1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ubi Societas Ibi Ius adalah ungkapan yang dikemukakan oleh Marcus Tulius Cicero yang artinya
“dimana ada masyarakat di situ ada hukum.” Ungkapan klasik tersebut memberikan gambaran
bahwa kapan hukum pertama kali tercipta, pertanyaan tersebut mengandung pengertian yaitu bahwa hukum
tercipta pada saat manusia tercipta juga, karena pada saat ada manusia dan pergaulannya pada saat itulah
hukum sudah ada. Jawabannya adalah sejak manusia pertama kali diciptakan oleh Sang Pencipta.
1
Teguh Prasetyo membedakan hukum dalam dua
periode besar yaitu hukum pikiran Tuhan sebelum periode adanya negara dan hukum pikiran Tuhan yang
berkembang setelah periode adanya negara.
2
Hukum pikiran
Tuhan tercatat
pertamakali muncul pada waktu kehidupan manusia di Taman
1
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum Edisi Revisi, Kencana Prenanda Media Group, Jakarta, 2013, Hlm. 41.
2
Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat: Perspektif Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, 2015, Hlm. v.
2
Eden yaitu ketika Tuhan memberikan hukum kepada bentuk masyarakat yang paling pertama yaitu Adam
dan Hawa, bentuk hukum pada waktu itu adalah langsung
dan lisan.
Pada waktu
itu Tuhan
memerintahkan kepada Adam dan Hawa untuk tidak memakan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan
yang buruk. Pada waktu diciptakan manusia telah dilengkapi dengan akal budi serta kaidah yang
fundamental yaitu kebebasan untuk memilih.
3
Hal tersebut
menandakan bahwa
lahirnya hukum
berselang tidak lama setelah manusia diciptakan. Hukum pada periode kedua yaitu periode adanya
negara sifatnya tidak langsung dan berbentuk tulisan dan perkembangannya terus berlangsung sampai
sekarang. Melalui
ahli-ahli hukum
yang terus
menciptakan berbagai pemahaman tentang hukum sampai dewasa ini.
4
Hukum pada dasarnya adalah pikiran Tuhan dimana jelas Tuhan menghendaki sesuatu yang baik
terjadi pada manusia. Dengan demikian juga hukum akan membawa manusia pada sesuatu kondisi yang
mendatangkan kebaikan kepada manusia. Bukan sebaliknya, karena yang terjadi adalah hukum
dijumbuhkan dengan kekuasaan, sehingga tidak jarang dijadikan sarana untuk mempertahankan keuasaan,
3
Ibid., Hlm. v.
4
Ibid., Hlm. v-vi
3
sarana untuk memenuhi ego penguasa bahkan melanggar hukum dan juga membinasakan manusia.
Tesis yang dikemukakan pada penelitian ini yaitu bahwa sanksi bukan elemen yang esensial dalam
hukum. Tesis ini bertolak dari beberapa pemahaman dalam perkembangan teori hukum yaitu bahwa
perbedaan mendasar antara norma hukum dengan norma-norma non-hukum adalah dalam norma hukum
diletakkan suatu paksaan atau sanksi.
5
Bentuk sanksi dalam hal ini adalah berupa ancaman penggunaan kekerasan bagi pihak yang tidak
mematuhi hukum.
6
Paham sebagaimana dikemukakan di atas secara eksplisit berpandangan bahwa eksistensi
sanksi sebagai unsur utama esensi dari sebuah norma hukum, atau dapat dikatakan bahwa hakikat dari
hukum adalah adanya paksaan,
7
sehingga dalam hal sebuah
norma tidak
mengandung sanksi
mengakibatkan norma
tersebut tidak
dapat dikualifikasikan sebagai norma hukum.
Keberadaan manusia harus dilihat dari dua sisi yaitu manusia secara fisik dan sisi manusia secara
spirit, dengan
demikian dalam
pemenuhan kebutuhannya harus juga memperhatikan kedua sisi
5
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum Edisi Revisi, Op.Cit., Hlm. 67. Dikutip dari Lon. L. Fuller, The Morality of
Law, New Haven: Yale University Press, Hlm. 109.
6
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 2014, Hlm. 76.
7
Munir Fuadi, Teori-Teori Besar Dalam Hukum Grand Theory, Kencana, Jakarta, 2013, Hlm. 105.
4
tersebut. Sebagaimana
dikemukakan oleh
Peter Mahmud Marzuki bawa manusia memiliki dua
kebutuhan yaitu
kebutuhan secara
fisik dan
kebutuhan eksistensial, kebutuhan secara fisik yaitu dimana manusia perlu untuk dilindungi keamanannya
secara fisik yang diantaranya perlindungan dari gangguan berupa kelaparan, penyakit, pembunuhan
dan kekerasan. Dan kebutuhan yang kedua adalah kebutuhan pengakuan akan keberadaannya sebagai
manusia kebutuhan
ini disebut
kebutuhan eksistensial.
8
Hukum timbul dan berkembang bukan hanya sekedar
memenuhi atau
melindungi kebutuhan
manusia secara fisik, namun hukum juga harus memenuhi atau melindungi kebutuhan manusia secara
eksistensial.
9
Pemenuhan kebutuhan tersebut agar manusia
terlindung kepentingannya
manusia membutuhkan
hukum yaitu,
Hukum adalah
seperangkat kaidah dan tatanan Nilai. Seperangkat kaidah
dan tatanan
nilai tersebut
bertujuan memberikan pandangan atau patokan hidup bagi
manusia untuk mengatur hubungan tingkah laku
8
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum Edisi Revisi, Op.Cit., Hlm. 42-43
9
Ibid., Hlm. 56.
5
masyarakat
10
dengan tujuan untuk memberikan dan mempertahankan adanya vrede atau damai sejahtera.
11
Damai sejahtera sebagai tujuan dari hukum sejalan dengan Teori keadilan bermartabat yang peduli
dalam memanfaatkan kesempatan yang diberikan Tuhan kepadanya untuk membantu sesamanya melalui
kegiatan berfikir; memanusiakan manusia atau nge wong ke wong.
12
Berupa Imperium hukum yang adalah imperium akal budi, karsa dan rasa seorang anak
manusia, di
manapun ia
berada menjalani
kehidupannya. Teori
Keadilan Bermartabat
sebagaimana dikemukakan oleh Teguh Prasetyo mengajak untuk
mendekati hukum dengan hikmat dan kebijaksanaan dimana hikmat dan kebijaksanaan itu merupakan
hikmat dan kebijaksanaan yang harus sesuai atau menurut hukum. Dengan visi yang sejalan dengan
tujuan hukum itu sendiri. Yaitu Kebenaran dan kebenaran itu keadilan, keadilan itu kebenaran dan
juga adalah kepastian hukum itu sendiri. Maka dari itu menjadi suatu keharusan bahwa keadilan adalah
sesuatu yang harus didahulukan.
13
10
Teguh Prasetyo, Hukum dan Sistem Hukum Berdasarkan Pancasila, Media Perkasa, Yogyakarta, 2013, Hlm. 8.
11
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum Edisi Revisi, Op.Cit., Hlm. 33.
12
Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat: Op.Cit., Hlm. 22.
13
Ibid., Hlm. 20-25.
6
Keadilan bertujuan untuk mencapai hal yang sebagai mana menurut St. Thomas Aquinas Common
good yaitu keadilan. Keadilan itu adalah keadilan sosial yang
tidak hanya
berdimensi utilitarian
atau kebendaan property. Tetapi juga berdimensi kerohanian
atau spiritualitas.
14
Maka dari itu teori keadilan bermartabat itu adalah suatu usaha untuk memahami
atau mendekati pikiran Tuhan.
15
Eksistensi sanksi dalam perbincangan hukum merupakan suatu hal yang hampir tidak dapat
dipisahkan sehingga bisa dikatakan ketika orang membicarakan sanksi maka pembicaraan tersebut
adalah sudah sama dengan membicarakan hukum. Makna
dari kata
eksistensi tersebut
adalah mengindikasikan sebuah
“keberadaan” sesuatu yang dijadikan objek misalnya: “eksistensi manusia,” yang
artinya keberadaan manusia. Kalimat tersebut tidak dapat diartikan menunjukkan sebuah lokasi, akan
tetapi lebih berindikasi pada sebuah pengakuan, pengakuan akan keberadaan manusia.
16
Eksistensi berbicara lebih kepada sesuatu yang sifatnya menjadi
hakikat. Dengan konsep eksistensi yang demikian kembali pada kalimat dalam tesis ini yaitu eksistensi
sanksi, maka sudah jelas yang sedang dibicarakan di
14
Ibid., Hlm. 27-28.
15
Ibid., Hlm. 25.
16
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum Edisi Revisi, Op.Cit., Hlm. 56.
7
sini ada keberadaan sanksi atau pengakuan sanksi dalam hukum. Apakah sanksi merupakan unsur utama
dari hukum atau bukan. Sanksi dalam bahasa Inggris Sanction
17
Menurut
Utrecht bahwa yang dimaksud dengan sanksi adalah
akibat dari sesuatu perbuatan atau suatu reaksi dari pihak lain baik itu manusia atau lembaga sosial atas
sesuatu perbuatan manusia.
18
Dalam Blacks Law Dictionary pengertian sanksi dijelaskan sebagai berikut:
SANCTION, In the original sense of the word, a penalty or punishment provided as a means of enforcing
obedience to a law. In jurisprudence, a law is said to have a sanction when there is a state which will
intervene if it is disobeyed or disregarded. Therefore international law has no legal sanction.
19
Pada dasarnya sanksi merupakan sesuatu yang bersifat
negatif, bentuknya
bermacam-macam bentuknya mulai dari perampasan paksa atas harta
kekayaan individu, perampasan kebebasan, serta sampai pada pencabutan nyawa manusia.
20
Pada pokoknya
sanksi adalah
tindakan menderitakan
individu yang dikenakan dengan sanksi tersebut.
17
Echols, John M. dan Hassan Sadly, Kamus Indonesia –
Inggris, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002.
18
Utrecht, E., Pengantar dalam Hukum Indonesia, P.T. Penerbit dan Balai Buku “Ichtiar”, Jakarta, 1962, Hlm. 17.
19
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary 4th, West
Publishing CO, St. Paul Minn, 1968, Hlm. 1507.
20
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, Hlm. 2.
8
Begitu melekat eratnya kata sanksi dalam hukum dapat dilihat di Indonesia kata sanksi adalah
mengunakan kata “hukum” itu sendiri hanya ditambah dengan imbuhan “an” jadinya “hukuman”
21
meskipun istilah tersebut adalah istilah yang sering digunakan
oleh orang awam namun penggunaan istilah tersebut cukup membuktikan bahwa ada pemahaman kalau
hukum dan sanksi adalah sama.
Menurut Austin bahwa Hukum merupakan
perintah penguasa yang berdaulat dalam suatu negara, yang menjadi dasar pemahaman Austin tersebut adalah
“principle of origin” asas sumber dan menerangkan bahwa hukum harus memenuhi beberapa unsur utama
yaitu: adanya perintah command, kewajiban duty, sanksi, dan kedaulatan.
22
Kemudian dari dasar pemahamannya
tersebut Austin
sampai pada
pemahaman bahwa:
Tidak penting mengapa orang mentaati perintah- perintah pemerintah. Ada orang yang mentaati karena
merasa berwajib mentaati kepentingan umum, ada yang mentaati sebab takut akan kekacauan, ada yang
mentaati sebab merasa terpaksa. Sama saja, asal mentaati. Kalau tidak, dijatuhkan sanksi.
23
Pemahaman di atas mengisyaratkan kedudukan sanksi dalam hukum adalah sebuah keniscayaan atau
21
Ibid, Hlm. 2.
22
A. Mukthie Fadjar, Teori Hukum Kontemporer Edisi Revisi, Setara Press, Malang, 2013, Hlm. 10.
23
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Op.Cit., Hlm. 41.
9
dengan kata lain bahwa hukum adalah sanksi. Sehingga
berkembang pemahaman
yang mendefinisikan hukum, bahwa:
“hukum adalah suatu keharusan atau sistem kewajiban yang jika dilanggar
akan ada sanksinya ”
24
Apabila pemahaman sebagaimana dikemukakan di atas dipertahankan secara mutlak maka hukum
layaknya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok perampok terhadap korban perampokan
yang posisinya lebih lemah, mengapa tidak, karena dapat dilihat bahwa unsur dari dua kondisi tersebut
adalah kurang lebih sama, yaitu: adanya perintah, berupa perintah dari pihak yang memiliki kekuatan
kepada pihak yang berada pada posisi lemah untuk melakukan sesuatu, misalnya: perintah perampok
kepada korbannya
untuk menyerahkan
barang miliknya, mau tidak mau korban harus menuruti
perintah tersebut sehingga ada kewajiban dari korban karena jika tidak melaksanakan perintah tersebut, para
perampok mampu untuk memaksakan kehendaknya dengan tindakan paksaan terhadap korban atau
dengan kata lain korban akan mendapat sanksi. Dengan demikian ilustrasi perampokan di atas telah
memenuhi unsur hukum karena ada perintah, kewajiban dan sanksi.
24
Titon Slamet Kurnia, et al, Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum Penelitian Hukum di Indonesia: Sebuah Orientasi, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2013, Hlm. 103.
10
Hukum dan sanksi harus dibedakan. Bertolak dari ilustrasi di atas bahwa jika tidak adanya pembedaan
yang tegas antara hukum dan sanksi maka Negara dengan perampok adalah sama maka dari itu menurut
penulis adalah sangat penting bahwa harus dibedakan keduanya agar hukum memiliki karakternya yang
paling hakiki dan menurut tesis dalam penelitian ini bahwa karakter tersebut bukan sanksi.
Hukum tidak sama dengan aturan. Perlu untuk dikemukakan disini bahwa pada dasarnya konsep
hukum harus dibedakan dengan konsep peraturan. Berbicara lebih lanjut mengenai konsep hukum
pendapat Titon Slamet Kurnia cukup menjelaskan
banyak dalam
memberikan pandangan
yang membedakan pengertian antara hukum dan peraturan,
“konsep hukum yang dipergunakan di sini adalah terminologi atau istilah yang dalam bahasa Latin
disebut Ius. Konsep hukum sebagai Ius Law hendaknya
tidak dijumbuhkan
dengan konsep
peraturan atau Lex Laws. Peraturan hanya salah satu bentuk manifestasi dari hukum.
”
25
Logikanya bahwa:
hukum itu sama dengan keadilan, maka apabila tidak ada keadilan maka sama saja tidak ada hukum. Tidak
mungkin didalilkan bahwa ada hukum tetapi hukum yang ada itu tidak adil. Dalil seperti ini tidak sesuai
dengan hukum logika. Hukum logika yang benar
25
Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 2009, Hlm. 3
11
mendikte bahwa hukum selalu mengandung keadilan apabila tidak ada keadilan maka tidak ada hukum.
26
Aturan hukum adalah ketentuan-ketentuan yang sengaja dibuat oleh manusia baik itu bersumber dari
kekuasaan yang berdaulat maupun berasal dari kebiasaan yang diakui sebagai hukum, bertujuan
untuk memberikan gambaran yang “nyata” dalam
bertingkah laku, di dalamnya memuat ketentuan- ketentuan
mengenai harus
atau tidak
harus dilakukannya sesuatu oleh manusia atau masyarakat
itu, misalnya hukum perdata yang di dalamnya memuat
ketentuan yang
mengatur hubungan
masyarakat secara individual dengan individu yang lain, hukum publik antara lain hukum tata negara
yang memuat prosedur penyelenggaraan negara dan hukum pidana memuat aturan bertingkah laku dalam
masyarakat dan
tata cara
menghukum bagi
pelanggarnya atau sanksi. Dari tiga jenis di atas lah yang menjadi pusat perhatian yaitu kata sanksi dalam
hukum pidana. Pada dasarnya hukum berbeda dengan peraturan,
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa peraturan adalah produk kekuasaan atau dibuat oleh
manusia sehingga kemungkinan bahwa aturan tersebut bersifat kesewenang-wenangan tetap ada. Berbeda
26
Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat, Op.Cit., Hlm. 123.
12
dengan Keadilan adalah sinonim dari hukum.
27
Dan sifatnya yang sama di semua tempat.
Hukum senantiasa ada dalam semua masyarakat bersifat universal dan berkembang sesuai dinamika
masyarakat itu. Oleh karena itu, hukum selalu dapat ditemukan sebagai pedoman dalam penyelesaian setiap
masalah yang muncul dalam pergaulan manusia, yaitu ketika ideal yang diharapkan keadilan tidak dalam
pergaulan tersebut.
28
Teori hukum
yang cukup
dominan dalam
pemikiran hukum menyatakan baik secara eksplisit maupun implisit bahwa yang membedakan norma
hukum dan norma-norma lainnya adalah pada norma hukum dilekatkan paksaan atau sanksi.
29
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa Sanksi
adalah tindakan
atau “hukuman” yang
diberikan kepada individu karena melanggar hukum tindakan yang merugikan hak orang lain. Hukuman
pada hakikatnya merupakan pengurangan terhadap hak asasi manusia, oleh sebab itu pengaturannya
harus dengan produk legislasi,
30
dengan tujuan yang bersangkutan mengalami penderitaan bentuk-bentuk
sanksi berupa tindakan fisik dan non fisik atau
27
Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, Op.Cit., Hlm. 4.
28
Ibid., Hlm. 4.
29
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum Edisi Revisi, Op.Cit, Hlm., 67. Dikutip dari Lon. L. Fuller, The Morality of
Law, New Haven: Yale University Press, Hlm. 109.
30
Amiruddin, Korupsi Dalam Pengadaan Barang Jasa, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, Hlm. 160.
13
tindakan psikis, contohnya memenjarakan seseorang, sehingga sanksi dapat digolongkan dengan tindakan
pelanggaran hak. Jelas bahwa keberadaan sanksi muncul seiring dengan diberlakukannya aturan dan
apakah unsur sanksi ini merupakan unsur yang membuat aturan tersebut memiliki kualifikasi sebagai
hukum? Pertanyaan tersebut dijawab dengan baik dengan pemahaman berikut:
Dalam hubungan dengan peraturan maka fungsi paling urgen dari hukum, principles atau asas, adalah
standar untuk menilai kelayakan peraturan, suatu peraturan harus sesuai dengan hukum supaya dapat
berlaku atau mengikat sebagai sebuah keharusan untuk diikuti. Atau dengan bahasa yang lebih
metaforis dapat dikatakan bahwa hukum, sebagai nilai atau ideal yang ingin diwujudkan, adalah spirit
peraturan. Tanpa hukum peraturan mati.
31
Standar untuk
sebuah aturan
memenuhi kualifikasi sebagai hukum adalah aturan tersebut
harus berlandaskan pada principles atau asas, dengan demikian konsep hukum lebih luas dari sekedar
peraturan atau jika pernyataan ini dibalik: peraturan hanya salah satu manifestasi hukum dan tidak selalu
bahwa suatu peraturan merupakan hukum.
32
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa dalam kehidupan bernegara atau bermasyarakat Sanksi
diperlukan untuk memaksa masyarakat tunduk kepada hukum, namun pemahaman demikian menurut penulis
31
Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, Op.Cit., Hlm. 5
32
Ibid., Hlm. 6
14
tidaklah terlalu tepat pemahaman penulis tersebut didukung
oleh pendapat
Theo Huijbers
yang meluruskan pemahaman mengenai sifat hukum yang
mengharuskan.
Biasanya dikatakan bahwa hukum “memaksa”. Apakah benar? Memang hukum mengharuskan. Akan
tetapi mengharuskan itu dapat berarti: menuntut dan dapat berarti: memaksa, mana yang benar? Kalau
umpamanya pemerintah menuntut supaya semua anggota masyarakat hidup dalam damai, bahwa
mereka tidak boleh saling menyiksa dan membunuh, sulit
mengatakan bahwa
pemerintah memaksa.
Pemerintah menuntut, sebab peraturan-peraturan yang
bersangkutan mengharuskan,
tetapi pada
umumnya orang tidak merasa dipaksa. Perbedaan antara kedua kata itu terletak dalam sikap psikologis
orang-orang yang
diharuskan untuk
mentaati peraturan-
peraturan. Kata “menuntut” bersifat objektif, tanpa
memandang sifat
orang; kata
memaksa mengandung
suatu unsur
subjektif, yakni
mengandaikan bahwa orang mau melanggar peraturan yang ditentukan. Maka hukum sebagai paksaan
mengandaikan pelanggaran. Bila terdapat pelanggaran hukum
memaksa dengan
ancaman penggunaan
kekerasan denda, penjara. Tetapi menurut perasaan kebanyakan orang hukum tidak memaksa, melainkan
menuntut. Hukum hanya memaksa bagi orang yang tidak mau taat kepada hukum.
33
Berikut pendapat Peter Mahmud Marzuki yang
memiliki keserasian dengan pendapat di atas bahwa, tidak dapat dipungkiri bahwa bilamana diperlukan,
paksaan memang dapat dihadirkan. Namun demikian hal itu bukan berarti memberikan alasan pembenaran
terhadap pandangan yang menyatakan bahwa sanksi
33
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Op.Cit.
15
merupakan tanda pembeda antara norma hukum dan norma sosial lainnya.
34
Memang sanksi sering terdapat dalam hukum namun sebagaimana dikemukakan di atas bahwa hal
itu bukanlah esensi dari hukum itu sendiri karena hukum pada dasarnya menginginkan kebaikan kepada
manusia, sehingga
aturan-aturan hukum
positif sebagai produk penguasa sekalipun bukan berarti
harus mengandung saksi pendapat ini didukung L.J. van Apeldoorn sebagaimana dikutip oleh Peter
Mahmud sebagai berikut:
... L.J van Apeldoorn. Secara tegas menyatakan
bahwa sanksi bukan elemen yang esensial dalam hukum, melainkan elemen tambahan. Menurut Van
Apeldoorn, ajaran yang menyatakan ciri hukum terletak pada sanksi adalah sesuatu yang kontradiktif
dengan dirinya sendiri… suatu pandangan yang hanya melihat bahwa tertib hukum merupakan suatu
organisasi paksaan, menyamakan hukum dengan aturan-aturan yang dibuat oleh sekawanan gangster.
35
Eksistensi hukum adalah terletak pada kata harus atau tidak harus melakukan sesuatu bukan terletak
pada sesuatu yang memuat sanksi sehingga perlu adanya
perbaikan terhadap
pandangan bahwa
hubungan hukum dengan Sanksi adalah dimana hukum selalu diidentikkan dengan sanksi kalau
pandangan di atas diikuti maka sesuatu dapat
34
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum Edisi Revisi, Op. Cit., Hlm. 72.
35
Ibid., Hlm. 71. Dikutip dari P. Van Dijk et al, Van Apeldoorn’s Inlending tot de studie van het Nederlandse Recht.
W.E.J. Tjeenk-Willijnk, 1985, Hlm. 28.
16
dikatakan hukum hanya jika hal tersebut memuat sanksi tau mengatur hal yang menyengsarakan
padahal tujuan hukum itu sendiri adalah damai sejahtera, sehingga pandangan tersebut mengakibatkan
kontradiksi dan mereduksi makna dari hakekat hukum itu sendiri.
B. Rumusan Masalah