POPULATION MOBILITY AND POVERTY A Study on the Acceleration of Poverty Reduction in Urban Areas (A Case Study in Denpasar City).

(1)

POPULATION MOBILITY AND POVERTY

A Study on the Acceleration of Poverty Reduction in Urban Areas (A Case Study in Denpasar City)

By:

I Gusti Wayan Murjana Yasa Luh Gede Meydianawathi

Surya Dewi Rustariyuni I Nyoman Nurcaya

Abstract

Some studies suggest that population mobility affects the increase in inequality of development among regions. On the one hand, mobility is one of the strategies employed by the people to improve their welfare; however, on the other hand it creates problems, not just in the migrants’ places of origin, but also in the places of destination (especially the urban areas). The excessive emergence of migrants in urban areas leads to a high rate of population growth and high population density, unemployment, poverty and a growing number of slum settlements.

This study aims to: 1) analyze the characteristics of migrants in the slum settlements; 2) analyze the relationship between the poverty of the people in the slum settlements and their mobility status; and 3) analyze the strategies for the acceleration of poverty reduction in the slum settlements in urban areas (especially Denpasar City). The study was conducted through several stages, i.e. a focus group discussion with the stakeholders, followed by a sample survey involving 196 migrants living in the slum settlements in Denpasar City.

The result of the study shows that the main characteristics of the migrants’ poverty in the slum settlements are poor housing conditions and lack of sanitation including unprotected sources of water. The migrants’ poverty in the slum settlements is primarily caused by structural factors (the government policy) and cultural factors related to the values adopted by the migrants in their living habits. In regard to the types of mobility, permanent migrants (looking to settle) have worse characteristics of poverty compared to non-permanent migrants. Empowerment based on the internal strength of the migrants and the control of land tenancy are critical factors to the success of the acceleration of poverty reduction in the slum settlements.

Keywords: population mobility, poverty, slum settlements

1. Latar Belakang

Kehadiran migran di Kota Denpasar, dapat berdampak positif dan juga negatif. Dampak positif dari kehadiran para migran tersebut adalah tersedianya tenaga kerja yang relatif murah khususnya untuk aktivitas buruh kasar yang sangat sulit dipenuhi dari tenaga kerja lokal. Dampak positif lainnya adalah peluang akan proses saling membelajarkan (yang positif) bagi tenaga kerja lokal dari tenaga kerja pendatang


(2)

khususnya terkait dengan survival strategi dar tenaga kerja migran. Strategi bertahan di Kota denpat hidup dari para migran dapat menjadi pembelajaran dan sekaligus juga kebijakan dalam memberikan aturan terhadap para migran. Dampak negatif dari kehadiran para migran adalah persaingan dalam memeperoleh tenaga kerja hususnya pada klas menengah dan juga di sektor informal. Dampak lainnya adalah terkait dengan masalah keamanan, sosial dan budaya. Terkait dengan kemiskinan, prilaku para migran khususnya klas menengah ke bawah justru menambah kekumuhan yang bersumber dari prilaku migran.

Keadiran permukiman kumuh (permukiman tidak layak huni) di Kota Depasar disinyalir semakin banyak jumlahnya sejalan dengan semakin tingginya volume migran masuk ke Kota Denpasar. Berdasarkan Keputusan Walikota Denpasar Nomor 188.45/509/HK/2012 tentang Penetapan Lokasi Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh di Kota Denpasar, diketahui sekurangnya ada 35 titik lokasi lingkungan perumahan dan permukiman kumuh. Status kependudukan mereka digolongkan menjadi dua yaitu penduduk sementara dan penduduk tetap Kota Denpasar. Kondisi ini menyebabkan munculnya rumor bahwa Denpasar mengimpor kemiskinan.

Rendahnya marginal propensity to consume (MPC) dari para migran non-permanen tersebut dapat menjadi sumber utama kekumuhan, Untuk menekan biaya hidup di daerah tujuan mereka cenderung menyewa lahan secara berkelompok dan di atas lahan tersebut mereka mendirikan rumah-rumah semi permanen yang seringkali tidak dilengkapi dengan fasilitas, seperti air bersih, penerangan, sanitasi dan lainnya. Kondisi seperti inilah yang memunculkan permukiman kumuh. Pada sisi yang lain kehadiran para migran di daerah tujuan juga memberi dampak positif. Berbagai peluang kerja yang tidak sanggup diambil para pekerja lokal dapat memanfaatkan pekerja migran. Pekerja pada sebagian besar proyek pembangunan, seperti jalan raya, jembatan, bangunan rumah, gorong-gorong, galian kabel, galian pipa, dan berbagai pekerjaan kasar lainnya, sebagiam besar memanfaatkan tenaga kerja luar (migran). Dewasa ini, telah terjadi kompetisi dalam membuka dan meraih berbagai peluang kerja dan peluang usaha antara migran (pendatang) dengan penduduk lokal (non migran).

Dalam pembangunan, termasuk pembangunan desa di daerah perkotaan dan juga mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, bukanlah semata menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat dan swasta. Sinergi ketiganya dalam pembangunan merupakan implementasi dari paradigma pembangunan good governance. Para migran


(3)

3

dapat diajak secara partisipatif menanggulangi kemiskinan perkotaan, dan mencegah kekumuhan. Pihak swasta, dapat diajak bekerjasama untuk menyediakan berbagai keperluan para migran termasuk kebutuhan akan permukiman layak huni, dan pemerintah menyediakan regulasi yang memungkinkan para migran dapat tinggal secara nyaman pada tempat tinggal yang layak huni tanpa harus senantisa berhadapan dengan kekawatiran akan penggusuran, dan perlakuan tidak aman lainnya.Terkait dengan migran di permukiman kumuh, setidaknya ada beberapa pihak yang terkait, pertama, pemilik lahan khususnya bagi para migran yang tinggal dan membangun tempat tinggal di lahan sewaan; kedua, pemilik rumah (untuk migran yang tinggal di rumah sewaan)’ ketiga, pemerintah yang memiliki kewenangan mengatur regulasi; dan pihak swasta yaitu pemilik rumah atau tanah sewaan. Ketiga stakeholders inilah yang menentukan terjadinya permukiman kumuh.

Salah satu misi pembangunan Kota Denpasar adalah meningkatkan pelayanan publik menuju kesejahteraan masyarakat. Prioritas pembangunan untuk menunjang keberhasilan misi ini adalah pengentasan kemiskinan. Pengentasan kemiskinan dilakukan melalui berbagai program, yaitu peningkatan akses penduduk miskin terhadap penddikan, kesehatan, lingkungan hidup dan perumahan dan permukiman disamping pengentasan kemiskinan.

Implementasi berbagai prioritas pembangunan tersebut dilakukan dalam kerangka pengembangan ekonomi rakyat. Pengembangan ekonomi rakyat dimaksudkan untuk memberi kesempatan dan akses lebih luas terhadap para pelaku ekonomi berskala kecil yaitu usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang melingkupi tidak kurang dari 98 persen unit usaha dan menyerap tenaga kerja sekitar 99 persen dari keseluruhan kesempatan yang tersedia. Sesuai misi mempercepat ketahanan ekonomi masyarakat melalui sistem ekonomi kerakyatan, ada beberapa keuntungan yang dapat diharapkan dengan kebijakan ini adalah, pertama, pertumbuhan ekonomi yang terjadi didasarkan sebesar-besarnya kontribusi dari UMKM yang berarti peningkatan produktivitas sektor ini telah diberikan perhatian penting. Peningkatan produktivitas UMKM berarti juga sekaligus peningkatan pendapatan masyarakat lapisan bawah. Model inilah yang diharapkan dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan yang sekaligus juga meningkatkan peran kelompok masyarakat berpenghasilan rendah memberi kontribusi yang semakin besar dalam pertumbuhan ekonomi.


(4)

Pembangunan ekonomi yang berkeadilan dan inklusif yang kini dikembangkan oleh pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten menguatkan model pembangunan ekonomi yang berlandaskan pada partisipasi masyarakat dengan memanfaatkan sebesar-besarnya potensi yang ada di daerah masing-masing yang memungkinkan berbagai persoalan mendasar terkait dengan aspek kesehatan, pendidikan, dan ekonomi dapat menjadi prioritas utama dalam peningkatannya dan juga pengentasan kemiskinan. Aspek kesehatan, pendidikan dasar, kemiskinan juga menjadi bagian penting dalam prioritas pembangunan yang capaian keberhasilannya sudah ditargetkan bagi masing-masing pemerintah kabupaten/ kota.

Berbagai upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan di Kota Denpasar telah berhasil menurunkan jumlah rumah tangga miskin secara cukup meyakinkan. Pada tahun 2008 jumlah rumah tangga miskin di Kota Denpasar mencapai 3571 rumah tangga dan pada tahun 2012 menurun menjadi 2106, berarti selama 2008-2012 berhasil diturunkan rumah tangga miskin sebanyak 1465 rumah tangga atau sekitar 41,02 persen atau dalam satu tahun rata-rata berhasil diturunkan jumlah rumah tangga miskin sebanyak 366 rumah tangga.

2. Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk:

1) Mengkaji karakteristik kemiskinan penduduk miskin di daerah permukiman kumuh di Kota Denpasar

2) Mengkaji keterkaitan antara penduduk miskin dengan status mobilitas penduduk yang tinggal di permukiman kumuh di Kota Denpasar

3) Mengkaji strategi percepatan penanggulangan kemiskinan pada permukiman kumuh di Kota Denpasar.

Manfaat Penelitian

1) Diketahuinya karakteristik kemiskinan penduduk miskin di daerah permukiman kumuh di Kota Denpasar

2) Diketahuinya keterkaitan antara penduduk miskin dengan status mobilitas penduduk yang tinggal di permukiman kumuh di Kota Denpasar

3) Diketahuinya strategi percepatan penanggulangan kemiskinan penduduk pada permukimanj kumuh di Kota Denpasar.


(5)

5

3.1 Kemiskinan Perkotaan dan Permukiman Kumuh

Kemiskinan sering dikaitkan dengan kesejahteraan. Dalam konteks ini kemiskinan dikatakan sebagai kurangnya kesejahteraan (Haughton dan Khandker, 2010). Pendekatan paling luas mengenai kemiskinan dan kesejahteraan berfokus pada kemampuan individu untuk menjalankan fungsinya dalam masyarakat. Masyarakat miskin seringkali tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok; mereka mungkin memiliki pendapatan atau pendidikan yang kurang memadai, dan memiliki kebebasan politik.

Secara lebih sederhana, kemiskinan dapat dipandang dari dua sudut pandang (Harmadi, 2007), yaitu pertama, dari sudut pandang pengukuran dan kedua dari sudut pandang penyebab. Dari sudut pandang pengukuran, kemiskinan dibedakan menjadi dua, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Dari sudut pandang penyebab, kemiskinan dikelompokkan menjadi dua yaitu kemiskinan alamiah dan struktural.

Kemiskinan absolut mencerminkan suatu kondisi di mana tingkat pendapatan seseorang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Kemiskinan absolut merujuk pada ketidak mampuan atau ketidakberdayaan seseorang untuk hidup secara layak. Kemiskinan jenis ini biasanya diukur dengan menggunakan garis kemiskinan yang konstan sepanjang waktu tertentu. Keriteria pengukuran seperti ini dikenal pula sebagai pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar.

Pada konsep kemiskinan relatif, pengukuran kemiskinan didasarkan pada proporsi distribusi pendapatan dalam suatu wilayah. Suatu kelompok masyarakat dianggap miskin relatif, jika pendapatannya termasuk 30% terendah dari distribusi pendapatan. Dengan pendekatan relatif, maka dalam suatu wilayah kemiskinan akan selalu ada. Namun demikian, kemiskinan relatif atau sering disebut ketimpangan permasalahannya sangat berbeda dengan kemiskinan absolut.

Pada kelompok penduduk yang mengalami kemiskinan alamiah, timbulnya kemiskinan disebabkan oleh keterbatasan individu maupun lingkungan. Dari sisi individu kemiskinan dapat terjadi karena beberapa hal, seperti sifat malas, rendahnya keterampilan yang dimiliki, kurangnya kemampuan intelektual, keterbatasan fisik, dan rendahnya kemampuan untuk mengatasi masalah yang muncul disekitarnya. Dengan kata lain, kemiskinan alamiah dari sisi individu dapat terjadi karena factor-faktor biologis, psikologis, dan kelemahan sosialisasi yang dimilikinya. Kemiskinan


(6)

alamiah bisa juga terjadi karena lingkungan fisik, seperti kondisi alam yang tidak mendukung, seperti kekeringan, kepadatan penduduk yang melebihi daya dukung lingkungan serta adanya kelangkaan sumberdaya.

Di Indonesia, terdapat dua jenis kemiskinan, yaitu kemiskinan yang bersifat kronis dan kemiskinan yang bersifat sementara. Kemiskinan kronis memiliki ciri-ciri, diantaranya sangat terbatasnya infrastruktur transfortasi yang menunjukkan bahwa penduduk miskin tinggal di daerah yang terpencil, sering mengalami sakit berkepanjangan dan tidak mampu mengakses pelayanan kesehatan, serta tidak memiliki banyak peluang untuk memperoleh pendidikan. Kemiskinan kronis juga berkaitan dengan kemiskinan antar generasi, yaitu orang miskin menghasilkan generasi yang miskin pula. Pada jenis kemiskinan ini, faktor penting untuk dapat mengajak penduduk miskin keluar dari kemiskinan lebih banyak terdapat di luar mereka atau faktor eksternal. Harus ada pihak-pihak lain yang memberikan pemberdayaan yang memuingkinkan mereka dapat keluar dari kemiskinan. Peran pemerintah, sewasta dan juga luingkungan sangat menentukan keberhasilan mereka untuk keluar dari kemiskinan.

Berbeda dengan kemiskinan kronis, kemiskinan jenis kedua yaitu kemiskinan sementara, mereka menjadi miskin karena kejadian luar biasa yang mempengaruhi kehidupan mereka, seperti krisis ekonomi, dan kejadian alam yang diluar perkiraan, seperti tanah longsor, banjir, tsunami, dan lainnya. Ketika kondisi sudah membaik, mereka akan dapat hidup secara normal dan lebih baik. Pada jenis kemiskinan sementara ini peran internal individu penduduk miskin sangat penting untuk bisa keluar dari kemiskinan, karena pada intinya mereka memiliki kemampuan untuk keluar dari kemiskinan.

Kemiskinan perkotaan sangat lekat dengan permukiman kumuh. Kota dikonotasikan memiliki sisi kehidupan yang memberi kesan kemakmuran hidup. Padahal di balik itu, beberapa studi yang dilakukan Santoso (1991) dan Evers (1982), menemukan bahwa di sisi lain kehidupan kota yang menunjukkan kemajuan terdapat keterbelakangan yang mencerminkan potret ketidakberdayaan, kemiskinan yang terkonsentrasi pada permukiman kumuh (slum area), yang menurut istilah Evers (1982) dikatakan sebagai ‘masa apung kota’. Di sebagian kota besar di Indonesia, masa apung kota ini merupakan refleksi dari keberadaan kaum tak beruntung, seperti tunakisma, tunakarya, gelandangan, pengemis, buruh kasar dan anak jalanan. Adam (1964; dalam Santoso, 1991) menyebutkan kaum miskin di perkotaan biasanya hidup


(7)

7

bergerombol dalam suatu kawasan yang disebut kampung gembel. Sebagian dari mereka mendirikan rumah kardus, gubuk dan pondok reyot untuk difungsikan sebagai rumah tainggal. Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat.

Kehadiran rumah kurang layak huni di daerah perkotaan, hanyalah satu dari sekian ciri untuk menggambarkan potret kemiskinan di perkotaan. Santoso (1991) menyebutkan, ciri lainnya adalah, tingkat ekonomi rendah, tingkat pendidikan rendah, akses terhadap fasilitas kesehatan lemah, kesuitan memenuhi kebutuhan pokok, selalu terlilit hutang, pekerjaan tak tetap, lokasi pekerjaan berpindah-pindah dan sering diuber aparat. Tak jarang diantara mereka terlibat tindak kriminal yang meresahkan kehidupan sosial.

3.2 Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan

Kemiskinan di perkotaan khususnya di permukiman kumuh memiliki kompleksitas yang tinggi, sehingga sebelum melakukan pemberdayaan masyarakat miskin perlu mengidentifikasi secara cermat akar permasalahan yang melatarbelakanginya beserta kekuatan pengaruh yang ditimbulkannya. Termasuk diperlukan pemahaman mengenai kontruksi hubungan antar beragam akar permasalahan (Santoso, 1991). Hasil penelitian Santoso dan Priyono (2009) mengungkapkan bahwa akar permasalahan kemiskinan memiliki konstruksi hubungan yang saling bertautan, yang menurutnya pertautan tersebut terkonstruksi dalam bentuk jaring laba-laba, seperi ditunjukkan pada Gambar 9.

Pembiaran terhadap kaum miskin untuk menghadapi sendiri berbagai

persoalan hidup tertulah merupakan bentuk layanan buruk sektor perkotaan. Dimensi

pertautan permasalahan yang kompleks dari kemiskinan perkotaan menunjukkan

bahwa penanganan permasalahan kemikinan perkotaan haruslah bersifat

multidimensional. Gejala demikian, tidak dapat dipecahkan dengan teori ekonomi

komvensional, tetapi sudah harus menggunakan pendekatan teori ekonomi


(8)

Sebagaimana halnya kita melihat pemecahan persoalan ekonomi kerakyatan yang bukan merupakan fakta yang sebenarnya (Raharjo, 2012). Ekonomi kelembagaan menurut Mubyarto (2000), dalam Rintuh dan Miar, 2005) adalah cabang ilmu ekonomi yag percaya adanya peran besar lembaga-lembaga dalam kinerja ekonomi suatu masyarakat, karena aturan-aturan dan batasan-batasan yang dibuat

Dalam berbagai hal posisi tawar

lemah

Pendidikan formal dan informal

rendah

Strategi survival rendah

Sikap pesimistik, dan

cenderung apatis

Hubungan sosial dengan berbagai pihak

rendah

Akses terhadap kesempatan pemanfaatan

kegiatan produktif

Kualitas Sumber Daya Manusia Lemah Daya kreativitas

rendah untuk mengelola sumberdaya

lokal Luput dari

Jangkauan sasaran pembangunan

Akar Permasalahan

(The main causes)

Sumber: Santoso.tt.

Kebijakan Pembangunan di Perkotaan yang Tidak Pro

Poor dan Pro Poorest


(9)

9

masyarakat yang bersangkutan dipatuhi atau dapat dipaksakan pematuhannya. Kelembagaan yang dimaksudkan tidak semata berupa organisasi, seperti DPR, partai politik, perusahaan, serikat pekerja, kelompok tani, koperasi, sekolah, universitas, tetapi juga norma/kaidah peraturan atau organisasi yang memudahkan koordinasi dalam membentuk harapan masing-masing yang mungkin dapat dicapai dengan saling bekerja sama.

Dalam kaitan strategi percepatan pengentasan kemiskinan, kita perlu memahami survival strategy para migran (penduduk pendatang). Penduduk pendatang (migran) tergolong ‘bi local population’. Satu kaki ada di daerah tujuan dan satu kaki lagi ada di daerah asal. Artinya, tanggung jawab mereka terhadap keluarga di daerah asal masih tetap tinggi. Melakukan mobilitas dapat dijadikan sebagai salah satu strategi untuk memperoleh harapan (umumnya pekerjaan dan pendapatan) yang tidak dapat diraih di daerah asal. Pendapatan yang mereka peroleh di daerh tujuan digunakan sebagian (kecil) untuk pengeluaran di daerah tujuan (seperti konsumsi makanan dan non-makanan termasuk untuk perumahan), dan sebagian lainnya ditabung atau dikirim ke daerah asal berupa remitan. Dalam kaitan dengan permasalahan utama kemiskinan perkotaan dan pertautannya seperti yang digambarkan Santoso, seperti ditunjukkan pada Gambar 9., tidak senantiasa menampakkan ciri yang ditunjukkan para migran. Pendapatan yang mereka peroleh bisa jadi rendah, tetapi proporsi pendapatan untuk tabungan dan atau remitan bisa tinggi, yang berarti pengeluaran konsumsi di daerah tujuan sangat rendah. Hal ini sudah ditunjukkan oleh beberapa hasil penelitian (seperti Murjana Yasa, 1993; Antari, 2010) dimana marginal provensity to consume dari para migran di daerah tujuan sangat rendah, yang mencerminkan pengeluaran mereka untuk pemenuhan kebutuhan dasar juga sangat rendah, termasuk untuk penerangan, air dan perumahan. Kondisi ini, selain mencermati persoalan pekerjaan dan pendapatan juga harus dipahami sebagai bagian dari strategi para migran untuk bertahan hidup (survival strategy) sekaligus sebagai strategi agar mereka dapat mengirim remitan ke daerah asal. Migran non-permanen yang base ekonomi rumah tangganya ada di desa asal umumnya memiliki pola pengeluaran yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan migran permanen (menetap di daerah tujuan).

Dalam kaitan dengan strategi pengentasan kemiskinan di permukiman kumuh, pola partisipatif dalam pengentasan kemiskinan harus dilakukan. Dalam kerangka


(10)

good governance, pengentasan kemiskinan setidaknya melibatkan tiga pilar, yaitu masyarakat, swasta, dan pemerintah. Masyarakat yang dimaksudkan adalah penduduk miskin dan juga masyarakat lingkungan penduduk miskin (termasuk LSM, dan kelembagaan yang ada di desa yang peduli penduduk miskin); swasta yang dimaksudkan termasuk di dalamnya adalah pemilik lahan, rumah, dan juga para kotraktor yang dapat menyediakan layanan berbagai fasilitas perumahan. Pemerintah menjadi fasilitator dan regulator dalam pengentasan kemiskinan. Ketiga stakeholders

tersebut secara sinergi dan koordinatif melakukan regulasi, fasilitasi dan pemberdayaan yang memungkinkan tujuan bersama dapat dicapai yaitu peningkatan kesejahteraan, dan bersihnya daerah perkotaan dari permukiman kumuh. Dengan demikian, keberhasilan pengentasan kemiskinan di permukiman kumuh sangat tergantung pada partisipasi penduduk miskin, regulasi dan fasilitasi pemerintah, masyakat dan institusi lingkungan penduduk miskin.

Strategi percepatan pengntasan kemiskinan harus menghindarkan diri dari paradigma keliru dalam pengentasan kemiskinan. Kekeliruan pragmatik tersebut adalah sebagai berikut (Huraerah, 2005; dalam Prawoto, 2009).

1) Masih berorientasi pada aspek ekonomi daripada aspek multidimensional. Selain aspek ekonomi, pengentasan kemiskinan juga harus mempertimbangkan aspek-aspek lainnya seperti budaya, politik.

2) Lebih bernuansa karikatif (kemurahan hati) ketimbang produktivitas. Penanggulangan kemiskinan mengarahkan penduduk miskin agar menjadi produktif.

3) Memosisikan penduduk miskin sebagai obyek daripada subyek, seharusnya mereka dipastikan sebagai subyek, yaitu sebagai pelaku perubahan yang aktif terlibat dalam aktivitas program penanggulangan kemiskinan.

4) Pemerintah masih sebagai penguasa daripada fasilitator. Paradigma baru pengentasan kemiskinan menekankan ‘apa yang dimiliki orang miskin’ ketimbang ‘apa yang tidak dimiliki orang miskin’. Orang miskin memiliki potensi, seperti aset personal, sosial, serta berbagai strategi penanggulangan masalah yang telah dijalankan secara lokal.

Berdasarkan paradigma keliru dalam pengentasan kemiskinan, Prawoto (2009) menyarankan, strategi dalam penanggulangan kemiskinan haruslah memperhatikan hal-hal berikut.


(11)

11

1) Upaya penanggulangan kemiskinan tersebut sebaiknya dilakukan secara menyeluruh, terpadu, listas sektor, dan sesuai dengan kondisi dan budaya lokal, karena tidak ada satu kebijakan kemiskinan yang sesuai untuk semua.

2) Memberikan perhatian terhadap aspek proses, tanpa mengabaikan hasil akhir dari proses tersebut. Biarkan masyarakat miskin merasakan bagaimana proses mereka bisa keluar dari lingkaran setan kemikinan.

3) Melibatkan dan merupakan hasil proses dialog dengan berbagai pihak yang berkepentingan terutama masyarakat miskin.

4) Meningkatkan kesadaran dan kepedulian di kalangan semua pihak yang terkait, serta membangkitkan gairah mereka yang terlibat untuk mengambil peran yang sesuai agar tercipta rasa memiliki program.

5) Menyediakan ruang gerak yang seluas-luasnya, bagi munculnya aneka inisiatif dan kreativitas masyarakat di berbagai tingkat. Dalam kaitan ini, pemerintah hanya sebagai fasilitator dalam proses tersebut, sehingga akhirnya, kerangka dan pendekatan penanggulangan kemiskinan disepakati bersama.

6) Pemerintah dan pihak lainnya (Perguruan Tinggi, Lembaga keagamaan, partai politik, masyarakat madani, dan lainnya) dapat bergabung menjadi kekuatan yang saling mendukung.

7) Mereka yang bertanggungjawab dalam menyusun anggaran belanja harus menyadari pentingnya penanggulangan kemiskinan ini sehingga upaya ini ditempatkan dan mendapat prioritas utama dalam setiap program di setiap instansi. Dengan demikian, penanggulangan kemiskinan menjadi gerakan dari, oleh dan untuk rakyat.

4. Metode Penelitian 4.1 Lokasi Penelitian

Penelitian difokuskan pada penduduk miskin yang tinggal di permukiman kumuh di Kota Denpasar. Pada tahun 2012, berdasarkan Keputusan Walikota Denpasar Nomor 188.45/509/HK/2012 tentang Penetapan Lokasi Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh di Kota Denpasar, diketahui sekurangnya ada 35 titik lokasi lingkungan perumahan dan permukiman kumuh di Kota Denpasar yang tersebar di 4 (empat) kecamatan. Sebaran lokasi tersebut ditunjukkan pada Tabel 3.1


(12)

4.2 Tahapan Pengumpulan Data

Untuk memberikan gambaran yang mencerminkan kemiskinan pada permukiman kumuh di Kota Denpasar, maka penelitian dilakukan dengan menggunakan beberapa pentahapan sebagai berikut.

1) Focus Group Discussion (FGD) Tahap I dilakukan untuk mengumpulkan data guna menyamakan persepsi terkait dengan persoalan kemiskinan dan penanggulangan kemiskinan serta pengumpulan data mengenai kekuatan, kelemahan, tantangan dan ancaman terkait dengan upaya percepatan penanggulangan kemiskinan pada permukiman kumuh di Kota Denpasar. Peserta FGD tahap I adalah para Kepala Desa dan Lurah serta SKPD yang terkait dengan kemiskinan pada permukiman kumuh. Hasil FGD tahap I diharapkan diperoleh gambaran karateristik secara umum dari kemiskinan di permukiman kumuh, serta faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam penanggulangan kemiskinan di permukiman kumuh.

2) Focus Group Discussion Tahap II dilakukan untuk memperoleh gambaran dan karateristik umum dari para pelaku pendataan penduduk miskin di tingkat desa/kelurahan, yaitu Kaur Desa/Kelurahan. Data yang dikumpulkan adalah pendataan penduduk miskin di permukiman kumuh dikaitkan dengan status kependudukan dan pendalaman faktor internal dan eksternal yang menentukan keberhasilan dan strategi percepatan penanggulangan pada permukiman kumuh. 3) Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner oleh para pengumpul data

yaitu para Kaur Desa/Kelurahan yang di desa/kelurahannya ada penduduk miskin di permukiman kumuh serta oleh mahasiswa tingkat akhir Fakultas Ekonomi Universitas Udayana. Jumlah sampel rumah tangga miskin di permukiman kumuh adalah sebanyak 196. Jumlah ini merupakan 13,39 persen dari jumlah rumah tangga miskin yang berhasil didata di permukiman kumuh yaitu 1.446 rumah tangga.

4) Fokus Group Discussion Tahap III, untuk penajaman terhadap hasil survei lapangan terkait dengan potensi penduduk miskin di permukiman kumuh untuk keluar dari kemiskinan, berbagai kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman mereka dapat keluar dari kemiskinan.


(13)

13

Untuk menjawab tujuan penelitian digunakan teknik analisis deskriptif yaitu analisis statistik sederhana dan tabel silang serta analisis SWOT. Secara lebih rinci analisis tersebut adalah sebagai berikut.

1) Untuk menjawab tujuan penelitian pertama yaitu karakteristik kemiskinan penduduk miskin yang ada di permukiman kumuh digunakan teknik analisis drskriptif yaitu tabel frekuensi tunggal dan tabel frekuensi silang.

2) Untuk menjawab tujuan penelitian yang kedua, yaitu keterkaitan antara status kependudukan dengan karakteristik kemiskinan digunakan teknik anaisis deskriptif yaitu tabel silang dan analisis kualitatif untuk analisis pendalaman. 4) Untuk menjawab tujuan penelitian yang ketiga yaitu strategi percepatan

penanggulangan kemiskinan penduduk pada permukiman kumuh di Kota Denpasar digunakan teknik analisis SWOT.

4.4 Strategi Percepatan Penanggulangan Kemiskinan di Permukiman Kumuh

Strategi percepatan penanggulangan kemisinan digali dari kondisi internal dan eksternal rumah tangga penduduk miskin di permukiman kumuh. Oleh karenanya perlu dilakukan identifikasi terhadap faktor internal dan eksternal rumah tangga yang menjadi obyek kajian.

Kodisi internal rumah tangga atau penduduk dalam permukiman kumuh terdiri atas faktor kekuatan dan kelemahan, sedangkan kondisi eksternal terdiri atas faktor peluang dan ancaman. Beberapa faktor yang merupakan faktor kekuatan rumah tangga/penduduk miskin untuk entas dari kemiskinan diantaranya, pendidikan, ketrampilan, pekerjaan, ketersediaan usaha, kemampuan mengakses permodalan, kemampuan mengakses pasar, kondisi kesehatan, kemampuan mengakses fasilitas kesehatan, kemampuan mengkonsumsi makanan bergizi, kemampuan menabung, motivasi untuk maju, serta budaya kreatif dan inovatif. Kondisi internal yang yang positif dan riil dimiliki rumah tangga miskin merupakan faktor kekuatan untuk maju dan bertahan serta menjauh dari kemiskinan, sedangkan pernyataan sebaliknya menunjukkan kelemahan. Hasil penelitian mengenai indikator kemiskinan yang dilakukan Pemerintah Kota Denpasar (2011) antara lain menunjukkan beberapa faktor kekuatan yang memungkinkan mereka keluar dari kemiskinan, yaitu upaya bekerja lebih keras, belajar keterampilan, berwirausaha, selalu berfikir positif, ada pekerjaan yang kontinyu, hidup hemat. Kondisi internal yang menyebabkan mereka tetap miskin


(14)

adalah kebodohan, kesehatan terganggu. Hasil penelitian tersebut juga melihat bahwa untuk bisa keluar dari kemiskinan, disamping motivasi individu, peran keluarga, juga peran pemerintah dan dukungan institusional juga sangat penting.

Faktor eksternal merupakan faktor peluang dan ancaman yang berada di luar rumah tangga miskin yang memungkinkan mereka tetap dapat bertahan atau dapat member peluang memperoleh pekerjaan dan pendapatan sehingga mendorong mereka untuk kreatif, inovatif. Sebaliknya faktor eksternal yang merupakan ancaman adalah faktor-faktor di luar lingkungan keluarga yang dapat menyebabkan rumah tangga kehilangan pekerjaan, pendapatan menurun atau kedua-duanya yang menyebabkan mereka kembali menjadi miskin atau terhambat untuk maju. Faktor-faktor tersebut, seperti misalnya: kondisi makro ekonomi (seperti melambatnya pertumbuhan ekonomi, inflasi), Kebijakan pemerintah pada bidang pendidikan, kesehatan, sanitasi lingkungan, kebijakan pada penataan permukiman kumuh, dan kebijakan di bidang ekonomi ekonomi.

Gambar 2. Strategi Berdasar Pertimbangan Faktor Internal dan Eksternal untuk Percepatan Penanggulangan Kemiskinan pada

Permukiman Kumuh

3. Strategi Turn-around 1. Strategi Agresif

4. Strategi Defensif 2. Strategi Diversifikasi

Sumber: Rangkuty, 2004

Berbagai Peluang

Berbagai Ancaman Kelemahan

Internal

Kekuatan Internal


(15)

15

Selanjutnya terhadap berbagai faktor internal dan eksternal tersebut dilakukan analisis SWOT. Analisis SWOT merupakan identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (treaths). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan. Model yang paling popular untuk analisis situasi adalah analisis SWOT. Strategi yang disusun berdasarkan atas pertimbangan faktor internal dan eksternal tersebut ditunjukkan pada Gambar 3.1.

Berdasar Gambar 3.1, strategi yang harus dilakukan dengan mempertimbangkan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) serta faktor eksternal (peluang dan ancaman) yang tergambar pada masing-masing kuadran adalah sebagai berikut.

Kuandran 1

Kondisi ini merupakan situasi yang sangat menguntungkan. Kelompok rumah tangga miskin dapat memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan yang agresif.

Kuadran 2

Meskipun menghadapi berbagai ancaman, kelompok rumah tangga masih memiiki kekuatan dari segi internal. Strategi yang dapat diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara diversifikasi. Kuadran 3

Kelompok rumah tangga menghadapai peluang yang sangat besar, tetapi di sisi lain menghadapi beberapa kendala, kelemahan internal. Fokus strategi adalah meminimalkan masalah-masalah internal sehingga dapat merebut peluang yang lebih baik. Seperti peninjauan kembali aturan yang telah ditetapkan, meningkatkan koordinasi, meningkatkan kualitas SDM dan lainnya.

Tabel 1 Matrik SWOT

IFAS

STRENGTH (S)

· Tentukan 5-10 faktor

WEAKNESSES (W)


(16)

EFAS kekuatan internal kelemahan internal OPPORTUNITIES

(0)

· Tentukan 5-10 faktor peluang eksternal

STRATEGI SO Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang

STRATEGI WO Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang

TREATHS (T)

· Tentukan 5-10 faktor ancaman eksternal

STRATEGI ST Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman

STRATEGI WT Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan

dan menghindari

ancaman Sumber: Rangkuty, 2004

Kuadran 4

Kondisi ini merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan. Rumah tangga menghadapi berbagai ancaman dan kelemahan internal.

Matrik SWOT dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi kelompok rumah tangga yang dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matrik ini menghasilkan empat sel kemungkinan alternatif strategis (Tabel 3.1).

Strategi yang dapat dilakukan pada masing-masing kuadran adalah sebagai berikut.

Strategi SO

Strategi ini dibuat berdasarkan jalan pikiran bahwa dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya

Strategi ST

Strategi ini menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman Strategi WO

Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada


(17)

17

Strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.

5. Hasil Penelitian

1) Kemiskinan rumah tangga pada permukiman kumuh dicirikan oleh beberapa kondisi kemiskinan berikut.

a. Dilihat dari kriteria kemiskinan, rumah tangga miskin di permukiman kumuh dicirikan oleh enam kriteria yaitu: luas lantai rumah yang umumnya kurang dari 8 m2; jenis dinding rumah yang umumnya tembok tidak diplester; sumber air minum yang tidak terlindungi (sumur); kemampuan membeli pakaian dalam satu tahun; dan frekuensi makan dalam sehari.

b. Dilihat dari faktor penyebab kemiskinan, rumah tangga miskin di permukiman kumuh dibedakan menjadi dua jenis yaitu kemiskinan struktural sebagai dampak dari kebijakan pemerintah yang belum sepenuhnya menyentuh kelompok penduduk pada permukiman kumuh, meliputi sanitasi, pemenuhan kesehatan, pendidikan, perumahan, dan kependudukan, dan pola-pola pemberdayaan lainnya yang aksesnya telah dibuka pemerintah. Jenis kemiskinan kedua pada rumah tangga miskin adalah kemiskinan kultural yaitu berkaitan dengan nilai-nilai kebiasaan hidup yang umumnya merupakan kebiasaan yang dibawa dari daerah asal, pendidikan yang rendah, kondisi kesehatan yang kurang baik, dan gaya hidup.

2) Tipe mobilitas dikaitkan dengan kondisi kemiskinan rumah tangga pada permukiman kumuh, disimpulkan bahwa rumah tangga dengan tipe mobilitas permanen (ingin menetap di Kota Denpasar) memiliki ciri kemiskinan lebih banyak dibandingkan dengan rumah tangga dengan tipe mobilitas non-permanen. Kondisi ini meliputi 13 kriteria, kecuali penerangan tidak menggunakan listrik. 3) Strategi Turn-around dapat diterapkan untuk mempercepat akselerasi

penanggulangan kemiskinan pada permukiman kumuh. Strategi ini menengaskan bahwa rumah tangga memiliki peluang yang cukup besar, tetapi menghadapi berbagai kendala yang terkait dengan kelemahan internal. Fokus strategi adalah meminimalkan masalah-masalah internal sehingga dapat merebut peluang yang lebih baik. Peninjauan kembali peraturan atau menyediakan peraturan,


(18)

meningkatkan koordinasi, serta meningkatkan keterampilan. Pemberdayaan dengan memperhatikan faktor strategis peluang dan meminimalkan kelemahan tersebut adalah sebagai berikut.

a. Mengefektifkan implementasi kebijakan pemerintah di bidang ekonomi kerakyatan, khususnya pengembangan UMKM dengan meningkatkan akses rumah tangga miskin dalam permodalam dan keterampilan.

b. Kebijakan pemerintah di bidang peningkatan akses pendidikan, kesehatan dan ekonomi dengan memberikan pemberdayaan kepada rumah tangga miskin

c. Kebijakan pemerintah di bidang kependudukan, perumahan dan sanitasi dengan memberikan sosialisasi tertib kependudukan dan pola hidup sehat. d. Kebijakan pemerintah di bidang penataan persewaan lahan melalui

sosialisasi terhadap penduduk miskin dan pemilik lahan, dan ketersediaan peraturan.

e. Peningkatan peran institusi lingkungan penduduk miskin, seperti koperasi, lembaga keuangan mikro, kelompok perempuan dan lainnya dalam membantu akses keuangan untuk masyarakat miskin.

6. Rekomendasi Kebijakan

1) Sinkronisasi kebijakan penanggulangan kemiskinan pada permukiman kumuh dengan melibatkan SKPD terkait yaitu Dinas Tata Ruang dan permukiman, Badan pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa, Dinas Kesehatan, Bagian Ekonomi, Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Dinas Perdagangan dan Perindustrian, Dinas Keamanan dan Ketertiban dan Dinas Pekerjaan Umum; dengan melibatkan secara sinergis stakeholders yang lainya yaitu swasta dan masyarakat miskin.

2) Impementasi kebijakan secara bijak yang memungkinkan prilaku migran dapat berubah dengan menerapkan berbagai aturan terkait dengan penerapkan konsep permukiman layak huni sebagaimana visi dan misi Kementrian Perumahan Rakyat.

3) Melakukan kajian akademik sebagai dasar penyusunan peraturan daerah atau peraturan Walikota mengenai persewaaan lahan.

4) Tertib kependudukan di wilayah permukinan kumuh menjadi syarat yang diperlukan sebagai dasar menerapkan berbagai pola pemberdayaan dalam rangka penanggulangan kemiskinan di permukiman kumuh, menyangkut peningkatan


(19)

19

pemanfaatan akses kesehatan, pedidikan, perumahan, dan pemenuhan kebutuhan dasar lainnya.

REFERENSI

Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kota Denpasar. 2013. Data Base Rumah Tangga Miskin Se-Kota Denpasar Tahun 2012.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Denpasar. 2012. Dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Kota Denpasar Tahun 2012-2015.

Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2007. Dasar-Dasar Demografi. Jakarta: lembaga Penerbit FEUI

Mungkasa, Oswar. Peluang dan Tantangan Penanganan Permukiman Kumuh Melalui Kemitraan Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat. Available: http://www.academia.edu.

Prawoto. 2009. Memahami Kemiskinan dan Strategi Penanggulangannya. Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan. Vo. 9, April 2009: 56-68.

Rahardjo, R. Dawam. 2012. Pembangunan Pascamodernis: Esei-esei Ekonomi dan Politik. JakartA: Infid dan InsistPress

Rintuh, Cornelis dan Miar. 2005. Kelembagaan dan Ekonomi Rakyat. Yogyakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi UGM.

Santoso, Imam.tt. Konstruksi Akar Permasalahan dan Solusi Strategis Kemiskinan di Perkotaan. Available: http://sosiologi.fisif.uns.ac.id

Smeru dan Fordfoundation. 2012. Mengintegrasikan Aspek Spasial Kemiskinan ke dalam Perencanaan Spasial Perkotaan: Solusi untuk Mengatasi Kemiskinan Perkotaan. Catatan Kebijakan, No. 1/2012

Suparlan, Supardi (Pen.). 1984. Kemiskinan Di Perkotaan. Jakarta: Sinar Harapan

Yustika, Ahmad Erani. 2006. Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori & Strategi. Malang: Bayumedia Publishing.


(1)

adalah kebodohan, kesehatan terganggu. Hasil penelitian tersebut juga melihat bahwa untuk bisa keluar dari kemiskinan, disamping motivasi individu, peran keluarga, juga peran pemerintah dan dukungan institusional juga sangat penting.

Faktor eksternal merupakan faktor peluang dan ancaman yang berada di luar rumah tangga miskin yang memungkinkan mereka tetap dapat bertahan atau dapat member peluang memperoleh pekerjaan dan pendapatan sehingga mendorong mereka untuk kreatif, inovatif. Sebaliknya faktor eksternal yang merupakan ancaman adalah faktor-faktor di luar lingkungan keluarga yang dapat menyebabkan rumah tangga kehilangan pekerjaan, pendapatan menurun atau kedua-duanya yang menyebabkan mereka kembali menjadi miskin atau terhambat untuk maju. Faktor-faktor tersebut, seperti misalnya: kondisi makro ekonomi (seperti melambatnya pertumbuhan ekonomi, inflasi), Kebijakan pemerintah pada bidang pendidikan, kesehatan, sanitasi lingkungan, kebijakan pada penataan permukiman kumuh, dan kebijakan di bidang ekonomi ekonomi.

Gambar 2. Strategi Berdasar Pertimbangan Faktor Internal dan Eksternal untuk Percepatan Penanggulangan Kemiskinan pada

Permukiman Kumuh

3. Strategi Turn-around 1. Strategi Agresif

4. Strategi Defensif 2. Strategi Diversifikasi

Sumber: Rangkuty, 2004

Berbagai Peluang

Berbagai Ancaman Kelemahan

Internal

Kekuatan Internal


(2)

15

Selanjutnya terhadap berbagai faktor internal dan eksternal tersebut dilakukan analisis SWOT. Analisis SWOT merupakan identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (treaths). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan. Model yang paling popular untuk analisis situasi adalah analisis SWOT. Strategi yang disusun berdasarkan atas pertimbangan faktor internal dan eksternal tersebut ditunjukkan pada Gambar 3.1.

Berdasar Gambar 3.1, strategi yang harus dilakukan dengan mempertimbangkan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) serta faktor eksternal (peluang dan ancaman) yang tergambar pada masing-masing kuadran adalah sebagai berikut.

Kuandran 1

Kondisi ini merupakan situasi yang sangat menguntungkan. Kelompok rumah tangga miskin dapat memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan yang agresif.

Kuadran 2

Meskipun menghadapi berbagai ancaman, kelompok rumah tangga masih memiiki kekuatan dari segi internal. Strategi yang dapat diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara diversifikasi.

Kuadran 3

Kelompok rumah tangga menghadapai peluang yang sangat besar, tetapi di sisi lain menghadapi beberapa kendala, kelemahan internal. Fokus strategi adalah meminimalkan masalah-masalah internal sehingga dapat merebut peluang yang lebih baik. Seperti peninjauan kembali aturan yang telah ditetapkan, meningkatkan koordinasi, meningkatkan kualitas SDM dan lainnya.

Tabel 1 Matrik SWOT

IFAS

STRENGTH (S) · Tentukan 5-10 faktor

WEAKNESSES (W)


(3)

EFAS kekuatan internal kelemahan internal OPPORTUNITIES

(0)

· Tentukan 5-10 faktor peluang eksternal

STRATEGI SO Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang

STRATEGI WO Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang

TREATHS (T) · Tentukan 5-10

faktor ancaman eksternal

STRATEGI ST Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman

STRATEGI WT Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan

dan menghindari

ancaman Sumber: Rangkuty, 2004

Kuadran 4

Kondisi ini merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan. Rumah tangga menghadapi berbagai ancaman dan kelemahan internal.

Matrik SWOT dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi kelompok rumah tangga yang dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matrik ini menghasilkan empat sel kemungkinan alternatif strategis (Tabel 3.1).

Strategi yang dapat dilakukan pada masing-masing kuadran adalah sebagai berikut.

Strategi SO

Strategi ini dibuat berdasarkan jalan pikiran bahwa dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya

Strategi ST

Strategi ini menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman

Strategi WO

Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada


(4)

17

Strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.

5. Hasil Penelitian

1) Kemiskinan rumah tangga pada permukiman kumuh dicirikan oleh beberapa kondisi kemiskinan berikut.

a. Dilihat dari kriteria kemiskinan, rumah tangga miskin di permukiman kumuh dicirikan oleh enam kriteria yaitu: luas lantai rumah yang umumnya kurang dari 8 m2; jenis dinding rumah yang umumnya tembok tidak diplester; sumber air minum yang tidak terlindungi (sumur); kemampuan membeli pakaian dalam satu tahun; dan frekuensi makan dalam sehari.

b. Dilihat dari faktor penyebab kemiskinan, rumah tangga miskin di permukiman kumuh dibedakan menjadi dua jenis yaitu kemiskinan struktural sebagai dampak dari kebijakan pemerintah yang belum sepenuhnya menyentuh kelompok penduduk pada permukiman kumuh, meliputi sanitasi, pemenuhan kesehatan, pendidikan, perumahan, dan kependudukan, dan pola-pola pemberdayaan lainnya yang aksesnya telah dibuka pemerintah. Jenis kemiskinan kedua pada rumah tangga miskin adalah kemiskinan kultural yaitu berkaitan dengan nilai-nilai kebiasaan hidup yang umumnya merupakan kebiasaan yang dibawa dari daerah asal, pendidikan yang rendah, kondisi kesehatan yang kurang baik, dan gaya hidup.

2) Tipe mobilitas dikaitkan dengan kondisi kemiskinan rumah tangga pada permukiman kumuh, disimpulkan bahwa rumah tangga dengan tipe mobilitas permanen (ingin menetap di Kota Denpasar) memiliki ciri kemiskinan lebih banyak dibandingkan dengan rumah tangga dengan tipe mobilitas non-permanen. Kondisi ini meliputi 13 kriteria, kecuali penerangan tidak menggunakan listrik. 3) Strategi Turn-around dapat diterapkan untuk mempercepat akselerasi

penanggulangan kemiskinan pada permukiman kumuh. Strategi ini menengaskan bahwa rumah tangga memiliki peluang yang cukup besar, tetapi menghadapi berbagai kendala yang terkait dengan kelemahan internal. Fokus strategi adalah meminimalkan masalah-masalah internal sehingga dapat merebut peluang yang lebih baik. Peninjauan kembali peraturan atau menyediakan peraturan,


(5)

meningkatkan koordinasi, serta meningkatkan keterampilan. Pemberdayaan dengan memperhatikan faktor strategis peluang dan meminimalkan kelemahan tersebut adalah sebagai berikut.

a. Mengefektifkan implementasi kebijakan pemerintah di bidang ekonomi kerakyatan, khususnya pengembangan UMKM dengan meningkatkan akses rumah tangga miskin dalam permodalam dan keterampilan.

b. Kebijakan pemerintah di bidang peningkatan akses pendidikan, kesehatan dan ekonomi dengan memberikan pemberdayaan kepada rumah tangga miskin

c. Kebijakan pemerintah di bidang kependudukan, perumahan dan sanitasi dengan memberikan sosialisasi tertib kependudukan dan pola hidup sehat. d. Kebijakan pemerintah di bidang penataan persewaan lahan melalui

sosialisasi terhadap penduduk miskin dan pemilik lahan, dan ketersediaan peraturan.

e. Peningkatan peran institusi lingkungan penduduk miskin, seperti koperasi, lembaga keuangan mikro, kelompok perempuan dan lainnya dalam membantu akses keuangan untuk masyarakat miskin.

6. Rekomendasi Kebijakan

1) Sinkronisasi kebijakan penanggulangan kemiskinan pada permukiman kumuh dengan melibatkan SKPD terkait yaitu Dinas Tata Ruang dan permukiman, Badan pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa, Dinas Kesehatan, Bagian Ekonomi, Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Dinas Perdagangan dan Perindustrian, Dinas Keamanan dan Ketertiban dan Dinas Pekerjaan Umum; dengan melibatkan secara sinergis stakeholders yang lainya yaitu swasta dan masyarakat miskin.

2) Impementasi kebijakan secara bijak yang memungkinkan prilaku migran dapat berubah dengan menerapkan berbagai aturan terkait dengan penerapkan konsep permukiman layak huni sebagaimana visi dan misi Kementrian Perumahan Rakyat.

3) Melakukan kajian akademik sebagai dasar penyusunan peraturan daerah atau peraturan Walikota mengenai persewaaan lahan.

4) Tertib kependudukan di wilayah permukinan kumuh menjadi syarat yang diperlukan sebagai dasar menerapkan berbagai pola pemberdayaan dalam rangka penanggulangan kemiskinan di permukiman kumuh, menyangkut peningkatan


(6)

19

pemanfaatan akses kesehatan, pedidikan, perumahan, dan pemenuhan kebutuhan dasar lainnya.

REFERENSI

Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kota Denpasar. 2013. Data Base Rumah Tangga Miskin Se-Kota Denpasar Tahun 2012.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Denpasar. 2012. Dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Kota Denpasar Tahun 2012-2015.

Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2007. Dasar-Dasar Demografi. Jakarta: lembaga Penerbit FEUI

Mungkasa, Oswar. Peluang dan Tantangan Penanganan Permukiman Kumuh Melalui Kemitraan Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat. Available: http://www.academia.edu.

Prawoto. 2009. Memahami Kemiskinan dan Strategi Penanggulangannya. Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan. Vo. 9, April 2009: 56-68.

Rahardjo, R. Dawam. 2012. Pembangunan Pascamodernis: Esei-esei Ekonomi dan Politik. JakartA: Infid dan InsistPress

Rintuh, Cornelis dan Miar. 2005. Kelembagaan dan Ekonomi Rakyat. Yogyakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi UGM.

Santoso, Imam.tt. Konstruksi Akar Permasalahan dan Solusi Strategis Kemiskinan di Perkotaan. Available: http://sosiologi.fisif.uns.ac.id

Smeru dan Fordfoundation. 2012. Mengintegrasikan Aspek Spasial Kemiskinan ke dalam Perencanaan Spasial Perkotaan: Solusi untuk Mengatasi Kemiskinan Perkotaan. Catatan Kebijakan, No. 1/2012

Suparlan, Supardi (Pen.). 1984. Kemiskinan Di Perkotaan. Jakarta: Sinar Harapan

Yustika, Ahmad Erani. 2006. Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori & Strategi. Malang: Bayumedia Publishing.