The Role of Education on Poverty Reduction in Indonesia

(1)

DRAFT REVISI PASCA UJIAN & SIDKOM 3

(15 Oktober 2012)

PERAN PENDIDIKAN

TERHADAP PENGURANGAN KEMISKINAN

DI INDONESIA

ROFIQ NUR RIZAL

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Peran Pendidikan terhadap Pengurangan Kemiskinan di Indonesia adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka pada bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2012 Rofiq Nur Rizal H151104444


(4)

(5)

ABSTRACT

ROFIQ NUR RIZAL: The Role of Education on Poverty Reduction in Indonesia. Under supervision of M. PARULIAN HUTAGAOL and WIWIEK RINDAYATI.

Poverty is one of the development problem faced by every country. Indonesia as one of the largest archipelagic country, still faces many challenges in reducing poverty especially because its characteristic varied across regions. Improving the quality of human resources through education is believed as one of the solution to alleviate poverty because it can increase human productivity and improve welfare. This study aims at analyzing the role of education towards poverty and divided it by the level of education. Using panel data of 33 provinces during the years 2007-2010, this study finds that education –in general– has a significant role to reduce poverty in Indonesia, especially for secondary education and higher education. Otherwise, primary education has positif role to increase the level of poverty. Economic growth, as an indirect effect of education on poverty, also has a significant role in reducing poverty in Indonesia.


(6)

(7)

RINGKASAN

ROFIQ NUR RIZAL: Peran Pendidikan terhadap Pengurangan Kemiskinan di Indonesia. Dibimbing oleh: M. PARULIAN HUTAGAOL dan WIWIEK RINDAYATI.

Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan pembangunan yang dialami setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang, meski dengan besaran yang berbeda. Indonesia sebagai negara dengan keragaman besar dalam wilayah, sosial, budaya, etnis, dan ekonomi, masih menghadapi banyak tantangan dalam mengurangi kemiskinan. Masalah kemiskinan di Indonesia juga ditandai oleh rendahnya mutu kehidupan masyarakat dan rendahnya produktivitas serta daya saing bangsa, dimana peringkat IPM dan Indeks Dayasaing Global Indonesia berada di bawah rata-rata ASEAN.

Kualitas sumber daya manusia (SDM) yang baik tidak hanya menjadi ukuran keberhasilan suatu negara, akan tetapi juga menjadi cerminan keunggulan terhadap bangsa lainnya. Tenaga kerja terampil sebagai salah satu faktor produksi berperan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara dan memengaruhi tinggi rendahnya pendapatan nasional. Sementara itu, kualitas SDM Indonesia masih menjadi salah satu tantangan pembangunan di Indonesia yang sangat terkait dengan akses ke infrastruktur pendidikan dan kualitas pendidikan.

Pendidikan merupakan salah satu instrumen paling kuat yang dimiliki masyarakat untuk mengurangi kemiskinan dan kerentanan (World Bank 2002). Todaro dan Smith (2006) mengemukakan bahwa pendidikan dipercaya mempunyai peran penting dalam membentuk kemampuan manusia dan suatu negara untuk menyerap maupun menciptakan teknologi modern serta mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan dan pembangunan yang berkelanjutan. Secara langsung pendidikan memberikan pengetahuan dan keterampilan, sehingga meningkatkan produktivitas. Secara tidak langsung, peran pendidikan dapat mencakup banyak bidang kehidupan, termasuk kegiatan ekonomi, kesetaraan gender, kesehatan ibu, dan pengembangan keterampilan.

Kepedulian dunia terhadap pendidikan diwujudkan dalam gerakan global Pendidikan untuk Semua (PUS / Education for All) pada tahun 1990 dan Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals-MDGs) pada tahun 2000, yang menegaskan bahwa pendidikan dasar adalah pusat untuk memerangi kemiskinan. Kepedulian bangsa Indonesia terhadap pendidikan tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemerintah Indonesia juga telah mengarusutamakan tujuan PUS dan MDGs melalui kebijakan nasional program wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas).

Setelah krisis ekonomi, perhatian pemerintah terhadap upaya penanggulangan kemiskinan semakin besar. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah Indonesia dengan program-program pengentasan kemiskinan, namun belum mencapai hasil yang diharapkan. Selama periode 1984–2011, terjadi fluktuasi, keragaman dan persistensi persentase penduduk miskin antarwilayah di Indonesia. Selama periode tersebut, jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan di Indonesia cenderung menurun, namun demikian penurunannya


(8)

semakin lambat dan jumlah absolutnya masih sangat besar yaitu sebesar 30,02 juta jiwa.

Pengaruh krisis ekonomi di Indonesia secara langsung juga menurunkan kemampuan masyarakat untuk membiayai pendidikan anak-anaknya, terutama pada kelompok masyarakat miskin. Berkaitan dengan adanya krisis ekonomi tersebut, berdampak pula pada lahirnya era reformasi yang membuat perubahan mendasar dalam kerangka hukum kebijakan nasional bidang pendidikan Indonesia, yang diawali dengan amandemen kedua UUD 1945 pada tahun 2000 dan amandemen keempat UUD 1945 pada tahun 2002. Amanat amandemen UUD 1945 mengatur tentang pendidikan dan menyatakan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayai dan menetapkan anggaran pendidikan sebesar 20.% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sebagai bentuk pelaksanaan amanat amandemen UUD 1945 maka pemerintah mengeluarkan kebijakan nasional wajib belajar pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun dan program Bantuan Operasional Sekolah untuk menyediakan pendanaan yang diperlukan untuk mendukung operasional sekolah agar beban biaya sekolah orang tua dapat dikurangi.

Beberapa hasil penelitian telah memfokuskan lebih eksklusif pada pendidikan dasar (Colclough 1983; Dreze & Saran 1993; World Bank 1995). Menurut teori modal manusia dan teori signalling-screening menjelaskan bahwa terdapat hubungan positif antara tingkat pendidikan dan pendapatan yang diperoleh. Terkait dengan pelaksanaan program Wajar Dikdas di Indonesia, jika terdapat hubungan linier antara pendidikan dan pendapatan, maka meningkatkan pendidikan hanya pada tingkat pendidikan dasar tidak akan meningkatkan pendapatan secara substansial dan tidak akan efektif untuk membantu orang dalam mengatasi kemiskinan. Beberapa penelitian kemudian berkembang dan menyoroti pentingnya peran pendidikan tinggi sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju.

Selain persoalan di atas, berbagai bentuk kesenjangan juga terjadi antara Jawa dan luar Jawa, serta antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), yang meliputi kesenjangan tingkat kesejahteraan ekonomi, kesenjangan sosial maupun kesenjangan pendidikan. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini memiliki beberapa tujuan untuk mengkaji peran pendidikan terhadap pengurangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, terkait kebijakan nasional Wajar Dikdas 9 Tahun, mengkaji apakah jenjang pendidikan dasar di Indonesia dapat berperan dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia. Kedua, jika pendidikan dasar diduga tidak berperan, maka pada jenjang pendidikan manakah yang berperan dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia. Ketiga, jika terdapat kesenjangan antarkawasan, apakah terdapat perbedaan jenjang pendidikan yang berperan besar dalam mengurangi kemiskinan antarkawasan di Indonesia.

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder dari BPS, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Keuangan. Data tersebut antara lain: persentase penduduk miskin, angka melek huruf (AMH), angka partisipasi sekolah (APS), rata-rata lama sekolah (RLS), rasio anggaran pemerintah fungsi pendidikan (R-Edu), tingkat kesempatan kerja menurut jenjang pendidikan (TKK), PDRB per kapita, dan indeks gini pendapatan. Data mencakup


(9)

33 provinsi di Indonesia periode tahun 2007-2010. Metode analisis untuk menjawab tujuan terdiri dari analisis deskriptif serta analisis ekonometrika menggunakan regresi data panel.

Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan variabel AMH, APS, RLS dan R-Edu, secara umum pendidikan di Indonesia berperan terhadap pengurangan kemiskinan selama periode tahun 2007-2010. Dengan koefisien masing-masing variabel, jika AMH meningkat 1.%, maka akan mengurangi persentase penduduk miskin di Indonesia sebesar 0,27.%, ceteris paribus (cp). Jika APS meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin di Indonesia akan berkurang sebesar 0,31.%, cp. Jika RLS meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin di Indonesia akan berkurang sebesar 0,13.%, cp. Jika R-Edu meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin akan berkurang sebesar 0,18.%, cp.

Dengan menggunakan variabel tingkat kesempatan kerja menurut tingkat pendidikan, hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa: (1) Pendidikan dasar 9 tahun di Indonesia tidak berperan dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia, tetapi justru menambah tingkat kemiskinan; (2) ternyata, jenjang pendidikan yang berperan mengurangi kemiskinan adalah mulai jenjang pendidikan menengah; dan semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin besar pula perannya dalam mengurangi kemiskinan. Koefisien masing-masing variabel, yakni jika TKK pendidikan dasar meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin akan bertambah sebesar 0,15.%, cp. Jika TKK pendidikan menengah meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin akan berkurang sebesar 0,18.%,

cp. Jika TKK pendidikan tinggi meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin akan berkurang sebesar 0,27.%, cp. (3) dalam perspektif kawasan, maka jenjang pendidikan tinggi lebih berperan besar terhadap pengurangan kemiskinan di KBI, sementara jenjang pendidikan menengah lebih berperan besar terhadap pengurangan kemiskinan di KTI. Selain hal tersebut, efek tidak langsung pendidikan melalui PDRB per kapita terhadap kemiskinan, berpengaruh negatif. Jika PDRB per kapita meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin akan berkurang sebesar 0,05.%, cp.

Hasil ini mempunyai implikasi bahwa: 1) Dalam konteks penanggulangan kemiskinan, Program Wajar Dikdas 9 tahun perlu ditingkatkan menjadi Wajib Belajar 12 tahun ke jenjang pendidikan menengah; 2) Terkait program wajib belajar 12 tahun, maka rasio anggaran fungsi pendidikan perlu ditingkatkan; 3).

Terkait program wajib belajar 12 tahun, maka perlu penanganan khusus untuk masyarakat miskin, guna menutupi biaya langsung dan biaya tidak langsung pendidikan; 4). Pendidikan hanya sebagai salah satu faktor yang dapat mengurangi kemiskinan dan bisa berperan melalui lapangan kerja, sehingga perlu penyediaan dan perluasan lapangan kerja untuk menampung tenaga kerja berpendidikan guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga dapat mengurangi kemiskinan; 5) Program pembangunan pendidikan dalam rangka pengentasan kemiskinan hendaknya memperhatikan karakteristik dan efek lintas-daerah yang berbeda satu sama lain.


(10)

(11)

©Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(12)

(13)

PERAN PENDIDIKAN

TERHADAP PENGURANGAN KEMISKINAN

DI INDONESIA

ROFIQ NUR RIZAL

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(14)

(15)

Judul Penelitian : Peran Pendidikan terhadap Pengurangan Kemiskinan di Indonesia

Nama : Rofiq Nur Rizal

NPR : H151104444

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS. Ketua

Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si. Anggota

Diketahui Ketua Program Studi

Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

Tanggal Ujian :28 September 2012


(16)

(17)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan penelitian ini. Topik dalam penelitian ini adalah pendidikan, dengan judul ”Peran Pendidikan terhadap Pengurangan Kemiskinan di Indonesia”. Pembangunan pendidikan merupakan topik yang sangat menarik karena diharapkan berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr..Ir..M. Parulian Hutagaol, MS. dan Ibu Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si. sebagai komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses penyusunan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan kelas program pascasarjana Ilmu Ekonomi BPS Batch-3 atas dukungan, kritik dan saran dalam penyusunan penelitian ini. Tak lupa, penulis ucapkan terima kasih kepada istri, anak, orang tua dan keluarga besar penulis, atas dukungan, doa dan pengertiannya hingga terselesaikannya penyusunan penelitian ini.

Semoga karya ini dapat bermanfaat.

Bogor, Oktober 2012 Rofiq Nur Rizal


(18)

(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir pada tanggal 7 Juni 1978 di Banyumas, Jawa Tengah. Penulis merupakan anak kelima dari enam bersaudara, dari pasangan H. Supyan dan Hj..Siti Chalimah.

Penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN Kober 1 Purwokerto Barat pada tahun 1990, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 1 Purwokerto dan lulus tahun 1993. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMAN 1 Purwokerto dan lulus pada tahun 1996. Setelah tamat SMA, pada tahun 1996 penulis melanjutkan pendidikan ke Akademi Ilmu Statistik (AIS) Jakarta Program Diploma-III, lulus pada tahun 1999.

Sejak tahun 1999, penulis bekerja di Badan Pusat Statistik Kabupaten Tolitoli Provinsi Sulawesi Tengah sebagai staf Seksi Statistik Distribusi. Kemudian pada tahun 2001 penulis melanjutkan pendidikan kejenjang Diploma-IV di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta pada Jurusan Statistik Ekonomi dan lulus pada tahun 2002. Pada saat kelulusan itu pula, penulis menikah dengan Lisa Hidiantari. Hingga kini telah dikaruniai dua orang putri, yakni Revasya Salsabilqis Ramadhani (2004) dan Raisa Syaharani Kamila (2009).

Pada tahun 2005, penulis dipromosikan ke BPS Provinsi Sulawesi Tengah dan bertanggung jawab sebagai Kepala Sub Bagian Bina Program sampai dengan tahun 2010. Pada tahun 2010, penulis mendapat kesempatan Tugas Belajar Program S2 melalui jalur Beasiswa dari BPS kerjasama dengan Institut Pertanian Bogor, diterima di Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Penulis harus mengikuti Program Alih Jenis S1 Mayor Ilmu Ekonomi dan lulus pada tahun 2010. Setelah itu, penulis melanjutkan kejenjang S2, pada Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.


(20)

(21)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxiii

DAFTAR GAMBAR ... xxv

DAFTAR LAMPIRAN ... xxix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 12

1.3 Tujuan ... 21

1.4 Manfaat Penelitian ... 21

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 21

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 23

2.1 Tinjauan Teoritis ... 23

2.1.1 Teori Modal Manusia ... 23

2.1.2 Teori Signaling dan Screening ... 26

2.1.3 Teori Pertumbuhan Ekonomi ... 31

2.1.4 Peranan Pemerintah dalam Perekonomian ... 33

2.1.5 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita ... 34

2.1.6 Distribusi Pendapatan ... 36

2.1.7 Kemiskinan ... 38

2.1.8 Pendidikan ... 40

2.2 Tinjauan Empiris ... 43

2.3 Kerangka Pemikiran ... 53

III. METODE PENELITIAN ... 59

3.1 Jenis dan Sumber Data ... 59

3.2 Metode Analisis ... 59

3.2.1 Analisis Deskriptif ... 59

3.2.2 Analisis Regresi Data Panel ... 59

3.2.3 Uji Beda Koefisien ... 65

3.3 Spesifikasi Model dalam Penelitian... 65

3.4 Definisi Operasional ... 68

IV. GAMBARAN UMUM ... 71


(22)

xx

Halaman 4.1.1 Angka Melek Huruf (AMH) ... 71 4.1.2 Angka Partisipasi Sekolah (APS) ... 75 4.1.3 Rata- rata Lama Sekolah (RLS) ... 77 4.2 Anggaran Fungsi Pendidikan ... 80 4.3 Kesempatan Kerja menurut Pendidikan Tertinggi yang

Ditamatkan ... 83 4.4 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita ... 87 4.5 Distribusi Pendapatan ... 90 4.6 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin ... 93 V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 101 5.1 Hasil Kaitan Variabel Bebas dengan Tingkat Kemiskinan ... 101 5.1.1 Kaitan Angka Melek Huruf dengan Tingkat Kemiskinan ... 101 5.1.2 Kaitan Angka Partisipasi Sekolah dengan Tingkat

Kemiskinan ... 102 5.1.3 Kaitan Rata-rata Lama Sekolah dengan Tingkat

Kemiskinan ... 103 5.1.4 Kaitan Rasio Anggaran Fungsi Pendidikan dengan Tingkat

Kemiskinan ... 104 5.1.5 Kaitan Tingkat Kesempatan Kerja menurut Jenjang

Pendidikan dengan Tingkat Kemiskinan ... 105 5.1.6 Kaitan PDRB per kapita dengan Tingkat Kemiskinan ... 107 5.1.7 Kaitan Indeks Gini dengan Tingkat Kemiskinan ... 108 5.2 Hasil Evaluasi Model Peran Pendidikan terhadap Kemiskinan .... 109 5.2.1 Angka Melek Huruf (AMH) ... 112 5.2.2 Angka Partisipasi Sekolah (APS) ... 113 5.2.3 Rata-rata Lama Sekolah (RLS) ... 116 5.2.4 Rasio Anggaran Fungsi Pendidikan ... 116 5.2.5 Efek Lintas-Daerah ... 118 5.3 Hasil Evaluasi Model Peran Jenjang Pendidikan terhadap

Kemiskinan di Indonesia ... 120 5.3.1 Tingkat Kesempatan Kerja Pendidikan Dasar ... 121 5.3.2 Tingkat Kesempatan Kerja Pendidikan Menengah ... 122 5.3.3 Tingkat Kesempatan Kerja Pendidikan Tinggi ... 124


(23)

Halaman 5.3.4 PDRB per kapita ... 125 5.3.5 Efek Lintas-Daerah ... 127 5.4 Hasil Evaluasi Model Peran Jenjang Pendidikan terhadap

Kemiskinan antarkawasan di Indonesia ... 129 5.4.1 Tingkat Kesempatan Kerja Pendidikan Dasar ... 131 5.4.2 Tingkat Kesempatan Kerja Pendidikan Menengah ... 132 5.4.3 Tingkat Kesempatan Kerja Pendidikan Tinggi ... 132 5.4.4 PDRB per kapita ... 134 5.4.5 Hasil Uji Beda Koefisien ... 134 5.5 Sintesis Penelitian ... 135 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 143 6.1 Kesimpulan ... 143 6.2 Implikasi Kebijakan ... 143 6.3 Saran Penelitian Lanjutan ... 144 DAFTAR PUSTAKA ... 145


(24)

(25)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1.1 Indeks Pembangunan Manusia wilayah ASEAN tahun 2011 ... 2 1.2 Global Competitiveness Index (GCI) negara ASEAN, tahun 2011 ... 3 3.1 Kerangka identifikasi autokorelasi ... 64 4.1 Rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas menurut

status daerah kelamin di Indonesia, tahun 2006-2010 ... 79 5.1 Hasil estimasi model peran pendidikan terhadap kemiskinan di

Indonesia, tahun 2007-2010 ... 111 5.2 Hasil estimasi persamaan peran jenjang pendidikan terhadap

kemiskinan di Indonesia, periode tahun 2007-2010 ... 121 5.3 Jumlah dan persentase tenaga kerja menurut pendidikan di

Indonesia, tahun 2003-2010 ... 123 5.4 Hasil estimasi persamaan peran jenjang pendidikan terhadap

kemiskinan menurut kawasan di Indonesia, periode tahun 2007-2010 130 5.5 Hasil uji beda koefisien peran jenjang pendidikan terhadap


(26)

(27)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 1984–2011. ... 1 1.2 Diagram plot antara rata-rata lama sekolah dengan persentase

penduduk miskin di Indonesia, periode tahun 2006-2010. ... 6 1.3 Anggaran penanggulangan kemiskinan dalam APBN dan jumlah

penduduk miskin Indonesia, tahun 2002-2010. ... 9 1.4 Alokasi anggaran menurut fungsi pendidikan pemerintah pusat dan

daerah di Indonesia, tahun 2007–2011. ... 11 1.5 Perkembangan angka partisipasi pendidikan formal di Indonesia,

tahun 2005–2010. ... 13 1.6 Rata-rata upah/gaji bersih pekerja/karyawan selama sebulan di

Indonesia menurut pendidikan, Agustus 2011. ... 13 1.7 Persentase rumah tangga miskin dan tidak-miskin menurut tingkat

pendidikan kepala rumah tangga di Indonesia, tahun 2009. ... 15 1.8 Angka partisipasi sekolah menurut kelompok umur, status ekonomi

rumah tangga dan daerah di Indonesia, tahun 2009. ... 17 1.9 Persentase penduduk miskin menurut kawasan, provinsi dan status

daerah di Indonesia, tahun 2011. ... 19 2.1 Trade-off dan tingkat pengembalian dalam pengambilan keputusan

untuk melanjutkan pendidikan. ... 25 2.2 Perbedaan signaling dan screening. ... 27 2.3 Informasi asimetris: separating equilibrium untuk dua tipe pekerja

yang berbeda. ... 29 2.4 Informasi asimetris: pooling equilibrium untuk dua tipe pekerja yang

berbeda. ... 30 2.5 Kurva Lorenz ... 38 2.6 Perubahan kurva distribusi pendapatan dan perubahan kemiskinan

karena efek pertumbuhan. ... 46 2.7 Perubahan kemiskinan karena efek distribusi. ... 47 2.8 Perubahan Kemiskinan karena Efek Pertumbuhan dan Efek

Distribusi ... 47 2.9 Hubungan antara pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan, dan

kemiskinan. ... 49 2.10 Kerangka pemikiran penelitian ... 57 4.1 Box plot angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas menurut


(28)

xxvi

Gambar Halaman

4.2 Rata-rata angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas dan tren perubahannya menurut provinsi di Indonesia, periode tahun 2006– 2010. ... 75 4.3 Box plot angka partisipasi sekolah penduduk usia 7–24 tahun

menurut kawasan di Indonesia, tahun 2006-2010. ... 76 4.4 Rata-rata angka partisipasi sekolah penduduk usia 7–24 tahun dan

trend perubahan menurut provinsi di Indonesia, periode tahun 2006– 2010. ... 77 4.5 Box plot rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas

menurut kawasan di Indonesia, periode tahun 2006-2010... 78 4.6 Rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas dan tren

perubahan menurut provinsi di Indonesia, periode tahun 2006–2010.. 80 4.7 Box plot rasio anggaran fungsi pendidikan di Indonesia, tahun

2007-2010. ... 82 4.8 Rata-rata rasio anggaran fungsi pendidikan dan tren perubahan

menurut provinsi di Indonesia, periode tahun 2007–2010... 83 4.9 Perkembangan rasio tingkat kesempatan kerja penduduk usia 15

tahun ke atas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan di Indonesia, periode tahun 2003–2010. ... 84 4.10 Rata-rata tingkat kesempatan kerja menurut pendidikan dan provinsi

di Indonesia, periode tahun 2006–2010. ... 86 4.11 Rata-rata perubahan tingkat kesempatan kerja menurut pendidikan di

Indonesia, periode tahun 2006–2010. ... 86 4.12 Box plot Perkembangan PDRB per kapita (ADHK 2000) Indonesia,

tahun 2006-2010. ... 87 4.13 Rata-rata produk domestik regional bruto per kapita ADHK 2000

menurut provinsi di Indonesia, tahun 2001-2010. ... 89 4.14 Rata-rata laju pertumbuhan produk domestik regional bruto per

kapita atas dasar harga konstan 2000 menurut provinsi di Indonesia, tahun 2001-2010. ... 89 4.15 Perkembangan indeks gini menurut status daerah di Indonesia,

periode tahun 2002–2010. ... 90 4.16 Statistik deskriptif indeks gini Indonesia, tahun 2002-2010. ... 91 4.17 Rata-rata indeks gini provinsi di Indonesia, tahun 2005–2010. ... 92 4.18 Rata-rata pertumbuhan indeks gini menurut provinsi di Indonesia,


(29)

Gambar Halaman 4.19 Statistik deskriptif garis kemiskinan Indonesia, tahun 2000-2011. ... 94 4.20 Rata-rata garis kemiskinan dan rata-rata persentase penduduk miskin

menurut provinsi di Indonesia, periode tahun 2000-2011. ... 95 4.21 Statistik deskriptif persentase penduduk miskin Indonesia,

2000-2011. ... 96 4.22 Rata-rata persentase penduduk miskin menurut provinsi, periode

tahun 1999–2011. ... 97 4.23 Rata-rata perubahan persentase penduduk miskin menurut provinsi,

tahun 1999–2011. ... 99 5.1 Scatter-plot antara angka melek huruf dan persentase penduduk

miskin di Indonesia, tahun 2007–2010. ... 101 5.2 Scatter-plot antara angka partisipasi sekolah umur 7-24 tahun dan

persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 2007–2010. ... 102 5.3 Scatter-plot antara rata-rata lama sekolah dan persentase penduduk

miskin di Indonesia, tahun 2007–2010. ... 103 5.4 Scatter-plot antara rasio anggaran fungsi pendidikan dan persentase

penduduk miskin di Indonesia, tahun 2007–2010. ... 104 5.5 Scatter-plot antara tingkat kesempatan kerja pendidikan dasar dan

persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 2007–2010. ... 105 5.6 Scatter-plot antara tingkat kesempatan kerja menurut jenjang

pendidikan menengah dengan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 2007–2010. ... 105 5.7 Scatter-plot antara tingkat kesempatan kerja pendidikan tinggi dan

persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 2007–2010. ... 106 5.8 Scatter-plot antara PDRB per kapita dan persentase penduduk miskin

di Indonesia, tahun 2007–2010. ... 107 5.9 Scatter-plot antara indeks gini dan persentase penduduk miskin di

Indonesia, tahun 2007–2010. ... 108 5.10 Angka partisipasi sekolah menurut kelompok umur di Indonesia,

tahun 2003–2010. ... 114 5.11 Peta tingkat kemiskinan, angka melek huruf, angka partisipasi

sekolah, rata-rata lama sekolah dan rasio anggaran pendidikan di Indonesia, tahun 2007–2010. ... 118 5.12 Efek lintas-daerah model efek tetap peran pendidikan terhadap


(30)

xxviii

Gambar Halaman

5.13 Peta prioritas menurut efek lintas-daerah model peran pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010. ... 119 5.14 Peta tingkat kemiskinan, tingkat kesempatan kerja menurut

pendidikan dan PDRB per kapita di Indonesia, tahun 2007–2010... 127 5.15 Efek lintas-daerah model efek tetap peran jenjang pendidikan

terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010. ... 128 5.16 Peta prioritas Efek lintas-daerah model peran jenjang pendidikan

terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010. ... 128 5.17 Scatter-plot antara anggaran fungsi pendidikan dan partisipasi

sekolah di Indonesia, periode tahun 2007-2010 ... 141 5.18 Persentase tenaga kerja (%) dan rata-rata upah (Rp.00.000,-)

menurut lapangan usaha dan tingkat pendidikan di Indonesia, tahun 2008. ... 141


(31)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Hasil pengujian antara fixed effect dengan random effect (Uji Hausman) untuk model peran pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010. ... 157 2 Uji asumsi homoskedastisitas dan autokorelasi model peran

pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010 ... 157 3 Hasil estimasi terbaik untuk model peran pendidikan terhadap

kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010. ... 158 4 Hasil estimasi efek lintas-daerah dari model efek tetap model peran

pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010. ... 159 5 Hasil pengujian antara fixed effect dengan random effect (Uji

Hausman) untuk model peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010. ... 161 6 Uji asumsi homoskedastisitas dan autokorelasi model peran jenjang

pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010 ... 161 7 Hasil estimasi terbaik untuk model peran jenjang pendidikan

terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010. ... 162 8 Hasil estimasi efek lintas-daerah dari model efek tetap model peran

jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010. ... 163 9 Hasil pengujian antara fixed effect dengan random effect (Uji

Hausman) untuk model peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia, tahun 2007-2010. ... 165 10 Hasil estimasi terbaik untuk model peran jenjang pendidikan

terhadap kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia, tahun 2007-2010. . 166 11 Hasil pengujian antara fixed effect dengan random effect (Uji

Hausman) untuk model peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia, tahun 2007-2010. ... 167 12 Uji asumsi homoskedastisitas dan autokorelasi model peran jenjang

pendidikan terhadap kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia, tahun 2007-2010 ... 167 13 Hasil estimasi terbaik untuk model peran jenjang pendidikan


(32)

(33)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan pembangunan yang dialami oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang, meski dengan besaran yang berbeda. Kemiskinan merupakan fenomena multidimensi, tidak ada penyebab tunggal yang dapat menjelaskan sepenuhnya, sehingga memerlukan solusi secara menyeluruh dan berkelanjutan dari waktu ke waktu. Kemiskinan dapat dilihat dari sudut yang berbeda, tergantung pada perspektif definisi yang diadopsi. Kemiskinan sering berhubungan dengan sejumlah faktor fisik, psikologi, ekonomi maupun sosial budaya. Kemiskinan tidak hanya muncul karena kurangnya sumber daya – tetapi juga mungkin timbul karena kurangnya akses terhadap sumber daya, informasi, peluang, pemberdayaan dan mobilitas (World Bank 2000).

Indonesia sebagai negara dengan keragaman besar dalam wilayah, ekonomi, dan sosial budaya, menghadapi banyak tantangan dalam mengejar pengurangan kemiskinan. Selama periode tahun 1984–1996, persentase penduduk miskin di Indonesia terus mengalami penurunan, namun meningkat kembali ketika krisis ekonomi melanda pada tahun 1997 hingga 1998. Pada periode tahun 1999–2005, persentase penduduk miskin cenderung menurun, namun meningkat kembali pada tahun 2006. Kenaikan ini dipicu oleh naiknya harga bahan bakar minyak, sehingga harga barang-barang kebutuhan pokok juga ikut meningkat (Gambar 1.1).

Sumber: BPS 2000, 2001, 2002a, 2003a, 2004a, 2005a, 2006a, 2007a, 2008a, 2009a, 2010a, 2011. (Ket.: * tahun 1996 menggunakan standar perhitungan kemiskinan tahun 1998)

Gambar 1.1 Perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di

022 015

011 017

024

018 016018

012 0 5 10 15 20 25 0 10 20 30 40 50 60 1 9 8 4 1 9 8 7 1 9 9 0 1 9 9 3 1 9 9 6 1 9 9 6 * 1 9 9 8 1 9 9 9 2 0 0 0 2 0 0 1 2 0 0 2 2 0 0 3 2 0 0 4 2 0 0 5 2 0 0 6 2 0 0 7 2 0 0 8 2 0 0 9 2 0 1 0 2 0 1 1 P e rs e n p n d d k m is k in (% ) Jm lh p n d d k m is k in ( Ju ta j iw a )


(34)

2

Masalah kemiskinan di Indonesia juga ditandai oleh rendahnya mutu kehidupan masyarakat. Perkembangan indikator seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM)1 dari United Nation Development Program (UNDP) menunjukkan ketertinggalan Indonesia dibanding dengan beberapa negara di kawasan asia tenggara (Association of Southeast Asian Nations - ASEAN). Meskipun nilai IPM Indonesia tahun 2011 mengalami kenaikan, namun peringkat IPM Indonesia berada di bawah rata-rata IPM ASEAN.

Tabel 1.1 Indeks Pembangunan Manusia wilayah ASEAN tahun 2011

No. Negara IPM Ranking

(#187) No. Negara IPM

Ranking (#187)

(1) (2) (3) (3) (1) (2) (3) (3)

1 Singapura 0,866 26 6 Indonesia 0,617 124

2 Brunei

Darussalam 0,838 33 7 Vietnam 0,593 129

3 Malaysia 0,761 61 8 Laos 0,524 138

4 Thailand 0,682 103 9 Kamboja 0,523 139

5 Filipina 0,644 112 10 Myanmar 0,483 149

Sumber: UNDP 2011. Rata-rata IPM ASEAN 2011 = 0,653

Selain hal tersebut, menurut Laporan Daya Saing Global 2011 oleh Forum Ekonomi Dunia, Indonesia menempati peringkat 44 dari 139 negara. Di kawasan ASEAN, Indonesia menempati posisi kelima dan masih berada di bawah rata-rata ASEAN (Tabel 1.2). Indeks daya saing global adalah indikator komposit yang dapat menangkap fondasi daya saing ekonomi mikro dan ekonomi makro nasional. Daya saing didefinisikan sebagai seperangkat institusi, kebijakan, dan faktor yang menentukan tingkat produktivitas suatu negara. Produktivitas, pada gilirannya mempengaruhi tingkat kemakmuran yang dapat dicapai suatu negara. Pada tingkat wilayah di dalam suatu negara, konsep daya saing daerah adalah kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka terhadap persaingan domestik dan internasional. Sasaran peningkatan daya saing suatu perekonomian adalah bermuara pada meningkatnya tingkat kesejahteraan penduduk.

1

IPM memberikan ukuran gabungan tiga dimensi pembangunan manusia: panjang umur (diukur dari usia harapan hidup), terdidik (diukur dari tingkat kemampuan baca tulis orang dewasa dan rata-rata lama sekolah) dan standar hidup yang layak (diukur dari paritas daya beli).


(35)

3

Dalam pengertian ini, sumber keunggulan daya saing berdasarkan teori tahapan pembangunan ekonomi mengklasifikasi menjadi tiga tahap. Pertama,.perekonomian yang didorong faktor produksi, di mana keunggulan bersumber pada sumber daya alam berlimpah dan tenaga kerja murah. Kedua, perekonomian yang didorong faktor efisiensi, dimana keunggulan dipicu oleh investasi yang besar, modern dan efisien. Ketiga, perekonomian yang didorong faktor inovasi, dimana keunggulan berasal dari produktivitas tenaga kerja terampil dan pemanfaatan teknologi tinggi.

Tabel 1.2 Global Competitiveness Index (GCI) negara ASEAN, tahun 2011

No. Negara GCI Ranking

(# 139) No. Negara GCI

Ranking (# 139)

(1) (2) (3) (3) (1) (2) (3) (3)

1 Singapura 5,48 3 6 Vietnam 4,27 59

2 Malaysia 4,88 26 7 Filipina 3,96 85

3 Brunei

Darussalam 4,75 28 8 Kamboja 3,63 109

4 Thailand 4,51 38 9 Laos Tidak dihitung

Tidak dihitung

5 Indonesia 4,43 44 10 Myanmar

Sumber: WEF 2011a, 2011b. Rata-rata GCI ASEAN 2011 = 4,49

Kualitas sumber daya manusia (SDM) yang baik tidak hanya menjadi ukuran keberhasilan suatu negara, akan tetapi menjadi cerminan keunggulan terhadap bangsa lainnya. Pengembangan kualitas SDM, bukan saja pada aspek kemampuan dan ketrampilan, tetapi juga aspek moral dan mentalnya. SDM yang berkualitas merupakan faktor penentu dalam upaya meningkatkan produktivitas dan daya saing bangsa pada percaturan global. Tenaga kerja terampil sebagai salah satu faktor produksi berperan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memengaruhi tingkat pendapatan nasional. Dalam hal ini, kualitas SDM Indonesia masih menjadi tantangan pembangunan di Indonesia. Kualitas SDM Indonesia ini sangat terkait dengan akses ke infrastruktur pendidikan dan kualitas pendidikan di Indonesia. Untuk mengantisipasi era global, dunia pendidikan Indonesia dituntut untuk mempersiapkan SDM yang kompeten agar mampu bersaing dalam pasar kerja global.


(36)

4

Menurut World Bank (2002), pendidikan merupakan salah satu instrumen paling kuat yang dimiliki masyarakat untuk mengurangi kemiskinan dan kerentanan. Pendidikan dapat membantu meningkatkan pendapatan potensial, memperluas mobilitas tenaga kerja, meningkatkan kesehatan orang tua dan anak-anak, mengurangi kesuburan dan kematian anak-anak, dan mengupayakan suara rakyat yang kurang beruntung dalam masyarakat dan sistem politik. Todaro dan Smith (2006) mengemukakan bahwa pendidikan dipercaya mempunyai peran penting dalam membentuk kemampuan manusia dan suatu negara untuk menyerap maupun menciptakan teknologi modern serta mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan dan pembangunan yang berkelanjutan. Secara langsung pendidikan memberikan pengetahuan dan keterampilan, sehingga meningkatkan produktivitas dan menciptakan akses ke lapangan kerja (Weiss 1995, Oxaal 1997). Dengan demikian, akan mendapatkan penghasilan yang dapat digunakan dalam membantu mengurangi kemiskinan, serta kelaparan. Secara tidak langsung, peran pendidikan dapat mencakup banyak bidang kehidupan, termasuk kegiatan ekonomi, kesetaraan gender, kesehatan ibu, dan pengembangan keterampilan. Pendidikan memberdayakan orang dan membantu mereka untuk menjadi lebih proaktif, mendapatkan kontrol atas hidup mereka, dan untuk memperluas berbagai pilihan yang tersedia (UNESCO 1997). Pendidikan diakui sebagai hak asasi manusia dan berhubungan erat dengan hampir semua dimensi pembangunan, baik pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, maupun pembangunan manusia.

Penelitian mengenai peran penting pendidikan diprakarsai oleh Schultz2 (1960, 1961) dan Becker3 (1962, 1975). Schultz merintis pembahasan tentang investasi sumber daya manusia dan menetapkan bahwa pendidikan sebagai kegiatan konsumsi dan investasi, - mengarah pada pembentukan modal manusia yang sebanding dengan modal fisik - akan diikuti oleh pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Penelitian Becker meyakinkan banyak orang untuk membuat pilihan investasi dalam modal manusia dengan menimbang biaya dan manfaat rasional yang mencakup pengembalian investasi dalam pendidikan.

2

Theodore W. Schultz, dianugerahi Nobel Memorial Prize dalam ilmu ekonomi pada tahun 1979 atas rintisan penelitian dalam pembangunan ekonomi, khususnya masalah negara berkembang.

3

Gary S. Becker, dianugerahi Nobel Memorial Prize dalam ilmu ekonomi pada tahun 1992, karena telah memperluas analisis ekonomi mikro ke berbagai perilaku dan interaksi manusia.


(37)

5

Pendidikan juga digunakan sebagai alat signaling dan screening dalam pasar tenaga kerja untuk mengidentifikasi sumber daya manusia yang paling produktif (Spence 1973, Stiglitz 1973)4. Pendidikan erat kaitannya dengan lapangan pekerjaan, di mana pendidikan merupakan suatu “permintaan tidak langsung” terhadap kesempatan memperoleh pekerjaan. Sertifikat pendidikan diasumsikan dapat digunakan sebagai sinyal kemampuan yang dimiliki seseorang. Dengan demikian hasil pendidikan berpengaruh terhadap struktur angkatan kerja, yang pada gilirannya akan berdampak pada tingkat produktivitas pekerja.

Pada akhir periode 1980-an, ide dasar tersebut diperluas oleh Romer (1986, 1990, 1994) dan Lucas (1988), yang menyatakan bahwa investasi dalam modal manusia, inovasi dan pengetahuan merupakan kontributor yang signifikan untuk pertumbuhan ekonomi. Dikenal sebagai teori pertumbuhan endogen, yang berfokus pada eksternalitas positif dan efek spillover ekonomi berbasis pengetahuan yang akan mengarah pada pembangunan ekonomi. Selanjutnya, konsep pendidikan sebagai sebuah investasi berkembang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap negara bahwa pembangunan sektor pendidikan merupakan prasyarat kunci bagi pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya dan mempunyai peran terhadap pengurangan kemiskinan.

Tilak (1989) telah melakukan penelitian mengenai hubungan antara pendidikan dan kemiskinan, dan menyimpulkan bahwa ketika partisipasi pendidikan meningkat, proporsi penduduk miskin mengalami penurunan. Tilak menjelaskan bahwa hubungan antara pendidikan dan kemiskinan akan berbanding terbalik. Dimana, semakin tinggi tingkat pendidikan penduduk dalam suatu populasi, maka akan semakin rendah proporsi penduduk miskin dalam populasi tersebut. Disebutkan bahwa pendidikan menanamkan pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan upah atau pendapatan yang lebih tinggi, sehingga dapat berguna untuk mengatasi kemiskinan. Hubungan antara pendidikan dan kemiskinan tersebut dapat ditunjukkan melalui diagram plot antara rata-rata lama sekolah dengan persentase penduduk miskin, seperti yang terdapat di Indonesia melalui Gambar 1.2 di bawah ini.

4


(38)

6

Sumber: BPS 2006a, 2007a, 2008a, 2009a, 2010a.

Gambar 1.2 Diagram plot antara rata-rata lama sekolah dengan persentase penduduk miskin di Indonesia, periode tahun 2006-2010.

Kepedulian dunia internasional terhadap pendidikan diwujudkan dalam gerakan global Pendidikan untuk Semua (PUS / Education for All) pada tahun 1990 dan Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals -MDGs) pada tahun 2000. Pada April 2000, kebijakan PUS hasil dari World Education Forum yang diselenggarakan di Dakar, menegaskan komitmen masyarakat internasional untuk mengurangi kemiskinan melalui pendidikan (UNESCO 2000). Beberapa tujuan PUS antara lain: (i).menjamin bahwa hingga tahun 2015 semua anak, khususnya perempuan dan anak-anak dalam keadaan sulit dan mereka yang termasuk etnis minoritas, mempunyai akses dan menyelesaikan pendidikan dasar yang wajib dan bebas biaya dengan kualitas yang baik; dan (ii).mencapai perbaikan hingga 50.% tingkat melek huruf orang dewasa menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan dan akses yang adil pada pendidikan dasar dan berkelanjutan bagi semua orang dewasa.

Selanjutnya, delapan tujuan yang tertuang dalam kesepakatan MDGs yakni terkait dengan kemiskinan dan kelaparan, pendidikan dasar, kesetaraan gender, kesehatan, dan lingkungan hidup. Tujuan MDGs menganggap bahwa penyelesaian pendidikan dasar, bersama dengan pencapaian MDGs lainnya, akan membantu mewujudkan tujuan mengurangi separuh jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan pada tahun 2015. Hal ini dipahami bahwa tingkat pendidikan dasar adalah tingkat dimana anak-anak keluarga miskin bisa lulus, dan diharapkan

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

P e rs e n ta se P e n d u d u k M is k in ( % )

Rata-rata Lama Sekolah (Tahun)


(39)

7

prestasi mereka dapat membantu untuk memutus siklus kemiskinan (UNESCO 2001). Tujuan PUS di atas juga berkontribusi terhadap upaya global dari delapan tujuan MDG, terutama MDG-1, MDG-2 dan MDG-3 untuk menanggulangi kemiskinan melalui pendidikan dasar dan kesetaraan gender.

Terkait dengan kepedulian dunia internasional dalam bidang pendidikan, Pemerintah Indonesia juga telah mengarusutamakan tujuan PUS dan MDGs melalui kebijakan nasional program wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas). Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sendiri telah mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Wajib belajar telah menjadi prioritas kebijakan nasional pemerintah Indonesia sejak awal periode 1970-an, dimulai dengan meningkatkan pembangunan sarana pendidikan dasar.5 Pada tahun 1983, Pemerintah Indonesia mencanangkan program wajib belajar enam tahun untuk anak usia 7–12 tahun secara nasional. Kemudian dilanjutkan dengan program wajar dikdas sembilan tahun pada tahun 19946, yang ditargetkan bisa tercapai pada tahun 2003/2004, meskipun akhirnya tidak dapat tercapai tepat waktu karena adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 (Bappenas 2009).

Setelah krisis ekonomi, perhatian pemerintah terhadap upaya penanggulangan kemiskinan semakin besar. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah Indonesia dengan program-program pengentasan kemiskinan, namun belum mencapai hasil yang diharapkan. Pemerintah secara tegas menetapkan upaya penanggulangan kemiskinan sebagai salah satu prioritas pembangunan sebagaimana termuat dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional. Dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000–2004, terdapat dua strategi utama penanggulangan kemiskinan. Pertama, melakukan berbagai upaya dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok dan melindungi keluarga dan kelompok masyarakat yang mengalami kemiskinan sementara akibat dampak negatif krisis ekonomi dan kemiskinan struktural. Kedua, melakukan berbagai upaya untuk membantu masyarakat yang mengalami kemiskinan struktural, antara lain: memberdayakan mereka agar mempunyai kemampuan yang tinggi untuk melakukan usaha dan mencegah terjadinya kemiskinan baru (Bappenas 2004).

5

Sebagai persiapan pelaksanaan wajib belajar, dilaksanakan Program Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 10 Thn 1973 dan Inpres No. 7 Thn 1983.


(40)

8

Propenas 2000-2004 menargetkan tingkat kemiskinan sekitar 14.% hingga tahun 2004. Namun nyatanya, tingkat kemiskinan tahun 2004 masih sekitar 16,66.%.

Selanjutnya, pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005–2009, dengan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK), terdapat tiga klaster program penanggulangan kemiskinan. Pertama, bantuan sosial terpadu berbasis keluarga, berupa Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Siswa Miskin (BSM), program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan program Beras Miskin (raskin). Kedua, penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat, berupa Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Program Perluasan dan Pengembangan Kesempatan Kerja (Padat Karya Produktif). Ketiga, penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha mikro dan makro, berupa Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Kredit Usaha Bersama (KUBE). Program ini juga dilanjutkan pada RPJMN 2010–2014 (Kemkominfo 2011). Pada RPJMN 2005–2009, menargetkan tingkat kemiskinan sekitar 8,2.% hingga tahun 2009. Tetapi kenyataannya, tingkat kemiskinan hingga akhir tahun 2009 masih tinggi yakni sebesar 14,15.%.

Selanjutnya, dalam RPJMN 2010–2014 menargetkan tingkat kemiskinan hingga 8–10.% pada akhir tahun 2014. Kenyataannya sampai tahun 2011, tingkat kemiskinan masih sebesar 12,49 %. Selama periode tahun 2000–2011, jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan di Indonesia cenderung menurun, namun demikian penurunannya semakin lambat dan jumlah absolutnya masih sangat besar yaitu sebesar 30,02 juta jiwa. Sementara itu, masih banyak penduduk Indonesia yang hidup sangat dekat dengan garis kemiskinan. Mereka suatu saat bisa jatuh ke dalam kemiskinan jika terjadi guncangan perekonomian pada rumah tangga mereka (TNP2K 2010).

Gambar 1.3 menampilkan anggaran penanggulangan kemiskinan dan jumlah penduduk miskin di Indonesia, selama tahun 2002-2010. Terlihat bahwa anggaran penanggulangan kemiskinan semakin meningkat selama periode tersebut dan jumlah penduduk miskin cenderung berkurang. Fenomena ini dapat memperlihatkan mengenai kepedulian pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan.


(41)

9

Sumber: Menkokesra 2011

Gambar 1.3 Anggaran penanggulangan kemiskinan dalam APBN dan jumlah

penduduk miskin Indonesia, tahun 2002-2010.

Pengaruh krisis ekonomi di Indonesia secara langsung juga menurunkan kemampuan masyarakat untuk membiayai pendidikan anak-anaknya, terutama pada kelompok masyarakat miskin. Masyarakat miskin, dengan keterbatasan aset dan akses terhadap pendidikan, memerlukan intervensi pemerintah dalam hal penyediaan layanan dan pembiayaan pendidikan. Berkaitan dengan adanya krisis ekonomi tersebut, berdampak pula pada lahirnya era reformasi yang membuat perubahan mendasar dalam kerangka hukum kebijakan nasional bidang pendidikan Indonesia. Hal tersebut diawali dengan amandemen kedua UUD 1945 pada tahun 2000 dan amandemen keempat UUD 1945 pada tahun 2002. Amandemen kedua memasukkan bab mengenai hak asasi manusia, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Amandemen keempat memuat Pasal 31 yang mengatur tentang pendidikan dan menyatakan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayai. Dari sisi finansial, ketentuan amandemen keempat, pasal 31 ayat 4 menetapkan anggaran pendidikan sebesar 20.% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

17 16 18

23 42 51 63 66 94 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Jm lh P e n d u d u k m is k in ( ju ta ji w a ) A n g g a ra n ( T ri ly u n R p .)


(42)

10

Untuk melaksanakan amanat amandemen UUD 1945 tersebut, maka ditetapkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 yang sekaligus mengganti dan menyempurnakan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) agar sesuai dengan amanat perubahan UUD 1945. Dalam Pasal 34 UU Sisdiknas disebutkan bahwa wajib belajar merupakan program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah. Oleh karena itu, sebagai tanggung jawab pemerintah dan untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah, maka sejak bulan Juli 2005, pemerintah telah melaksanakan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang merupakan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi-Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) bidang pendidikan dan terkait dengan program wajar dikdas 9 tahun. Program ini dimaksudkan untuk menyediakan pendanaan yang diperlukan untuk mendukung operasional sekolah agar beban biaya sekolah orang tua dapat dikurangi, dan dengan demikian meningkatkan akses ke pendidikan dasar, khususnya bagi rakyat miskin (Kemendiknas 2010).

Kemudian melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2006, tekad percepatan penuntasan wajar dikdas 9 tahun diharapkan dapat dicapai pada tahun 2008/2009. Selanjutnya, dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 34 UU Sisdiknas, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar. Wajib belajar pada hakikatnya memberikan pelayanan kepada seluruh masyarakat untuk memasuki sekolah dengan biaya murah dan terjangkau.7 Wajib belajar berfungsi dalam mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu dan bertujuan memberikan pendidikan minimal bagi warga negara Indonesia untuk dapat mengembangkan potensi dirinya agar dapat hidup mandiri atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dalam hal ini, penyelenggaraan wajib belajar pada jalur formal, dilaksanakan minimal pada jenjang pendidikan dasar yang meliputi SD, MI, SMP, MTs, dan bentuk lain yang sederajat.

Di sisi lain, kesadaran dan ekspektasi masyarakat terhadap pendidikan ternyata juga semakin besar, yang didukung pula dengan anggaran pendidikan nasional yang terus meningkat, sehingga masyarakat berharap bahwa layanan

7

Program wajar dikdas sebelum amandemen UUD 1945, belum menyediakan pembiayaan pendidikan.


(43)

11

pendidikan akan semakin baik.8 Semakin banyak masyarakat yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, serta semakin banyak pula program-program beasiswa yang ditawarkan lembaga pemerintah maupun swasta. Sayangnya, belum banyak orang yang dapat meraih kesempatan ini. Masih banyak orang miskin dan orang pandai tetapi tidak memiliki aset untuk membiayai sekolah atau mengakses ke jenjang pendidikan lebih tinggi.

Sumber: Kemenkeu 2012 (diolah).

Gambar 1.4 Alokasi anggaran menurut fungsi pendidikan pemerintah pusat dan daerah di Indonesia, tahun 2007–2011.

Pada akhir tahun 2011, pemerintah melalui Kementrian Pendidikan Nasional berencana untuk mengusulkan program wajib belajar dua belas tahun pada tahun 2013.9 Selanjutnya, pada awal Februari 2012 Komisi X DPR RI telah menyetujui rencana untuk mematangkan program rintisan wajib belajar 12 tahun pada tahun 2013.10 Dari kondisi tersebut, hal yang menarik adalah pada jenjang pendidikan mana intervensi pemerintah dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dapat berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteran masyarakat?

8

Disampaikan Mendikbud, M. Nuh, dalam Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan pada 27 Februari 2012 di Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan Kemdikbud.

9

http://dikdas.kemdiknas.go.id/content/berita/media/kemdiknas-si.html

50.843 55.298

84.920 90.818 91.001

73.189 91.675 111.598 117.054 156.664 0 20.000 40.000 60.000 80.000 100.000 120.000 140.000 160.000 180.000

2007 2008 2009 2010 2011

M il y a r R p . APBN APBD


(44)

12

1.2 Permasalahan

Beberapa peneliti telah menganalisis peran pendidikan dalam pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berdasarkan tingkat pendidikan dan melaporkan hasil yang beragam. Beberapa hasil penelitian telah memfokuskan lebih eksklusif pada pendidikan dasar (Colclough 1983; Dreze & Saran 1993). Bank Dunia juga menetapkan bahwa pengembalian investasi pendidikan dasar lebih tinggi daripada pengembalian investasi pendidikan menengah dan tinggi, sehingga berkesimpulan bahwa pendidikan dasar dan melek huruf sebagai agenda untuk pembangunan – baik pembangunan ekonomi, pembangunan sosial maupun pembangunan manusia (World Bank 1995).

Berkaitan dengan pelaksanaan program Wajar Dikdas di Indonesia, keberhasilan penuntasan Wajar Dikdas tersebut dapat diamati dari data pencapaian indikator pendidikan, seperti Angka Partisipasi Murni (APM)11, Angka Partisipasi Kasar (APK)12 dan Angka Partisipasi Sekolah (APS)13. Gambar 1.5 menunjukkan angka partisipasi murni maupun partisipasi kasar menurut jenjang pendidikan dan angka partisipasi sekolah menurut kelompok umur. Target APM pendidikan dasar secara nasional sekurang-kurangnya adalah mencapai 95.% (Mendiknas 2005). Dari Gambar 1.5 tersebut, dapat dilihat bahwa rata-rata pencapaian partisipasi pada jenjang pendidikan dasar relatif tinggi. Relatif tingginya rata-rata pencapaian partisipasi pendidikan dasar ini dimungkinkan karena adanya peran pemerintah dalam mendorong penuntasan program Wajar Dikdas 9 tahun dan program BOS untuk siswa pendidikan dasar. Namun demikian, pencapaian angka partisipasi untuk semua jenjang pendidikan formal, baik laki-laki maupun perempuan di perkotaan dan perdesaan, cenderung semakin menurun sejalan dengan meningkatnya jenjang pendidikan.

Angka yang tersisa sebesar 5.% dari target tuntas Wajar Dikdas secara nasional menunjukkan bahwa masih terdapat kelompok anak usia Dikdas yang belum mendapatkan layanan pendidikan dasar. Kelompok anak yang belum terlayani pendidikan dasar antara lain mereka yang: tinggal di daerah terpencil;

11

APM adalah populasi murid usia sekolah yang dapat bersekolah tepat waktu.

12

APK adalah populasi murid yang bersekolah mencakup anak diluar batas usia sekolah pada jenjang pendidikan tertentu.

13

APS digunakan untuk mengetahui banyaknya anak usia sekolah yang telah bersekolah di semua jenjang pendidikan.


(45)

13

masyarakat suku terasing dan yang hidup berpindah-pindah; anak jalanan dan rawan putus sekolah; anak yang tinggal di daerah konflik, bencana atau perbatasan; anak yatim piatu dan tidak terpelihara; anak dari keluarga miskin; dan anak dengan kebutuhan khusus, termasuk mereka yang menyandang cacat (UNESCO 2010).

Selanjutnya, pada Gambar 1.6 memperlihatkan rata-rata upah/gaji bersih pekerja/karyawan selama sebulan di Indonesia menurut tingkat pendidikan pada Agustus 2011. Terlihat bahwa semakin tinggitingkat pendidikan, semakin besar pula pendapatan yang diperoleh.

Sumber : BPS 2010d.

Gambar 1.5 Perkembangan angka partisipasi pendidikan formal di Indonesia,

tahun 2005–2010.

Sumber: Pusdatinaker 2011 (diolah)

Gambar 1.6 Rata-rata upah/gaji bersih pekerja/karyawan selama sebulan di

94,72 67,62 45,48 11,01 111,63 80,35 62,53 16,35 97,96 86,11 55,83 13,67 0 20 40 60 80 100 120 An gk a P a rt is ip a si ( % )

2005 2006 2007 2008 2009 2010

757.889

1.119.503 1.445.808 1.446.208

2.127.771 2.999.038 0 500.000 1.000.000 1.500.000 2.000.000 2.500.000 3.000.000 3.500.000

≤ SD SMP SMU SMK Dipl Strata

ra ta -r a ta u p a h /g a ji ( R p .) Tingkat Pendidikan Rata-Rata Upah


(46)

14

Dalam literatur terdapat dua pendekatan utama yang menjelaskan hubungan positif antara tingkat pendidikan dan upah, yakni: teori modal manusia dan teori signalling-screening. Dari Gambar 1.6 dapat diartikan bahwa jika terdapat hubungan linier antara tingkat pendidikan dan pendapatan yang diperoleh, maka meningkatkan pendidikan hanya pada tingkat pendidikan dasar diduga tidak akan meningkatkan pendapatan secara substansial dan tidak akan efektif untuk membantu orang untuk mengatasi kemiskinan. Dalam kerangka MDGs, ada keraguan bahwa tujuan MDG-1 untuk menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, tidak akan efektif tercapai jika hanya melalui tujuan MDG-2 universalisasi pendidikan dasar. Secara khusus, mengenai kebijakan nasional bidang pendidikan dalam konteks penanggulangan kemiskinan di Indonesia, maka pendidikan dasar diduga tidak cukup untuk mengangkat masyarakat miskin keluar dari kemiskinan. Wedgwood (2005) menyimpulkan bahwa pengalaman masa lalu Tanzania dalam perluasan dan pemerataan pendidikan dasar telah menunjukkan bahwa dalam jangka panjang pendidikan dasar tidak selalu mengarah pada pengurangan kemiskinan. Demikian pula penelitian Tilak (2005) yang menyatakan bahwa pendidikan menengah dan pendidikan tinggi di India lebih meningkatkan pendapatan individu dan lebih berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi, membuat kontribusi yang signifikan terhadap pengurangan kemiskinan di India.

Dalam konteks penanggulangan kemiskinan, kebijakan pendidikan nasional program wajar dikdas telah berjalan selama hampir 4 dekade, namun demikian tingkat kemiskinan di Indonesia masih tetap tinggi. Ini dapat diartikan bahwa pendidikan dasar dalam konteks penanggulangan kemiskinan tidak cukup berperan dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia. Hal ini dapat dipahami bahwa seiring perubahan zaman, tantangan dan pembangunan ekonomi, maka kebutuhan hidup dan biaya sekolah semakin meningkat. Indonesia sebagai negara berkembang juga membutuhkan tenaga kerja terampil yang berkualitas dalam menghadapi persaingan global yang menuntut produk-produk berkualitas melalui pemanfaatan teknologi tinggi. Persaingan dalam pasar tenaga kerja ditengah persaingan global, akan semakin kompetitif yang membutuhkan tenaga-tenaga kerja terampil dan berkualitas. Sementara itu, tenaga kerja terampil yang berkualitas, tidak cukup didapat hanya dengan berpendidikan dasar.


(47)

15

Secara umum, rata-rata pendidikan masyarakat miskin berpendidikan rendah. Tingkat pendidikan yang rendah membuat masyarakat miskin mempunyai keterbatasan untuk mengembangkan diri. Akibatnya, mereka tidak mampu berkompetisi untuk memasuki dunia kerja yang semakin terbatas dan membutuhkan kualifikasi yang tinggi. Mereka terpaksa menganggur atau bekerja dengan upah rendah. Alih-alih untuk membiayai akses ke pendidikan, pendapatan masyarakat miskin masih belum cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Pendapatan yang sangat terbatas ini pada akhirnya membawa dampak negatif terhadap kesehatan, yang kemudian berpengaruh pada rendahnya daya tahan fisik dan daya pikir sehingga dapat mengurangi prakarsa dan inisiatif.

Menurut data Susenas 2009, jika dilihat karakteristik kemiskinan menurut tingkat pendidikan tertinggi kepala rumah tangga (KRT) di Indonesia, persentase KRT miskin yang tidak tamat SD dan tamat SD lebih tinggi dibanding persentase KRT miskin dengan tingkat pendidikan terakhir SMP, SMA atau pendidikan tinggi (Gambar 1.7). Pada gambar yang sama terlihat pula bahwa distribusi persentase KRT tidak miskin dengan tingkat pendidikan terakhir SLTA dan pendidikan tinggi, lebih tinggi dibanding persentase KRT miskin dengan tingkat pendidikan yang sama. Secara umum indikasi ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan terakhir kepala rumahtangga, semakin kecil kemungkinan rumahtangga tersebut jatuh ke dalam kemiskinan (BPS 2009d).

Sumber: BPS 2009d.

Gambar 1.7 Persentase rumah tangga miskin dan tidak-miskin menurut

tingkat pendidikan kepala rumah tangga di Indonesia, tahun 2009. ≤ SD ≤ SD S LT P S LT P S LT A S LT A P T P T 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Miskin Tidak miskin

P e rs e n ta se p e n d u d u k ( % )


(48)

16

Berstein (2007) menyimpulkan bahwa hubungan antara kemiskinan dan pendidikan dapat beroperasi dalam dua arah. Pertama, orang miskin sering tidak dapat memperoleh akses ke pendidikan yang memadai karena keterbatasan biaya. Kedua, tanpa pendidikan yang memadai orang sering dibatasi untuk hidup miskin karena tidak dapat memperoleh pendapatan yang tinggi. Oleh karena itu, orang miskin benar-benar membutuhkan lebih banyak pendidikan dan pelatihan keterampilan, dan mereka juga membutuhkan suatu konteks ekonomi dimana mereka dapat menyadari keuntungan ekonomi dari peningkatan modal manusia mereka. Jika tanpa adanya intervensi pemerintah dalam hal penyediaan layanan pendidikan dan pembiayaan pendidikan, serta penciptaan lapangan pekerjaan, maka masyarakat miskin tidak akan mampu keluar dari kemiskinannya, sehingga pengurangan kemiskinan akan sulit tercapai.

Beberapa penelitian kemudian berkembang dan menyoroti pentingnya peran pendidikan tinggi sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju, namun demikian pencapaian ke jenjang pendidikan tinggi masih menjadi permasalahan di negara-negara berkembang, begitu pula di Indonesia. Pandangan baru yang berkembang adalah bahwa pendidikan tinggi sangat penting untuk pengentasan kemiskinan, dengan argumen bertumpu pada peran pelengkap kepada pendidikan dasar dan menengah, di mana pendidikan tinggi akan menyediakan pendidikan dasar dengan guru-guru terlatih, pengembangan kurikulum yang relevan secara lokal, dan melengkapi SDM pendidikan dengan manajemen yang solid dan keterampilan pemerintahan. Pendidikan tinggi juga menyediakan keahlian mendasar untuk semua sektor masyarakat dan ekonomi dan hal ini harus menjadi bagian dari strategi pengurangan kemiskinan yang realistis (Khan & Williams 2006).

Di samping persoalan di atas, juga terjadi kesenjangan pencapaian pendidikan antara penduduk miskin dan penduduk kaya. Menurut data Susenas 2009, angka partisipasi sekolah penduduk menurut kelompok umur di perkotaan dan perdesaan yang mengikuti pendidikan formal yang berasal dari kuantil 40.% penduduk termiskin, masih relatif lebih rendah dibandingkan partisipasi sekolah dari 20.% penduduk terkaya (Gambar 1.8). Dari gambar tersebut, terlihat adanya hubungan positif antara tingkat pendapatan rumah tangga dengan tingkat partisipasi sekolah, baik di perkotaan maupun perdesaan. Terlihat bahwa angka


(49)

17

partisipasi anak usia sekolah semakin meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan rumah tangga. Hal ini berarti bahwa kesempatan memperoleh pendidikan bagi penduduk kelompok termiskin masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan penduduk kelompok terkaya. Kesenjangan partisipasi pendidikan juga terjadi antara perdesaan dan perkotaan, di mana tingkat partisipasi sekolah penduduk perdesaan masih lebih rendah dibandingkan penduduk perkotaan.

Sumber : BPS 2010d.

Gambar 1.8 Angka partisipasi sekolah menurut kelompok umur, status

ekonomi rumah tangga dan daerah di Indonesia, tahun 2009.

Kesenjangan pencapaian pendidikan juga terjadi antara Jawa dan luar Jawa, serta antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Berbagai bentuk kesenjangan yang timbul meliputi kesenjangan ekonomi, kesenjangan tingkat kesejahteraan ekonomi, kesenjangan sosial maupun kesenjangan pendidikan. Kesenjangan ekonomi, terlihat dari share Produk Domestik Bruto (PDB) KBI sebesar 80.% dari produk nasional bruto, dibandingkan share PDB KTI yang baru sebesar 20.% (Bappenas 2008). Kesenjangan tingkat kesejahteraan ekonomi dapat didekati melalui rata-rata pendapatan per kapita, dimana penduduk KBI memiliki rata-rata pendapatan per kapita sebesar 9,5 juta rupiah, sedangkan penduduk KTI hanya sebesar 6,5 juta rupiah. Begitu pula kesenjangan dalam bidang sosial, 80.% penduduk Indonesia tinggal di KBI dan hanya sekitar 12.% dari penduduk KBI yang tergolong miskin, dibandingkan dengan 20.% penduduk Indonesia yang tinggal di KTI dan

7-12 13-15 16-18 19-24 Desa 7-12 13-15 16-18 19-24

20% tertinggi (Kota) 100 095 076 040 099 092 065 014

40% menengah (Kota) 099 094 069 016 098 086 052 006

40% terendah (Kota) 098 084 050 005 096 074 034 003

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

AP

S

(%


(50)

18

sebanyak 14.% penduduk KTI tergolong miskin. Kesenjangan pendidikan antara KBI dan KTI dapat pula dilihat dari rata-rata lama sekolah penduduk. Penduduk di KBI rata bersekolah selama 8,8 tahun, sedangkan penduduk di KTI rata-rata bersekolah selama 7,5 tahun. Kesenjangan rata-rata-rata-rata lama sekolah antarprovinsi terlihat lebih besar lagi, yakni berkisar dari 6,2 tahun di Provinsi Papua hingga 10,5 tahun di DKI Jakarta.

Kesenjangan yang ada tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor tidak meratanya potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam antardaerah, serta kebijakan pemerintah yang selama ini terlalu sentralistis baik dalam proses perencanaan maupun pengambilan keputusan (Bappenas 2006). Bappenas (2008) menyebutkan bahwa faktor utama yang menyebabkan kesenjangan pendidikan antarkawasan adalah sumber daya manusia dan infrastruktur. Fenomena yang ada adalah kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas di kawasan timur Indonesia, dalam hal ini adalah tenaga pengajar baik guru maupun dosen yang sangat dibutuhkan dalam pembanguan pendidikan, serta ketersediaan infrastruktur pendidikan maupun sarana pendukung akses terhadap pendidikan.

Adapun menurut Syafrizal (2008), penyebab-penyebab ketimpangan pembangunan antarwilayah dipengaruhi faktor-faktor antara lain:

1. Perbedaan kandungan sumber daya alam yang tersebar antarprovinsi maupun antarkawasan di Indonesia;

2. Perbedaan kondisi demografis, meliputi perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi, struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, kondisi ketenagakerjaan dan lapangan kerja, tingkah laku dan etos kerja masyarakat antarprovinsi maupun antarkawasan di Indonesia; 3. Mobilitas barang dan jasa, terkait perbedaan kondisi geografis, institusi dan

sarana infrastruktur yang ada antarprovinsi maupun antarkawasan di Indonesia;

4. Perbedaan alokasi dana pembangunan antarwilayah oleh pemerintah maupun swasta. Alokasi dana pemerintah lebih banyak ditentukan oleh sistem pemerintahan yang dianut, sedangkan alokasi dana swasta juga ditentukan oleh faktor-faktor tersebut di atas;


(51)

19

5. Perbedaan konsentrasi kegiatan ekonomi antarprovinsi maupun antarkawasan di Indonesia, yang juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut di atas.

Disisi lain, selain terjadi fluktuasi dan persistensi tingkat kemiskinan selama periode 1984-2011, terdapat pula keragaman dalam tingkat kemiskinan di seluruh wilayah Indonesia. Terdapat perbedaan yang besar dalam tingkat kemiskinan antarkawasan atau antarprovinsi, maupun antardaerah perkotaan dan perdesaan di Indonesia. Berdasarkan data tahun 2011, tercatat penduduk miskin Indonesia sebanyak 30,02 juta jiwa (12,49.%). Angka kemiskinan nasional tahun 2011 berkisar dari 3,2.% di Provinsi Jakarta hingga 31,98.% di Provinsi Papua.

Jika dilihat jumlah absolut, sebagian besar penduduk miskin tinggal di kawasan barat Indonesia yaitu sejumlah 23,35 juta jiwa atau 12,09.% dari penduduk KBI (Gambar 1.9). Mereka tinggal di wilayah padat penduduk seperti di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, dengan rata-rata tingkat kemiskinan provinsi di KBI sebesar 0,71.%. Sedangkan penduduk miskin di kawasan timur Indonesia sejumlah 6,67 juta jiwa atau 14,13.% dari penduduk KTI. Mereka tinggal di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Papua, dengan rata-rata tingkat kemiskinan provinsi di KTI sebesar 0,88.%. Jika dilihat menurut status daerah, sebagian besar penduduk miskin tinggal di daerah perdesaan, yaitu sekitar 15,72.% (18,97 juta jiwa) dan sekitar 9,24.% (11,05 juta jiwa) tinggal di perkotaan. Jadi masih terdapat keragaman tingkat kemiskinan di Indonesia, baik antarkawasan, antarprovinsi maupun antara kota dan desa.

Sumber: BPS 2011 (diolah).

Gambar 1.9 Persentase penduduk miskin menurut kawasan, provinsi dan

0,71 0,88 0 1 2 3 4 JA T IM JA T E N G JA B A R S U M U T LA M P U N G S U M S E L N A D B A N T E N D IY R IA U S U M B A R D K I B E N G K U LU JA M B I B A LI K E P R I B A B E L N T T P A P U A N T B S U LS E L S U LT E N G K A LB A R M A LU K U S U LT R A P A P B A R K A LT IM G O R O N T A LO S U LU T K A LS E L S U LB A R K A LT E N G M A LU T P e rs e n ta se p e n d u d u k m is k in ( % )

KBI KTI


(52)

20

Sementara itu, adanya perbedaan struktur ekonomi, ketimpangan sosial maupun ketimpangan pendidikan yang ada, sepertinya tidak diakomodasi dalam kebijakan-kebijakan pemerintah yang masih sentralistik, baik dalam proses perencanaan maupun pengambilan keputusan (Bappenas 2006). Beberapa kelemahan dari pelaksanaan program tersebut, antara lain kebijakan yang diambil didasarkan pada asumsi bahwa permasalahan kemiskinan bersifat homogen di setiap daerah, sehingga kebijakan dan program yang dilakukan kurang mempertimbangkan keragaman sebab dan karakteristik kemiskinan daerah. Akibatnya, program yang dilaksanakan kurang sesuai dengan prioritas penanganan dan kebutuhan masyarakat miskin setempat (TNP2K 2010).

Keseluruhan uraian mengenai studi literatur dan data empiris di atas menunjukkan bahwa terkait dengan kebijakan nasional program wajib belajar pendidikan dasar 9 sembilan (sembilan) tahun, maka jenjang pendidikan dasar dalam konteks penanggulangan kemiskinan diduga tidak cukup berperan secara substansial untuk mengurangi kemiskinan. Pertanyaan selanjutnya jika jenjang pendidikan dasar diduga tidak cukup berperan, maka pada jenjang pendidikan manakah yang berperan dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia? Seandainya jika jenjang pendidikan pasca pendidikan dasar diduga lebih berperan dalam mengurangi kemiskinan, maka perlu kebijakan khusus bagi masyarakat miskin supaya bisa mengakses jenjang pendidikan tersebut. Tanpa intervensi pemerintah, masyarakat miskin akan terkendala karena keterbatasan aset yang dimiliki. Kemudian, terkait dengan adanya perbedaan kondisi antardaerah, apakah kebijakan nasional pendidikan yang diterapkan sama di seluruh wilayah Indonesia, akan menghasilkan dampak yang sama pula di semua daerah?

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah jenjang pendidikan dasar di Indonesia dapat berperan dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia?

2. Pada jenjang pendidikan manakah yang berperan dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia?

3. Apakah terdapat perbedaan jenjang pendidikan yang berperan besar dalam mengurangi kemiskinan antarkawasan di Indonesia?


(53)

21

1.3 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengkaji peran pendidikan dasar dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia;

2. Mengkaji jenjang pendidikan yang berperan dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia;

3. Mengkaji jenjang pendidikan yang berperan besar dalam mengurangi kemiskinan antarkawasan di Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini, diharapkan dapat memberikan informasi kepada pembaca mengenai kondisi perkembangan pendidikan di Indonesia, serta mengkaji kebijakan nasional wajar dikdas dalam konteks penanggulangan kemiskinan. Selanjutnya mengetahui jenjang pendidikan yang berpengaruh terhadap kemiskinan di Indonesia dan antarkawasan di Indonesia. Penelitian ini semoga dapat menjadi bagian bagi pertimbangan pemerintah dalam kebijakan untuk pemerataan pendidikan untuk semua dan penanggulangan kemiskinan.

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini meliputi tiga hal. Pertama, memberikan deskripsi pencapaian indikator pendidikan, pendapatan per kapita dan ketimpangan pendapatan, serta dinamika kemiskinan, yang terjadi di Indonesia selama periode tahun 2006–2011. Kedua, melakukan studi ekonometrik mengenai peran pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia. Ketiga, mengkaji pengaruh jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia maupun antarkawasan di Indonesia. Penelitian ini menyertakan variabel rasio anggaran fungsi pendidikan sebagai pengeluaran publik bidang pendidikan, pendapatan per kapita sebagai efek pertumbuhan dan ketimpangan pendapatan sebagai efek distribusi, untuk mengetahui pengaruh pendidikan secara tidak langsung terhadap kemiskinan.

Cakupan analisis dalam penelitian ini adalah 33 provinsi di Indonesia. Analisis deskriptif yang dilakukan mencakup periode tahun 2006–2011. Sedangkan analisis ekonometrik dilakukan untuk periode tahun 2007–2010 karena ketersediaan data, antara lain: data sejumlah 33 provinsi mulai tersedia lengkap


(54)

22

tahun 2006 dan data anggaran pendidikan menurut fungsi pendidikan mulai tersedia tahun 2007.


(55)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori Modal Manusia

Sampai dengan periode 1960-an, ekonom neo-klasik mengasumsikan bahwa tenaga kerja sudah tertentu dan tidak bisa dikembangkan. Analisis mengenai pendidikan dan pelatihan tidak terintegrasi ke dalam diskusi produktivitas. Pendidikan dalam pandangan neo-klasik selama sekian dekade dipahami sebagai bentuk pelayanan sosial yang harus diberikan kepada masyarakat. Dalam konteks ini pelayanan pendidikan sebagai bagian dari public service atau jasa layanan umum dari negara kepada masyarakat yang tidak memberikan dampak langsung bagi perekonomian masyarakat. Sehingga pembangunan pendidikan tidak menarik untuk menjadi tema perhatian dan kedudukannya tidak mendapat perhatian dalam gerak langkah pembangunan.

Konsep modal manusia (human capital) dalam ilmu ekonomi diperkenalkan oleh Schultz (1960, 1961) dan Becker (1962). Theodore W. Schultz merintis benih-benih teoritis hubungan antara pendidikan dan produktivitas. Schultz berpendapat bahwa para ekonom neo-klasik hanya menganalisis secara eksplisit mengenai modal manusia. Schultz mengajarkan gagasan modal pendidikan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pengetahuan dan ketrampilan sehingga dapat meningkatkan produktivitas, berkaitan secara spesifik dengan investasi yang dilakukan dibidang pendidikan. Schultz membahas mengenai investasi sumber daya manusia dan hubungan pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi, dan menetapkan bahwa pendidikan bukan hanya sebagai kegiatan konsumsi, tetapi juga merupakan kegiatan investasi yang mengarah pada pembentukan modal manusia yang sebanding dengan modal fisik, dan akan diikuti oleh pertumbuhan yang signifikan. Pengeluaran langsung konsumsi pendidikan merupakan investasi dalam modal manusia, karena mengharapkan pengembalian berupa penghasilan yang akan diperoleh dimasa depan.


(56)

24

Konsep antara sumber daya manusia dibedakan dengan konsep modal manusia. Sumber daya manusia dapat berubah menjadi modal manusia melalui input efektif nilai-nilai pendidikan, kesehatan dan moral. Transformasi sumber daya manusia mentah menjadi sumber daya manusia yang sangat produktif melalui input-input tersebut adalah proses pembentukan modal manusia. Jadi modal manusia memiliki pengertian persediaan kompetensi, pengetahuan, keahlian, keterampilan, cita-cita, kesehatan, dan sebagainya yang merupakan hasil pengeluaran atau pembelanjaan di bidang pendidikan, program perawatan dan pemeliharaan kesehatan (Todaro & Smith 2006).

Kemudian, Becker14 menganalisis secara empiris investasi modal manusia sehingga muncul teori modal manusia. Penelitian Becker merupakan fundamental dalam meyakinkan banyak orang untuk membuat pilihan investasi dalam modal manusia dengan menimbang biaya dan manfaat rasional yang mencakup pengembalian investasi dalam pendidikan. Manfaat investasi pendidikan tidak hanya menekankan dimensi moneter saja (manfaat private), tetapi juga memperhitungkan manfaat dari dimensi non-moneter (manfaat sosial) seiring dengan peningkatan pendapatan dan pekerjaan. Sementara, biaya yang dikeluarkan adalah biaya langsung terkait biaya pendidikan dan biaya tidak langsung berupa biaya lain-lain, termasuk penghasilan yang hilang apabila bekerja. Penelitian Becker menerangkan perbedaan tingkat pengembalian untuk setiap orang yang berbeda dalam kemampuan berinvestasi dalam pendidikan dan implikasi makroekonomi yang dihasilkan.

Gambar 2.1 memperlihatkan representasi skematis dari trade-off dan tingkat pengembalian dalam keputusan untuk melanjutkan sekolah. Skema ini mengasumsikan bahwa seseorang bekerja dari saat ia lulus sekolah hingga ia tidak mampu bekerja lagi atau meninggal. Dua profil golongan pencari nafkah disajikan di sini, yaitu lulusan pendidikan dasar (diasumsikan mulai bekerja pada usia 16 tahun) dan lulusan pendidikan menengah atas (diasumsikan mulai bekerja pada usia 19 tahun).

14

Becker (1965) juga mengembangkan teori yang mempelajari model ekonomi rumah tangga, dimana kegiatan produksi dan konsumsi rumah tangga tidak terpisah dari penggunaan tenaga kerja serta hubungannya dengan alokasi waktu dan pendapatan.


(1)

163

Lampiran 10

Hasil estimasi efek lintas-daerah dari model efek tetap model peran

jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun

2007-2010.

ID Provinsi Effect

Indonesia 1,0004

1 _AC Nangroe Aceh Darussalam 0,0877

2 _SU Sumatera Utara -0,0186

3 _SB Sumatera Barat -0,0430

4 _RI Riau -0,0067

5 _JA Jambi -0,0888

6 _SS Sumatera Selatan 0,0082

7 _BE Bengkulu 0,0173

8 _LA Lampung 0,0080

9 _BB Bangka Belitung -0,0726

10 _KR Kepulauan Riau 0,0429

11 _JK DKI Jakarta 0,0195

12 _JB Jawa Barat -0,0440

13 _JT Jawa Tengah -0,0107

14 _YO DI. Yogyakarta 0,0318

15 _JI Jawa Timur 0,0139

16 _BT Banten -0,0652

17 _BA Bali -0,0856

18 _NB Nusa Tenggara Barat 0,0409

19 _NT Nusa Tenggara Timur 0,0110

20 _KB Kalimantan Barat -0,0731

21 _KT Kalimantan Tengah -0,0976

22 _KS Kalimantan Selatan -0,1045

23 _KI Kalimantan Timur 0,0338

24 _SA Sulawesi Utara -0,0408

25 _ST Sulawesi Tengah 0,0205

26 _SN Sulawesi Selatan -0,0351

27 _SG Sulawesi Tenggara 0,0179

28 _GO Gorontalo 0,0295

29 _SR Sulawesi Barat -0,0461

30 _MA Maluku 0,0862

31 _MU Maluku Utara -0,0983

32 _PB Papua Barat 0,2313


(2)

(3)

165

Lampiran 11

Hasil pengujian antara fixed effect dengan random effect (Uji

Hausman) untuk model peran jenjang pendidikan terhadap

kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia, tahun 2007-2010.

Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: KBI_PARSIAL

Test cross-section random effects

Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 2.896316 5 0.7160

Cross-section random effects test comparisons:

Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob.

DASAR 0.186386 0.187750 0.000047 0.8427

MENENGAH -0.175175 -0.145654 0.001172 0.3884

TINGGI -0.445475 -0.403410 0.002081 0.3565

LOG(YCAP) 0.000862 -0.014646 0.000277 0.3512


(4)

Lampiran 12

Hasil estimasi terbaik untuk model peran jenjang pendidikan

terhadap kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia, tahun

2007-2010.

Dependent Variable: POV100

Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 10/18/12 Time: 11:28

Sample: 2007 2010 Periods included: 4

Cross-sections included: 17

Total panel (balanced) observations: 68

Swamy and Arora estimator of component variances

White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) WARNING: estimated coefficient covariance matrix is of reduced rank

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.355028 0.181555 1.955490 0.0550

DASAR 0.187750 0.045459 4.130133 0.0001

MENENGAH -0.145654 0.066218 -2.199624 0.0316

TINGGI -0.403410 0.112684 -3.580005 0.0007

LOG(YCAP) -0.014646 0.010466 -1.399461 0.1667

GINI -0.024046 0.028423 -0.846000 0.4008

Effects Specification

S.D. Rho

Cross-section random 0.052520 0.9829

Idiosyncratic random 0.006930 0.0171

Weighted Statistics

R-squared 0.729638 Mean dependent var 0.008668

Adjusted R-squared 0.707835 S.D. dependent var 0.012602 S.E. of regression 0.006811 Sum squared resid 0.002877

F-statistic 33.46444 Durbin-Watson stat 1.195495

Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.321513 Mean dependent var 0.131672


(5)

167

Lampiran 13

Hasil pengujian antara

fixed effect

dengan

random effect

(Uji

Hausman) untuk model peran jenjang pendidikan terhadap

kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia, tahun 2007-2010.

Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: KTI_PARSIAL

Test cross-section random effects

Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 9.568894 5 0.0884

Cross-section random effects test comparisons:

Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob.

DASAR 0.140073 0.131805 0.000212 0.5706

MENENGAH -0.270294 -0.326097 0.005186 0.4384

TINGGI -0.372032 -0.401600 0.005701 0.6954

LOG(YCAP) -0.044262 -0.038466 0.000574 0.8088

GINI -0.081838 -0.078778 0.000262 0.8499

Lampiran 14

Uji asumsi homoskedastisitas dan autokorelasi model peran jenjang

pendidikan terhadap kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia,

tahun 2007-2010

Identifikasi Kawasan Timur Indonesia

Homoskedastisias Sum squared resid

Unweighted Statistics 0,0036

Weighted Statistics 0,0031

SSRW < SSRUw

Terdapat heteroskedastisitas Autokorelasi α k N dL dU DW 5 % 5 64 1,4322 1,7672 2,8136 4 – dL < DW < 4 Terdapat korelasi negatif


(6)

Lampiran 15

Hasil estimasi terbaik untuk model peran jenjang pendidikan

terhadap kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia, tahun

2007-2010.

Dependent Variable: POV100

Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 10/18/12 Time: 10:48

Sample: 2007 2010 Periods included: 4

Cross-sections included: 16

Total panel (balanced) observations: 64

Linear estimation after one-step weighting matrix

Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.810210 0.197275 4.107009 0.0002

DASAR 0.132804 0.038301 3.467380 0.0012

MENENGAH -0.478290 0.223054 -2.144284 0.0377

TINGGI -0.232745 0.114002 -2.041586 0.0474

LOG(YCAP) -0.036991 0.014072 -2.628779 0.0118

GINI -0.038351 0.060787 -0.630905 0.5314

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)

Weighted Statistics

R-squared 0.998162 Mean dependent var 0.281160

Adjusted R-squared 0.997306 S.D. dependent var 0.192498 S.E. of regression 0.008548 Sum squared resid 0.003142

F-statistic 1167.298 Durbin-Watson stat 2.424333

Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.994051 Mean dependent var 0.187105