Pembangunan ekonomi yang berkeadilan dan inklusif yang kini dikembangkan oleh pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten menguatkan model
pembangunan ekonomi yang berlandaskan pada partisipasi masyarakat dengan memanfaatkan sebesar-besarnya potensi yang ada di daerah masing-masing yang
memungkinkan berbagai persoalan mendasar terkait dengan aspek kesehatan, pendidikan, dan ekonomi dapat menjadi prioritas utama dalam peningkatannya dan juga
pengentasan kemiskinan. Aspek kesehatan, pendidikan dasar, kemiskinan juga menjadi bagian penting dalam prioritas pembangunan yang capaian keberhasilannya sudah
ditargetkan bagi masing-masing pemerintah kabupaten kota. Berbagai upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan di Kota Denpasar
telah berhasil menurunkan jumlah rumah tangga miskin secara cukup meyakinkan. Pada tahun 2008 jumlah rumah tangga miskin di Kota Denpasar mencapai 3571 rumah
tangga dan pada tahun 2012 menurun menjadi 2106, berarti selama 2008-2012 berhasil diturunkan rumah tangga miskin sebanyak 1465 rumah tangga atau sekitar 41,02 persen
atau dalam satu tahun rata-rata berhasil diturunkan jumlah rumah tangga miskin sebanyak 366 rumah tangga.
2. Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk: 1 Mengkaji karakteristik kemiskinan penduduk miskin di daerah permukiman
kumuh di Kota Denpasar 2 Mengkaji keterkaitan antara penduduk miskin dengan status mobilitas penduduk
yang tinggal di permukiman kumuh di Kota Denpasar 3 Mengkaji strategi percepatan penanggulangan kemiskinan pada permukiman
kumuh di Kota Denpasar.
Manfaat Penelitian
1 Diketahuinya karakteristik kemiskinan penduduk miskin di daerah permukiman kumuh di Kota Denpasar
2 Diketahuinya keterkaitan antara penduduk miskin dengan status mobilitas penduduk yang tinggal di permukiman kumuh di Kota Denpasar
3 Diketahuinya strategi percepatan penanggulangan kemiskinan penduduk pada permukimanj kumuh di Kota Denpasar.
3. Pendekatan Konseptual
5
3.1 Kemiskinan Perkotaan dan Permukiman Kumuh
Kemiskinan sering dikaitkan dengan kesejahteraan. Dalam konteks ini kemiskinan dikatakan sebagai kurangnya kesejahteraan Haughton dan Khandker,
2010. Pendekatan paling luas mengenai kemiskinan dan kesejahteraan berfokus pada kemampuan individu untuk menjalankan fungsinya dalam masyarakat. Masyarakat
miskin seringkali tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok; mereka mungkin memiliki pendapatan atau pendidikan yang kurang memadai, dan
memiliki kebebasan politik. Secara lebih sederhana, kemiskinan dapat dipandang dari dua sudut pandang
Harmadi, 2007, yaitu pertama, dari sudut pandang pengukuran dan kedua dari sudut pandang penyebab. Dari sudut pandang pengukuran, kemiskinan dibedakan menjadi
dua, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Dari sudut pandang penyebab, kemiskinan dikelompokkan menjadi dua yaitu kemiskinan alamiah dan struktural.
Kemiskinan absolut mencerminkan suatu kondisi di mana tingkat pendapatan seseorang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti pangan,
sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Kemiskinan absolut merujuk pada ketidak mampuan atau ketidakberdayaan seseorang untuk hidup secara layak. Kemiskinan
jenis ini biasanya diukur dengan menggunakan garis kemiskinan yang konstan sepanjang waktu tertentu. Keriteria pengukuran seperti ini dikenal pula sebagai
pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar. Pada konsep kemiskinan relatif, pengukuran kemiskinan didasarkan pada
proporsi distribusi pendapatan dalam suatu wilayah. Suatu kelompok masyarakat dianggap miskin relatif, jika pendapatannya termasuk 30 terendah dari distribusi
pendapatan. Dengan pendekatan relatif, maka dalam suatu wilayah kemiskinan akan selalu ada. Namun demikian, kemiskinan relatif atau sering disebut ketimpangan
permasalahannya sangat berbeda dengan kemiskinan absolut. Pada kelompok penduduk yang mengalami kemiskinan alamiah, timbulnya
kemiskinan disebabkan oleh keterbatasan individu maupun lingkungan. Dari sisi individu kemiskinan dapat terjadi karena beberapa hal, seperti sifat malas, rendahnya
keterampilan yang dimiliki, kurangnya kemampuan intelektual, keterbatasan fisik, dan rendahnya kemampuan untuk mengatasi masalah yang muncul disekitarnya.
Dengan kata lain, kemiskinan alamiah dari sisi individu dapat terjadi karena factor- faktor biologis, psikologis, dan kelemahan sosialisasi yang dimilikinya. Kemiskinan
alamiah bisa juga terjadi karena lingkungan fisik, seperti kondisi alam yang tidak mendukung, seperti kekeringan, kepadatan penduduk yang melebihi daya dukung
lingkungan serta adanya kelangkaan sumberdaya. Di Indonesia, terdapat dua jenis kemiskinan, yaitu kemiskinan yang bersifat
kronis dan kemiskinan yang bersifat sementara. Kemiskinan kronis memiliki ciri-ciri, diantaranya sangat terbatasnya infrastruktur transfortasi yang menunjukkan bahwa
penduduk miskin tinggal di daerah yang terpencil, sering mengalami sakit berkepanjangan dan tidak mampu mengakses pelayanan kesehatan, serta tidak
memiliki banyak peluang untuk memperoleh pendidikan. Kemiskinan kronis juga berkaitan dengan kemiskinan antar generasi, yaitu orang miskin menghasilkan
generasi yang miskin pula. Pada jenis kemiskinan ini, faktor penting untuk dapat mengajak penduduk miskin keluar dari kemiskinan lebih banyak terdapat di luar
mereka atau faktor eksternal. Harus ada pihak-pihak lain yang memberikan pemberdayaan yang memuingkinkan mereka dapat keluar dari kemiskinan. Peran
pemerintah, sewasta dan juga luingkungan sangat menentukan keberhasilan mereka untuk keluar dari kemiskinan.
Berbeda dengan kemiskinan kronis, kemiskinan jenis kedua yaitu kemiskinan sementara, mereka menjadi miskin karena kejadian luar biasa yang mempengaruhi
kehidupan mereka, seperti krisis ekonomi, dan kejadian alam yang diluar perkiraan, seperti tanah longsor, banjir, tsunami, dan lainnya. Ketika kondisi sudah membaik,
mereka akan dapat hidup secara normal dan lebih baik. Pada jenis kemiskinan sementara ini peran internal individu penduduk miskin sangat penting untuk bisa
keluar dari kemiskinan, karena pada intinya mereka memiliki kemampuan untuk keluar dari kemiskinan.
Kemiskinan perkotaan sangat lekat dengan permukiman kumuh. Kota dikonotasikan memiliki sisi kehidupan yang memberi kesan kemakmuran hidup.
Padahal di balik itu, beberapa studi yang dilakukan Santoso 1991 dan Evers 1982, menemukan bahwa di sisi lain kehidupan kota yang menunjukkan kemajuan terdapat
keterbelakangan yang mencerminkan potret ketidakberdayaan, kemiskinan yang terkonsentrasi pada permukiman kumuh slum area, yang menurut istilah Evers
1982 dikatakan sebagai ‘masa apung kota’. Di sebagian kota besar di Indonesia, masa apung kota ini merupakan refleksi dari keberadaan kaum tak beruntung, seperti
tunakisma, tunakarya, gelandangan, pengemis, buruh kasar dan anak jalanan. Adam 1964; dalam Santoso, 1991 menyebutkan kaum miskin di perkotaan biasanya hidup
7
bergerombol dalam suatu kawasan yang disebut kampung gembel. Sebagian dari mereka mendirikan rumah kardus, gubuk dan pondok reyot untuk difungsikan sebagai
rumah tainggal. Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak
huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat.
Kehadiran rumah kurang layak huni di daerah perkotaan, hanyalah satu dari sekian ciri untuk menggambarkan potret kemiskinan di perkotaan. Santoso 1991
menyebutkan, ciri lainnya adalah, tingkat ekonomi rendah, tingkat pendidikan rendah, akses terhadap fasilitas kesehatan lemah, kesuitan memenuhi kebutuhan pokok, selalu
terlilit hutang, pekerjaan tak tetap, lokasi pekerjaan berpindah-pindah dan sering diuber aparat. Tak jarang diantara mereka terlibat tindak kriminal yang meresahkan
kehidupan sosial.
3.2 Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan
Kemiskinan di perkotaan khususnya di permukiman kumuh memiliki kompleksitas yang tinggi, sehingga sebelum melakukan pemberdayaan masyarakat
miskin perlu
mengidentifikasi secara
cermat akar
permasalahan yang
melatarbelakanginya beserta kekuatan pengaruh yang ditimbulkannya. Termasuk diperlukan pemahaman mengenai kontruksi hubungan antar beragam akar
permasalahan Santoso, 1991. Hasil penelitian Santoso dan Priyono 2009 mengungkapkan bahwa akar permasalahan kemiskinan memiliki konstruksi hubungan
yang saling bertautan, yang menurutnya pertautan tersebut terkonstruksi dalam bentuk jaring laba-laba, seperi ditunjukkan pada Gambar 9.
Pembiaran terhadap kaum miskin untuk menghadapi sendiri berbagai persoalan hidup tertulah merupakan bentuk layanan buruk sektor perkotaan. Dimensi
pertautan permasalahan yang kompleks dari kemiskinan perkotaan menunjukkan bahwa
penanganan permasalahan
kemikinan perkotaan
haruslah bersifat
multidimensional. Gejala demikian, tidak dapat dipecahkan dengan teori ekonomi komvensional, tetapi sudah harus menggunakan pendekatan teori ekonomi
institusional institusional economics.
Sebagaimana halnya kita melihat pemecahan persoalan ekonomi kerakyatan yang bukan merupakan fakta yang sebenarnya Raharjo, 2012. Ekonomi
kelembagaan menurut Mubyarto 2000, dalam Rintuh dan Miar, 2005 adalah cabang ilmu ekonomi yag percaya adanya peran besar lembaga-lembaga dalam kinerja
ekonomi suatu masyarakat, karena aturan-aturan dan batasan-batasan yang dibuat
Dalam berbagai hal posisi tawar
lemah
Pendidikan formal dan
informal rendah
Strategi survival rendah
Sikap pesimistik, dan
cenderung apatis
Hubungan sosial dengan
berbagai pihak rendah
Akses terhadap kesempatan
pemanfaatan kegiatan
produktif Kualitas
Sumber Daya Manusia Lemah
Daya kreativitas rendah untuk
mengelola sumberdaya
lokal Luput dari
Jangkauan sasaran
pembangunan
Akar Permasalahan
The main causes
Sumber: Santoso.tt.
Kebijakan Pembangunan di Perkotaan yang Tidak Pro
Poor dan Pro Poorest
Gambar 1. Konstruksi Pertautan Akar Permasalahan Kemiskinan Perkotaan
9
masyarakat yang bersangkutan dipatuhi atau dapat dipaksakan pematuhannya. Kelembagaan yang dimaksudkan tidak semata berupa organisasi, seperti DPR, partai
politik, perusahaan, serikat pekerja, kelompok tani, koperasi, sekolah, universitas, tetapi juga normakaidah peraturan atau organisasi yang memudahkan koordinasi
dalam membentuk harapan masing-masing yang mungkin dapat dicapai dengan saling bekerja sama.
Dalam kaitan strategi percepatan pengentasan kemiskinan, kita perlu memahami survival strategy para migran penduduk pendatang. Penduduk pendatang
migran tergolong ‘bi local population’. Satu kaki ada di daerah tujuan dan satu kaki lagi ada di daerah asal. Artinya, tanggung jawab mereka terhadap keluarga di daerah
asal masih tetap tinggi. Melakukan mobilitas dapat dijadikan sebagai salah satu strategi untuk memperoleh harapan umumnya pekerjaan dan pendapatan yang tidak
dapat diraih di daerah asal. Pendapatan yang mereka peroleh di daerh tujuan digunakan sebagian kecil untuk pengeluaran di daerah tujuan seperti konsumsi
makanan dan non-makanan termasuk untuk perumahan, dan sebagian lainnya ditabung atau dikirim ke daerah asal berupa remitan. Dalam kaitan dengan
permasalahan utama kemiskinan perkotaan dan pertautannya seperti yang digambarkan Santoso, seperti ditunjukkan pada Gambar 9., tidak senantiasa
menampakkan ciri yang ditunjukkan para migran. Pendapatan yang mereka peroleh bisa jadi rendah, tetapi proporsi pendapatan untuk tabungan dan atau remitan bisa
tinggi, yang berarti pengeluaran konsumsi di daerah tujuan sangat rendah. Hal ini sudah ditunjukkan oleh beberapa hasil penelitian seperti Murjana Yasa, 1993; Antari,
2010 dimana marginal provensity to consume dari para migran di daerah tujuan sangat rendah, yang mencerminkan pengeluaran mereka untuk pemenuhan kebutuhan
dasar juga sangat rendah, termasuk untuk penerangan, air dan perumahan. Kondisi ini, selain mencermati persoalan pekerjaan dan pendapatan juga harus dipahami sebagai
bagian dari strategi para migran untuk bertahan hidup survival strategy sekaligus sebagai strategi agar mereka dapat mengirim remitan ke daerah asal. Migran non-
permanen yang base ekonomi rumah tangganya ada di desa asal umumnya memiliki pola pengeluaran yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan migran permanen
menetap di daerah tujuan. Dalam kaitan dengan strategi pengentasan kemiskinan di permukiman kumuh,
pola partisipatif dalam pengentasan kemiskinan harus dilakukan. Dalam kerangka
good governance, pengentasan kemiskinan setidaknya melibatkan tiga pilar, yaitu masyarakat, swasta, dan pemerintah. Masyarakat yang dimaksudkan adalah penduduk
miskin dan juga masyarakat lingkungan penduduk miskin termasuk LSM, dan kelembagaan yang ada di desa yang peduli penduduk miskin; swasta yang
dimaksudkan termasuk di dalamnya adalah pemilik lahan, rumah, dan juga para kotraktor yang dapat menyediakan layanan berbagai fasilitas perumahan. Pemerintah
menjadi fasilitator dan regulator dalam pengentasan kemiskinan. Ketiga stakeholders tersebut secara sinergi dan koordinatif melakukan regulasi, fasilitasi dan
pemberdayaan yang memungkinkan tujuan bersama dapat dicapai yaitu peningkatan kesejahteraan, dan bersihnya daerah perkotaan dari permukiman kumuh. Dengan
demikian, keberhasilan pengentasan kemiskinan di permukiman kumuh sangat tergantung pada partisipasi penduduk miskin, regulasi dan fasilitasi pemerintah,
masyakat dan institusi lingkungan penduduk miskin. Strategi percepatan pengntasan kemiskinan harus menghindarkan diri dari
paradigma keliru dalam pengentasan kemiskinan. Kekeliruan pragmatik tersebut adalah sebagai berikut Huraerah, 2005; dalam Prawoto, 2009.
1 Masih berorientasi pada aspek ekonomi daripada aspek multidimensional. Selain aspek ekonomi, pengentasan kemiskinan juga harus mempertimbangkan aspek-
aspek lainnya seperti budaya, politik. 2 Lebih
bernuansa karikatif
kemurahan hati
ketimbang produktivitas.
Penanggulangan kemiskinan mengarahkan penduduk miskin agar menjadi produktif.
3 Memosisikan penduduk miskin sebagai obyek daripada subyek, seharusnya mereka dipastikan sebagai subyek, yaitu sebagai pelaku perubahan yang aktif
terlibat dalam aktivitas program penanggulangan kemiskinan. 4 Pemerintah masih sebagai penguasa daripada fasilitator. Paradigma baru
pengentasan kemiskinan menekankan ‘apa yang dimiliki orang miskin’ ketimbang ‘apa yang tidak dimiliki orang miskin’. Orang miskin memiliki potensi, seperti
aset personal, sosial, serta berbagai strategi penanggulangan masalah yang telah dijalankan secara lokal.
Berdasarkan paradigma keliru dalam pengentasan kemiskinan, Prawoto 2009 menyarankan, strategi dalam penanggulangan kemiskinan haruslah memperhatikan
hal-hal berikut.
11
1 Upaya penanggulangan kemiskinan tersebut sebaiknya dilakukan secara menyeluruh, terpadu, listas sektor, dan sesuai dengan kondisi dan budaya lokal,
karena tidak ada satu kebijakan kemiskinan yang sesuai untuk semua. 2 Memberikan perhatian terhadap aspek proses, tanpa mengabaikan hasil akhir dari
proses tersebut. Biarkan masyarakat miskin merasakan bagaimana proses mereka bisa keluar dari lingkaran setan kemikinan.
3 Melibatkan dan merupakan hasil proses dialog dengan berbagai pihak yang berkepentingan terutama masyarakat miskin.
4 Meningkatkan kesadaran dan kepedulian di kalangan semua pihak yang terkait, serta membangkitkan gairah mereka yang terlibat untuk mengambil peran yang
sesuai agar tercipta rasa memiliki program. 5 Menyediakan ruang gerak yang seluas-luasnya, bagi munculnya aneka inisiatif
dan kreativitas masyarakat di berbagai tingkat. Dalam kaitan ini, pemerintah hanya sebagai fasilitator dalam proses tersebut, sehingga akhirnya, kerangka dan
pendekatan penanggulangan kemiskinan disepakati bersama. 6 Pemerintah dan pihak lainnya Perguruan Tinggi, Lembaga keagamaan, partai
politik, masyarakat madani, dan lainnya dapat bergabung menjadi kekuatan yang saling mendukung.
7 Mereka yang bertanggungjawab dalam menyusun anggaran belanja harus menyadari pentingnya penanggulangan kemiskinan ini sehingga upaya ini
ditempatkan dan mendapat prioritas utama dalam setiap program di setiap instansi. Dengan demikian, penanggulangan kemiskinan menjadi gerakan dari,
oleh dan untuk rakyat.
4. Metode Penelitian 4.1 Lokasi Penelitian
Penelitian difokuskan pada penduduk miskin yang tinggal di permukiman kumuh di Kota Denpasar. Pada tahun 2012, berdasarkan Keputusan Walikota
Denpasar Nomor 188.45509HK2012 tentang Penetapan Lokasi Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh di Kota Denpasar, diketahui sekurangnya ada
35 titik lokasi lingkungan perumahan dan permukiman kumuh di Kota Denpasar yang tersebar di 4 empat kecamatan. Sebaran lokasi tersebut ditunjukkan pada Tabel 3.1
4.2 Tahapan Pengumpulan Data
Untuk memberikan gambaran yang mencerminkan kemiskinan pada permukiman kumuh di Kota Denpasar, maka penelitian dilakukan dengan
menggunakan beberapa pentahapan sebagai berikut. 1 Focus Group Discussion FGD Tahap I dilakukan untuk mengumpulkan data
guna menyamakan persepsi terkait dengan persoalan kemiskinan dan penanggulangan kemiskinan serta pengumpulan data mengenai kekuatan,
kelemahan, tantangan dan ancaman terkait dengan upaya percepatan penanggulangan kemiskinan pada permukiman kumuh di Kota Denpasar. Peserta
FGD tahap I adalah para Kepala Desa dan Lurah serta SKPD yang terkait dengan kemiskinan pada permukiman kumuh. Hasil FGD tahap I diharapkan diperoleh
gambaran karateristik secara umum dari kemiskinan di permukiman kumuh, serta faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam penanggulangan
kemiskinan di permukiman kumuh. 2 Focus Group Discussion Tahap II dilakukan untuk memperoleh gambaran dan
karateristik umum dari para pelaku pendataan penduduk miskin di tingkat desakelurahan, yaitu Kaur DesaKelurahan. Data yang dikumpulkan adalah
pendataan penduduk miskin di permukiman kumuh dikaitkan dengan status kependudukan dan pendalaman faktor internal dan eksternal yang menentukan
keberhasilan dan strategi percepatan penanggulangan pada permukiman kumuh. 3 Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner oleh para pengumpul data
yaitu para Kaur DesaKelurahan yang di desakelurahannya ada penduduk miskin di permukiman kumuh serta oleh mahasiswa tingkat akhir Fakultas Ekonomi
Universitas Udayana. Jumlah sampel rumah tangga miskin di permukiman kumuh adalah sebanyak 196. Jumlah ini merupakan 13,39 persen dari jumlah rumah
tangga miskin yang berhasil didata di permukiman kumuh yaitu 1.446 rumah tangga.
4 Fokus Group Discussion Tahap III, untuk penajaman terhadap hasil survei lapangan terkait dengan potensi penduduk miskin di permukiman kumuh untuk
keluar dari kemiskinan, berbagai kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman mereka dapat keluar dari kemiskinan.
4.3 Teknik Analisis Data
13
Untuk menjawab tujuan penelitian digunakan teknik analisis deskriptif yaitu analisis statistik sederhana dan tabel silang serta analisis SWOT. Secara lebih rinci
analisis tersebut adalah sebagai berikut. 1 Untuk menjawab tujuan penelitian pertama yaitu karakteristik kemiskinan
penduduk miskin yang ada di permukiman kumuh digunakan teknik analisis drskriptif yaitu tabel frekuensi tunggal dan tabel frekuensi silang.
2 Untuk menjawab tujuan penelitian yang kedua, yaitu keterkaitan antara status kependudukan dengan karakteristik kemiskinan digunakan teknik anaisis
deskriptif yaitu tabel silang dan analisis kualitatif untuk analisis pendalaman. 4 Untuk menjawab tujuan penelitian yang ketiga yaitu strategi percepatan
penanggulangan kemiskinan penduduk pada permukiman kumuh di Kota Denpasar digunakan teknik analisis SWOT.
4.4 Strategi Percepatan Penanggulangan Kemiskinan di Permukiman Kumuh
Strategi percepatan penanggulangan kemisinan digali dari kondisi internal dan eksternal rumah tangga penduduk miskin di permukiman kumuh. Oleh karenanya
perlu dilakukan identifikasi terhadap faktor internal dan eksternal rumah tangga yang menjadi obyek kajian.
Kodisi internal rumah tangga atau penduduk dalam permukiman kumuh terdiri atas faktor kekuatan dan kelemahan, sedangkan kondisi eksternal terdiri atas faktor
peluang dan ancaman. Beberapa faktor yang merupakan faktor kekuatan rumah tanggapenduduk miskin untuk entas dari kemiskinan diantaranya, pendidikan,
ketrampilan, pekerjaan, ketersediaan usaha, kemampuan mengakses permodalan, kemampuan mengakses pasar, kondisi kesehatan, kemampuan mengakses fasilitas
kesehatan, kemampuan mengkonsumsi makanan bergizi, kemampuan menabung, motivasi untuk maju, serta budaya kreatif dan inovatif. Kondisi internal yang yang
positif dan riil dimiliki rumah tangga miskin merupakan faktor kekuatan untuk maju dan bertahan serta menjauh dari kemiskinan, sedangkan pernyataan sebaliknya
menunjukkan kelemahan. Hasil penelitian mengenai indikator kemiskinan yang dilakukan Pemerintah Kota Denpasar 2011 antara lain menunjukkan beberapa faktor
kekuatan yang memungkinkan mereka keluar dari kemiskinan, yaitu upaya bekerja lebih keras, belajar keterampilan, berwirausaha, selalu berfikir positif, ada pekerjaan
yang kontinyu, hidup hemat. Kondisi internal yang menyebabkan mereka tetap miskin
adalah kebodohan, kesehatan terganggu. Hasil penelitian tersebut juga melihat bahwa untuk bisa keluar dari kemiskinan, disamping motivasi individu, peran keluarga, juga
peran pemerintah dan dukungan institusional juga sangat penting. Faktor eksternal merupakan faktor peluang dan ancaman yang berada di luar
rumah tangga miskin yang memungkinkan mereka tetap dapat bertahan atau dapat member peluang memperoleh pekerjaan dan pendapatan sehingga mendorong mereka
untuk kreatif, inovatif. Sebaliknya faktor eksternal yang merupakan ancaman adalah faktor-faktor di luar lingkungan keluarga yang dapat menyebabkan rumah tangga
kehilangan pekerjaan, pendapatan menurun atau kedua-duanya yang menyebabkan mereka kembali menjadi miskin atau terhambat untuk maju. Faktor-faktor tersebut,
seperti misalnya: kondisi makro ekonomi seperti melambatnya pertumbuhan ekonomi, inflasi, Kebijakan pemerintah pada bidang pendidikan, kesehatan, sanitasi
lingkungan, kebijakan pada penataan permukiman kumuh, dan kebijakan di bidang ekonomi ekonomi.
Gambar 2. Strategi Berdasar Pertimbangan Faktor Internal dan Eksternal untuk Percepatan Penanggulangan Kemiskinan pada
Permukiman Kumuh
3. Strategi Turn-around 1. Strategi Agresif
4. Strategi Defensif 2. Strategi Diversifikasi
Sumber: Rangkuty, 2004
Berbagai Peluang
Berbagai Ancaman
Kelemahan Internal
Kekuatan Internal
15
Selanjutnya terhadap berbagai faktor internal dan eksternal tersebut dilakukan analisis SWOT. Analisis SWOT merupakan identifikasi berbagai faktor secara
sistematis untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan strengths dan peluang opportunities, namun secara
bersamaan dapat meminimalkan kelemahan weaknesses dan ancaman treaths. Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi,
tujuan, strategi, dan kebijakan. Model yang paling popular untuk analisis situasi adalah analisis SWOT. Strategi yang disusun berdasarkan atas pertimbangan faktor
internal dan eksternal tersebut ditunjukkan pada Gambar 3.1. Berdasar Gambar 3.1, strategi yang harus dilakukan dengan
mempertimbangkan faktor internal kekuatan dan kelemahan serta faktor eksternal peluang dan ancaman yang tergambar pada masing-masing kuadran adalah sebagai
berikut.
Kuandran 1
Kondisi ini merupakan situasi yang sangat menguntungkan. Kelompok rumah tangga miskin dapat memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang
yang ada. Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan yang agresif.
Kuadran 2
Meskipun menghadapi berbagai ancaman, kelompok rumah tangga masih memiiki kekuatan dari segi internal. Strategi yang dapat diterapkan adalah menggunakan
kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara diversifikasi.
Kuadran 3
Kelompok rumah tangga menghadapai peluang yang sangat besar, tetapi di sisi lain menghadapi beberapa kendala, kelemahan internal. Fokus strategi adalah
meminimalkan masalah-masalah internal sehingga dapat merebut peluang yang lebih baik. Seperti peninjauan kembali aturan yang telah ditetapkan, meningkatkan
koordinasi, meningkatkan kualitas SDM dan lainnya.
Tabel 1 Matrik SWOT
IFAS STRENGTH S
· Tentukan 5-10 faktor
WEAKNESSES W
· Tentukan 5-10 faktor
EFAS kekuatan internal
kelemahan internal
OPPORTUNITIES
· Tentukan 5-10
faktor peluang
eksternal
STRATEGI SO
Ciptakan strategi yang menggunakan
kekuatan untuk
memanfaatkan peluang
STRATEGI WO
Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan
untuk memanfaatkan
peluang
TREATHS T
· Tentukan 5-10
faktor ancaman
eksternal
STRATEGI ST
Ciptakan strategi yang menggunakan
kekuatan untuk mengatasi ancaman
STRATEGI WT
Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan
dan menghindari
ancaman Sumber: Rangkuty, 2004
Kuadran 4
Kondisi ini merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan. Rumah tangga menghadapi berbagai ancaman dan kelemahan internal.
Matrik SWOT dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi kelompok rumah tangga yang dapat disesuaikan dengan
kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matrik ini menghasilkan empat sel kemungkinan alternatif strategis Tabel 3.1.
Strategi yang dapat dilakukan pada masing-masing kuadran adalah sebagai berikut.
Strategi SO
Strategi ini dibuat berdasarkan jalan pikiran bahwa dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya
Strategi ST
Strategi ini menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman
Strategi WO
Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada
Strategi WT
17
Strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.
5. Hasil Penelitian