efisiensi sistem tataniaga dapat diukur antara lain dengan pendekatan indikator marjin tataniaga, harga yang diterima petani dan keterpaduan pasar secara vertikal (Nancy, 1988). Indikator marjin tataniaga didasarkan pada konsep efisiensi operasional yang menekankan pada kemampuan meminimu mkan biaya-biaya yang digunakan untuk mengerakkan komoditi dari produsen ke konsumen atau meminimumkan biaya untuk melakukan fungsi-fungsi tataniaga. Sementara marjin tataniaga (marjin distribusi) merupakan perbedaan antara harga yang diterima petani dengan harga barang bentuk akhir yang dibayar konsumen akhir atau kumpulan balas jasa yang diterima oleh pelaku tataniaga.

Fluktuasi harga komoditi yang diterima oleh produsen akan ditentukan oleh perkembangan harga di tingkat konsumen, maka untuk mengukur efisiensi tataniaga menurut Azzaino (1981), digunakan elastisitas transmisi harga, yaitu semakin besar nilai elastisitas transmisi harga maka semakin efisien sistem tataniaga tersebut. Secara matematis persamaan elastisitas transmisi harga (Et)

adalah sebagai berikut:

Pf Pf

Et *Pr

Pr

∂ ∂


(44)

Parameter tersebut dapat diduga dengan menggunakan model regresi linier

sederhana sebagai berikut:

dimana :

Pf = Harga di tingkat petani kakao (Rp/Kg)

Pr = Harga di tingkat tengkulak/eksportir kakao (Rp/Kg)

b0 = Konstanta; b1 = Koefisien regresi; ei= galat.

Jika Et sama dengan satu berarti laju perubahan harga di tingkat petani

sama dengan laju perubahan harga di tingkat tengkulak/ekportir kakao. Jika Et

lebih kecil dari satu berarti laju perubahan harga di tingkat petani lebih kecil dari laju perubahan harga di tingkat tengkulak/eksportir kakao. Hal ini menunjukan adanya kekuatan monopsoni atau oligopsoni pada lembaga tataniaga, sehingga biasanya kenaikan harga yang terjadi hanya dinikmati oleh lembaga tataniaga. Jika Et lebih besar dari satu berarti laju perubahan harga di tingkat petani lebih

besar dari laju perubahan harga di tingkat pedagang pengumpul/eksportir kakao. Sedangkan indikator lain yang dapat digunakan untuk mengukur efisiensi suatu kelembagaan tataniaga yaitu dengan integrasi pasar secara vertikal

(vertical market intergration). Indikator ini menunjukkan sejauh mana harga di

tingkat petani dipengaruhi harga pada tingkat ekportir, secara dinamis dengan menggunakan Lag operator indikator tersebut dapat diukur dengan menggunakan rumus berikut :

Pft-Pft- 1 = do + d1(Pft- 1 - Prt-1) + d2 (Prt - Prt-1) + d3 (Prt- 1) + ei …..………..………. (3)

dimana :

Pft = harga kakao di tingkat petani pada tahun t

Prt = harga kakao di tingkat pedagang pengumpul/eksportir pada tahun t d0,d1,d2,d3 = Koefisiesn regresi

ei = Kesalahan acak

ei b bo


(45)

Setelah diperoleh koefisien regresi dari persamaan tersebut, persamaan tadi disusun kembali untuk memperjelas interpretasi dari koefisien regresi yang diperoleh menjadi persamaan berikut:

Pf = do + (1+d1)Pft-1 + d2 (Pr-Prt- 1) + d3 (Prt- 1) + ei……… (4)

Sehingga jelas terlihat bahwa koefisien (1+d1) dan (d3-d1) masing-masing

merefleksikan kontribusi dari pergerakan harga di pedagang pengumpul dan harga di ekportir terhadap pembentukan harga tingkat petani. Selanjutnya informasi ini dapat digunakan untuk menghitung Index of Market Integration yang

menggambarkan perbandingan dari koefisien pasar di tingkat petani dengan koefisien pasar pada tingkat ekportir kakao melalui persamaan berikut :

………. (5)

Jika IMC < 1 menunjukkan adanya intergrasi pasar yang tinggi dalam arti bahwa harga di petani memiliki pengaruh dominan terhdap pembentukan harga di pasar eksportir. Dalam kondisi ekstrim bila nilai d1 = -1 sehingga diperoleh nilai

IMC = 0, maka faktor-fakor lokal sama sekali tidak memiliki pengaruh terhadap pembentukan harga pada tingkat petani. Sebaliknya jika diperoleh nilai IMC > 1 maka kondisi lokal memiliki pengaruh yang do minan terhadap pembentukan harga di pasaran lokal.

2.4. Kelembagaan Usaha Perkebunan Kakao

Kelembagaan diartikan sebagai suatu keeratan sistem manajemen dalam menunjang pengusahaan kakao yang dibentuk oleh pelaku-pelaku yang terlibat dalam pengushaan kakao yang sifatnya formal maupun non-formal yaitu petani, pedagang pengumpul, pedagang besar, eksportir dan industri pengolahan, institusi masyarakat maupun lembaga pemerintah. Kelembagaan dapat terbentuk mulai dari pengadaan dan penyaluran sarana produksi sampai pada pemasaran

1 3

1

1

d d

d IMC

− + =


(46)

hasil komoditas kakao. Hubungan antara lembaga itu bersifat saling melengkapi, di mana beberapa perusahan industri pengolahan biji kakao dengan manajemen yang terpisah mempunyai hubungan yang saling menguntungkan dengan pedagang pengumpul maupun dengan eksportir (pedagang antar pulau), misalnya dalam hal penentuan harga beli dan harga jual biji kakao kering.

Pengertian lain dari kelembagaan yaitu merupakan aturan seperangkat tingkah laku yang mengatur pola hubungan dan pola tindakan. Kelembagaan sangat penting dalam pembangunan nasional karena mempunyai kontribusi yang besar dalam memecahkan masalah aktual yang dihadapi oleh masyarakat, terutama dalam proses pembangunan yang mengkoordinasikan para pemilik input dalam proses menghasilkan output dan mendistribusikan dari pada output tersebut.

Menurut Anwar (2000) menyatakan bahwa kelembagaan (institution), sebagai aturan main (rule of the game), namun kelembagaan sering di identikan dengan organisasi. Dalam koridor ekonomi kelembagaan, organisasi memainkan peranan penting dalam mengatur penggunaan/alokasi sumberdaya secara efisien, merata, dan berkelanjutan (sustainable). Tindakan strategis untuk mencapai efisiensi dalam alokasi sumberdaya yang optimal adalah perlunya pembagian pekerjaan (division of labour), sehingga setiap pekerja dapat bekerja secara profesional dengan produktivitas yang tinggi. Peningkatan pembagian pekerjaan selanjutnya akan mengarah kepada spesialisasi ekonomi, sedangkan spesialisasi yang berlanjut akan mengarah kepada peningkatan efisiensi dengan produktivitas yang semakin tinggi. Sebagai hasil dari pembagian pekerjaan dan spesialisasi pada sistem ekonomi maju sering mengarah kepada keadaan di mana orang-orang menjadi hampir tidak mampu lagi berdiri sendiri, dalam arti mereka tidak dapat menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa yang dibutuhkan untuk kebutuhan kehidupan (konsumsinya) sehingga pemenuhan kebutuhannya


(47)

diperoleh dari orang/pihak lain yang berspesialisasi melalui suatu pertukaran

(exchange atau trade) yang dalam ekonomi disebut transaksi ekonomi. Barang

dan jasa tersebut akan dapat dipertukarkan apabila hak-hak (property right) dapat ditegaskan, sehingga dapat ditransfer kepada pihak lain. Agar transaksi ekonomi tersebut dapat berlangsung perlu adanya koordinasi antar berbagai pihak dalam sistem ekonomi, yang sekaligus juga mencakup "aturan representasi" dari pihak-pihak yang berkoordinasi tersebut.

Ada dua hal utama yang mendasari lahirnya bentuk koordinasi yaitu koordinasi untuk keperluan yaitu : (a) Transaksi melalui sistem pasar, di mana harga-harga menjadi panduan dalam mengkoordinasikan alokasi sumberdaya-sumberdaya tersebut. Pengertiannya dalam hal ini harga-harga berperan sebagai pemberi isyarat (signals) dan sebagai pembawa informasi yang mengatur koordinasi alokasi sumberdaya kepada pembeli dan penjual. (b) Transaksi tersebut dilakukan dalam sistem organisasi-organisasi yang berhirarki di luar sistem pasar (extra market institution), di mana wewenang kekuasaan (power) atau otoritas berperan sebagai koordinator dalam mengatur alokasi sumberdaya tersebut. Proses transaksi pertukaran barang dan jasa menurut Coase tidak semuanya berlangsung hanya pada kelembagaan pasar, karena dalam menggunakan sistem harga sebagai pemberi informasi handal (terpercaya) diperlukan biaya (cost). Pentingnya biaya tersebut dibutuhkan untuk menemukan "harga yang relevan" yang pada umumnya memerlukan biaya (biaya informasi). Selanjutnya untuk melaksanakan transaksi dibutuhkan suatu kontrak. Untuk keperluan kontrak tersebut diperlukan biaya, yang disebut biaya kontrak (contract cost) atau secara umum disebut biaya transaksi (transaction cost). Biaya transaksi dibedakan atas 2 jenis yaitu (a) transaction cost jenis ex ante, yaitu biaya transaksi sebelum berlangsungnya kontrak, seperti : biaya legislasi,


(48)

yaitu biaya transaksi saat/setelah berlangsungnya kontrak seperti : biaya pengadaan, biaya tawar menawar, biaya pembentukan dan pelaksanaan asosiasi dan biaya pengikatan keefektifan jaminan komitmen. Dalam kasus di mana biaya transaksi semakin mahal, maka sistem organisasi merupakan suatu alternatif pilihan yang lebih baik jika dibandingkan dengan sistem pasar untuk melaksanakan transaksi ekonomi dan bisnis.

Gambar 1. Penentuan Pilihan Iinstitusi Melalui Analisis Ekonomi Biaya-biaya Transaksi (Transaction Cost).

Sumber : Anwar 1998.

Apabila informasi tersebut tidak sempurna (inperfect information) dan biaya transaksi relatif besar, maka transaksi ekonomi atau koordinasi akan terjadi melalui sistem organisasi, sebaliknya apabila informasi sempurna (perfect

information) dan biaya transaksi relatif rendah, maka transaksi ekonomi atau

koordinasi akan terjadi melalui sistem pasar.

Dalam pengembagannya kelembagaan memiliki tiga komponen utama yang mencirikan suatu kelembagaan, yaitu : batas yuridiksi, property right, dan

Sistem Pasar

Harga

Penggunaan/Alokasi SD Pembagian Pekerjaan

Spesialisasi Ekonomi

Informasi Koordinasi Transaksi Ekonomi

Sistem Organisasi

Otoritas Alternatif


(1)

Lampiran 7.Data Harga Kakao di Tingkat Petani dan Pedagang Besar (Pasar Referensi) Untuk Menghitung Elastisitas Transmisi Harga dari Juli 2002 sampai Juni 2004

No. B u l a n HTP HPR

1. Juli '02 2597 3,002

2. Agustus '02 2846 3,042

3. September '02 2668 4,092

4. Oktober '02 3024 4,252

5. November '02 3033 3,665

6. Desember '02 3051 4,216

7. Januari '03 3380 4,447

8. Februari '03 3747 4,501

9. Maret '03 3825 4,625

10 April '03 3647 4,092

11. Mei '03 3573 4,047

12. Juni '03 3113 3,803

13. Juli '03 3469 4,714

14. Agustus '03 2490 4,447

15. September '03 3166 4,714

16. Oktober '03 2953 4,447

17 November '03 2313 3,042

18. Desember '03 2846 3,202

19. Januari '04 3024 3,513

20. Februari '04 2846 3,273

21. Maret '04 2935 3,380

22. April '04 3095 3,504

23. Mei '04 3202 3,629


(2)

Lampiran 8. Hasil Regresi Untuk Menghitung Elastisitas Transmisi Harga Kakao di Kabupaten Buru, Tahun 2003

Ordinary Least Squares Estimation

****************************************************************** *****

Dependent variable is X1

24 observations used for estimation from 2002M7 to 2004M6

****************************************************************** *****

Regressor Coefficient Standard Error T-Ratio[Prob] INTERS 1577.1 484.5256 3.2550[.004] X2 .38996 .12306 3.1689[.004]

****************************************************************** *****

R-Squared .31339 R-Bar-Squared .28218 S.E. of Regression 332.5599 F-stat. F( 1, 22) 10.0417[.004]

Mean of Dependent Variable 3097.4 S.D. of Dependent Variable 392.5216 Residual Sum of Squares 2433114 Equation Log-likelihood -172.3741 Akaike Info. Criterion -174.3741 Schwarz Bayesian Criterion -175.5521 DW-statistic .94175

****************************************************************** *****

Diagnostic Tests

****************************************************************** *****

* Test Statistics * LM Version * F Version *

****************************************************************** *****

* * * *

* A:Ser ial Correlation*CHSQ( 12)= 19.5998[.075]*F( 12, 10)= 3.7119[.023]* * * * *

* B:Functional Form *CHSQ( 1)= 1.1979[.274]*F( 1, 21)= 1.1032[.306]* * * * *

* C:Normality *CHSQ( 2)= 1.3017[.522]* Not applicable * * * * *

* D:Heteroscedasticity*CHSQ( 1)= 2. 8104[.094]*F( 1, 22)= 2.9179[.102]* ****************************************************************** *****

A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals


(3)

Lampiran 9. Data Harga Kakao di Tingkat Petani dan Pedagang Besar (Pasar Referensi) Untuk Menghitung Indek Keterpaduan Pasar dari Juli 2002 sampai Juni 2004

No. B u l a n HTP HTP-1 HPR (HPR-1) (HPR)–(HPR-1)

1. Juli '02 2,597 2,882 3,002 3,038 (35.58)

2. Agustus '02 2,846 2,597 3,042 3,002 39.85

3. September '02 2,668 2,846 4,092 3,042 1,049.56

4. Oktober '02 3,024 2,668 4,252 4,092 160.10

5. November '02 3,033 3,024 3,665 4,252 (587.04)

6. Desember '02 3,051 3,033 4,216 3,665 551.46

7. Januari '03 3,380 3,051 4,447 4,216 231.26

8. Februari '03 3,747 3,380 4,501 4,447 53.37

9. Maret '03 3,825 3,747 4,625 4,501 124.52

10 April '03 3,647 3,825 4,092 4,625 (533.67)

11. Mei '03 3,573 3,647 4,047 4,092 (44.47)

12. Juni '03 3,113 3,573 3,803 4,047 (244.42)

13. Juli '03 3,469 3,113 4,714 3,803 911.52

14. Agustus '03 2,490 3,469 4,447 4,714 (266.84)

15. September '03 3,166 2,490 4,714 4,447 266.84

16. Oktober '03 2,953 3,166 4,447 4,714 (266.84)

17 November '03 2,313 2,953 3,042 4,447 (1,405.34)

18. Desember '03 2,846 2,313 3,202 3,042 160.10

19. Januari '04 3,024 2,846 3,513 3,202 311.31

20. Februari '04 2,846 3,024 3,273 3,513 (240.15)

21. Maret '04 2,935 2,846 3,380 3,273 106.73

22. April '04 3,095 2,935 3,504 3,380 124.52

23. Mei '04 3,202 3,095 3,629 3,504 124.52


(4)

Lampiran 10. Hasil Regresi untuk Menghitung Indek Keterpaduan Pasar Kakao di Kabupaten Buru, Tahun 2004

Minitab Project Report

Regression Analysis: HTP versus HTP-1; (HPR) - (HPR-1); HPR-1

The regression equation is

HTP = 0,839 + 0,513 HTP-1 +0,000411 (HPR) - (HPR-1) + 0,173 HPR-1

Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant 0,8390 0,5666 1,48 0,154

HTP-1 0,5130 0,1994 2,57 0,018 1,5

(HPR)-(HPR-1) 0,0004112 0,0001457 2,82 0,011 1,3

HPR-1 0,1728 0,1431 1,21 0,241 1,8

S = 0,3014 R-Sq = 48,7% R-Sq(adj) = 41,0% Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 3 1,72667 0,57556 6,34 0,003 Residual Error 20 1,81701 0,09085

Total 23 3,54368 Source DF Seq SS HTP-1 1 1,00254 (HPR) - 1 0,59153 HPR-1 1 0,13260 Unusual Observations

Obs HTP-1 HTP Fit SE Fit Residual St Resid 3 2,85 2,6680 3,2563 0,1477 -0,5883 -2,24R 14 3,47 2,4900 3,3236 0,1108 -0,8336 -2,97R R denotes an observation with a large standardized residual Durbin-Watson statistic = 2,03


(5)

Milwagit KAKU TAGLASMITEN Wakabufolon Wasilalen Mngesa Ingan FUDE LANGIT KAKU DATE Waeruba Wamasi Tg. Walwawat Tg. Sarmeno Tg. Walimen LABUAN LEKO Sekat Wanebele Waebadam Fogi Pasir Putih Nanali Biloro Tg. Waflia Waekekc

Walhunga Moit Kakun

KAKU MA HU

KAKU PALATMADA KAKU MNGESFUHA Ewert Tg. fatufat Tg. Wamala Waehoka Waturen FATU TEFAN Wawali Waemala LEKSULA

Tg. Kabat Roit TELUK LEKSULA Nusa Rua Tifu Tg. Acu Pier Mepa Waeken

Tg. Kabat Ha Nalbesi Enbotit Kase Neath Liang KAKU FATIANPOON KAKU GAMUMRAPAT Wamulan Malilai Bobo Walu Besa KAKU NIPARANPOON KAKU UBUNG KAKU NASIRANPOON Karsi KAKU MOITKAKUN

KAKUDO MOT FATU TOFI KAKU GHEGAN KAKU WADOKAN KA KU BADA

KAKU MORTINA MAHANN KAKU MORTINAFINA

KAKU LL BOLI KA KU FATRASE Waemara Nipa Wafehat Mngeswain KAKU SANNEPOON Uneth Bafatita Kakuiagan Botit FATU KOLON Wakatin Fakal Wawambolen Waelo Warujaya Waemeten Moneolon Walo Ardafa Wahude KAKU EFROTO Warohi FATU TEFE KAKU TAGALAGO KAKU NAL BESI

KAKU JAGA KAKU SERA KAKU KAUFATPIA Walataolo Kakuingan KAKU TO Wagrahe Frono Walpangat Waereman Kohof Biyak Tenan Walhida Hensegi LABUAN KAYUARANG Balperg Waekorong Tg. Palpetu AIR BUAYA Selwadu TanjungKarang Tg. Bara TE

LUK BA RA Bada Bara Waekase Tg. Bebek Walnetat Waelenga Waepure Fenakute Liku Hoson Letalatih Walemen Waemangir Sula Likubala Waraman Batlale Wamlana Balbalu Wamana Waeule Waekose Waspait Badaibu Wamitin Walholo Wasi Wagawat Karangjaya Oki Baru P E G U N U N G A N W A H L U A

Kamlangpoon Elfule Waenalut KAKU NOROLPITU Tg. Watina Tg. Batutulis Waekena Fatmite NAMROLE Lektama KAKU TEFDULA Wampait Tg. Batupekat Leku KAKU LIANMHORO KAKU WARAMAN WAMSISI Tg. Salia Tg. Wayo Oki Lama Lata Pohonbatu Kamlanganmkafan Mteku Hum Kaku

KAKU ETNOOL Wanawatnangan

Wameseng Tg. Tabat Wasalai Waelikut Lamahan 1 Mehetremat Bugilremat Wangura Mokinlakin FUDE FADIT Englisu Waergugat Wampoit Wasangkakul Wakakul P. BURU Epit Lahin Pelat Poon Watemun Wafabotir Humgaran Kak Gail Wamkopi Ban Lafun Wageren Ka Sudapigi Kamin Lahin Nataboti Wangfi FUDE KOIT Wanekelalih Wagida Wasehut KAKU KARMEDIN Wanibe Waglatin Wamiti Wahamune Nama Ohon Lalih Walhani

Wadule W a e h u FUDE SIUL Samalagi

Lalarame 2 Wawalu Bamane 1

Waapu Waleman Waeribo Walipa Fodbohot Wangadeolon Fudemnuka WATINA OLON Watina Bangkarua Wafina Wamefar Waelo Wageran Migodo Wakonit Abun Dabuwae Wagerennangan Waapuerin Grandeng Data Waapu Bamare Parbulu Walmahu Watori Baman Kotbesi Simlau Waapu Parbulu Baman Walsait Walatuwitit Wasari Walilan Kuba Lahin Wablo Waegeren Wawalu Bamane 2 Wangura Pemabu Migoda WAENETAT Wawalu Wanauolon Wadege Lamahan 2 Wasitabaru Wateledafa Watelemigodo Savanajaya Dafa Walo Waekarta Lalarame 1 Waekasar Gogorin Waetele Walatadafa Bina Sanleko Tahelopon Pohonkelapa Samithete Jamilu Batuboi Jikumerasa Ubung P. AMBELAU Tg. Polame Tg. Pasirputih Ulima Derlalih Lumara

Lena WaesileWaerafa

Maswoi Lumoi Tg. Burame Tg. Sorama Tg. Kayuputih KAKU REMET WAKIBO OLON KAKU BATAKBUAL WALATA OLON WALO OLON KAKU MASBAIT Namiea Tg. Tapan Sorona Nams Ilath Batujungku Waema Waeta Tg. Namlea Masarete Kayeli Waail Tg. Waapu Tg. Waat Jiku Besar NAMLEA Tg. Kerbau Lala Tg. Kramat Pela KAKU KUKUSAN Seit Falon Lolen Tg. Wapoti Firtoli Wamasihangan Waenibe Wamasi Waepoty

Biotama

Waprea Hatawano

Wahega Tg. Batu Nuham

Wailihang Sispotih Namsina Waeura Samalagi Waepecang Lamahang Sinava Waeplau Trans AD Waemeteng Sawah 2 Sawa

PETAPEMBAGIANWILAYAHKECAMATAN KETERANGAN :

Gambar KABUPATENBURU

S U N G A I IBUKOTA KABUPATEN J A L A N BATAS KECAMATAN GARIS PANTAI IBUKOTA KECAMATAN DESA DUSUN/KAMPUNG DANAU RANA

KEC. BURU U TARA TI M U R

KEC. BURU UTARA BARAT

KEC. BURU UTARA SELATAN

KEC. BURU SELATAN TI M UR KEC. BURU

SELATAN Gambar 1.6

Orient asi Wilayah Perencanaan

M A L U K U


(6)