Gambar 16 menunjukkan profil batimetri Selat Sunda yang diperoleh dari hasil pemeruman, dimana pada gambar tersebut terlihat pola batimetri yang tidak
rata. Hasil pemeruman menujukkan bahwa perairan ini termasuk dalam kategori perairan dangkal dengan kedalaman rata-rata antara 35-52,5
m. Kedalaman perairan yang terdeteksi menunjukkan adanya variasi kedalaman yang berbeda
untuk setiap posisi lintang dan bujur, ada yang berupa paparan dan ada juga yang berupa slope.
Kedalaman tertinggi berada kordinat 5
54’32,14” LS dan 105 47’19,21” BT
dengan nilai kedalaman antara 157,5-175,5 m.
Posisi tersebut merupakan sebuah palung, yaitu dasar
laut yang dalam yang biasanya diakibatkan oleh menyusupnya lempeng samudera ke bawah lempeng benua. Jadi lokasi palung berada di
daerah-daerah tumbukan lempeng benua dan samudera. Kedalaman palung sangat berbeda dengan kedalaman di daerah sekitarnya. Selain itu juga palung
terdapat pada kordinat 6 00’58,12” LS dan 105
51’46,38” BT. Palung pada kordinat ini terbentuk lebih lebar namun memiliki kedalaman yang berbeda, yakni
lebih dangkal berkisar antara 140-157,5 m.
4.3. Klasifikasi Dasar Perairan
Sedimen laut merupakan akumulasi dari mineral-mineral dan pecahan- pecahan batuan yang bercampur dengan hancuran cangkang dan tulang dari
organisme laut serta beberapa partikel lain yang terbentuk melalui proses kimia yang terjadi di laut Gross, 1999. Selat sunda mempunyai jenis sedimen yang
beragam, menurut Helfinalis 2003 jenis sedimen di dasar perairan Selat Sunda terdiri atas clayey silt, sand, silty clay, clayey sand, silt, silty sand dan sandy silt.
Jenis sedimen clayey silt tersebar dari perairan barat Banten hingga ke sisi perairan timur Bakauhuni. Penyebaran tersebut sangat dipengaruhi oleh aktifitas
arus yang melintasi perairan Selat Sunda. Klasifikasi jenis sedimen dasar laut dapat dilakukan dengan menggunakan
nilai sebaran amplitudo, yaitu kuatnya intensitas sinyal suara yang diterima oleh receiver dalam bentuk energi listrik. Data amplitudo difilter dan diinterpolasi
dengan menggunakan metode Gaussian Weighted Mean. Pemilihan metode tersebut dilakukan untuk mendapatkan nilai amplitudo seluruh lokasi
pemeruman. Gaussian Weighted Mean melakukan pemfilteran terhadap data amplitudo dari setiap beam. Amplitudo pada metode ini merupakan fungsi
eksponensial dari arah antar beam dan normal factor. Nilai amplitudo yang digunakan sebagai patokan dalam klasifikasi jenis sedimen dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti source level, frekuensi yang digunakan, sudut datang, jarak kolom air, kekerasan, kekasaran, ukuran butiran, densitas dan luas
permukaan Urick, 1983. Berdasarkan data survei PPPGL terdapat 22 stasiun pengambilan data
sampel coring dengan jenis sedimen yang teridentifikitasi yaitu silty sand, sandy silt, sand dan rocks Lampiran 4. Setiap sampel coring memiliki data posisi atau
kordinat, kordinat tersebut dioverlay terhadap nilai amplitudo yang dihasilkan dari hasil pemeruman. Setiap jenis sedimen akan mempunyai kisaran amplitudo, nilai
inilah yang digunakan untuk klasifikasi dasar perairan. Kisaran nilai amplitudo dari setiap jenis sedimen dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Grafik sebaran nilai amplitudo berdasarkan data coring
Pengambilan data sampel coring dilakukan di sekitar jalur penelitian. Gambar 17 menunjukkan sebaran nilai ampltitudo dasar perairan yang diperoleh
dari data pemeruman yang telah diekstrak dengan mencocokkan kordinat sampel coring. Berdasarkan hasil pencocokan tersebut diperoleh sebaran nilai amplitudo
dengan nilai minimum sebesar 250 dan nilai maksimum sebesar 500. Kisaran nilai amplitudo tersebut didasarkan pada jenis sedimen yang ditemui dari hasil
pengambilan sampel coring, dimana terdiri atas empat jenis sedimen yaitu, silty sand, sandy silt, sand dan rocks. Keempat jenis sedimen tersebut kemudian
diplotkan kedalam peta klasifikasi dasar perairan. Penelitian mengenai klasifikasi jenis sedimen dasar laut menggunakan
nilai amplitudo dicocokkan dengan hasil pengambilan sampel coring telah dilakukan oleh Aritonang pada tahun 2010 di perairan Labuhan Maringgai
Lampung-Bojonegara Banten menggunakan data multibeam Elac Seabeam 1050 D. Penelitian yang sama dilakukan oleh Gumbira pada tahun 2011 sebagai
pertimbangan dalam kegiatan peletakan pipa bawah laut di perairan Balongan, Indramayu. Hasil penelitian tersebut menujukkan sebaran sedimen di lokasi
penelitain dengan kisaran ampltitudo tertentu yang bergantung pada jenis sedimennya. Tabel 5 memperlihatkan kisaran ampltitudo dan jenis sedimen dari
penelitian yang pernah dilakukan. Tabel 5. Kisaran ampltitudo dan jenis sedimen di lokasi penelitian
Peneliti Kisaran
Amplitudo Jenis Sedimen
Ukuran Butiran mm
Aritonang 2010
311-352 Silty clay
0,004-0,062 352-399
Clayey silt 0,004
399-428 Sandy silt
0,062-2 Gumbira
2011 300-350
Silt 0,01-0,08
350-400 Silty clay
0,008-0,01 400-450
Clayey silt 0,001-0,01
Penelitian ini 2012
250-297 Silty Sand
0,004-0,04 297-360
Sandy Silt 0,04-0,062
360-403 Sand
0,062-2 403-500
Rocks 256
Dasar perairan laut memiliki karakteristik memantulkan dan menghamburkan kembali gelombang suara seperti halnya permukaan perairan
laut. Perbedaan nilai amplitudo yang didapatkan disebabkan kedalaman kolom perairan dan ukuran butiran sedimen yang berbeda Urick, 1983. Nilai amplitudo
yang berada di luar kisaran dianggap sebagai data yang tidak terdeteksi. Nilai amplitudo difilter sehingga hanya dihasilkan nilai amplitudo dari lokasi penelitian.
Nilai inilah yang kemudian dianalisis lebih lanjut untuk melihat sebaran sedimen di lokasi penelitian. Gambar 18 merupakan perbedaan antara nilai ampltitudo
yang belum difilter dan setelah difilter.
Gambar 18. Kisaran nilai amplitudo: a sebelum difilter, b setelah difilter
Gambar 18a merupakan kisaran nilai amplitudo pada lokasi penelitian yang belum difilter. Pada gambar tersebut terdapat dua kisaran nilai amplitudo
yang mempunyai selang sangat besar, pertama pada nilai amplitudo terendah yaitu pada selang -371,096 ke 267,273 dan kedua terdapat pada akhir selang yaitu dari
398,735 ke 1300,730. Nilai ini diindikasi berasal dari data yang tidak terdeteksi, sehingga untuk selanjutnya kisaran nilai ini tidak diperlukan. Kisaran nilai
ampltitudo yang tidak diperlukan dibuang atau difilter melalui perangkat lunak MB System berbasis linux. Pemfilteran ini dilakukan secara manual dengan cara
mengamati kisaran nilai amplitudo kemudian mengubah nilai dan selang amplitudo yang benar-benar berasal dari lokasi penelitian. Setelah dilakukan
pemfilteran kisaran nilai amplitudo pada lokasi penelitian berada pada selang 250- 500 Gambar 18b, nilai inilah yang kemudian dipakai untuk melihat sebaran
sedimen.
a b
P. Sangiang P. Sangiang
Peta klasifikasi dasar perairan memperlihatkan sebaran jenis sedimen yang teramati secara spasial melalui pemeruman. Data hasil pemeruman yang diolah
menjadi peta klasifikasi dasar perairan merupakan hasil olahan nilai amplitudo yang terdeteksi. Klasifikasi dasar perairan pada penelitian ini dimulai dari
perairan di sekitar Banten sampai ke perairan Lampung. Kisaran nilai amplitudo dari 250-500 terdiri atas empat jenis sedimen, dimana setiap jenis sedimen
mempunyai kisaran nilai amplitudo yang berbeda-beda. Perairan Selat Sunda merupakan perairan yang sangat unik, hal demikian
terlihat pada sebaran sedimen yang berbeda dengan perairan yang lain. Perairan Selat Sunda mendapatkan pengaruh dari dua perairan yang mempunyai karakter
berbeda yaitu Laut Jawa dan Samudera Hindia. Laut Jawa relatif mempunyai aktifitas oseanografi yang lemah, berbeda dengan perairan Samudera Hindia yang
mempunyai aktifitas oseanografi yang relatif lebih tinggi. Hal tersebut berpengaruh terhadap sebaran sedimen di sekitar Pulau Sangiang, dimana pada
sebelah barat pulau sangiang jenis sedimen didominasi oleh rocks dan di sebelah timur didominasi oleh sandy silt. Hal ini terjadi karena energi atau arus yang
berasal dari perairan Samudera Hindia lebih besar dari arus Laut Jawa yang bergerak ke arah perairan Selat Sunda, sehingga partikel yang berukuran kecil
akan terbawa oleh energi atau arus yang berasal dari perairan Samudera Hindia ke sebelah timur dan timur laut Pulau Sangiang. Gambar 19 merupakan peta
klasifikasi jenis sedimen dasar perairan di sekitar perairan Selat Sunda.
Gambar 19. Peta klasifikasi jenis sedimen dasar perairan di lokasi penelitian
Klasifikasi jenis sedimen dasar perairan yang terlihat pada gambar di atas sebagian besar ditutupi oleh jenis sedimen sandy silt dengan persen penutupan
Silty sand Sandy silt
Sand Rocks
P. Sangiang
5 52’ S
5
54’ S
5
56’ S
5
58’ S
6
00’ S
6
02’ S 5
52’ S
5
54’ S
5
56’ S
5
58’ S
6
00’ S
6
02’ S E
E E
E
E E
E E
sebesar 49. Kisaran nilai amplitudo jenis sedimen ini berada pada 297-360. Sandy silt di lokasi penelitian menyebar secara merata yaitu dari perairan di
sekitar Banten sampai ke perairan Lampung. Helfinalis 2003 menyatakan bahwa endapan sedimen di perairan Ciwandan dan perairan Anyer didominasi
oleh kerikil dan pasir. Jenis sedimen berikutnya yaitu silty sand dengan persen penutupan sebesar 18,22. Jenis sedimen ini terfokus pada perairan Selatan
Lampung yaitu pada kordinat 5 52’-5
56’ LS dan 105 47’-105
50’ BT. Selain itu silty sand juga berada di sebelah selatan Pulau Sangiang. Rocks atau batuan
hanya berada di sebelah barat Pulau Sangiang dengan persen penutupan sebesar 11,69. Jenis batuan dari hasil coring merupakan batuan yang berupa pecahan-
pecahan karang. Jenis sedimen yang terakhir yaitu sand dengan persen penutupan sebesar 16,82 yang berada di sekitar pulau Sangiang dan sebagian kecil
menyebar di sepanjang jalur penelitian. Pada peta klasifikasi dasar perairan terdapat spot-spot yang berwarna
hitam, bagian ini merupakan bagian yang tidak teridentikasi atau bagian yang tidak termasuk ke dalam selang nilai amplitudo yang ada. Nilai amplitudo yang
lebih besar dari 500 diartikan bahwa jenis sedimen yang tidak teridentifikasi lebih keras dari jenis sedimen rocks sedangkan nilai amplitudo yang lebih kecil dari 250
diartikan bahwa jenis sedimen lebih lunak dari silty sand. Dengan demikian nilai amplitudo yang lebih besar dari 500 dan lebih kecil dari 250 dikatakan sebagai
kelas yang tidak teridentifikasi. Jenis sedimen yang tidak teridentifikasi memiliki persen penutupan sebesar 4,27. Gambar 20 merupakan presentasi sebaran
sedimen di lokasi penelitian.
Gambar 20. Persentase sebaran sedimen di lokasi penelitian
Sedimen di laut tersusun oleh 4 komponen pokok yang diklasifikasikan berdasarkan asal-usulnya, yaitu sebagai sedimen terigenik dari daratan dan
lingkungan vulkanik, biogenik dari aktifitas organisme, halmirogenik dari reaksi inorgenik dan kosmogenik dari luar angkasa. Menurut Rubiman 2003,
sedimen di perairan Selat Sunda tersusun dari endapan biogenik, terigenik dan halmirogenik. Jenis sedimen pada penelitian ini umumnya didominasi oleh jenis
sedimen golongan biogenik yaitu jenis sedimen yang berasal dari organisme laut yang telah mati terdiri atas remah-remah tulang, gigi-geligi dan cangkang-
cangkang tanaman maupun hewan mikro. Hasil coring menunjukkan jenis sedimen pada lokasi penelitian berasal dari cangkang-cangkang organisme dan
batuan berasal dari pecahan karang Lampiran 5.
4.4. Ketentuan Pembangunan Jembatan