Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsep Penyalahgunaan Posisi Dominan dalam Hukum Persaingan Usaha T2 322010007 BAB I

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

Pada bagian pendahuluan ini, penulis

menguraikan mengenai latar belakang masalah

berkaitan dengan konsep penyalahgunaan posisi dominan dalam hukum persaingan usaha. Selanjutnya penulis memuat mengenai rumusan masalah, tujuan

penelitian dan metode penelitian yang akan

digunakan. Kemudian yang terakhir penulis

menguraikan mengenai sistematika penulisan tesis.

A.

Latar Belakang Masalah

Persaingan pelaku usaha erat kaitannya dengan karakteristik sistem ekonomi pasar yang dianut oleh suatu negara. Suatu sistem dapat diibaratkan seperti lingkaran-lingkaran kecil yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Lingkaran-lingkaran kecil tersebut merupakan suatu subsistem. Subsistem tersebut saling berinteraksi dan akhirnya membentuk suatu kesatuan sistem dalam lingkaran besar yang

bergerak sesuai aturan yang ada.1

1

http://galihpangestu14.wordpress.com/2011/04/20/sistem-perekonomian-indonesia/


(2)

2

Pada pasar bebas sekarang ini, memiliki konsekuensi tersendiri bagi para pelaku usaha untuk

berlomba-lomba dalam memasarkan produknya,

dalam hal ini produk barang dan/atau jasa agar lebih menarik perhatian konsumen, berinovasi sehingga pada akhirnya penghasilan atau pemasukan para

pelaku usaha tersebut semakin meningkat.2

Persaingan usaha ini bermanfaat dalam rangka mendorong para pelaku usaha untuk bisa berbuat yang terbaik, baik dari segi mutu atau kualitas, pelayanan, harga, dan lain sebagainya. Tentu saja tujuannya untuk dapat memicu atau mendorong suatu perusahaan atau pelaku usaha untuk dapat meningkatkan kinerja yang unggul sehingga tumbuh secara cepat dengan menawarkan suatu kombinasi antara kualitas dan harga barang atau jasa serta

pelayanan sebagaimana yang dikehendaki oleh

konsumen.3 Sebaliknya persaingan usaha yang

bersifat negatif dapat menyebabkan pelaku usaha lain

mengalami kerugian sehingga berdampak pada

turunnya penghasilan atau pendapatan para pelaku

2

Nurimansjah Hasibuan, Ekonomi Industri Persaingan, Monopoli dan Regulasi, PT.Pustaka, LP3ES Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 81

3

Ibrahim, Johnny, Hukum Persaingan Usaha Filosofi, Teori, dan Impikasi Penerapannya di Indonesia, Bayumedia Publising, Jawa Timur, 2009 hal. 41


(3)

3

usaha lainnya.4 Pada dasarnya persaingan usaha

hanya terjadi jika ada dua pelaku usaha atau lebih menawarkan produk dan jasa yang sama kepada konsumen dalam sebuah pasar. Dimana dua pelaku usaha atau lebih ini berusaha untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya yang kadangkala

hal tersebut bisa merugikan pelaku usaha lain.5

Salah satu solusi untuk mengatasi persoalan ini yaitu dengan dibentuknya Undang-Undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. UU ini dimaksudkan untuk menata kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia usaha dapat tumbuh serta berkembang sehat dan benar sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat. Selain itu juga untuk mencegah terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu yang pada akhirnya merugikan masyarakat, yang bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial.

Substansi yang dibahas penulis dalam

pengaturan UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak yaitu penyalahgunaan posisi

4

Wihana Kirana Jaya, Pengantar Ekonomi Industri Pendekatan Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar, BPFE, Yogyakarta, 1993, hal. 256

5 Ibid


(4)

4

dominan yang dalam tulisan ini disingkat PPD menurut Pasal 25 UU No.5 tahun 1999 ayat:

(1) Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk :

a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan/atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau

b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau

c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.

(2) Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila:

a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau

b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Berikut penjabaran unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 25, yaitu:

 Unsur Pelaku Usaha

Pelaku usaha menurut Pasal 1 angka 5 UU No.5

tahun 1999, adalah Pelaku usaha adalah setiap orang

perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah


(5)

5

hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

 Unsur Posisi Dominan

Posisi dominan menurut Pasal 1 angka 4 UU

No.5 tahun 1999, adalah Keadaan di mana pelaku

usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.

 Unsur Secara Langsung Maupun Tidak

Langsung

Pengertian secara langsung dalam Pasal 25 ini yaitu

Pelaku usaha dominan melakukan tindakan penyalahgunaan posisi dominan. Sementara pengertian tidak langsung adalah pelaku usaha dominan memanfaatkan pelaku usaha lain untuk melakukan tindakan penyalahgunaan posisi dominan.

 Unsur Syarat-Syarat Perdagangan

Defenisi syarat-syarat perdagangan pada intinya adalah


(6)

6

Peristiwa atau butir perjanjian yang oleh para pihak terkait dijadikan sebagai ukuran bahwa perjanjian dimaksud dapat dilaksanakan, atau tidak terpenuhinya peristiwa atau butir tersebut ditetapkan sebagai pembatalan perjanjian.

 Unsur Konsumen

Konsumen menurut Pasal 1 angka 15 UU No.5

tahun 1999, adalah Setiap pemakai dan/atau

pengguna barang dan/atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain.

 Unsur Membatasi Pasar Dan Pengembangan

Teknologi

Pasar menurut Pasal 1 angka 9 UU No.5 tahun 1999, adalah

Lembaga ekonomi di mana para pembeli dan penjual baik secara langsung maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan/atau jasa. Sementara membatasi pasar dan pengembangan teknologi berarti

suatu bentuk perilaku yang menghambat transaksi perdagangan, inovasi serta pengembangan barang dan/atau jasa.

 Unsur Pelaku Usaha Lain

Pelaku usaha lain menurut penjelasan Pasal 17 ayat (2) huruf b UU No.5 tahun 1999, adalah

Pelaku usaha yang mempunyai kemampuan bersaing yang signifikan dalam pasar bersangkutan.


(7)

7

 Unsur Pasar Bersangkutan

Pasar Bersangkutan menurut Pasal 1 angka 10 UU No.5 tahun 1999, adalah

Pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu atau daerah tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan/atau jasa tersebut

 Unsur Pangsa Pasar

Pangsa pasar menurut Pasal 1 angka 13 UU No.5

tahun 1999, adalah Persentase nilai jual atau beli

barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu.

Posisi dominan adalah salah satu kunci pusat/pokok

dalam hukum persaingan usaha.6 Oleh karena setiap

ada kasus persaingan usaha, yang selalu

dipertanyakan pertama adalah apakah ada (siapa) pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan pada pasar yang bersangkutan, atau bisa juga ditanyakan apakah pelaku usaha (terlapor) mempunyai posisi dominan?. Kalau memang ada yang memiliki posisi dominan maka selanjutnya ditanyakan bagaimana pelaku usaha mencapai posisi dominannya tersebut?, apakah pelaku usaha tersebut menyalahgunakan

6

http://www.docstoc.com/docs/46739084/Kondisi-Pranata-Hukum-Persaingan-Usaha-di-Indonesia-danWacana, diakses tanggal 9 April 2011


(8)

8

posisi dominannya?, Apakah pasar yang bersangkutan terdistorsi?, apakah pelaku usaha lain sulit masuk ke pasar yang bersangkutan?.

Pada dasarnya sebuah perusahaan tidak

dilarang menguasai pangsa pasar 50 persen atau lebih. Beberapa perusahaan juga tidak dilarang menguasai pangsa pasar 75 persen atau lebih, yang berarti memegang posisi dominan. Yang dilarang ialah jika posisi dominan itu disalahgunakan untuk mengeksploitasi konsumen atau pelaku usaha lain atau berusaha untuk menyingkirkan dan menghalangi

pelaku usaha lain untuk masuk ke dalam pasar.7

Penulis menfokuskan pembahasan dalam

bentuk konsep penyalahgunaan posisi dominan.

Konsep menurut bahasa Inggris concept dan dalam

bahasa Latin conceptus, berasal dari kata concipere,

con (bersama) dan capere (menangkap, menjinakkan)

berarti memahami, menerima, menangkap. Selain itu

konsep menurut Abdulkadir Muhammad (Guru Besar Hukum Dagang Fakultas Hukum Unila), yakni diabstraksikan dari peristiwa konkret atau gambaran tentang objek, proses, atau sesuatu melalui bahasa. Lebih lanjut beliau menjelaskan konsep itu dapat berupa definisi, batasan, unsur-unsur, ciri-ciri dan

7


(9)

9

kriteria. Jadi konsep penyalahgunaan posisi dominan dalam tinjauan ini mencakup uraian definisi, batasan,

unsur-unsur, ciri-ciri dan kriteria yang

mengabstraksikan penyalahgunaan posisi dominan.8

Kemudian dalam rangka untuk mencari arti sekaligus memperjelas konsep penyalahgunaan posisi dominan dalam persaingan usaha ini, maka penulis membahas semua putusan-putusan KPPU mulai dari tahun 2000 sampai pada tahun 2010. Putusan-putusan KPPU yang akan dibahas dalam penulisan ini yaitu yang berkaitan dengan penyalahgunaan posisi dominan yang diatur dalam Pasal 25 UU No.5 tahun

1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat. Putusan-putusan KPPU ini pada akhirnya diharapkan bisa membuat atau disimpulkan suatu konsep. Dalam membahas kasus ini, penulis menyajikan putusan tersebut

dengan membagi atas 3 (tiga) varian, yaitu

pertama,Terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) dan

memenuhi Pasal 25 ayat (2), Kedua Tidak Terbukti

Melanggar Pasal 25 ayat (1) Tapi Terbukti memenuhi

Pasal 25 ayat (2), ketiga Tidak Terbukti Melanggar

8

http://budiyana.wordpress.com/2008/01/21/konsepsi-penyalahgunaan-posisi-dominan/


(10)

10

Pasal 25 ayat (1) dan Tidak memenuhi Pasal 25 ayat (2).

Adapun putusan-putusan KPPU yang berkaitan dengan penyalahgunaan posisi dominan yang dibagi atas 3 (tiga) varian tersebut, yaitu:

1. Terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) dan

Memenuhi Pasal 25 ayat (2)

a. Perkara Nomor : 04/KPPU-I/2003

Pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dilakukan

oleh PT. JAKARTA INTERNATIONAL CONTAINER

TERMINAL (PT. JICT) yang beralamat kantor di Jalan Sulawesi Ujung Nomor 1 Tanjung Priok,

Jakarta Utara 14310.9

PT. JICT telah melakukan kegiatan yang dapat

menghambat konsumen untuk melakukan

kerjasama usaha dengan pelaku usaha

pesaingnya, dalam bentuk pengiriman surat penegasan yang ditandatangani oleh PT. JICT kepada salah satu pengguna jasanya pada tanggal 5 April 2001, yang pada pokoknya menyatakan bahwa untuk mendapatkan pelayanan bongkar

9


(11)

11

muat petikemas di pelabuhan Tanjung Priok harus mengikatkan diri pada kontrak yang bersifat ekslusif. Tanpa adanya kontrak yang mengikat tersebut, maka tidak akan dilayani PT. JICT.

Bentuk hambatan itu semakin nyata, ketika PT. JICT menggunakan klausul 32.4 di dalam authorization agreement tersebut untuk meminta klarifikasi dan memprotes kebijakan Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Utara yang memberikan ijin operasi kepada PT. Segoro Fajar Satryo, untuk menggunakan Dermaga 300 yang kemudian

melayani jasa bongkar muat petikemas.10

Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Utara adalah pemegang hak pengelolaan pelabuhan umum

sebagaimana diatur di dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 57 Tahun 1991, telah

memberikan konsesi pengelolaan terminal

petikemas kepada PT. JICT dengan jaminan bahwa tidak akan ada pembangunan terminal petikemas sebagai tambahan dari Unit Terminal Petikemas I, Unit Terminal Petikemas II, dan Unit Terminal Petikemas III sebelum tercapainya throughput sebesar 75% (tujuh puluh lima persen)

10


(12)

12

dari kapasitas rancang bangunnya sebesar 3,8 juta Teus sebagaimana dinyatakan klausul 32.4 di

dalam authorization agreement. Klausul 32.4 di

dalam authorization agreement tersebut

merupakan bentuk hambatan strategis yang nyata bagi para pelaku usaha baru yang akan

memasuki pasar bersangkutan pelayanan

bongkar muat petikemas di pelabuhan Tanjung Priok.

Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa PT. JICT secara sah dan meyakinkan telah melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf c

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.11

b. Perkara Nomor: 06/KPPU-L/2004

Pelanggaran ini dilakukan oleh PT.Arta Boga Cemerlang, beralamat kantor di Jalan Palmerah Barat No. 82, Jakarta Barat 11480. Kasus ini berawal pada pertengahan bulan Februari 2004,

PT Panasonic Gobel Indonesia (selanjutnya

disebut PT PGI) telah melaksanakan program “Single Pack Display” dengan ketentuan setiap

toko yang mendisplay baterai single pack (baterai

manganese tipe AA) dengan menggunakan

11


(13)

13

standing display akan diberikan 1 (satu) buah senter yang sudah diisi dengan 4 baterai dan toko yang selama 3 (tiga) bulan mendisplay produk tersebut akan mendapatkan tambahan 1 buah senter yang sama, sedangkan untuk material

promosi (standing display) diberikan gratis oleh PT

PGI.

Selanjutnya pada bulan Maret 2004 diperoleh informasi bahwa PT.Arta Boga Cemerlang sedang

melaksanakan Program Geser Kompetitor

(selanjutnya disebut PGK). Isi atau kegiatan dari program tersebut tertuang dalam suatu “Surat

Perjanjian PGK Periode Maret-Juni 2004” yang

berisi:

1) Program Pajang dengan mendapatkan

potongan tambahan 2%, dengan ketentuan

Toko mempunyai space/ruang pajang baterai

ABC dengan ukuran minimal 0,5 x 1 meter; Toko bersedia memajang baterai ABC, Toko bersedia memasang POS (material promosi) ABC.

2) Komitmen toko untuk tidak menjual baterai

Panasonic dengan mendapatkan potongan tambahan 2%, dengan ketentuan Toko yang sebelumnya menjual baterai Panasonic, maka


(14)

14

mulai bulan Maret sudah tidak menjualnya lagi, sehingga Toko hanya menjual baterai ABC.

3) Mengikuti Program Pajang dan Komitmen

untuk tidak jual baterai Panasonic sehingga patut diduga PGK tersebut dilakukan oleh

PT.Arta Boga Cemerlang; PT.Arta Boga

Cemerlang diduga melaksanakan PGK dengan cara membuat perjanjian dengan toko untuk tidak menjual baterai Panasonic. Bahwa berdasarkan informasi yang diperoleh Pelapor dari toko-toko, PT.Arta Boga Cemerlang diduga melaksanakan PGK tersebut dengan tujuan untuk menghambat penjualan produk baterai merek Panasonic. Sejak PT PGI

mengeluarkan produk single pack untuk jenis

baterai AA dan melaksanakan program

promosi Single pack Display telah menambah

peningkatan penjualan baterai Panasonic. Dengan adanya PGK banyak diantara toko-toko yang berusaha untuk mendapatkan

potongan tambahan sebagaimana yang

dijanjikan oleh PT.Arta Boga Cemerlang. Bahkan terdapat toko-toko yang jelas-jelas mempunyai komitmen untuk tidak memajang


(15)

15

dan/atau menjual baterai Panasonic, padahal

sebelumnya yang bersangkutan adalah

peserta program single pack display dari PT

PGI. Perilaku PT.Arta Boga Cemerlang sebagai pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatan usahanya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan maupun etika bisnis yang ada, yaitu dengan membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas produk baterainya dengan memuat

persyaratan bahwa pemilik toko yang

menerima barang-barang dari PT.Arta Boga Cemerlang tidak akan membeli barang-barang yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok. PT.Arta Boga Cemerlang telah menyalahgunakan posisi dominannya untuk

menghambat pelaku usaha lain yang

berpotensi menjadi pesaingnya untuk

memasuki pasar yang bersangkutan dan menetapkan syarat-syarat perdagangan yang menghambat atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing.


(16)

16

Pada akhirnya Majelis Komisi berpendapat bahwa PT.Arta Boga Cemerlang menguasai 88,73% pangsa pasar baterai manganese AA secara nasional, sehingga unsur posisi dominan telah terpenuhi. Dengan posisi dominan tersebut PT.Arta Boga Cemerlang menyalahgunakannya

yaitu dengan menetapkan syarat-syarat

perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan/atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas. Dimana PT.Arta Boga Cemerlang telah menetapkan syarat-syarat perdagangan yang terkandung di dalam surat perjanjian PGK dimana salah satu syarat pemberian potongan tambahan sebesar 2% adalah jika toko grosir dan semi grosir tidak menjual

baterai Panasonic, dengan tujuan untuk

mencegah atau menghalangi konsumen

memperoleh baterai Panasonic yang bersaing dengan baterai ABC baik segi harga maupun kualitas di grosir atau semi grosir yang mengikuti PGK PT.Arta Boga Cemerlang.

Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa PT.Arta Boga Cemerlang terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf a


(17)

17

jo. ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999.

c. Perkara Nomor: 09/KPPU-L/2009

Pelanggaran UU larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat ini berawal dari PT.

Carrefour Indonesia mengakuisisi PT.Alfa

Retailindo,Tbk. dimana PT.Carrefour menguasai pangsa pasar yang sebelumnya hanya sebesar 46,30 persen setelah itu meningkat menjadi sebesar 57,99 persen di tahun 2008. Peningkatan pangsa pasar12 ini disalahgunakan oleh PT.Carrefour Indonesia dengan cara menetapkan

berbagai syarat perdagangan (trading terms)

kepada pemasok sehingga menimbulkan

persaingan tidak sehat dan menghambat

konsumen memperoleh barang dan jasa yang bersaing. Hal ini dapat dilihat dari pengakuan

ketua Gabungan Elektronik (GABEL) yang

mengatakan bahwa PT.Carrefour Indonesia

merupakan suatu kekuatan yang cukup besar di Indonesai, sehingga apabila produk Gabel tidak ada di PT.Carrefour Indonesia maka nilai brand

12

Pasal 1 angka (13) UU No.5 tahun 1999. Pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai olehpelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu


(18)

18

GABEL tersebut berkurang. Sehingga sekalipun GABEL mengalami kerugian akibat persyaratan yang ditetapkan oleh PT.Carrefour Indonesia salah satunya harus memasok juga pada PT.Alfa Retailindo yang diakuisisi oleh PT.Carrefour Indonesia, yang mana dalam persyaratan yang diberlakukan PT.Alfa Retailindo harus sama pada

PT.Carrefour Indonesia.13

Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa

PT. Carrefour Indonesia terbukti sah dan

meyakinkan melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf a

Undang-Undang No.5 tahun 1999 tentang

larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

d. Perkara Nomor: 17/KPPU-I/2010

Pelanggaran ini dilakukan oleh PT Pfizer

Indonesia, Pfizer Inc, Pfizer Overseas LLC, Pfizer Global Trading dan PT Pfizer Corporation Panama. Kasus ini berawal dari Kelompok Usaha Pfizer diduga melakukan pelanggaran Pasal 25 ayat (1) Undang-undang nomor 5 tahun 1999 yaitu

menyalahgunakan posisi dominannya untuk

13


(19)

19

mempengaruhi dokter dan/atau apotek agar hanya meresepkan obat dengan merek Norvask. Dimana pangsa pasar Norvask sepanjang periode 2000-2007 mencapai di atas 50%. Kondisi tersebut memenuhi kriteria posisi dominan sebagaimana diatur dalam pasal 25 ayat (2). Posisi dominan Pfizer untuk produk Norvask menjadi lebih kuat karena adanya hak paten yang baru habis pertengahan 2007. Hak paten tersebut mengakibatkan tidak ada pelaku usaha pesaing yang dapat menawarkan produk sejenis (selain PT Dexa Medica) dalam periode yang bersangkutan. Pasca paten Norvask habis pertengahan 2007, pangsa pasar Norvask mengalami penurunan seperti tercatat di tahun 2008 menjadi 45.52%

dan 2009 mencapai tingkat 39.50. Pfizer

Indonesia mencanangkan program HCCP pada tahun 2005 yang melibatkan rekanan dokter dan apotik. Berdasarkan BAP dari apotik serta kesaksian para ahli farmakolog, peran dokter dalam peresepan obat sangat penting.

Pihak apotik tidak dapat merubah resep yang sudah dituliskan dokter. Selain itu, pihak dokter lah yang memberikan kartu anggota HCCP kepada pasien, dimana pihak apotik hanya melaksanakan


(20)

20

fungsi input data pasien melalui mesin EDC yang disediakan Pfizer Indonesia;

Kesaksian dari para farmakolog menyebutkan bahwa terdapat interaksi antar dokter dengan

perusahaan farmasi yang diduga berakibat

kepada keputusan dokter dalam peresepan obat. Berdasarkan dokumen, diperoleh data rekanan dokter dan apotik yang masuk dalam program HCCP Pfizer Indonesia.

Tim pemeriksa menilai bahwa program HCCP yang menjalin kemitraan dengan para dokter akan mempengaruhi preferensi para dokter untuk meresepkan obat kepada pasien nya, terutama untuk produk-produk Pfizer, termasuk Norvask. Tim berpendapat bahwa keputusan peresepan

tersebut mempengaruhi obyektifitas dokter

sehingga akan tetap meresepkan produk produk Pfizer Indonesia khususnya Norvask untuk pasien penderita hipertensi. Kondisi ini diperkuat dengan fakta bahwa sejak tahun 2007-awal 2010, indicator most sold generic tetap dipegang oleh produk Norvask, sementara walau sudah tersedia branded generic (termasuk generic) lain dengan harga relatif lebih murah di pasar, merk alternatif


(21)

21

tersebut belum banyak terjual atau diresepkan oleh dokter.

Putusan Majelis Komisi KPPU berpendapat bahwa PT Pfizer Indonesia, Pfizer Inc, Pfizer Overseas LLC, Pfizer Global Trading dan PT Pfizer Corporation Panama terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5, Pasal 11, Pasal 16, Pasal 25 ayat (1) huruf a UU No 5 Tahun 1999.

2. Tidak Terbukti Melanggar Pasal 25 ayat (1) Tapi Terbukti Memenuhi Pasal 25 ayat (2).

a.Perkara Nomor: 05/KPPU-I/2005

Dugaan pelanggaran Pasal 25 ayat (1) huruf c ini dilakukan oleh PT BURSA EFEK JAKARTA atau disingkat PT BEJ (Terlapor I) dan PT LIMAS STOKHOMINDO, TBK, atau disingkat PT LS

(Terlapor II). Kasus ini berkaitan dengan

pengembangan sistem pelaporan elektronik

perusahaan tercatat di Bursa Efek Jakarta. Dimana pelanggaran ini disebabkan oleh karena adanya perjanjian antara Terlapor I dengan Terlapor II yang tertuang dalam Perjanjian Kerjasama Dalam Rangka Pengembangan Sistem


(22)

22

Pelaporan Elektronik Perusahaan Tercatat Nomor SP-036/BEJ-HKM/06-2003 yang diduga dapat menimbulkan penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa oleh Terlapor I dan Terlapor II. Penunjukan Terlapor II oleh

Terlapor I untuk mengembangkan sistem

pelaporan elektronik perusahaan tercatat diduga dilakukan dengan cara diskriminasi terhadap pesaing Terlapor II.

PT BEJ memiliki posisi dominan terhadap pasar jasa e-reporting & monitoring di Bursa Efek Jakarta yang diduga dapat menghambat pelaku usaha lain untuk memasuki pasar bersangkutan. Kemudian dalam putusannya, Majelis Komisi menyatakan bahwa Terlapor I dan Terlapor II tidak terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, oleh karena PT BEJ (Terlapor I) tidak menghambat pelaku usaha lain memasuki pasar bersangkutan sehingga unsur menghambat pelaku usaha lain

yang berpotensi menjadi pesaing untuk

memasuki pasar bersangkutan.


(23)

23

Dugaan pelanggaran Pasal 25 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dilakukan oleh PT. Pertamina (Terlapor I), PT. Banten Inti Gasindo, yang selanjutnya disebut PT BIG (Terlapor II) dan PT. Isma Asia Indotama, yang selanjutnya disebut sebagai PT IAI (Terlapor III).

Kasus ini berkaitan dengan diskriminasi

distribusi gas yang dilakukan oleh PT Pertamina,

yaitu dengan menetapkan syarat-syarat

perdagangan kepada para trader (JPMT, SBLC, gas make up, harga gas, sistem pembayaran dan sebagainya ) yang akan melakukan hubungan dagang dengan PT. Pertamina.

Berdasarkan laporan PT. Igas Utama menyatakan PT. Pertamina telah melakukan diskriminasi terhadap PT. Igas Utama dan PT. Banten Inti Gasindo dalam hal PT. Banten Inti Gasindo mendapatkan lebih besar pasokan gas dan dipermudah persyaratan PJBGnya.

Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa PT. Pertamina (persero) tidak terbukti melanggar ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf a

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Dengan


(24)

24

terbukti memiliki posisi dominan dan juga terbukti menetapkan syarat-syarat perdagangan akan tetapi tidak terbukti mencegah dan/atau

menghalangi konsumen memperoleh barang

dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas.

c.Perkara Nomor: 15/KPPU-L/2006

Dugaan pelanggaran Pasal 25 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dilakukan oleh Terlapor dalam hal ini PT Pertamina (Persero). Kasus ini berkaitan dengan pendistribusian Elpiji di Sumatera Selatan. Penerbitan surat No. 057/E22000/2006-S3 yang pada pokoknya melarang agen Elpiji di Pulau Bangka untuk membeli dan mengisi Elpiji di DSP Pulau Layang dan harus mengisi di APPEL Muntok terhitung mulai tanggal 3 Maret 2006. Setelah terbitnya Surat No. 057/E22000/2006-S3 harga ex agen yang ditetapkan oleh Terlapor turun menjadi Rp 63.747,- (enam puluh tiga ribu tujuh ratus empat puluh tujuh rupiah) per tabung 12 Kg. Hal ini disebabkan karena agen tidak lagi menanggung biaya tambahan sebesar


(25)

25

Rp 17.500,- (tujuh belas ribu lima ratus rupiah) namun turun menjadi Rp 11.639,40,- (sebelas ribu enam ratus tiga puluh sembilan koma empat puluh rupiah).

Bahwa berdasarkan surat GM No.

058/E22000/2006-S3 agen di Pulau Bangka akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 5.560,44,- (lima ribu lima ratus enam puluh koma empat puluh empat rupiah) per tabung 12 Kg tetapi kenyataan di lapangan, keuntungan yang diperoleh agen lebih rendah dari yang ditetapkan oleh Terlapor. Hal ini terjadi karena pertama APPEL melakukan penjualan langsung melalui toko-toko dengan harga berkisar antara Rp 60.000,- (enam puluh ribu rupiah) sampai dengan Rp. 61.000,- (enam puluh satu ribu

rupiah). Kedua Salah satu pemegang saham PT.

Niaga Utama Pura Prima membeli elpiji secara

langsung dari agen di Palembang dan

memasarkannya ke Pulau Bangka dengan harga antara Rp 60.000,- (enam puluh ribu rupiah) sampai dengan Rp 63.000,- (enam puluh tiga ribu rupiah) per tabung 12 kg.

Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa Terlapor tidak terbukti melanggar ketentuan Pasal


(26)

26

25 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, dengan pertimbangan karena Terlapor telah mencabut surat larangan pengisian Elpiji di DSP Pulau Layang dan memberikan kebebasan kepada agen di Pulau Bangka untuk memilih tempat pengisian Elpiji, sehingga unsur menetapkan syarat-syarat perdagangan tidak terpenuhi.

d. Perkara Nomor: 07/KPPU-L/2007

Dugaan pelanggaran Pasal 25 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dilakukan oleh

 Terlapor I (Temasek Holdings Pte. Ltd)

 Terlapor II (Singapore Technologies

Telemedia Pte. Ltd)

 Terlapor III (STT Communications Ltd)

 Terlapor IV (Asia Mobile Holding Company

Pte. Ltd)

 Terlapor V (Asia Mobile Holdings Pte. Ltd)

 Terlapor VI (Indonesia Communications

Limited

 Terlapor VII (Indonesia Communications


(27)

27

 Terlapor VIII: Singapore

Telecommunications Ltd)

 Terlapor IX (Singapore Telecom Mobile Pte.

Ltd)

 Terlapor X (PT. Telekomunikasi Selular)

Kasus ini berkaitan dengan Telkomsel yang

menyalahgunakan posisi dominannya untuk

membatasi pasar dan pengembangan teknologi sehingga melanggar pasal 25 ayat (1) huruf b UU No 5 Tahun 1999.

Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan

Lanjutan (LHPL) Tim Pemeriksa pada pokoknya menyatakan telah terjadi hambatan interkoneksi yang dilakukan oleh Telkomsel sesuai dengan bukti:

Pertama kesaksian Mastel (vide Bukti B52), yang

menyatakan bahwa degree of competition

industri seluler selama ini kurang diakibatkan oleh operator incumbent pada kondisi yang dapat mengancam hubungan interkoneksi pada operator yang menurunkan tingkat tarif. Selain itu, meskipun sejak tahun 2007, rezim interkoneksi sudah berbasis pada biaya namun hingga saat ini belum terdapat


(28)

28

adanya PKS antar operator yang

memuat perjanjian tersebut.

Pada praktiknya, operator pencari

interkoneksi tidak memiliki posisi tawar

yang seimbang dengan operator

incumbent, sehingga masih mengikuti kehendak incumbent dengan ancaman hubungan interkoneksi diputus (BAP Saksi Mastel tanggal 25 September 2007.

Kedua kesaksian Hutchinson (vide Bukti B14)

yang menyatakan bahwa Sempat

terdapat hambatan interkoneksi yang

dialami oleh operator baru yang

dilakukan Telkomsel dengan

mempersyarakatkan terpenuhinya

traffic sebesar 48 erl, yang sulit dipenuhi oleh operator-operatror baru.

Dalam salah satu perjanjian

interkoneksi Telkomsel dengan salah

satu operator, diatur mengenai

Pembebanan Biaya, Penagihan dan

Pembayaran. Lebih lanjut, dalam

ayatnya disebutkan bahwa “Tarif yang dikenakan kepada Pengguna untuk jasa


(29)

29

layanan SMS merupakan kewenangan masing-masing pihak, sehingga para pihak berhak untuk menetapkan sendiri

tarif yang dikenakan kepada

Penggunanya masing-masing dengan batasan bahwa tarif yang dikenakan oleh operator X kepada Penggunanya tidak boleh lebih rendah dari tarif yang

dikenakan oleh Telkomsel kepada

Penggunanya. Operator X akan

melakukan penyesuai tarif yang

dikenakan kepada Penggunanya

selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan, sejak pemberitahuan perubahan tarif yang disampaikan oleh Telkomsel kepada Operator X sebagai waktu sosialisasi bila Telkomsel melakukan perubahan

tarif yang dikenakan kepada

Pengguannya.” Namun, ketentuan

dalam Perjanjian tersebut kemudian

dicabut berdasarkan amandemen

Perjanjian.

Bentuk hambatan lain, adalah

persyaratan untuk pembangunan link interkoneksi diharuskan menggunakan


(30)

30

pihak ketiga yang ditunjuk oleh

Telkomsel. Hal tersebut menaikan biaya

secara signifikan bagi pencari

interkoneksi. Kepemilikan dan

pengoperasian link tersebut pun

menjadi milik pihak ketiga dan

telkomsel bukan menjadi milik pencari

interkoneksi.(BAP Saksi Hutchinson

tanggal 21 Juni 2007).

Ketiga Dokumen perjanjian kerja sama antara Telkomsel dengan salah satu operator. Selanjutnya dalam pendapat atau pembelaan Telkomsel pada pokoknya menyatakan tidak pernah menghambat pengembangan teknologi, Telkomsel merupakan operator telekomunikasi seluler pertama yang mengenalkan:

Bisnis pre-paid di Indonesia yang menggunakan teknologi IN;

Layanan berbasis teknologi GPRS dan EDGE;

Layanan value added services tertentu seperti ring back tone;


(31)

31

Layanan-layanan 3G yang menyediakan layanan video call, video streaming.

Pengembangan-pengembangan teknologi yang

digunakan oleh Telkomsel yang kemudian juga

diaplikasikan oleh kompetitor- kompetitor

Telkomsel lainnya dan yang dapat memberikan kontribusi positif bagi perkembangan pasar telekomunikasi selular.

Putusan Majelis Komisi menyatakan bahwa PT. Pertamina (persero) tidak terbukti melanggar ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf b

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Dengan

pertimbangan bahwa meskipun telah terjadi pembatasan pasar melalui hambatan interkoneksi namun tidak terjadi pembatasan pengembangan teknologi, sehingga dengan tidak terpenuhinya

unsur pembatasan pengembangan teknologi

maka Majelis Komisi tidak perlu menilai dampak yang terjadi akibat terjadinya pembatasan pasar dan pengembangan teknologi tersebut.

3. Tidak Terbukti Melanggar Pasal 25 ayat (1) dan Tidak Memenuhi Pasal 25 ayat (2)


(32)

32

Dugaan pelanggaran UU persaingan usaha ini dilakukan oleh PT. Indomarco Prismatama, yang beralamat di Jl. Ancol I No.9 10, Ancol Barat Jakarta 14430, sebagai pemilik dan pemegang hak merek dagang "Indomaret" untuk usaha ecerannya dalam bentuk baik toko swalayan milik sendiri maupun toko swalayan dengan sistem waralaba. Kasus ini berawal dari laporan tertulis pada tanggal 12 April 2000 yang diterima oleh Komisi pada tanggal 9 Agustus 2000 oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat yang selanjutnya disebut sebagai Saksi Pelapor. Berdasarkan

wawancara langsung kepada 429 orang

pengusaha kecil/pemilik warung yang dianggap mewakili seluruh pemilik warung di wilayah

Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi

(Jabotabek). Sebanyak 129 pengusaha kecil yang diwawancarai tersebut menyatakan bahwa sejak

berdirinya Swalayan Indomaret mempunyai

dampak negatif terhadap usaha usahanya, karena

keberadaan Indomaret tersebut mempunyai

dampak merugikan pengusaha kecil yang ada disekitarnya, di setiap satu Toko Swalayan Indomaret. Padahal di sekitarnya diperkirakan ada 10 usaha kecil, maka apabila ada 290 Toko


(33)

33

Swalayan Indomaret akibatnya 2900 usaha kecil terancam mati, karena kalah bersaing dengan harga dan kenyamanan yang disediakan oleh Indomaret. Apabila dibiarkan rencana berdirinya sampai 2000 Toko Swalayan Indomaret, maka diperkirakan 20.000 usaha kecil yang berada di Jabotabek akan mati atau minimal 80.000 orang

masyarakat miskin tambah melarat, resah

kehilangan mata pencaharian.

Selain itu juga sistem yang diterapkan oleh PT. Indomarco adalah pemegang hak merek Swalayan Indomaret dan jaminan pemasokan barang dagangan dengan harga distributor. Sedangkan pewaralaba berkewajiban menyiapkan gedung dan investasi + 300 juta (termasuk untuk Franchise Fee Rp.82,5 juta yang diberikan kepada PT. Indomarco).

Majelis Komisi KPPU dalam pertimbangan

menyatakan bahwa tidak ditemukan bukti-bukti Terlapor mempunyai posisi dominan karena tidak menguasai pangsa pasar 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Selain itu juga tidak ditemukan bukti-bukti Terlapor melakukan secara bersama-sama dengan satu atau dua pelaku usaha lain


(34)

34

yang menguasai 75% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Atas dasar fakta ini Terlapor tidak dapat dinyatakan dan dikategorikan mempunyai posisi dominan secara mutlak. Karena itu tuduhan pelanggaran yang dilakukan Terlapor terhadap Pasal 1 adalah tidak relevan, sehingga dalam putusan KPPU, Majelis Komisi tidak secara tegas menyatakan bahwa

Terlapor tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan melanggar Pasal 25 UU No.5 tahun 1999.

b. Perkara Nomor: 02/KPPU-I/2004

Dugaan pelanggaran Pasal 25 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dilakukan oleh PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk (Terlapor). Kasus ini berkaitan dengan tindakan pemblokiran terhadap SLI kode akses 001 dan 008 milik PT. Indosat oleh Terlapor, dengan cara menutup layanan SLI kode akses 001 dan 008 di beberapa warung telekomunikasi (wartel), dan menyediakan layanan internasional dengan kode akses 017. Serta mengubah perjanjian kerjasama dengan pemilik wartel, bahwa wartel hanya diperbolehkan menjual produk Terlapor dan Terlapor berhak


(35)

35

melakukan blocking/menutup akses layanan milik operator lain dari wartel.

Putusan Majelis Komisi menyatakan bahwa PT. Telekomunikasi Indonesia tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 25

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dengan

pertimbangan bahwa pasar bersangkutan dalam perkara ini adalah jasa telepon internasional melalui akses jaringan tetap lokal nasional sehingga posisi dominan pelaku usaha ditentukan dari pangsa pasar jasa telepon internasional yang

dijual atau disediakannya. Posisi Terlapor

meskipun menguasai 90-95% jaringan tetap tidak dapat disimpulkan sebagai pemegang posisi dominan karena pelaku usaha dalam jasa telepon internasional melalui akses jaringan tetap lokal nasional dalam perkara ini adalah PT Indosat. Sehingga unsur pelaku usaha memiliki posisi dominan dalam pasar bersangkutan sebagaimana dimaksud pasal 25 ayat (2) tidak terpenuhi. Dari pertimbangan tersebut menegaskan bahwa unsur ayat (2) pasal 25 sebagai persyaratan untuk mempertimbangkan ayat (1) pasal 25 tidak terpenuhi, Majelis berpendapat tidak perlu lagi


(36)

36

mempertimbangkan unsur-unsur

penyalahgunaan posisi dominan ayat (1) pasal 25. Mengingat karakteristik, dampak dan beberapa putusan KPPU mengenai penyalahgunaan posisi dominan ini, maka analisis yang mendalam terhadap maksud dan tujuan serta akibat yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan posisi dominan ini mutlak diperlukan dengan menggunakan teori yang relevan dan juga mengaitkannya dengan beberapa pasal lain yang terdapat dalam UU Persaingan Usaha, sehingga penulis topik tesis ini menarik untuk diteliti.

B.

Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah

diuraikan di atas, maka rumusan masalah yang menjadi topik pembahasan dalam penulisan tesis ini adalah:

Bagaimana konsep penyalahgunaan posisi dominan dalam hukum persaingan usaha di Indonesia?

C.

Tujuan Penelitian

Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah


(37)

37

untuk mengetahui seperti apa konsep penyalahgunaan posisi dominan dalam hukum persaingan usaha di Indonesia.

Oleh karena itu, diharapkan dengan adanya penelitian ini maka peneliti sekaligus penulis dapat memberikan

setidaknya sumbangan pemikiran terhadap

penegakkan hukum persaingan usaha di Indonesia dan juga bahan refensi bagi yang mau mempelajari atau mendalami mengenai hukum persaingan usaha.

D.

Metode Penelitian

1. Pendekatan penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan oleh penulis dalam tesis ini, yaitu:

a. Pendekatan Konseptual (Conceptual

Approach)

Pendekatan konspeptual beranjak dari

pandangan dan doktrin-doktrin yang

berkembang dalam ilmu hukum untuk

menemukan ide-ide yang melahirkan

pengertian-pengertian hukum,

konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.


(38)

38

b. Pendekatan Perundang-undangan (Statute

Approach).

Oleh karena tipe penelitian yang bersifat normatif, maka pendekatan Perundang-Undangan seperti ini merupakan suatu pendekatan yang penting dalam meneliti aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus

tema sentral suatu penelitian.14 Pendekatan

ini dilakukan dengan menelaah Undang-Undang dan regulasi yang bersangkutpaut

dengan isu hukum yang ditangani.

Peraturan hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah yang berkaitan dengan larangan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat.

c. Pendekatan Analitis (Analytical Appoach).

Pendekatan analisis terhadap bahan hukum seperti ini, dimaksudkan untuk mengetahui makna yang terkandung dalam istilah-istilah

yang digunakan dalam

Perundang-Undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik

14

Ibrahim, Johnny Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publising, Jawa Timur, 2009 hal. 302


(39)

39

dan putusan-putusan KPPU.15 Hal ini dapat

dilakukan melalui dua pemeriksaan yaitu (a)

Sang peneliti berusaha memperoleh makna baru yang terkandung dalam aturan hukum

yang bersangkutan (b) Menguji istilah-istilah

hukum tersebut dalam praktik melalui analisis terhadap putusan-putusan hukum.

2. Bahan Hukum

Yang menjadi bahan dasar penelitian hukum normatif ini yaitu bahan hukum primer, sekunder dan

tersier.16

a. Bahan hukum primer yakni bahan hukum

yang terdiri atas peraturan Perundang-Undangan yang diurutkan berdasarkan

hierarki Peraturan Perundang-Undangan

yang relevan dengan penelitian yaitu Undang Undang nomor 5 tahun 1999.

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan

hukum yang terdiri atas buku-buku teks (text books) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum,

15

Ibid., hal. 310 16

Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1985, hal. 33


(40)

40

putusan-putusan KPPU dan lain sebagainya. Putusan-putusan KPPU yang menjadi bahan penelitian tesis ini yaitu:

(1) Perkara Nomor: 04/KPPU-I/2003

tentang Jakarta International

Container Terminal (JICT)

(2) Perkara Nomor: 06/KPPU-L/2004

tentang Arta Boga Cemerlang (ABC)

(3) Perkara Nomor: 09/KPPU-L/2009

tentang Akuisisi Alfa Supermarket oleh Carrefour

(4) Perkara Nomor: 17/KPPU-I/2010

tentang Farmasi

(5) Perkara Nomor: 05/KPPU-I/2005

tentang Bursa Efek Jakarta (BEJ)

(6) Perkara Nomor: 21/KPPU-L/2005

tentang Igas

(7) Perkara Nomor: 15/KPPU-L/2006

tentang Liquified Petroleum Gas (LPG)

(8) Perkara Nomor: 07/KPPU-L/2007

tentang Temasek

(9) Perkara Nomor: 03/KPPU-L-I/2000


(41)

41

(10)Perkara Nomor: 02/KPPU-I/2004

tentang Telkom - Sambungan

Langsung Internasional (SLI).

Bahan hukum sekunder ini berkaitan dengan konsep-konsep hukum persaingan usaha sehingga menjadi salah satu panduan berpikir, berisikan informasi tentang bahan primer yang digunakan penulis dalam menganalisis konsep penyalahgunaan posisi dominan dalam hukum persaingan usaha di

indonesia.17

c. Bahan hukum tersier sering juga disebut

sebgai bahan hukum penunjang,18 bahan

hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer

dan bahan hukum sekunder seperti

ensiklopedia hukum, majalah hukum,

kamus hukum, dan lain lain.19

17

Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hal.155

18

Op.Cit., hal. 32 19

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publising, Jawa Timur, 2009 hal. 392


(42)

42

E.

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan tesis ini dibagi atas 3 (tiga) bagian yaitu:

1. Bagian Pendahuluan Tesis

Bagian pendahuluan tesis ini terdiri terdiri dari Lembar Judul, Lembar Persetujuan,

Lembar Pengujian, Motto, Abstrak (Abstact),

Kata Pengantar, Daftar Isi danDaftar Tabel.

2. Bagian Isi Tesis

a) Bab I (satu) pendahuluan terdiri dari

beberapa hal yang terkait, yaitu dimulai dengan alasan pemilihan judul, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

b) Bab II (dua) membahas tentang tinjauan

pustaka.

c) Bab III (tiga) memuat mengenai hasil

penelitian dan analisis.

d) Bab IV (empat) penutup ini berisikan

tentang kesimpulan dari keseluruhan bab dan saran dalam pemecahan masalah.


(43)

43

3. Bagian Akhir Tesis


(1)

38

b. Pendekatan Perundang-undangan (Statute

Approach).

Oleh karena tipe penelitian yang bersifat normatif, maka pendekatan Perundang-Undangan seperti ini merupakan suatu pendekatan yang penting dalam meneliti aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.14 Pendekatan

ini dilakukan dengan menelaah Undang-Undang dan regulasi yang bersangkutpaut

dengan isu hukum yang ditangani.

Peraturan hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah yang berkaitan dengan larangan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat.

c. Pendekatan Analitis (Analytical Appoach). Pendekatan analisis terhadap bahan hukum seperti ini, dimaksudkan untuk mengetahui makna yang terkandung dalam istilah-istilah

yang digunakan dalam

Perundang-Undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik

14

Ibrahim, Johnny Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publising, Jawa Timur, 2009 hal. 302


(2)

39

dan putusan-putusan KPPU.15 Hal ini dapat

dilakukan melalui dua pemeriksaan yaitu (a) Sang peneliti berusaha memperoleh makna baru yang terkandung dalam aturan hukum yang bersangkutan (b) Menguji istilah-istilah hukum tersebut dalam praktik melalui analisis terhadap putusan-putusan hukum.

2. Bahan Hukum

Yang menjadi bahan dasar penelitian hukum normatif ini yaitu bahan hukum primer, sekunder dan tersier.16

a. Bahan hukum primer yakni bahan hukum

yang terdiri atas peraturan Perundang-Undangan yang diurutkan berdasarkan

hierarki Peraturan Perundang-Undangan

yang relevan dengan penelitian yaitu Undang Undang nomor 5 tahun 1999.

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan

hukum yang terdiri atas buku-buku teks (text books) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum,

15

Ibid., hal. 310 16

Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1985, hal. 33


(3)

40

putusan-putusan KPPU dan lain sebagainya. Putusan-putusan KPPU yang menjadi bahan penelitian tesis ini yaitu:

(1) Perkara Nomor: 04/KPPU-I/2003

tentang Jakarta International

Container Terminal (JICT)

(2) Perkara Nomor: 06/KPPU-L/2004

tentang Arta Boga Cemerlang (ABC)

(3) Perkara Nomor: 09/KPPU-L/2009

tentang Akuisisi Alfa Supermarket oleh Carrefour

(4) Perkara Nomor: 17/KPPU-I/2010

tentang Farmasi

(5) Perkara Nomor: 05/KPPU-I/2005

tentang Bursa Efek Jakarta (BEJ)

(6) Perkara Nomor: 21/KPPU-L/2005

tentang Igas

(7) Perkara Nomor: 15/KPPU-L/2006

tentang Liquified Petroleum Gas (LPG)

(8) Perkara Nomor: 07/KPPU-L/2007

tentang Temasek

(9) Perkara Nomor: 03/KPPU-L-I/2000


(4)

41

(10)Perkara Nomor: 02/KPPU-I/2004

tentang Telkom - Sambungan

Langsung Internasional (SLI).

Bahan hukum sekunder ini berkaitan dengan konsep-konsep hukum persaingan usaha sehingga menjadi salah satu panduan berpikir, berisikan informasi tentang bahan primer yang digunakan penulis dalam menganalisis konsep penyalahgunaan posisi dominan dalam hukum persaingan usaha di indonesia.17

c. Bahan hukum tersier sering juga disebut sebgai bahan hukum penunjang,18 bahan

hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer

dan bahan hukum sekunder seperti

ensiklopedia hukum, majalah hukum,

kamus hukum, dan lain lain.19

17

Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hal.155

18

Op.Cit., hal. 32 19

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publising, Jawa Timur, 2009 hal. 392


(5)

42

E.

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan tesis ini dibagi atas 3 (tiga) bagian yaitu:

1. Bagian Pendahuluan Tesis

Bagian pendahuluan tesis ini terdiri terdiri dari Lembar Judul, Lembar Persetujuan, Lembar Pengujian, Motto, Abstrak (Abstact),

Kata Pengantar, Daftar Isi danDaftar Tabel.

2. Bagian Isi Tesis

a) Bab I (satu) pendahuluan terdiri dari beberapa hal yang terkait, yaitu dimulai dengan alasan pemilihan judul, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

b) Bab II (dua) membahas tentang tinjauan

pustaka.

c) Bab III (tiga) memuat mengenai hasil penelitian dan analisis.

d) Bab IV (empat) penutup ini berisikan tentang kesimpulan dari keseluruhan bab dan saran dalam pemecahan masalah.


(6)

43

3. Bagian Akhir Tesis


Dokumen yang terkait

KEBIJAKAN MODAL MINIMUM, KEBIJAKAN KEPEMILIKAN TUNGGAL DAN PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN DALAM PERSAINGAN USAHA INDUSTRI PERBANKAN

0 3 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Sanksi dalam Hukum T2 322014001 BAB I

0 3 29

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Doktrin sebagai Sumber Hukum T2 322014015 BAB I

1 3 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membangun Usaha Pasca Konflik T2 092010007 BAB I

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsep Penyalahgunaan Posisi Dominan dalam Hukum Persaingan Usaha

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsep Penyalahgunaan Posisi Dominan dalam Hukum Persaingan Usaha T2 322010007 BAB II

0 0 77

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsep Penyalahgunaan Posisi Dominan dalam Hukum Persaingan Usaha T2 322010007 BAB IV

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Praktek Diskriminasi Non Harga sebagai Tindakan Anti Persaingan dalam Hukum Persaingan Usaha

0 0 17

BAB II KRITERIA PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF - HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 43

BAB III HARMONISASI PENGATURAN TENTANG PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF DOMINANT POSITION) DALAM ASEAN - HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA Repository - UNAIR REPOSITO

0 0 39