7
bergerombol dalam suatu kawasan yang disebut kampung gembel. Sebagian dari mereka mendirikan rumah kardus, gubuk dan pondok reyot untuk difungsikan sebagai
rumah tainggal. Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak
huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat.
Kehadiran rumah kurang layak huni di daerah perkotaan, hanyalah satu dari sekian ciri untuk menggambarkan potret kemiskinan di perkotaan. Santoso 1991
menyebutkan, ciri lainnya adalah, tingkat ekonomi rendah, tingkat pendidikan rendah, akses terhadap fasilitas kesehatan lemah, kesuitan memenuhi kebutuhan pokok, selalu
terlilit hutang, pekerjaan tak tetap, lokasi pekerjaan berpindah-pindah dan sering diuber aparat. Tak jarang diantara mereka terlibat tindak kriminal yang meresahkan
kehidupan sosial.
3.2 Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan
Kemiskinan di perkotaan khususnya di permukiman kumuh memiliki kompleksitas yang tinggi, sehingga sebelum melakukan pemberdayaan masyarakat
miskin perlu
mengidentifikasi secara
cermat akar
permasalahan yang
melatarbelakanginya beserta kekuatan pengaruh yang ditimbulkannya. Termasuk diperlukan pemahaman mengenai kontruksi hubungan antar beragam akar
permasalahan Santoso, 1991. Hasil penelitian Santoso dan Priyono 2009 mengungkapkan bahwa akar permasalahan kemiskinan memiliki konstruksi hubungan
yang saling bertautan, yang menurutnya pertautan tersebut terkonstruksi dalam bentuk jaring laba-laba, seperi ditunjukkan pada Gambar 9.
Pembiaran terhadap kaum miskin untuk menghadapi sendiri berbagai persoalan hidup tertulah merupakan bentuk layanan buruk sektor perkotaan. Dimensi
pertautan permasalahan yang kompleks dari kemiskinan perkotaan menunjukkan bahwa
penanganan permasalahan
kemikinan perkotaan
haruslah bersifat
multidimensional. Gejala demikian, tidak dapat dipecahkan dengan teori ekonomi komvensional, tetapi sudah harus menggunakan pendekatan teori ekonomi
institusional institusional economics.
Sebagaimana halnya kita melihat pemecahan persoalan ekonomi kerakyatan yang bukan merupakan fakta yang sebenarnya Raharjo, 2012. Ekonomi
kelembagaan menurut Mubyarto 2000, dalam Rintuh dan Miar, 2005 adalah cabang ilmu ekonomi yag percaya adanya peran besar lembaga-lembaga dalam kinerja
ekonomi suatu masyarakat, karena aturan-aturan dan batasan-batasan yang dibuat
Dalam berbagai hal posisi tawar
lemah
Pendidikan formal dan
informal rendah
Strategi survival rendah
Sikap pesimistik, dan
cenderung apatis
Hubungan sosial dengan
berbagai pihak rendah
Akses terhadap kesempatan
pemanfaatan kegiatan
produktif Kualitas
Sumber Daya Manusia Lemah
Daya kreativitas rendah untuk
mengelola sumberdaya
lokal Luput dari
Jangkauan sasaran
pembangunan
Akar Permasalahan
The main causes
Sumber: Santoso.tt.
Kebijakan Pembangunan di Perkotaan yang Tidak Pro
Poor dan Pro Poorest
Gambar 1. Konstruksi Pertautan Akar Permasalahan Kemiskinan Perkotaan
9
masyarakat yang bersangkutan dipatuhi atau dapat dipaksakan pematuhannya. Kelembagaan yang dimaksudkan tidak semata berupa organisasi, seperti DPR, partai
politik, perusahaan, serikat pekerja, kelompok tani, koperasi, sekolah, universitas, tetapi juga normakaidah peraturan atau organisasi yang memudahkan koordinasi
dalam membentuk harapan masing-masing yang mungkin dapat dicapai dengan saling bekerja sama.
Dalam kaitan strategi percepatan pengentasan kemiskinan, kita perlu memahami survival strategy para migran penduduk pendatang. Penduduk pendatang
migran tergolong ‘bi local population’. Satu kaki ada di daerah tujuan dan satu kaki lagi ada di daerah asal. Artinya, tanggung jawab mereka terhadap keluarga di daerah
asal masih tetap tinggi. Melakukan mobilitas dapat dijadikan sebagai salah satu strategi untuk memperoleh harapan umumnya pekerjaan dan pendapatan yang tidak
dapat diraih di daerah asal. Pendapatan yang mereka peroleh di daerh tujuan digunakan sebagian kecil untuk pengeluaran di daerah tujuan seperti konsumsi
makanan dan non-makanan termasuk untuk perumahan, dan sebagian lainnya ditabung atau dikirim ke daerah asal berupa remitan. Dalam kaitan dengan
permasalahan utama kemiskinan perkotaan dan pertautannya seperti yang digambarkan Santoso, seperti ditunjukkan pada Gambar 9., tidak senantiasa
menampakkan ciri yang ditunjukkan para migran. Pendapatan yang mereka peroleh bisa jadi rendah, tetapi proporsi pendapatan untuk tabungan dan atau remitan bisa
tinggi, yang berarti pengeluaran konsumsi di daerah tujuan sangat rendah. Hal ini sudah ditunjukkan oleh beberapa hasil penelitian seperti Murjana Yasa, 1993; Antari,
2010 dimana marginal provensity to consume dari para migran di daerah tujuan sangat rendah, yang mencerminkan pengeluaran mereka untuk pemenuhan kebutuhan
dasar juga sangat rendah, termasuk untuk penerangan, air dan perumahan. Kondisi ini, selain mencermati persoalan pekerjaan dan pendapatan juga harus dipahami sebagai
bagian dari strategi para migran untuk bertahan hidup survival strategy sekaligus sebagai strategi agar mereka dapat mengirim remitan ke daerah asal. Migran non-
permanen yang base ekonomi rumah tangganya ada di desa asal umumnya memiliki pola pengeluaran yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan migran permanen
menetap di daerah tujuan. Dalam kaitan dengan strategi pengentasan kemiskinan di permukiman kumuh,
pola partisipatif dalam pengentasan kemiskinan harus dilakukan. Dalam kerangka
good governance, pengentasan kemiskinan setidaknya melibatkan tiga pilar, yaitu masyarakat, swasta, dan pemerintah. Masyarakat yang dimaksudkan adalah penduduk
miskin dan juga masyarakat lingkungan penduduk miskin termasuk LSM, dan kelembagaan yang ada di desa yang peduli penduduk miskin; swasta yang
dimaksudkan termasuk di dalamnya adalah pemilik lahan, rumah, dan juga para kotraktor yang dapat menyediakan layanan berbagai fasilitas perumahan. Pemerintah
menjadi fasilitator dan regulator dalam pengentasan kemiskinan. Ketiga stakeholders tersebut secara sinergi dan koordinatif melakukan regulasi, fasilitasi dan
pemberdayaan yang memungkinkan tujuan bersama dapat dicapai yaitu peningkatan kesejahteraan, dan bersihnya daerah perkotaan dari permukiman kumuh. Dengan
demikian, keberhasilan pengentasan kemiskinan di permukiman kumuh sangat tergantung pada partisipasi penduduk miskin, regulasi dan fasilitasi pemerintah,
masyakat dan institusi lingkungan penduduk miskin. Strategi percepatan pengntasan kemiskinan harus menghindarkan diri dari
paradigma keliru dalam pengentasan kemiskinan. Kekeliruan pragmatik tersebut adalah sebagai berikut Huraerah, 2005; dalam Prawoto, 2009.
1 Masih berorientasi pada aspek ekonomi daripada aspek multidimensional. Selain aspek ekonomi, pengentasan kemiskinan juga harus mempertimbangkan aspek-
aspek lainnya seperti budaya, politik. 2 Lebih
bernuansa karikatif
kemurahan hati
ketimbang produktivitas.
Penanggulangan kemiskinan mengarahkan penduduk miskin agar menjadi produktif.
3 Memosisikan penduduk miskin sebagai obyek daripada subyek, seharusnya mereka dipastikan sebagai subyek, yaitu sebagai pelaku perubahan yang aktif
terlibat dalam aktivitas program penanggulangan kemiskinan. 4 Pemerintah masih sebagai penguasa daripada fasilitator. Paradigma baru
pengentasan kemiskinan menekankan ‘apa yang dimiliki orang miskin’ ketimbang ‘apa yang tidak dimiliki orang miskin’. Orang miskin memiliki potensi, seperti
aset personal, sosial, serta berbagai strategi penanggulangan masalah yang telah dijalankan secara lokal.
Berdasarkan paradigma keliru dalam pengentasan kemiskinan, Prawoto 2009 menyarankan, strategi dalam penanggulangan kemiskinan haruslah memperhatikan
hal-hal berikut.
11
1 Upaya penanggulangan kemiskinan tersebut sebaiknya dilakukan secara menyeluruh, terpadu, listas sektor, dan sesuai dengan kondisi dan budaya lokal,
karena tidak ada satu kebijakan kemiskinan yang sesuai untuk semua. 2 Memberikan perhatian terhadap aspek proses, tanpa mengabaikan hasil akhir dari
proses tersebut. Biarkan masyarakat miskin merasakan bagaimana proses mereka bisa keluar dari lingkaran setan kemikinan.
3 Melibatkan dan merupakan hasil proses dialog dengan berbagai pihak yang berkepentingan terutama masyarakat miskin.
4 Meningkatkan kesadaran dan kepedulian di kalangan semua pihak yang terkait, serta membangkitkan gairah mereka yang terlibat untuk mengambil peran yang
sesuai agar tercipta rasa memiliki program. 5 Menyediakan ruang gerak yang seluas-luasnya, bagi munculnya aneka inisiatif
dan kreativitas masyarakat di berbagai tingkat. Dalam kaitan ini, pemerintah hanya sebagai fasilitator dalam proses tersebut, sehingga akhirnya, kerangka dan
pendekatan penanggulangan kemiskinan disepakati bersama. 6 Pemerintah dan pihak lainnya Perguruan Tinggi, Lembaga keagamaan, partai
politik, masyarakat madani, dan lainnya dapat bergabung menjadi kekuatan yang saling mendukung.
7 Mereka yang bertanggungjawab dalam menyusun anggaran belanja harus menyadari pentingnya penanggulangan kemiskinan ini sehingga upaya ini
ditempatkan dan mendapat prioritas utama dalam setiap program di setiap instansi. Dengan demikian, penanggulangan kemiskinan menjadi gerakan dari,
oleh dan untuk rakyat.
4. Metode Penelitian 4.1 Lokasi Penelitian