5
3.1 Kemiskinan Perkotaan dan Permukiman Kumuh
Kemiskinan sering dikaitkan dengan kesejahteraan. Dalam konteks ini kemiskinan dikatakan sebagai kurangnya kesejahteraan Haughton dan Khandker,
2010. Pendekatan paling luas mengenai kemiskinan dan kesejahteraan berfokus pada kemampuan individu untuk menjalankan fungsinya dalam masyarakat. Masyarakat
miskin seringkali tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok; mereka mungkin memiliki pendapatan atau pendidikan yang kurang memadai, dan
memiliki kebebasan politik. Secara lebih sederhana, kemiskinan dapat dipandang dari dua sudut pandang
Harmadi, 2007, yaitu pertama, dari sudut pandang pengukuran dan kedua dari sudut pandang penyebab. Dari sudut pandang pengukuran, kemiskinan dibedakan menjadi
dua, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Dari sudut pandang penyebab, kemiskinan dikelompokkan menjadi dua yaitu kemiskinan alamiah dan struktural.
Kemiskinan absolut mencerminkan suatu kondisi di mana tingkat pendapatan seseorang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti pangan,
sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Kemiskinan absolut merujuk pada ketidak mampuan atau ketidakberdayaan seseorang untuk hidup secara layak. Kemiskinan
jenis ini biasanya diukur dengan menggunakan garis kemiskinan yang konstan sepanjang waktu tertentu. Keriteria pengukuran seperti ini dikenal pula sebagai
pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar. Pada konsep kemiskinan relatif, pengukuran kemiskinan didasarkan pada
proporsi distribusi pendapatan dalam suatu wilayah. Suatu kelompok masyarakat dianggap miskin relatif, jika pendapatannya termasuk 30 terendah dari distribusi
pendapatan. Dengan pendekatan relatif, maka dalam suatu wilayah kemiskinan akan selalu ada. Namun demikian, kemiskinan relatif atau sering disebut ketimpangan
permasalahannya sangat berbeda dengan kemiskinan absolut. Pada kelompok penduduk yang mengalami kemiskinan alamiah, timbulnya
kemiskinan disebabkan oleh keterbatasan individu maupun lingkungan. Dari sisi individu kemiskinan dapat terjadi karena beberapa hal, seperti sifat malas, rendahnya
keterampilan yang dimiliki, kurangnya kemampuan intelektual, keterbatasan fisik, dan rendahnya kemampuan untuk mengatasi masalah yang muncul disekitarnya.
Dengan kata lain, kemiskinan alamiah dari sisi individu dapat terjadi karena factor- faktor biologis, psikologis, dan kelemahan sosialisasi yang dimilikinya. Kemiskinan
alamiah bisa juga terjadi karena lingkungan fisik, seperti kondisi alam yang tidak mendukung, seperti kekeringan, kepadatan penduduk yang melebihi daya dukung
lingkungan serta adanya kelangkaan sumberdaya. Di Indonesia, terdapat dua jenis kemiskinan, yaitu kemiskinan yang bersifat
kronis dan kemiskinan yang bersifat sementara. Kemiskinan kronis memiliki ciri-ciri, diantaranya sangat terbatasnya infrastruktur transfortasi yang menunjukkan bahwa
penduduk miskin tinggal di daerah yang terpencil, sering mengalami sakit berkepanjangan dan tidak mampu mengakses pelayanan kesehatan, serta tidak
memiliki banyak peluang untuk memperoleh pendidikan. Kemiskinan kronis juga berkaitan dengan kemiskinan antar generasi, yaitu orang miskin menghasilkan
generasi yang miskin pula. Pada jenis kemiskinan ini, faktor penting untuk dapat mengajak penduduk miskin keluar dari kemiskinan lebih banyak terdapat di luar
mereka atau faktor eksternal. Harus ada pihak-pihak lain yang memberikan pemberdayaan yang memuingkinkan mereka dapat keluar dari kemiskinan. Peran
pemerintah, sewasta dan juga luingkungan sangat menentukan keberhasilan mereka untuk keluar dari kemiskinan.
Berbeda dengan kemiskinan kronis, kemiskinan jenis kedua yaitu kemiskinan sementara, mereka menjadi miskin karena kejadian luar biasa yang mempengaruhi
kehidupan mereka, seperti krisis ekonomi, dan kejadian alam yang diluar perkiraan, seperti tanah longsor, banjir, tsunami, dan lainnya. Ketika kondisi sudah membaik,
mereka akan dapat hidup secara normal dan lebih baik. Pada jenis kemiskinan sementara ini peran internal individu penduduk miskin sangat penting untuk bisa
keluar dari kemiskinan, karena pada intinya mereka memiliki kemampuan untuk keluar dari kemiskinan.
Kemiskinan perkotaan sangat lekat dengan permukiman kumuh. Kota dikonotasikan memiliki sisi kehidupan yang memberi kesan kemakmuran hidup.
Padahal di balik itu, beberapa studi yang dilakukan Santoso 1991 dan Evers 1982, menemukan bahwa di sisi lain kehidupan kota yang menunjukkan kemajuan terdapat
keterbelakangan yang mencerminkan potret ketidakberdayaan, kemiskinan yang terkonsentrasi pada permukiman kumuh slum area, yang menurut istilah Evers
1982 dikatakan sebagai ‘masa apung kota’. Di sebagian kota besar di Indonesia, masa apung kota ini merupakan refleksi dari keberadaan kaum tak beruntung, seperti
tunakisma, tunakarya, gelandangan, pengemis, buruh kasar dan anak jalanan. Adam 1964; dalam Santoso, 1991 menyebutkan kaum miskin di perkotaan biasanya hidup
7
bergerombol dalam suatu kawasan yang disebut kampung gembel. Sebagian dari mereka mendirikan rumah kardus, gubuk dan pondok reyot untuk difungsikan sebagai
rumah tainggal. Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak
huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat.
Kehadiran rumah kurang layak huni di daerah perkotaan, hanyalah satu dari sekian ciri untuk menggambarkan potret kemiskinan di perkotaan. Santoso 1991
menyebutkan, ciri lainnya adalah, tingkat ekonomi rendah, tingkat pendidikan rendah, akses terhadap fasilitas kesehatan lemah, kesuitan memenuhi kebutuhan pokok, selalu
terlilit hutang, pekerjaan tak tetap, lokasi pekerjaan berpindah-pindah dan sering diuber aparat. Tak jarang diantara mereka terlibat tindak kriminal yang meresahkan
kehidupan sosial.
3.2 Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan