ISOLASI IDENTIFIKASI KOMPONEN KIMIA DAN

(1)

ISOLASI, IDENTIFIKASI KOMPONEN KIMIA DAN UJI BIOASSAY DENGAN METODE BHRINE SHRIMP LETHALITY TEST (BSLT) PADA

LARVA UDANG (Artemia salina Leach) EKSTRAK N-HEKSAN DAUN GANJENG (Piper betle L) ASAL HUTAN LINDUNG DUSUN ARAKEKE,

DESA MAMAMPANG, KECAMATAN EREMERASA, KABUPATEN BANTAENG, SULAWESI SELATAN

OLEH :

NUR AMIRAH RESKI 701001131082 KELOMPOK V

FARMASI A

LABORATORIUM FITOKIMIA PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

SAMATA-GOWA 2016


(2)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...ii

LEMBAR PENGESAHAN...iii

KATA PENGANTAR...iv

DAFTAR ISI...v

BAB I PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang...1

B. Maksud dan Tujuan Percobaan...3

C. Prinsip Percobaan...4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...7

A. Uraian Tumbuhan Daun Ganjeng...7

B. Metode Ekstraksi………..9

C. Partisi...13

D. Kromatografi Lapis Tipis...13

E. Kromatografi Lapis Tipis Preparatif………..17

F. KLT Multi Eluen dan Dua Dimensi...18

G. Bioassay...20

1. Brine Shrimp Lethaly Test (BSLT)...20

H. Uraian Bahan...20

I. Uraian Larva………...24

BAB III METODE KERJA……….27

A. Alat dan Bahan...27


(3)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN………38

A. Tabel Pengamatan………...38

B. Pembahasan………41

BAB V PENUTUP……….54

A. Kesimpulan………...54

B. Saran……….54

KEPUSTAKAAN……….55

LAMPIRAN I. Skema Kerja………57

II. Perhitungan……….66

III. Gambar Kurva Baku………...76

IV. Gambar Pengamatan………..78


(4)

KATA PENGANTAR

“Syukur Alhamdulillah” ungkapan yang patut dipanjatkan kehadirat Allah swt. atas berkat rahmat, dan hidayah-Nya lah sehinggah pembuataan jurnal yang berjudul “LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM FITOKIMIA” ini dapat berjalan dan terselesaikan sesuai yang diharapkan.

Dan tak lupa pula kami hanturkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepad asisten yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada kami serta rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan dukungannya dalam pembuatan laporan lengkap ini.

Kami menyadari bahwa laporan yang kami buat masih jauh dari kesempurnaan. Olehnya itu kami mengharapkan saran, kritik, serta masukan demi kebaikan pembuatan laporan di lain waktu. Walaupun laporan yang kami sajikan ini masih jauh dari kesemprnaan tetapi kami berharap semoga apa yang kami tuangkan dalm laporan ini mampu memberikan pemahaman, ide-ide baru dan pengetahuan kepada pembaca serta memberikan manfaat bagi khalayak banyak, karena pada dasarnya kesempurnaan hanya milik Allh swt. semata.

Samata-Gowa, april 2016


(5)

ISOLASI, IDENTIFIKASI KOMPONEN KIMIA DAN UJI BIOASSAY DENGAN METODE BHRINE SHRIMP LETHALITY TEST (BSLT) PADA

LARVA UDANG (Artemia salina Leach) EKSTRAK N-HEKSAN DAUN GANJENG (Piper betle L) ASAL HUTAN LINDUNG DUSUN ARAKEKE,

DESA MAMAMPANG, KECAMATAN EREMERASA, KABUPATEN BANTAENG, SULAWESI SELATAN

Disetujui Oleh:

Asisten Pembimbing

Sitti Nur Hajiah Kasim

Mengetahui:

Koordinator Asisten Laboran

Muhammad Rusdi. S.,Si.,M.Si.,Apt Sukri, S.Farm BAB I


(6)

A. Latar Belakang

Negara Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam membudidayakan obat-obatan yang berasal dari alam, dapat dilihat dari kekayaan alamnya yang melimpah baik di darat maupun di laut. Di Indonesia saat ini baru 450 jenis tumbuhan obat yang telah diteliti khasiatnya. 200 jenis di antaranya dapat dikonsumsi sebagai jamu (Endarwati, 2005).

Obat tradisional yang digunakan saat ini merupakan warisan turun temurun dari nenek moyang kita dari generasi yang satu ke generasi berikutnya, sehingga keberadaannya terkait dengan budaya bangsa Indonesia. Dalam perkembangannya, penggunaan tumbuhan obat dan obat tradisional sebagai salah satu upaya kesehatan mengalami perkembangan dari masa ke masa dan merupakan catatan sejarah kehidupan kita (Katno & Pramono. 2002).

Fitokimia adalah ilmu yang mempelajari kandungan kimia dari bahan alam yang mempunyai khasiat obat. Bahan alam meliputi tumbuhan, hewan, mineral, serta biota laut. Bahan alam tersebut mengandung beberapa komponen kimia yang dapat digunakan sebagai obat. Obat yang berasal dari bahan alam dikenal luas sebagai obat tradisional (Gunawan, 2004).

Sebagaimana firman Allah S.w.t (Q.S Al-An’am/6: 99)

Terjemahnya : “Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang korma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun


(7)

dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman (Q.S Al – An’am 6 : 99)

Pesatnya perkembangan penelitian dalam bidang obat, telah menyediakan berbagai jenis pilihan obat sehingga diperlukan pertimbangan yang cermat dalam memilih obat untuk suatu penyakit. Walaupun temuan dan terobosan substansial di bidang obat telah memberikan konstribusi yang besar dalam meningkatan pelayanan kesehatan, namun perlu disadari bahwa obat dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan apabila penggunaannya tidak tepat (Endarwati, 2005).

Dilakukan isolasi dan identifikasi komponen kimia daun Ganjeng karena daun Ganjeng ini memiliki beberapa khasiat yaitu untuk pemakaian dalam, berguna untuk mengobati batuk, bronkhitis, gangguan lambung (gastritis), rheumatik, bengkak-bengkak, menghilangkan bau badan, dan keputihan (leucorrhoe). Sedangkan untuk pemakaian luar daun sirih berguna untuk mengobati ekzema, luka bakar, koreng (Pyodermi), kurap kaki, bisul, mimisan, perdarahan gusi, mengurangi produksi ASI (Air Susu Ibu), dan menghilangkan gatal (Wijayakusuma,1992).

Dengan tujuan untuk mendapatkan bahan obat tradisional, perlu diambil sampel dari daerah setempat untuk diteliti melalui pemeriksaan organoleptik, anatomi dan morfologi serta kandungan kimianya. Sehingga dapat diketahui secara pasti dan dapat dipublikasikan kepada masyarakat sekitar tentang khasiat sampel tersebut dan ciri-ciri sampel tersebut agar mudah dikenali. Dengan begitu kesadaran masyarakat akan bahan obat tradisional di sekitar lingkungannya akan meningkat dan tidak menutup kemungkinan mereka akan lebih merawat lingkungan sekitarnya (Endarwati, 2005).

B. Maksud dan Tujuan 1. Maksud Percobaan


(8)

Mengetahui dan memahami cara penyiapan sampel, ekstraksi, partisi, kromatografi lapis tipis (KLT), uji Bhrine Shrimp Lethalithy Test (BSLT), fraksinasi, kromatografi lapis tipis preparatif (KLTP), multi eluen dan dua dimensi serta identifikasi senyawa tumbuhan Ganjeng (Piper betle L.)

2. Tujuan Percobaan

a. Mengetahui cara ekstraksi komponen kimia dalam sampel daun Ganjeng (Piper betle L.) dengan metode refluks dan maserasi

b. Mengetahui cara pemisahan senyawa berdasarkan kepolaran dengan metode partisi cair-padat dan partisi cair-cair

c. Mengetahui cara penentuan eluen yang sesuai dengan metode KLT (Kromatografi Lapis Tipis)

d. Mengetahui cara pengujian toksisitas sampel daun Ganjeng (Piper betle L.) dengan menggunakan larva udang (Arthemia salina)

e. Mengetahui cara isolasi sampel daun Ganjeng (Piper betle L.) dengan menggunakan metode KLT Preparatif dan Kromatografi Cair Vakum (KCV) f. Mengetahui uji kemurnian senyawa dengan menggunakan metode KLT

multieluen dan dua dimensi

g. Mengetahui cara identifikasi komponen kimia dengan menggunakan pereaksi tertentu.

C. PrinsipPercobaan 1. Ekstraksi


(9)

a. Maserasi

Penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari yang sesuai selama 1 x 24 jam kemudian disaring dan diambil filtratnya kemudian dipekatkan.

b. Perkolasi

Penyarian zat aktif atau zat berkhasiat dari serbuk simplisia yang dilakukan dengan cara serbuk simplisia di tempatkan dalam suatu bejana silinder, yang bagian bawahnya diberi sekat berpori. Cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif sel-sel yang dilalui sampai mencapai keadaan jenuh.

c. Refluks

Penyarian zat aktif pada simplisia melalui proses penyarian yang berkesinambungan di mana simplisia dan cairan penyari dipanaskan bersama-sama. Pada temperatur tertentu, cairan penyari akan mendidih sambil mengekstraksi zat aktif yang ada dalam sel. Karena panas, uap akan naik ke kondensor dan mengalami kondensasi lalu turun menyari simplisia. Demikian seterusnya hingga zat aktif tersari sempurna dan diulang 3 kali sampai 4 jam hingga proses ekstraksi sempurna.

d. Sokhletasi

Prinsip penggunaan metode ini adalah dengan cara memanaskan pelarut hingga membentuk uap dan membasahi sampel. Pelarut yang sudah membasahi sampel kemudian akan turun menuju labu pemanasan dan kembali menjadi uap untuk membasahi sampel, sehingga penggunaan pelarut dapat dihemat karena terjadi sirkulasi pelarut yang selalu membasahi sampel. Proses ini sangat baik untuk senyawa yang tidak terpengaruh oleh panas.


(10)

Penentuan ketoksikan ekstrak dengan metode BSLT (Brine Lethality Test) menggunakan larva udang (Artemia salina) dengan memasukkan 10 ekor larva Artemia salina secara acak ke dalam vial yang telah berisi sampel dan control negative dan setelah 24 jam dihitung jumlah larva yang mati dengan menggunakan parameter Lethal Concentration 50 (LC50) .

2. Isolasi

a. Kromatografi Lapis Tipis

Pemisahan senyawa dengan metode KLT Preparatif yang terjadi berdasarkan perbedaan daya serap dan daya partisi serta kelarutan dari komponen-komponen kimia yang akan bergerak mengikuti kepolaran eluen, oleh karena daya serap adsorben terhadap komponen kimia tidak sama, maka komponen bergerak dengan kecepatan yang berbeda sehingga hal inilah yang menyebabkan pemisahan.

b. Kromatografi cair Vakum

Proses isolasi dengan menggunakan Kromatografi Cair Vakum (KCV) untuk memisahkan golongan senyawa menggunakan silika gel sebagai absorben dan berbagai perbandingan pelarut n-heksan, etil asetat, methanol dan menggunakan pompa vakum untuk memudahkan penarikan eluen.

3. Identifikasi komponen kimia a. UV 254 nm

Pada UV 254 nm, lempeng akan berflouresensi sedangkan sampel akan tampak berwarna gelap. Penampakan noda pada lampu UV 254 nm adalah karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan indikator flouresensi yang terdapat pada lempeng. Flouresensi cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali ke keadaan semula sambil melepaskan energi.


(11)

b. Pada UV 366 nm

Pada UV 366 nm, noda akan berflouresensi dan lempeng akan tampak berwarna gelap. Penampakan noda pada lampu UV 366 nm adalah karena adanya interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang terikat oleh ausokrom yang ada pada noda tersebut. Flouresensi cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali ke keadaan semula sambil melepaskan energi. Sehingga noda yang tampak pada lampu UV 366 nm terlihat terang karena silika gel yang digunakan tidak berflouresensi pada sinar UV 366 nm.

c. Pereaksi H2SO4 10%

Prinsip penampakan noda pada pereaksi H2SO4 10 % adalah berdasarkan

kemampuan asam sulfat yang bersifat reduktor dalam merusak gugus kromofor dari zat aktif simplisia sehingga panjang gelombangnya akan bergeser ke arah yang lebih panjang (UV menjadi VIS) sehingga noda menjadi tampak oleh mata.

d. Perekasi Dragendorrf

Pada pengujian senyawa golongan alkaloid, plat silika gel hasil uji KLT disemprot dengan pereaksi Dragendorff, uji positif apabila menghasilkan noda berwarna coklat atau jingga.

e. Pereaksi AlCl3

Pada pengujian senyawa flavonoid, plat silika gel hasil uji KLT disemprot dengan AlCl3. Timbul noda berwarna kuning yang menandakan ekstrak mengandung

flavonoid bebas. Flavonoid bebas jenis flavonol akan memberikan warna kuning cerah untuk menunjukkan hasil positif flavonoid.


(12)

Indikasi positif steroid ditandai dengan adanya perubahan warna menjadi biru kehijauan. Pada terpenoid, indikasi positif ditandai dengan perubahan warna menjadi merah, ungu atau kecoklatan.


(13)

TINJAUAN PUSTAKA A. Uraian Tanaman

1. Klasifikasi Tumbuhan (Tjitrosoepomo, 2005) Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermatophyta Division : Magnoliophyta Class : Magnoliopsida Sub Class : Magnoliidae

Ordo : Piperales

Family : Piperaceae

Genus : Piper

Species : Piper betle L. 2. Nama Daerah

Sumatera, Furu kuwe, purokuwo (Enggano), ranub (Aceh), blo, sereh (Gayo), blo (Alas), belo (Batak Karo), demban (Batak Toba). Burangir (Angkola, Mandailing), ifan, tafuo (Simalur), afo, lahina, tawuo (Nias), cabai (Mentawai), ibun, serasa, seweh (Lubu), Sireh, sirieh, sirih, suruh (Palembang, Minangkabau), canbai (Lampung). Jawa, Seureuh (Sunda), sedah, suruh (Jawa), sere (Madura). Bali, Base, sedah. Nusa Tenggara, Nahi (Bima), kuta (Sumba), mota (Flores), orengi (Ende), taa (Sikka), malu (Solor), mokeh (Alor). Kalimantan, Uwit (Dayak), Buyu (Bulungan), uduh sifat (Kenya), sirih (Sampit), uruesipa (Seputan). Sulawesi, ganjang, gapura (Bugis), baulu (Bare), buya, dondili (Buol), bolu (Parigi), komba (Selayar), lalama, sangi (Talaud). Maluku, Ani-ani (Hok), papek, raunge, rambika (Alfuru), nein (Bonfia), Kakina (Waru), kamu (Piru, Sapalewa), amu (Rumakai, Elpaputi, Ambon, Ulias), garmo (Buru), bido (Bacan). Irian, Reman (Wendebi), manaw (Makimi),


(14)

namuera (Saberi), etouwon (Armahi), nai wadok (Sarmi), mera (Sewan), mirtan (Berik), afo (Sentani), wangi (Sawa), freedor (Awija), dedami (Marind) (Wijayakusuma,1992)

3. Morfologi Tumbuhan

Banyak ditanam di halaman, batang berwarna hijau kecokelatan, permukaan kulit kasar dan berkerut-kerut, mempunyai nodule/ruas yang besar tempat keluarnya akar. Tumbuh memanjat dan bersandar pada batang pohon lain. Tinggi dapat mencapai 5 m-15 m. Daun tebal, tumbuh berseling, bertangkai, daun berbentuk jantung dengan ujung daun meruncing, tepi rata. Lebar 2,5 10 cm, panjang 5 cm-18 cm, mengeluarkan bau aromatik bila diremas. Bunga tersusun dalam bentuk bulir, merunduk, panjang 5 cm-15 cm, sendiri-sendiri di ujung cabang dan ketiak daun. Buahnya buah buni, bulat, berdaging, berwarna kuning hijau, menyambung menjadi bulat panjang. Biji berbentuk bulat (Wijayakusuma,1992).

4. Kandungan Kimia

Daun Ganjeng mempunyai kandungan kimia minyak atsiri 1%-4,2%, hidroksikavicol, kavicol 7,2%-16,7%, kavibetol 2,7%-6,2%, allypyrokatekol 0%-9,6%, karvakrol 2,2%-5,6%, eugenol 26,6%-42,5%, eugenol methyil eter 4,2%-15,8%, p-cymene 1,2%-2,5%, cineole 2,4%-4,8%, caryophyllene 3,0%-9,8%, cadinene 2,4%-15,8%, estragol, terpenena, seskuiterpena, fenil propane, tannin, diastase 0,8%-1,8%, gula, pati (Wijayakusuma,1992).

5. Khasiat Tumbuhan

Daun Ganjeng untuk pemakaian dalam berguna untuk mengobati batuk, bronchitis, gangguan lambung (gastritis), rheumatic, bengkak-bengkak, menghilangkan bau badan, dan keputihan (leucorrhoe). Sedangkan untuk pemakaian luar daun Ganjeng berguna untuk mengobati eczema, luka bakar, koreng (Pyodermi),


(15)

kurap kaki, bisul, mimisan, perdarahan gusi, mengurangi produksi ASI (Air Susu Ibu), dan menghilangkan gatal (Wijayakusuma,1992).

B. Metode Ekstraksi 1. Maserasi

Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang diluar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan diluar sel dengan larutan di dalam sel.

Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin dan lain-lain. Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol, atau pelarut lain. Bila cairan penyari digunakan air maka untuk mencegah timbulnya kapang, dapat ditambahkan bahan pengawet, yang diberikan pada awal penyarian.

Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan sederhana dan mudah diusahakan. Kerugian cara maserasi adalah pengerjaanya lama dan penyariannya kurang sempurna.

2. Perkolasi

Perkolasi adalah cara penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Kekuatan yang berperan pada perkolasi antara lain: gaya berat, kekentalan, daya larut, tegangan permukaan, difusi, osmosa, adesi, daya kapiler dan daya geseran (friksi). Cara perkolasi lebih baik dibandingkan dengan cara maserasi karena:


(16)

a. Aliran cairan penyari menyebabkan adanya pergantian larutan yang terjadi dengan larutan yang konsentrasinya lebih rendah, sehingga meningkatkan derajat perbedaan konsentrasi.

b. Ruangan diantara serbuk-serbuk simplisia membentuk saluran tempat mengalir cairan penyari. Karena kecilnya saluran kapiler tersebut, maka kecepatan pelarut cukup untuk mengurangi lapisan batas, sehingga dapat meningkatkan perbedaan konsentrasi.

3. Sokhletasi

Pada metode sokhletasi ini bahan yang akan diekstraksi berada pada sebuah kantung ekstraksi (kertas, karton, dan sebagainya). Di dalam sebuah alat ekstraksi dari gelas yang bekerja kontinyu (perkolator). Wadah gelas yang mengandung kantung diletakkan di antara labu suling dan suatu aliran balik dan dihubungkan dengan melalui pipa pipet. Labu tersebut berisi pelarut, yang menguap dan mencapai ke dalam pendingin aliran balik melalui pipa pipet, dan berkondensasi didalamnya, menetes ke atas bahan yang diekstraksi dan membawa keluar bahan yang diekstraksi. Larutan berkumpul di dalam wadah gelas dan setelah mencapai tinggi maksimal secara otomatis ditarik ke dalam labu, dengan demikian zat yang terekstraksi tetimbun melalui penguapan kontinyu dari bahan pelarut murni.

Pada cara ini orang membutuhkan bahan pelarut yang sangat sedikit juga ekstrak secara terus-menerus diperbaharui artinya dimasukkan bahan pelarut bebas bahan aktif (pembaharuan terus-menerus dari perbedaan konsentrasi). Keburukannya tentu saja disebabkan, bahwa dibutuhkan suatu ekstraksi beberapa jam pada umumnya dan dengan demikian kebutuhan energinya tinggi (listrik). Selanjutnya ekstrak dipanaskan dalam bagian tengah alat, yang langsung berhubungan dengan labu, darinya bahan pelarut diuapkan. Pemanasan yang bergantung dari lama


(17)

ekstraksi, terutama dari titik didih bahan yang digunakan, dapat bekerja negatif terhadap bahan tumbuhan yang peka terhadap suhu (glikosida, alkaloida).

Adapun cara kerja sokhletasi yaitu pertama-tama yang harus dilakukan adalah serbuk sampel dibungkus dengan kertas saring atau tempat tertentu. Kemudian dimasukkan ke dalam alat sokhlet. Pelarut etanol ditambahkan dari bagian atas sampai tumpah ke dalam labu. Ditambahkan pelarut lagi kira-kira sampai setengahnya. Labu yang sudah berisi pelarut tersebut dipanaskan pada suhu tertentu sampai mendidih. Pada proses ini uap pelarut akan naik dan bersentuhan dengan kondensor. Dimana uap akan terkondensasi dan menetes di atas sampel dan selanjutnya merendam sampel tersebut. Selama proses ini serbuk sampel akan terekstraksi. Apabila ekstrak sudah sampai pada batas “pipa sifon” maka ekstrak akan turun ke labu dan akan mendidih kembali. Proses ini akan berjalan kontinyu sampai semua ekstrak terekstraksi (Depkes RI, 1986: 28).

4. Refluks

Cara ini termasuk cara ekstraksi berkesinambungan. Bahan yang akan diekstraksi direndam dalam cairan penyari dalam labu alas bulat yang dilengakapi dengan pendingin tegak, kemudian dipanaskan sampai mendidih lalu cairan penyari akan menguap, dan uap tersebut akan diembunkan oleh pendingin tegak dan turun kembali menyari zat aktif dalam simplisia demikian seterusnya. Ekstraksi secara refluks biasanya dilakukan selama 3-4 jam.

Sampel yang biasanya diekstraksi dengan metode refluks adalah yang mempunyai komponen kimia yang tahan terhadap pemanasan dan mempunyai tekstur yang keras seperti akar, batang, buah/biji dan herba. Sampel atau bahan yang akan diekstraksi ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam labu alas bulat dan diisi dengan cairan penyari yang sesuai misalnya metanol sampai serbuk simplisia terendam kurang lebih 2 cm di tas permukaan simplisia, atau 2/3 volume labu,


(18)

kemudian labu alas bulat dipasang kuat pada statif dan ditempatkan diatas water bath atau heating mantel lalu dipasang kondensor pada labu alas bulat yang dikuatkan dengan klem dan statif. Aliran air dan pemanas dijalankan sesuai dengan suhu pelarut yang digunakan. Setelah 4 jam dilakukan penyaringan, filtrat ditampung di dalam wadah penampung dan ampasnya ditambah lagi dengan pelarut dan dikerjakan seperti semula. Ekstraksi dilakukan 3-4 jam. Filtrat yang diperoleh dikumpulkan dan dipekatkan dengan rotavapor.

Keuntungan dari metode ini adalah digunakan untuk mengekstraksi sampel-sampel yang mempunyai tekstur kasar dan tahan pemanasan langsung. Kerugiannya adalah membutuhkan volume total pelarut yanf besar dan sejumlah manipulasi dari operator (Sastromihardjojo, Hardjono, 2009: 65-67).

5. Destilasi Uap Air

Destilasi uap dapat dipertimbangkan untuk menyari serbuk simplisia yang mengandung komponen yang mempunyai titik didih tinggi pada tekanan udara normal. Pada pemanasan biasa kemungkinan akan terjadi kerusakan zat aktifnya. Untuk mencegah hal tersebut maka penyarian dilakukan dengan destilasi uap.

Dengan adanya uap air yang masuk, maka tekanan kesetimbangan uap zat kandungan akan diturunkan menjadi sama dengan tekanan bagian di dalam suatu sistem sehingga produk akan terdestilasi dan terbawa oleh uap air yang mengalir. Destilasi uap bukan semata-mata suatu proses penguapan pada titik didihnya, tetapi suatu perpindahan massa ke suatu media yang bergerak. Uap jenuh akan membasahi permukaan bahan, melunakkan jaringan dan menembus ke dalam dan zat aktif akan pindah ke rongga uap air yang aktif dan selanjutnya akan pindah ke ruang uap yang bergerak melalui antar fasa. Proses ini disebut hidrodifusi (Depkes RI, 1986: 28-29).


(19)

6. Partisi Cair-Cair dan Cair-Padat

Ekstraksi cair-cair adalah proses pemisahan zat terlarut didalam 2 macam zat pelarut yang tidak saling bercampur atau dengan kata lain perbandingan konsentrasi zat terlarut dalam pelarut organik, dan pelarut air. Hal tersebut memungkinkan karena adanya sifat senyawa yang dapat terlarut dalam air dan adapula senyawa yang dapat larut dalam pelarut organik. Ekstraksi bahan alam dilakukan dengan cara : ekstrak metanol terlebih dahulu dipekatkan kemudian ditimbang dan ditimbahkan sedikit air hingga diperoleh suspensi yang homogen. Kemudian dipindahkan ke dalam corong pisah dan ditambahkan dietil eter (pelarut organik), setelah itu corong pisah ditutup, dibalik dan kran corong dibuka lalu dikocok satu arah beberapa kali hingga didapatkan massa yang terdistribusi. Setelah itu kran corong ditutup lalu corong dibalik dan dibiarkan hingga terjadi pemisahan. Lapisan air dikeluarkan dan lapisan eter ditampung. Lapisan air dikocok lagi dengan dieti eter kembali biasanya dilakukan 3 kali ekstraksi.

Ekstraksi cair-cair (liquid extraction, solvent extraction): solute dipisahkan dari cairan pembawa (diluen) menggunakan solven cair. Campuran diluen dan solven ini adalah heterogen ( immiscible, tidak saling campur), jika dipisahkan terdapat 2 fase, yaitu fase diluen (rafinat) dan fase solven (ekstrak). Fase rafinat sama dengan fase residu, berisi diluen dan sisa solut. Fase ekstrak sama dengan fase yang berisi solut dan solven (Fitokimia UMI, 2011).

7. Identifikasi dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Bentuk kromatografi yang paling berguna untuk analisa kualitatif dari ekstrak kasar atau senyawa isolat adalah kromatografi lapis tipis (KLT). Teknik ini digunakan secara luas untuk mengidentifikasi bahan-bahan terisolasi atau senyawa yang ada dalam ekstrak dengan membandingkan dengan bahan-bahan referensi dan atau data dalam literatur. Kromatografi Lapis Tipis adalah metode pemisahan


(20)

fisikokimia. Lapisan yang memisahkan, yang terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah, berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita (awal). Setelah pelat atau lapisan diletakkan dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan). Selanjutnya, senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan (dideteksi).

KLT dapat dipakai dengan dua tujuan. Pertama, dipakai selayaknya sebagai metode untuk mencapai hasil kualitatif, kuantitatif, atau preparatif. Kedua, dipakai untuk menjajaki sistem pelarut dan sistem penyangga yang akan dipakai dalam kromatografi kolom atau kromatografi cair kinerja tinggi. Dengan memakai KLT, pemisahan senyawa yang amat berbeda seperti senyawa organik alam dan senyawa organik sintetik, kompleks anorganik-organik, dan bahkan ion anorganik, dapat dilakukan dalam beberapa menit dengan alat yang harganya tidak terlalu mahal. Jumlah cuplikan serendah beberapa mikrogram atau setinggi 5 gram dapat ditangani, bergantung pada alat yang ada dan gejala kromatografi yang terlibat. Kelebihan KLT yang lain ialah pemakaian pelarut dan cuplikan yang jumlahnya sedikit, kemungkinan penotolan cuplikan berganda (saling membandingkan langsung cuplikan praktis), dan tersedianya berbagai metode (seperti KCP, KCC, dan kromatografi eksklusi).

Kromatografi lapis tipis atau TLC seperti kromatografi kertas, tidaklah mahal dan sesederhana menjalankannya. Dibandingkan kromatografi kertas lebih cepat. Proses itu mungkin memerlukan hanya sekitar setengah jam, sedangkan pemisahan yang lazim pada kertas memerlukan beberapa jam. TLC sangat populer dan secara rutin digunakan dalam banyak laboratorium. Medium pemisahnya berupa lapisan, barangkali setebal 0,1-0,3 mm zat padat adsorben pada lempeng kaca, plastik atau


(21)

aluminium. Lempeng yang lazim berukuran 20cm x 5cm. Untuk memperoleh hasil yang dapat dibandingkan pada KLT, beberapa kondisi harus diperhatikan (Stahl, 1985: 1).

a. Fase diam (lapisan penjerap)

Lapisan dibuat dari salah satu penjerap yang khusus digunakan untuk KLT yang dihasilkan oleh berbagai perusahaan. Panjang lapisan tersebut 200 mm dengan lebar 200 atau 100 mm. Untuk analisis, tebalnya 0,1-0,3 mm, biasanya 0,2 mm. Sebelum digunakan lapisan disimpan dalam lingkungan yang tidak lembab dan bebas dari uap laboratorium.

Adsorben yang paling banyak digunakan dalam KLT adalah silika gel dan aluminium oksida. Silika gel umumnya mengandung zat tambahan kalsium sulfat untuk mempertinggi daya lekatnya. Zat ini digunakan sebagai adsorben universal untuk kromatografi senyawa netral, asam dan basa. Aluminium oksida mempunyai kemampuan koordinasi dan oleh karena itu sesuai untuk pemisahan senyawa yang mengandung gugus fungsi berbeda. Aluminium oksida mengandung ion alkali dan dengan demikian bereaksi basa dalam suspensi air. Disamping kedua adsorben yang sangat aktif ini dalam hal tertentu dapat digunakan kieselgur yang kurang aktif sebagai lapis sorpsi. Untuk pemisahan tertentu selanjutnya juga digunakan poliamida, selulosa, kalsium dan magnesium selikat serta adsorben yang diimpregasi (Stahl, 1985:5).

b. Fase gerak (pelarut pengembang)

Fase gerak ialah medium angkut dan terdiri atas satu atau beberapa pelarut. Ia bergerak didalam fase diam, yaitu suatu lapisan berpori karena ada gaya kapiler. Yang digunakan hanyalah pelarut bertingkat mutu analitik dan bila diperlukan, sistem pelarut multi komponen ini harus berupa suatu campuran sesederhana mungkin yang erdiri atas maksimum tiga komponen.


(22)

Dalam kromatografi jerapan (atau KLT) aktivitas zat penjerap tergantung pada eluen yang paling berpengaruh terhadap hasil kromatografi. Bila keaktivan zat penjerap meningkat karena uadara agak lembab, penahana (retensi) bahan atau senyawa yang dipisahkan menurun sehingga ada kemungkinan harga Rf dari senyawa yang dipisahkan itu bertukar. Karena itulah bila dipakai pelarut bebas air, ruang kromatografi harus mempunyai kelembaban nisbi 50% yang dapat diperoleh dengan menempatkan asam sulfat 44% (d=1,340). Selanjutnya semua lempeng yang akan dipakai diaktifkan atau dinonaktifkan di atas asam sulfat pekat tersebut selama 30 menit dalam ruang CAMAG-Vario-KS (Stahl, 1985: 6).

Perbandingan kecepatan ini disingkat dengan Rf (Rate of Flow). Rf=Jarak yang ditempuh senyawa terlarut

Jarak yang ditempuholeh pelarut Faktor yang mempengaruhi harga Rf adalah :

a. Ukuran partikel pada adsorben

b. Derajat keaktifan dari lapisan penjerap c. Ketetapan perbandingan dari eluen d. Konsentrasi zat yang dipanaskan e. Kejenuhan chamber

f. Diameter penotol g. Tehnik percobaan

h. Suhu

i. Keseimbangan

j. Jumlah cuplikan yang digunakan

k. Tebal dan kerataan dari lapisan penjerap l. Pelarut


(23)

Jenis-jenis adsorben antara lain sebagai berikut : a. Magnesium oksida

b. Magnesium karbonat

c. Silika gel

d. Aluminium oksida e. Potassium karbonat

f. Calsium oksida

g. Magnesium silikat

Manfaat penggunaan KLT antara lain :

a. Pemeriksaan kualitatif dan kemurnian senyawa obat. b. Pemeriksaan simplisia hewani dan tanaman.

c. Pemeriksaan komposisi dan komponen aktif sediaan obat.

d. Penentuan kualitatif masing-masing senyawa aktif campuran senyawa obat (Sastroamidjojo, 1985: 34-36 dan Gritter, 1991: 112-115.)

8. Identifikasi senyawa dengan Kromatografi Lapis Tipis Preparatif

Cara pembuatan lempeng kaca. Kerja ini kemudian agak diringankan dengan adanya penyaput otomatis. Meskipun begitu, dengan menggunakan alat itu pun diperlukan tindakan pencegahan tertentu. Pelat kaca harus dibersihkan hati-hati dengan aseton untuk menghilangkan lemak. Kemudian bubur silica gel (atau penjerap lain) dalam air harus dikocok kua-kuat selama jangka waktu tertentu (misalnya 90 detik) sebelum penyaputan. Tergantung pada ukuran partikel-partikel penjerap, mungkin harus ditambahkan kalsium sulfat hemihidrat (15%) untuk membantu melekatkan penjerap pada plat kaca. Akhirnya, setelah penyaputan, pelat harus dikeringkan pada suhu kamar dan kemudian diaktifkan dengan pemanasan dalam tanur pada suhu 100oC–110oC selama 30 menit. Pada beberapa pemisahan


(24)

garam anorganik (misalnya perak nitrat untuk KLT pemerakan), dan hal ini penting baik dikerjakan pelat yang disaput sendiri di laboratorium ialah karena kadar air silika gel dapat dikendalikan. Hal ini merupakan faktor yang kritis untuk beberapa pemisahan (Harborne, 1987: 13).

KLT preparatif dilakukan dengan menggunakan lapisan tebal (sampai 1 mm) sebagai pengganti lapisan penjerap yang ipis (0.10 mm-0,2 mm), pelat preparatif yang dibua oleh pabrik dapat dibeli. Kandungan yang sudah dipisah dapat diperoleh kembali dengan cara mengerok penjerap di tempat yang sesuai pada pelat yang telah dikembangkan, lalu serbuk dielusi dengan pelarut seperti eter, dan akhirnya dipusingkan untuk menghilangkan penjerap (Harborne, 1987: 14).

Demikian kuatnya lapisan penjerap melekat pada kaca sehingga memungkinkan pengembangan plat berulang-ulang dengan pengembang yang sama atau beberapa pengembang yang berbeda, dengan mengeringkan pelat sebelum pengembangan berikutnya. Pilihan lain ialah sistem KLT multieliminasi yang dirancang oleh Van Sumere (1969). Pada cara ini, untuk pemisahan yang rumit, pelat kaca segiempat yang sudah disaput dengan penjerap dipotong pada tahap yang tepat dengan pemotong kaca. Penjerap-baru disemprotkan merata pada pelat, dilakukan di antara dua pengembangan (Harborne, 1987: 14-15).

9. KLT Multi Eluen dan Dua Dimensi

Multi eluen adalah penggunaan eluen atau fase gerak yang berbeda yang memungkinkan pemisahan analit dengan berdasarkan tingkat polaritas yang berbeda (Wall, 2005: 112).

Dalam multi eluen, setelah pengembang tunggal menaik, kromatogram diangkat dari chamber dan dikeringkan, biasanya selama 5-10 menit. Kromatogram tersebut kemudian dielusi lagi dalam eluen segar dari pelarut yang sama dalam arah yang sama untuk jarak yang sama. Proses ini, yang dapat diulang berkali-kali,


(25)

meningkatkan resolusi komponen dengan nilai RF bawah 0,5. Beberapa pengembang dilakukan dengan pelarut yang berbeda dalam arah yang sama, masing-masing yang menjalankan jarak yang sama atau berbeda, disebut elusi bertahap. "Sebuah fase kurang polar dapat digunakan pertama, diikuti oleh fase yang lebih polar, atau sebaliknya. Pemindahan material nonpolar kebagian atas lapisan, meninggalkan zat terlarut polar terganggu dari mana dia berasal. Setelah kering, zat terlarut polar dipisahkan oleh pengembang dengan eluen (Fried, 1999:112).

Keuntungannya adalah kadang-kadang pelat KLT tampaknya tidak cukup lama untuk memberikan pemisahan yang diperlukan pada komponen sampel (Wall, 2005: 113).

KLT dua arah atau dua dimensi ini bertujuan untuk meningkatkan resolusi sampel ketika komponen-komponen solute mempunyai karakteristik kimia yang hampir sama, karenanya nilai Rf juga hampir sama sebagaimana dalam asam-asam amino. Selain itu, dua sistem fase gerak yang sangat berbeda dapat digunakan secara berurutan sehingga memungkinkan untuk melakukan pemisahan analit yang mempunyai tingkat polaritas yang berbeda (Gandjar, 2009: 364).

Kromatografi planar adalah satu-satunya teknik kromatografi dimana kromatografi dua dimensi dapat dilakukan. Ini merupakan alat pemisahan yang baik dan cukup sering dilirik sebagai suatu prosedur untuk dilakukan. Sayangnya kebanyakan pemisahan dua dimensi dahulunya telah melibatkan pemisahan kurang lebih 20 jenis asam amino pada selulosa atau silika gel, dimana prosedurnya memakan waktu seharian untuk dilakukan dan hanya satu sampel per lempeng yang bisa di analisa dalam satu waktu. Hasilnya adalah suatu kromatogram seperti cetakan jari, mengidentifikasi noda dengan membandingkannya dengan standar sangat memakan waktu dan harus dilakukan terpisah pada kondisi eluen yang sama.


(26)

Bagaimanapun juga, suatu metode telah dikembangkan. Dulunya asam amino telah dipisahkan dengan cara ini selama berabad-abad (Wall, 2005: 115).

10. Bioassay

a. Brine Shrimp Lethality Test (BST)

Brine Shrimp Lethality Test (BST) adalah suatu metode pengujian dengan menggunakan hewan uji yaitu larve udang (Artemia salina Leach), yang dapat digunakan sebagai bioassay yang sederhana untuk meneliti toksisitas akut suatu senyawa, dengan cara menentukan nilai LC 50 yang dinyatakan dari komponen aktif suatu simplisia maupun bentuk sediaan ekstrak dari suatu tanaman. Apabila suatu ekstrak tanaman bersifat toksik menurut harga LC 50 dengan metode BST, maka tanaman tersebut dapat dikembangkan sebagai obat anti kanker. Namun, bila tidak bersifat toksik maka tanaman tersebut dapat diteliti kembali untuk mengetahui khasiat lainnya dengan menggunakan hewan coba lain yang lebih besar dari larva udang (Artemia salina Leach) seperti mencit dan tikus secara in vivo. Suatu senyawa dinyatakan mempunyai potensi toksisitas akut jika mempunyai harga LC 50 kurang dari 1000 μg/ml. LC 50 (Lethal Concentration 50) merupakan konsentrasi zat yang menyebabkan terjadinya kematian pada 50 % hewan percobaan yaitu larva udang (Artemia salina Leach) (Pisutthanan et al, 2004. 13-18).

C. Uraian Bahan

1. Aquadest (Dirjen POM, 1979: 96)

Nama resmi : AQUA DESTILLATA Nama lain : Aquades, air suling. Rumus molekul : H2O

Rumus struktur :


(27)

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak mempunyai rasa

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik. Kegunaan : Sebagai pelarut.

2. Etil asetat (Rowe, 2009: 253)

Nama resmi : ETHYL ACETATE

Nama lain : Acetic acid ethyl ester, acetic ester, acetic ether, acetoxyethane, etil etanoat, etil asetat.

Rumus molekul : C4H8O2 Rumus struktur :

Berat molekul : 88,1

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, mudah menguap dengan aroma seperti buah, harum, mudah terbakar. Kelarutan : Larut dalam 10 bagian air pada suhu 25°C, etil asetat

lebih larut dalam air pada suhu yang lebih rendah dari pada suhu yang lebih tinggi. Larut dalam aseton, kloroform, diklorometana, etanol (95%), dan eter, dan beberapa pelarut organik.

Kegunaan : Sebagai eluen. 3. Metanol (Sweetman, 2009: 2024)

Nama resmi : METHYL ALCOHOL

Nama lain : Metanol, metanoli, methanol, methanolum Rumus molekul : CH3OH


(28)

Rumus struktur :

Berat molekul : 32,04

Pemerian : Cairan tidak berwarna, jernih, mudah menguap, cairan higroskopis, mudah bergerak, bau khas, rasa panas, mudah terbakar.

Kelarutan : Bercampur dengan air, membentuk cairan jernih tidak berwarna, larut dengan diklorometana, dengan alkohol, dengan eter, dengan benzena, dan dengan sebagian besar pelarut organik lainnya.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, jauh dari panas, percikan dan nyala api terbuka.

Kegunaan : Sebagai pelarut. 4. Kloroform (Dirjen POM, 1995: 206)

Nama resmi : CHLOROFORMUM

Nama lain : Kloroform, Triklorometana [67-66-3] Rumus molekul : CHCl3

Rumus struktur :

Berat molekul : 119,38

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, mudah mengalir, mempunyai sifat khas, bau eter, rasa manis dan membakar, mendidih pada suhu lebih kurang 61° dipengaruhi oleh cahaya.


(29)

Kelarutan : Sukar larut dalam air, dapat bercampur dengan etanol, dengan eter, dengan benzena, dengan heksana, dan dengan lemah dan minyak menguap.

Kegunaan : Sebagai pelarut.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya, pada suhu tidak lebih dari 30°.

5. NaCl (Dirjen POM, 1995: 584)

Nama resmi : NATRII CHLORIDUM Nama lain : Natrium klorida

Rumus molekul : NaCl Rumus struktur : Na – Cl Berat molekul : 458,44

Pemerian : Hablur bentuk kubus, tidak berwarna atau serbuk hablur putih, rasa asin.

Kelarutan : Mudah larut dalam air, sedikit lebih mudah larut dalam air mendidih, larut dalam gliserin, sukar larut dalam etanol.

Kegunaan : Sebagai medium perkembang biakan larva udang. Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.

6. N-Heksan (Sweetman, 2009: 2024)

Nama resmi : n –HEXANE

Nama lain : n-Heksane Rumus molekul : C6H14


(30)

Berat molekul : 86,18

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, mudah terbakar, mudah menguap dengan bau samar.

Penyimpanan : Dalam wadah kedap udara. Kegunaan : Sebagai pelarut dan eluen. 7. Ragi (Dirjen POM, 1995: 1153)

Nama resmi : Ekstrak ragi

Sinonim : Sari ragi

Pemerian : Kuning kemerahan sampai coklat, bau khas tidak busuk.

Kelarutan : Larut dalam air, membentuk larutan kuning sampai coklat, bereaksi asam lemah.

Penympanan : Dalam wadah tertutup baik.

Kegunaan : Sebagai pakan larva Arthemia salina L. D. Uraian Larva

1. Klasifikasi (Mudjiman, 1998)

Filum : Arthopoda

Divisio : Crustaceae

Subdivisio : Branchiopoda

Ordo : Anostraca

Famili : Artemiidae

Genus : Artemia

Species : Artemia salina L. 2. Morfologi (Mudjiman, 1998)

Udang (Artemia salina L) mengalami beberapa fase hidup, tetapi secara jelas dapat dilihat dalam tiga bentuk yang sangat berlainan, yaitu bentuk telur, larva


(31)

(nauplii) dan artemia dewasa. Telur yang baru dipanen dari alam berbentuk bulat dengan ukuran 0,2-0,3 mm. Telur yang menetas akan berubah menjadi larva. Telur yang baru menetas ini berukuran kurang lebih 300 µ. Dalam pertumbuhannya larva mengalami 15 kali perubahan bentuk yang merupakan satu tingkatan hidup, setelah itu berubah menjadi artemia dewasa.

Waktu yang diperlukan sampai menjadi artemia dewasa umumnya sekitar 2 minggu. Berbentuk silinder dengan panjang 12-15 mm. Tubuh terbagi atasl bagian kepala, dada dan perut. Pada bagian kepala terdapat 2 tangkai mata, 2 antena dan dua antenula. Dada terbagi atas 12 segmen yang masing-masing mempunyai sepasang kaki renang. Perut ternagi atas 8 segmen. Dapat hidup dalam air dengan suhu 25o

-30oC dan pH sekitar 8-9.

3. Uraian Tentang Larva (Mudjiman, 1998)

Telur-telur yang kering direndam dalam air laut yang bersuhu 25oC akan

menetas dalam waktu 24-36 jam. Dari dalam cangkangnya keluarlah burayak (larva) yang juga dikenal dengan istilah nauplius. Dalam perkembangan selanjutnya, burayak akan mengalami 15 kali perubahan bentuk (metamorfosis). Burayak tingkat I dinamakan instar, tingkat II instar II, tingkat III Instar III, demikian seterusnya sampai Instar XV. Setelah itu berubahlah mereka menjadi artemia dewasa.

Burayak yang baru saja menetas masih dalam tingkat Instar I bentuknya bulat lonjong dengan panjang sekitar 400 mikron (0,4 mm) dan beratnya 15 mikrogram. Warnanya kemerah-merahan karena masih banyak mengandung makanan cadangan. Oleh karena itu, mereka masih belum perlu makanan. Anggota badannya terdiri dari sungut kecil (antenula atau antena I dan sepasang sungut besar (antenna II). Dibagian depan diantara kedua sungut kecilnya terdapat bintik merah yang tidak lain adalah mata naupliusnya (oselus). Dibelakang sungut besar terdapat sepasang mandibula


(32)

(rahang) dan rudimenter kecil. Sedangkan dibagian perur (ventral) sebelah depan terdapatlah labrum.

Pada pangkal sungut besar (antena II) terdapat bangunan seperti duri yang menghadap ke belakang (gnotobasen seta) bangunan ini merupakan cirri khusus untuk membedakan burayak instar I, instar II dan instar III. Pada burayak instar I (baru menetas) gnotobasen setanya masih belum berbulu dan juga belum bercabang.

Sekitar 24 jam setelah menetas, burayak akan berubah menjadi instar II. Lebih lama lagi akan berubah menjadi instar III. Pada tingkatan II, gnotobasen setanya sudah berbulu tapi masih belum bercabang. Sedangkan pada instar III, selain berbulu gnotobasen seta tersebut sudah bercabang II.

Pada tingkatan instar II, burayak mulai mempunyai mulut, saluran pencernaan dan dubur. Oleh karena itu, mereka mulai mencari makan, bersamaan dengan itu, cadangan makanannya juga sudah mulai habis. Pengumpulan makanannya dengan cara menggerak-gerakkan antena II-nya. Selain itu untuk mengumpulkan makanan antena II juga berfungsi untuk bergerak. Tubuh instar II dan instar III sudah lebih panjang dari instar I.

Pada tingkatan selanjutnya, disebelah kanan dan kiri mata nauplius mulai terbentuk sepasang mata majemuk. Mula-mula masih belum bertangkai. Kemudian secara berangsur-angsur berubah menjadi bertangkai. Selain itu, dibagian samping badannya (kanan dan kiri) juga berangsur-angsur tumbuh tunas kakinya (torakopada). Mula-mula tumbuh dibagian depan kemudian berturut-turut disusul oleh bagian-bagian yang lebih ke belakang. Setelah menjadi instar XV, kakinya sudah lengkap sebanyak 11 pasang, maka berakhirlah masa burayak, dan berubah menjadi artemia dewasa.


(33)

BAB III

METODE PRAKTIKUM A. Alat dan Bahan

1. Alat yang digunakan

Adapun alat yang digunakan pada percobaan ini yaitu alat refluks, cawan porselin, chamber, corong, corong pisah, gelas ukur, gelas kimia, gegep, kain putih, labu alas bulat, lampu UV 366 dan 254 nm, lampu belajar, lempeng kaca, mangkok kaca, magnetik stirrer, pipet tetes, pipa kapiler, pensil, penggaris, pipet volume, pinset, pompa vakum, oven, rotary evaporator, senter glass, sendok besi, statif dan klem, tabung sentrifuge, timbangan, timbangan analitik, timbangan ohaus, vial.

2. Bahan yang digunakan

Adapun bahan yang digunakan pada percobaan ini yaitu aquadest, aluminium foil, butanol, etil asetat, garam tidak beryodium, H2SO4, kertas saring, karet gelang,

kapas, kloroform, lakban, lempeng silika gel, metanol, n-butanol, n-hexan, daun Ganjeng (Piper betle L), permipan, plastik bening, serbuk silika gel.

B. Cara Pengerjaan Sampel 1. Penyiapan Sampel

Diucapkan basmalah. Diambil sampel berupa daun Ganjeng. Di cuci bersih daun Ganjeng, kemudian dipotong-potong kecil. Di keringkan dengan cara diangin-anginkan pada tempat yang tidak terkena sinar matahari langsung, kemudian disortasi kering.

2. Pembuatan Herbarium

Diucapkan basmalah. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. Dicuci herba di bawah air yang mengalir, agar kotoran yang melekat pada daun benar-benar hilang. Dikeringkan herba, yang tidak terkena oleh cahaya matahari, agar kandungannya yang ada disampel tidak rusak. Dioleskan dengan alkohol 70%, agar


(34)

sampel tidak ditumbuhi mikroba. Ditempelkan herba pada sasak dengan menggunakan selotip bebas asam dan ditutup sasak.

3. Ekstraksi a. Maserasi

Diucapkan basmalah. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. Dipotong kecil-kecil sampel daun Ganjeng. Ditimbang sampel sebanyank 150 gram. Kemudian dimasukkan 150 gram sampel ke dalam toples. Dibasahi sampel menggunakan larutan metanol. Ditambahkan pelarut metanol ke dalam toples hingga melewati sampel (sampel terendam). Ditutup toples menggunakan aluminium foil kemudian ditutup rapat dengan penutup toples. Dibiarkan sampel terendam selama ± 24 jam. Dilakukan proses penyarian setelah ± 24 jam menggunakan kain putih dan corong yang telah disumbat kapas. Dilakukan proses remaserasi sampel yang telah disaring tadi. Ditampung hasil maserasi.

4. Sokletasi

Diucapkan basmalah. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. Ditimbang sampel daun Ganjeng sebanyak 50 gram. Dimasukkan sampel ke dalam labu alas bulat. Ditambahkan 500 ml metanol ke dalam labu alas bulat. Dirangkai alat sokletasi. Dimulai penyarian 20-24 siklus. Ditampung hasil ekstrak daun Ganjeng

5. Refluks

Diucapkan basmalah. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. Ditimbang sampel daun Ganjeng 50 gram. Dimasukkan ke dalam labu alas bulat. Ditambahkan 500 ml metanol ke dalam labu alas bulat. Dirangkai alat refluks. Dimulai penyarian dan ditunggu hingga 3-4 jam. Disaring hingga didapatkan ekstrak cair dan ampasnya.


(35)

6. Partisi a. Partisi Cair-Cair

Diucapkan basmalah. Disiapkan alat dan bahan. Ditimbang ekstrak metanol daun Ganjeng sebanyak 2 gram. Dilarutkan ekstrak dengan 30 ml hexan dan dimasukkan ke dalam corong pisah. Disuspensikan ekstrak yang tidak larut dengan 10 ml air dan dimasukkan ke dalam corong pisah. Digojog corong pisah hingga homogen dan didiamkan beberapa saat hingga terbentuk dua lapisan pelarut. Dipipet lapisan n-hexan kemudian ditampung dalam wadah yang disaring terlebih dahulu menggunakan corong dan kertas saring. Ditambahkan kembali 30 ml n-hexan ke dalam corong pisah lalu digojog hingga terbentuk lagi dua lapisan pelarut. Dilakukan penggantian pelarut n-hexan sebanyak 5 kali. Diuapkan lapisan n-hexan yang diperoleh. Ditambahkan pelarut n-butanol jenuh air pada lapisan air dalam corong pisah sebanyak 10 ml kemudian digojok. Didiamkan corong pisah hingga terbentuk dua lapisan. Ditampung lapisan n-butanol jenuh air lalu disaring. Ditambahkan kembali pelarut n-butanol jenuh air dan penggantian pelarut n-butanol dilakukan pula sebanyak 5 kali. Diuapkan lapisan n-butanol jenuh air hingga kental. Ditimbang masing-masing ekstrak n-hexan dan n-butanol jenuh air. Dilakukan identifikasi senyawa dengan menggunakan teknik KLT (Kromatografi Lapis Tipis)

b. Partisi Cair-Padat

Diucapkan basmalah. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. Ditimbang ekstrak metanol sebanyak 2,067 gram. Dimasukkan ekstrak ke dalam lumpang kemudian dilarutkan dengan n-heksan sebanyak 15 ml dan digerus. Dimasukkan ke dalam 6 tabung sentrifuge yang telah disamaratakan tingginya. Disentrifuge hasil gerusan dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit. Dipisahkan antara ekstrak larut n-hexan dan tidak larut n-hexan. Dilakukan terus-menerus hingga


(36)

larutan n-hexan dalam tabung jernih. Digunakan larutan n-hexan sebanyak 1000 ml atau 1 liter dengan 10 siklus. Dihitung rendamen yang didapatkan.

7. Kromatografi Lapis Tipis a. Pengaktifan Lempeng silika

Disiapkan lempeng. Diukur batas bawah 1 cm dan batas atas 0,5 cm. Dimasukkan dalam oven hingga melengkung.

b. Penjenuhan chamber

Dimasukkan pelarut metanol dan etil 2:1 dan sebagainya. Digoyang-goyangkan chamber. Dimasukkan potongan kertas saring hingga mencapai tutup chamber. Ditandai chamber jenuh yang terelusi dengan pelarut pada kertas saring. c. Penyiapan sampel

Disiapkan alat dan bahan. Disiapkan sampel yang akan ditotol ke dalam 3 buah vial, vial pertama (ekstrak larut hexan), vial ke 2 (ekstrak tidak larut n-hexan), dan vial 3 (ekstrak larut metanol). Dilarutkan ekstrak n-hexan pada vial dengan n-hexan secukupnya hingga tidak terlalu pekat, kemudian ditutup dengan aluminium foil. Dilarutkan ekstrak tidak larut hexan dengan kloroform secukupnya hingga tidak terlihat pekat kemudian ditutup dengan aluminium foil. Dilarutkan ekstrak metanol pada vial 3 dengan metanol secukupnya hingga tidak terlihat pekat kemudian ditutup dengan aluminium foil. Divorteks ketiga vial hingga homogen. d. Pengujian Kromatografi Lapis Tipis

Diambil chamber yang akan digunakan. Diukur eluen hexan:etil dengan perbandingan 3:1. Dimasukkan eluen hexan:etil 3:1 ke dalam chamber secara bersamaan. Digerak-gerakkan chamber kemudian didiamkan hingga jenuh. Diambil sejumlah kecil sampel dalam vial lalu ditotol pada lempeng berbeda dan diangin-anginkan. Dimasukkan lempeng yang telah ditotol ke dalam chamber kemudian chamber ditutup. Diamati pergerakan noda tinggi eluen terelusi hingga batas atas


(37)

lempeng. Diamati dilampu UV 366 nm dan lampu UV 254 nm. Apabila tidak terdapat noda yang diinginkan maka lempeng disemprot dengan H2SO4 10% dan

dipanaskan hingga noda menjadi bercak kehitaman. Dilakukan pengujian berulang dengan perbandingan pelarut berbeda sampai profil KLT ditemukan.

8. BSLT (Brine Shirmp Lethality Test) a. Pembuatan air bebas protozoa

Diucapkan basmalah. Disiapkan alat dan bahan. Ditimbang garam tidak beriodium kira-kira 37 gram. Diukur aquadest 1000 ml (1 liter). Dilarutkan 38 gram NaCl (garam) tidak beriodium dalam 1 liter air. Diaduk kemudian disaring. Dimasukkan ke dalam toples kemudian ditutup.

b. Penyiapan larutan stok

Disiapkan alat dan bahan. Ditimbang ekstrak metanol, ekstrak larut n-hexan, dan ekstrak tidak larut n-hexan masing-masing sebanyak 30 mg. Ditambahkan 3 ml pelarut metanol ke dalam ekstrak metanol, 3 ml pelarut n-hexan ke dalam ekstrak larut n-hexan dan 3 ml pelarut n-butanol untuk ekstrak yang tidak larut n-hexan. Ditutup setiap ekstrak yang telah ditambahkan pelarut.

c. Penyiapan sampel ekstrak

Dicuci vial sebanyak 80. Ditarer setiap vial dengan 5 ml air. Dimasukkan ekstrak metanol dengan konsentrasi 10 ppm ke dalam 5 vial, 100 ppm ke dalam 5 vial dan 1000 ppm ke dalam 5 vial. Dimasukkan ekstrak larut n-hexan dengan konsentrasi 10 ppm ke dalam 5 vial, 100 ppm ke dalam 5 vial dan 1000 ppm ke dalam 5 vial. Dimasukkan ekstrak tidak larut n-hexan dengan konsentrasi 10 ppm ke dalam 5 vial, 100 ppm ke dalam 5 vial dan 1000 ppm ke dalam 5 vial . Dimasukkan kontrol pelarut metanol, n-hexan dan n-butanol ke dalam 5 vial yang berbeda masing-masing sebagai pembanding. Dimasukkan kontrol air laut ke dalam 5 vial sebagai pembanding. Dibiarkan selama 24 jam hingga pelarutnya menguap.


(38)

d. Uji BSLT

Dimasukkan 10 ekor larva udang (Artemia salina L.) ke dalam vial dan dicukupkan dengan air laut sampai 5 ml. Ditambahkan 1 tetes suspensi ragi (9 mg/5 ml) ke dalam vial. Dihitung jumlah larva yang mati setelah 1x24 jam.

e. Penyiapan larutan uji

Ditetaskan larva udang dalam wadah penetas berbentuk kerucut berisi air laut yang dilengkapi dengan lampu sebagai sumber cahaya dan aerator sebagai sumber O2. Dibiarkan selama 1x24 jam. Dipindahkan ke dalam wadah gelap yang disisinya

merupakan wadah terang. Ditandai larva uji yang baik dengan larva yang berada pada wadah yang terang.

9. Kromatografi Kolom (KK) dan Kromatografi Cair Vakum (KCV) a. Kromatografi Kolom

Diucapkan basmalah. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. Dibebas lemakkan dengan dibilas menggunakan metanol. Dimasukkan kapas pada bagian bawah dari kolom. Dimasukkan silika gel sampai mengisi ¾ dari kolom lalu ketuk-ketuk hingga tidak terbentuk gelembung gas. Dikeluarkan silika dan ditimbang. Ditimbang sampel dengan perbandingan 1:100 sampel dan silika . Disuspensikan silika gel dan ekstrak dengan eluen pertama. Dimasukkan ke kolom lalu mampatkan. Dimasukkan selapis kertas saring di bagian atas. Ditampung isolat dalam vial dengan kecepatan alir 20 tetes per menit. Ditotolkan pada lempeng. Dilihat penampakan noda pada lampu UV 254 nm dan 366 nm. Digabung sampel dengan profil KLT yang sama lalu hitung nilai Rf nya.

b. Kromatografi Cair Vakum

Diucapkan basmalah. Disiapkan alat dan bahan. Ditimbang 7 gram serbuk silika dan 1,5 ekstrak larut n-hexan lalu digerus dilumpang hingga homogen. Dimasukkan serbuk silika gel dan ekstrak larut n-heksan yang telah dihomogenkan


(39)

ke dalam senter glass lalu dimampatkan. Diletakkan kertas sering diatasnya. Difraksinasi sampel dengan kromotografi cair vakum menggunakan eluen n-hexan, etil, dan metanol dengan berbagai perbandingan yang telah diketahui. Dimasukkan eluen n-hexan 60 ml, hexan:etil, dan etil:metanol masing-masing perbandingan ke dalam senter gelas lalu hasil fraksinasinya ditampung dalam wadah yang telah disiapkan. Diuapkan hasil fraksi hingga diperoleh ekstrak kental. Difraksinasi masing-masing ekstrak yang diperoleh dari berbagai perbandingan eluen saat dimasukkan ke dalam vial lalu diencerkan dengan pelarut kloroform:metanol. Ditotol ekstrak yang telah larut pada lempeng kemudian dielusi dengan eluen hexan:etil dengan perbandinga 3:1. Dilihat penampakan noda pada lempeng di bawah UV 254 nm dan 366 nm. Digabungkan sampel yang mempunyai profil KLT yang sama hingga diperoleh 2 fraksi (fraksi A dan fraksi B). Diuapkan pelarut fraksi yang diperoleh kemudian ditimbang. Dimasukkan masing-masing fraksi ke dalam vial secukupnya lalu dilarutkan dengan kloroform:metanol. Ditotol masing-masing fraksi pada lempeng kemudian dielusi. Fraksi A dielusi dengan hexan:etil (3:1) dan fraksi B dielusi dengan eluen etil:metanol (7:1). Dilihat penampakan noda fraksi A dan fraksi B di bawah lampu UV 254 nm dan 366 nm.

10. Kromatografi Lapis Tipis Preparatif a. Pembuatan lempeng

Dibaca basmalah. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. Ditimbang serbuk silika sebanyak 20 gram. Diukur 50 ml aquadest. Dihomogenkan serbuk silika dan aquadest ke dalam erlenmeyer hingga terbentuk bubur silika. Dituang bubur silika di atas lempeng kaca berukuran 20cm x 20cm dan diratakan. Didiamkan lempeng 1x24 jam. Diaktifkan lempeng dalam oven dengan suhu 1100 C selama 1-2


(40)

b. Penotolan sampel

Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. Dilarutkan ekstrak fraksi A dalam vial dengan pelarut kloroform:metanol (1:1). Ditotolkan ekstrak yang larut pada lempeng preparatif yang telah diaktifkan menggunakan pipa kapiler. Diukur eluen hexan:etil (3:1) masing-masing 45 ml dan 15 ml lalu dimasukkan ke dalam chamber lalu dijenuhkan. Setelah chamber jenuh, lempeng preparatif yang telah ditotol dimasukkan ke dalam chamber kemudian chamber ditutup dan ditunggu hingga proses elusi selesai. Setelah proses elusi selesai, lempeng dikeluarkan dari chamber lalu diangin-anginkan hingga eluennya menguap. Dilihat penampakan noda yang berbentuk pita pada UV 366 nm dan 254 nm. Diberi tanda noda yang berbentuk pita lalu dikeruk. Diperoleh 2 noda kemudian masing-masing noda di masukkan ke dalam 2 mangkok berbeda yang telah ditimbang dan diberi tanda noda 1 dan noda 2. Ditambahkan masing-masing noda dengan kloroform:metanol (1:1) sebanyak 10 ml, lalu dihomogenkan kemudian dipipet ke dalam tabung sentrifuge. Disentrifuge sampel dengan kecepatan 2500 rpm dalam waktu 5 menit. Setelah disentrifuge diperoleh dua lapisan yaitu cairan yang bening dan endapan. Dipipet cairan yang bening dari masing-masing noda ke dalam 2 vial yang berbeda yang telah ditimbang.

11. Multieluen dan dua dimensi a. Multieluen

1) Pengaktifan lempeng

Dibaca basmalah. Diambil lempeng yang akan digunakan yaitu lempeng silika gel F 254 yang berukuran 20cm x 20cm, dipotong dengan ukuran 7cm x 2cm. diaktifkan dalam oven pada suhu 1100C selama 30-60 detik. Setelah diaktifkan


(41)

2) Penotolan sampel

Dibaca basmalah. Disiapkan alat dan bahan. Disiapkan 2 noda hasil kromatografi lapis tipis preparatif yang akan ditotol pada lempeng silika gel yaitu noda 1 dan noda 2. Ditotol masing-masing noda pada lempeng silika gel yang telah diaktifkan. Disiapkan eluen yaitu hexan:etil (5:1), kloroform:etil (1:1), dan etil:methanol (1:5). Dielusi masing-masing noda dengan eluen yang telah disiapkan. Kemudian diamati penampakan noda masing-masing di bawah lampu UV 366 nm. b. Dua dimensi

1) Pengaktifan lempeng

Dibaca basmalah. Diambil lempeng yang akan digunakan yaitu lempeng silika gel F 254 yang berukuran 20cm x 20cm, dipotong dengan ukuran 7cm x 2cm. diaktifkan dalam oven pada suhu 1100C selama 30-60 detik. Setelah diaktifkan

lempeng diukur batas atas dan batas bawahnya. 2) Penotolan sampel

Dibaca basmalah. Disiapkan alat dan bahan yng akan digunakan. Ditotol kristal murni yang telah diperoleh pada lempeng KLT. Dielusi dengan menggunakan dua cairan pengelusi. Sebagai cairan pengelusi yang pertama adalah eluen n-heksan : etil asetat dan cairan pengelusi kedua adalah eluen benzene:etil asetat. Untuk proses elusi yang pertama dilakukan dengan cara menotolkan filtrat yang telah dilarutkan dengan pelarut yang cocok pada lempeng kemudian dielusi, selanjutnya proses elusi yang kedua dilakukan dengan cara memutar lempeng berlawanan arah jarum jam sehingga hasil elusi yang pertama menjadi titik awal pengelusian untuk proses elusi yang kedua. Setelah proses elusi selesai, diamati penampakan noda pada lampu UV 366 nm.


(42)

12. Identifikasi Golongan Senyawa a. Pengaktifan Lempeng

Dibaca basmalah. Diambil lempeng yang akan digunakan yaitu lempeng silika gel F 254 yang berukuran 20cm x 20cm, dipotong dengan ukuran 7cm x 2cm. diaktifkan dalam oven pada suhu 1100C selama 30-60 detik. Setelah diaktifkan

lempeng diukur batas atas dan batas bawahnya. b. Uji Identifikasi Golongan Senyawa

Dibaca basmalah. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. Ditotol noda 1 dan 2 pada lempeng silika gel sebanyak 12 totolan. Noda 1, 6 totolan dan noda kedua juga 6 totolan. Di masukkan eluen hexan : etil ke dalam chamber secara bersamaan, kemudian chamber dijenuhkan. Setelah jenuh, dimasukkan lempeng yang telah ditotol ke dalam chamber. Ditunggu hingga proses elusi selesai. Setelah proses elusi selesai, diamati lempeng di bawah lampu UV 366 nm. Setelah tampak noda yang diinginkan, lempeng kemudian dipotong-potong hingga menjadi 12 bagian yang terdiri atas 6 bagian noda pertama dan 6 bagian noda kedua. Setelah dipotong-potong, setiap lempeng disemprot atau ditetesi sejumlah pereaksi. Perekasi yang digunakan disini yaitu pereaksi Dragondorff untuk mengidentifikasi senyawa golongan alkaloid, perekasi Lieberman-Burchard untuk mengidentifikasi senyawa golongan steroid, pereaksi AlCl3 untuk mengidentifikasi senyawa golongan

flavonoid, pereaksi FeCl3 untuk mengidentifikasi senyawa golongan fenol dan

pereaksi KOH etanolik untuk mengidentifikasi senyawa golongan kumarin. Setelah disemprot dengan beberapa pereaksi tersebut, lempeng kemudian didiamkan. Hasil positif untuk senyawa golongan alkaloid ditandai dengan warna jingga dengan latar belakang kuning. Hasil positif untuk senyawa golongan steroid, setelah kromatogram dipanaskan dan diamati pada lampu UV 366 nm, ditandai dengan munculnya noda berflouresensi coklat atau biru, menunjukkan adanya triterpen, sedangkan warna


(43)

hijau kebiruan menunjukkan adanya steroid. Hasil positif untuk senyawa golongan flavonoid ditandai dengan adanya noda berflouresensi kuning pada saat diamati pada lampu UV 366 nm. Hasil positif untuk senyawa golongan fenol, ditandai dengan adanya warna biru atau hitam. Hasil positif untuk senyawa golongan kumarin ditandai dengan adanya warna merah.


(44)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tabel Pengamatan

1. Ekstraksi (Maserasi) Nama Sampel Berat Simplisi a Volume Pelarut Berat Ekstra k Daun Ganjeng (Piper betle L.)

200 g 1800 ml 26,9 g

2. Partisi Cair-Padat

No Ekstrak Berat wadah kosong Bobo t botol Bobot ekstra k 1 Larut heksan 187,61 gram 191,6 7 gram 4,06 gram 2 Tidak larut

heksan 184,37 gram 186,1 2 gram 1,75 gram

3. Identifikasi KLT

No Ekstrak Profil KLT Nilai Rf

1 heksanLarut

Heksan : Etil (3: 1)

I = 0,27 cm II = 0,36 cm III = 0,45 cm IV = 0,54 cm V = 0,63 cm

2 Tidak larut heksan

Heksan : Etil (3 : 1)

I= 0,36 cm II = 0,45 cm III = 0,63 cm IV = 0,72 cm V = 0,61 cm

3 Metanol Heksan :


(45)

(3 : 1) III = 0,45 cmIV = 0,63 cm V = 0,72 cm

4. Uji BSLT

a. Hasil Kematian larva

Samp el

Jumlah Larva Mati pada Setiap Konsentrasi Jumlah Larva Mati pada Kontrol Negatif 1 0 p p m 10 0 p p m 100 0 pp m P el ar ut Air Laut Ekstra k Metan ol

4 8 10 0 0

6 5 9 0 0

8 7 5 0 0

2 4 6 0 0

5 7 9 0 0

ε 2

5 31 39 0 0

Ekstra k n-Heksa

n

8 8 10 0 0

5 7 9 0 0

6 5 9 0 0

3 6 7 0 0

2 4 8 0 0

ε 2

4 30 43 0 0

Ekstra k tidak larut n-Heksa n

5 7 8 0 0

2 3 5 0 0

4 6 7 0 0

3 9 9 0 0

1 2 3 0 0

ε 1


(46)

b. Nilai Probit Sampel Kon sentr asi (pp m) Log Kon sentr asi % Kem atian Larv a Nilai Probit (y) Ekstrak Metanol

10 1 50 5,00

100 2 62 5,31

1000 3 78 5,77

Ekstrak larut n-Heksan

10 1 48 4,95

100 2 60 5,25

1000 3 86 6,08

Ekstrak tidak larut n-Heksan

10 1 30 4,48

100 2 46 4,90

1000 3 64 5,36

5. Fraksinasi KCV a. Bobot fraksi

No Fraksi ke

Bobot wada

h

Bobot

total Bobotfraksi

A 194,4 gram 194,7 gram 0,3 gram B 195,6 gram 196,4 gram 0,8 gram

b. Nilai Rf

No Fraksi ke Nilai Rf

1. Fraksi A

I = 0,09 cm II = 0,18

cm III = 0,27 cm

IV = 0,36 cm V = 0,41

cm VI =


(47)

0,58 cm

2. Fraksi B I= 0,54cm II = 0,72

cm III = 1

cm

6. KLT preparatif a. Hasil Isolat Fraksi

N o

Bobot total Bobot

kosong

Isolat Fraksi

1 9,95 gram 9,7 gram 0,21 gram

2 10,42 gram 9,8 gram 0,62 gram

7. Multi eluen a. Nilai Rf

No. Samp el Heks an : Etil Klorofo rm : etil

Etil : Metanol

1. Noda

1 0,18cm 0,81 cm 0,96 cm

2. Noda

2

0,27 cm

0,95 cm 0,96 cm

8. Identifikasi Golongan Senyawa


(48)

Pereaksi an 1. Ekstrak Daun

Ganjeng

+ Dragondorff Negatif +

Lieberman-Buchard Positif

+ AlCl3 Negatif

+ FeCl3 Negatif

+ KOH Etanolik Positif

+ H2SO4 Negatif

B. Pembahasan

Daun Ganjeng (Piper betle L.) adalah salah satu tumbuhan yang sampai saat ini banyak dikenal sebagai tanaman obat. Daunnya sering digunakan sebagai obat yang dipercaya memiliki khasiat mencegah penyakit infeksi saluran kemih, pembersih gigi, obat sakit perut, dan obat luka oleh masyarakat Makassar, Sulawesi Selatan. Daun Ganjeng (Piper betle L.) diketahui mengandung Minyak atsiri. Mengingat manfaat dari Daun Ganjeng (Piper betle L.) yang banyak bermanfaat bagi tubuh.

Fitokimia adalah ilmu yang mempelajari kandungan kimia dari bahan alam yang mempunyai khasiat obat. Bahan alam meliputi tumbuhan, hewan, mineral, serta biota laut. Bahan alam tersebut mengandung beberapa komponen kimia yang dapat digunakan sebagai obat. Obat yang berasal dari bahan alam dikenal luas sebagai obat tradisional (Gunawan, 2004).

Adapun alat-alat yang digunakan pada praktikum kali ini yaitu: batang pengaduk, beker gelas, chamber, cawan porselin, corong, corong pisah, eksikator, gelas ukur, gelas arloji, kain putih, kipas angin, klem, lampu belajar, lap halus, lap kasar, lempeng kaca, lumpang, mikro pipet, mikroskop, magnetik stirer, neraca analitik, oven, pengayak, pipa kapiler, pipet tetes, rota vaporator, saringan vakum, sentrifuge, sendok tanduk, sendok besi, senter glass, spatel, spoit, statif, toples, tabung reaksi, tabung sentrifuge, timbangan kasar, vial.

Adapun bahan-bahan yang digunakan pada praktikum ini yaitu: air bebas protozoa, aluminium foil, asam sulfat 10 %, aquadest, Daun Ganjeng (Piper betle


(49)

L.), etanol, etilasetat, n-hexan, kloroform, KOH etanolik, kertas saring, larva udang (Artemia salina L), lempeng silika gel GF 254, metanol, n-hexan, n-butanol, permipan, plastik bening, serbuk silika gel GF 254, sel telur larva udang (Artemia salina L).

Dalam praktikum ini akan dilakukan percobaan untuk ekstraksi senyawa aktif tumbuhan tertentu yang berkhasiat obat. Percobaan dilakukan mulai dari pengambilan sampel, kemudian ekstraksi dan identifikasi senyawa kimia yang terdapat pada ekstrak tersebut dengan metode Kromatografi Lapis Tipis dan dengan menggunakan pereaksi kimia. Sampel tumbuhan yang digunakan dalam percobaan ini adalah daun Ganjeng atau disebut daun Sirih (Piper betle L.).

Daun Ganjeng diambil dengan cara dipetik langsung. Kemudian sampel dicuci hingga bersih dengan air mengalir dan kemudian dikeringkan dengan cara diangin-anginkan (tidak di bawah matahari langsung) agar komponen aktifnya tidak mudah terurai. Cara pengeringan dengan diangin-anginkan dan tidak di bawah matahari langsung terutama digunakan untuk mengeringkan bagian tanaman yang lunak seperti bunga dan daun. Setelah kering sampel dipotong kecil-kecil dengan tujuan untuk memudahkan molekul-molekul air yang terdapat dalam dalam sel tumbuhan dapat menguap dengan mudah.

Penghilangan molekul-molekul air ini dilakukan karena air merupakan medium yang mudah ditumbuhi mikroba atau jamur. Keberadaan mikroba atau jamur ini nantinya dapat mengganggu hasil ekstraksi senyawa aktif dari sampel. Selain itu tujuan dari pengeringan ini dilakukan juga dimaksudkan untuk mencegah terjadi reaksi enzimatis di dalam sel, di mana reaksi enzimatis ini dapat berlangsung bila simplisia mengandung air dengan jumlah lebih dari 10 %.

Dalam proses pengolahan sampel terdapat dua jenis sortasi yang dilakukan yaitu sortasi basah dan sortasi kering. Sortasi basah dilakukan pada sampel yang baru


(50)

diambil dari habitatnya ditujukan untuk memisahkan simplisia yang utuh dan layak untuk diekstraksi dengan bagian tanaman lain yang tidak dibutuhkan serta kotoran dan benda asing seperti tanah, pasir serta kerikil. Sortasi yang kedua, yaitu sortasi kering yang dilakukan pada saat sampel telah dikeringkan untuk selanjutnya dapat diekstraksi dengan metode yang sesuai.

Setelah itu sampel dirajang hingga sesuai dengan ukuran yang diinginkan. Adapun tujuan dari proses ekstraksi ini adalah untuk menarik komponen kimia yang terdapat dalam simplisia. Ekstraksi yang dilakukan disesuaikan dengan sifat kimia fisika dari sampel dan juga tergantung dari zat yang dikandungnya.

Pada percobaan ini dilakukan ekstraksi dengan cara maserasi. Maserasi adalah penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari yang sesuai pada temperatur kamar terlindung dari cahaya. Proses ekstraksi yang terjadi yaitu cairan penyari akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel dan masuk ke dalam rongga yang mengandung zat aktif, kemudian zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan penyari dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara di luar sel dan di dalam sel. Setelah proses maserasi selesai, kemudian di saring dengan kain putih. Digunakan kain putih agar ekstrak tidak terkontaminasi pewarna dari kain. Digunakan pula larutan penyari metanol, karena metanol bersifat semipolar sehingga dapat menarik komponen kimia yang bersifat polar maupun non polar pada daun sirih. Kemudian ekstrak metanol tersebut dikeringkan hingga larutan penyari menguap. Dari hasil percobaan ini diperoleh hasil ekstrak 2,067 gram.

Kemudian setelah dilakukan ekstraksi maka selanjutnya ialah partisi, dimana partisi ini terbagi 2 yaitu partisi cair-cair dan partisi cair-padat. Prinsip dari partisi


(51)

cair-cair adalah ekstraksi cair-cair (corong pisah) merupakan pemisahan komponen kimia di antara 2 fase pelarut yang tidak saling bercampur di mana sebagian komponen larut pada fase pertama dan sebagian larut pada fase kedua, lalu kedua fase yang mengandung zat terdispersi dikocok, lalu didiamkan sampai terjadi pemisahan sempurna dan terbentuk dua lapisan fase cair, dan komponen kimia akan terpisah ke dalam kedua fase tersebut sesuai dengan tingkat kepolarannya dengan perbandingan konsentrasi yang tetap.

Sampel daun Ganjeng, dipartisi cair-padat. Prinsip dari ekstraksi cair-padat yaitu penarikan komponen kimia pada suatu sampel dengan menggunakan satu pelarut yang pelarutannya dilakukan secara terpisah di mana komponen kimia akan terlarut dalam pelarut dengan cepat dengan bantuan sentrifuge berdasarkan gaya sentrifugasi. Cara kerjanya yaitu pertama-tama disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan untuk partisi cair-padat. Kemudian ditimbang ekstrak metanol sebanyak 5 gram. Lalu ekstrak metanol yang telah ditimbang, dilarutkan dengan 1000 ml n-heksan sedikit demi sedikit dalam lumpang dan digerus. Kemudian hasil gerusan disentrifuge dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit. Dipisahkan antara ekstrak larut dan tidak larut n-heksan dan untuk yang larut n-heksan disaring menggunakan kertas saring dan ditampung pada mangkok. Dilakukan terus menerus dengan perlakuan yang sama hingga ekstrak yang ada pada lumpang menjadi bening. Dan semua hasil tampungan larut n-heksan diuapkan dan yang tidak larut n-heksan disimpan pada cawan porselin sebagai sampel ekstrak yang tidak larut n-heksan. Kemudian masing-masing ditimbang bobot ekstrak. Dari sini diperoleh larut heksan 4,06 gram dan tidak larut heksan 1,75 gram.

Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah suatu metode analisis yang digunakan untuk memisahkan suatu campuran senyawa secara cepat dan sederhana.


(52)

Penggunaan kromatografi sangat membantu dalam pendeteksian senyawa metabolit sekunder dan dapat dijadikan sebagai patokan untuk proses pengerjaan berikutnya dalam menentukan struktur senyawa. Prinsipnya atas dasar perbedaan adsorpsi atau partisi oleh fase diam di bawah gerakan pelarut pengembang. Bahan adsorben sebagai fase diam dapat digunakan silika gel, alumina dan serbuk selulosa. Partikel silika gel mengandung gugus hidroksil pada permukaannya yang akan membentuk ikatan hidrogen dengan molekul polar air. Fase diam untuk kromatografi lapis tipis seringkali juga mengandung substansi yang mana dapat berflouresensi dalam sinar ultra violet. Fase gerak merupakan pelarut atau campuran pelarut yang sesuai.

Sebelum menotolkan sampel ke lempeng KLT, terlebih dahulu dibuat batas atas dan batas bawah dengan menggunakan pensil. Hal ini bertujuan untuk mengetahui dimana penotolan sampel itu, dalam penandaan tidak digunakan tinta karena pewarna dari tinta akan bergerak selayaknya kromatogram dibentuk. Hal ini dapat mempengaruhi proses pengelusian senyawa sampel.

Di dalam chamber diisi dengan eluen, dimana untuk setiap sampel memiliki eluen dengan campuran yang sama yaitu n-heksan:etil asetat (3:1) untuk sampel daun Ganjeng. Chamber tersebut terlebih dahulu dijenuhkan. Dalam hal ini chamber ditutup rapat dengan tujuan agar meyakinkan bahwa atmosfer dalam chamber terjenuhkan dengan uap pelarut. Penjenuhan udara dalam chamber dengan uap menghentikan penguapan pelarut sama halnya dengan pergerakan pelarut dalam KLT. Untuk mendapatkan kondisi ini, dalam chamber biasanya ditempatkan beberapa kertas saring yang terbasahi oleh pelarut.

Setelah chamber jenuh maka lempeng KLT dimasukan ke dalam chamber, ketika pelarut mulai membasahi lempengan, pelarut pertama-tama akan melarutkan senyawa-senyawa dalam bercak yang telah ditempatkan pada garis dasar. Senyawa-senyawa akan cenderung bergerak pada lempeng kromatografi sebagaimana halnya


(53)

pergerakan pelarut. Di sini akan kita lihat mulai akan ada noda terpisah-pisah, ini dikarenakan setelah sampel dilarutkan dengan eluen, maka sampel akan ikut berinteraksi juga dengan silika yang ada di lempeng. Senyawa yang terperangkap di bagian paling bawah menunjukan bahwa senyawa tersebut paling tinggi kepolarannya karena lempeng ini bersifat polar sehingga senyawa yang paling tinggi kepolarannya akan tinggal dibagian bawah lempeng, ini terjadi karena sifatnya itu like dissolve like yang di mana jika kepolarannya sama akan suka sama suka. Senyawa ini dapat membentuk ikatan hidrogen yang akan melekat pada silika lebih kuat dibanding senyawa lainnya. Kita dapat mengatakan bahwa senyawa ini terjerap lebih kuat dari senyawa yang lainnya. Penjerapan merupakan pembentukan suatu ikatan dari satu substansi pada permukaan.

Eluen yang digunakan merupakan kombinasi dari dua atau tiga macam pelarut, hal ini dimaksudkan untuk mencapai semua tingkat kepolaran sehingga diharapkan eluen ini dapat mengangkat noda dengan tingkat kepolaran yang berbeda-beda pula. Dengan perbandingan jumlah pelarut yang digunakan adalah perbandingan yang didasarkan pada pengalaman bahwa eluen tersebut dapat menarik komponen kimia yang maksimal. Namun jika pada penampakan noda belum didapat jumlah noda yang maksimal atau posisi noda yang terlalu ke atas atau ke bawah maka perbandingan eluen yang digunakan dapat dimodifikasikan kembali.

Dilakukan identifikasi KLT dengan sampel hasil partisi cair-padat. Dimana sampel larut n-heksan dilarutkan dengan kloroform, sampel larut metanol dilarutkan dengan metanol, sampel tidak larut n-heksan juga dilarutkan dengan n-butanol. Setelah dilarutkan, ditotolkan sampel pada 2 lempeng silika gel yang berbeda, yang telah diberi tanda berdasarkan kepolarannya. Dielusi lempeng silika gel yang telah ditotol sampel pada chamber yang telah dijenuhkan dan berisi eluen. Apabila eluen telah mencapai batas atas maka lempeng tersebut dikeluarkan dari chamber. Setelah


(54)

itu diamati penampakan noda yang terbentuk pada UV 254 dan UV 366, difoto hasil noda yang tampak pada UV 254 dan 366 nm.

Mekanisme penampakan noda pada UV yaitu suatu metode yang mengabsorbsi cahaya ultraviolet akan mencapai suatu keadaan tereksitasi dan kemudian memancarkan cahaya ultraviolet atau cahaya tampak pada waktu kembali ke tingkat dasar (emisi), emisi inilah yang digambarkan sebagai fluoresensi. Pada UV 254 nm, lempeng F254 yang mengalami flouresensi, dimana lempeng F254

mengabsorbsi cahaya ultraviolet mencapai suatu keadaan tereksitasi dan kemudian memancarkan cahaya ultraviolet atau cahaya tampak sebagai fluoresensi, sedangkan noda akan terlihat gelap, tidak dapat tampak bila mengandung gugus kromofor.

Penampakan noda pada lampu UV 366 nm adalah karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang terikat oleh auksokrom yang ada pada noda tersebut. Fluoresensi cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali ke keadaan semula sambil melepaskan energi. Energi inilah yang menyebabkan perbedaan fluoresensi warna yang dihasilkan oleh tiap noda.

Brine Shrimp Lethality Test (BST) adalah suatu metode pengujian dengan menggunakan hewan uji yaitu Artemia salina L., yang dapat digunakan sebagai bioassay yang sederhana untuk meneliti toksisitas akut suatu senyawa, dengan cara menentukan nilai LC50 yang dinyatakan dari komponen aktif suatu simplisia maupun

bentuk sediaan ekstrak dari suatu tanaman. Apabila suatu ekstrak tanaman bersifat toksik menurut harga LC50 dengan metode BST, maka tanaman tersebut dapat

dikembangkan sebagai obat anti kanker. Namun, bila tidak bersifat toksik maka tanaman tersebut dapat diteliti kembali untuk mengetahui khasiat lainnya dengan menggunakan hewan coba lain yang lebih besar dari larva Artemia salina L. seperti


(55)

mencit dan tikus secara in vivo. Suatu senyawa dinyatakan mempunyai potensi toksisitas akut jika mempunyai harga LC50 kurang dari 1000 μg/ml. LC50 (Lethal

Concentration 50) merupakan konsentrasi zat yang menyebabkan terjadinya kematian pada 50 % hewan percobaan yaitu larva Artemia salina L.

Brine Shrimp Lethality Test (BST) adalah suatu metode uji hayati yang tepat dan murah untuk skrining dalam menentukan toksisitas suatu ekstrak tanaman aktif dengan menggunakan hewan uji Artemia Salina L. Artemia Salina L sebelumnnya telah digunakan dalam bermacam-macam uji hayati seperti uji pestisida, polutan, mikotoksin, anastetik, komponen seperti morfin, kekarsinogenikan, dan toksikan dalam air laut. Uji dengan organisme ini sesuai untuk aktifitas farmakologi dalam ekstrak tanaman yang bersifat toksik. Penelitian menggunakan Artemia salina L ternyata juga mempunyai aktivitas sitotoksik.

Pada hari pertama, disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan dimana disiapkan 5 buah vial untuk konsentrasi [1000], 5 buah vial untuk konsentrasi [100], 5 buah vial untuk konsentrasi [10], 5 buah vial untuk kontrol air laut, serta 15 vial untuk kontrol pelarut di mana pelarut yang digunakan di sini ada 3 jenis. Disiapkan larutan stok pada 3 vial yang berbeda untuk ekstrak metanol, ekstrak tidak larut n-hexan dan ekstrak larut n-n-hexan. Kemudian diambil larutan stok sampel lalu dimasukkan pada masing-masing vial sesuai dengan konsentrasi masing-masing. Kemudian vial yang telah diisi dengan larutan stok di diamkan selama 1x24 jam hingga pelarutnya benar-benar menguap. Setelah itu diambil telur larva lalu dimasukkan ke dalam beker gelas dan ditambahkan aquadest, didiamkan selama 30 menit. Setelah 30 menit, diambil larva udang yang bagus (yang tenggelam). Lalu dimasukkan dalam wadah penetasan yaitu toples yang sudah diberikan plastik berbentuk kerucut berisi air laut, kemudian disinari dengan lampu dan diberi aerator selama 1x24 jam.


(56)

Pada hari kedua yaitu pemindahan larva, di mana larva yang bagus atau masih hidup pada toples yang berada dalam plastik kerucut dipindahkan ke dalam wadah plastik yang telah dibagi dua. Larva dari toples diletakkan pada wadah plastik yang tertutup sedangkan wadah yang bagian dua diberi cahaya lampu dan aerator, didiamkan lagi selama 1x24 jam. Aerator ini digunakan untuk membantu proses penetasan udang.

Pada hari ketiga, diambil masing-masing vial sampel konsentrasi [1000], [100], [10], kontrol pelarut sebanyak 15 buah yang telah diuapkan dan juga diambil vial kontrol air laut sebanyak 5 buah. Kemudian diambil larva udang dari wadah plastik dan ditampung sebagian pada beker gelas. Setelah itu diambil 10 ekor larva udang pada beker gelas lalu dimasukkan ke dalam tiap vial. Kemudian ditambahkan 1-2 tetes permipan sebagai sumber makanan untuk larva pada masing-masing vial yang telah berisi 10 ekor larva udang. Didiamkan selama 1 x 24 jam.

Pada hari keempat yaitu pengamatan, di mana dilihat larva udang yang mati pada tiap-tiap vial. Setelah itu dihitung larva yang mati.

Dari hasil percobaan diperoleh hasil dimana untuk ekstrak n-heksan diperoleh persen kematian larva pada konsentrasi 1000 ppm 78%, konsentrasi 100 ppm 62% dan pada konsentrasi 50 ppm 8%. Untuk ekstrak larut n-heksan diperoleh persen kematian larva pada konsentrasi 1000 ppm 86%, konsentrasi 100 ppm 60% dan konsentrasi 10 ppm 48%. Sedangkan pada ekstrak tidak larut n-heksan diperoleh persen kematian larva pada konsentrasi 1000 ppm 64%, konsentrasi 100 ppm 46%, dan pada konsentrasi 10 ppm sebanyak 30%. Dan pada vial yang berisi pelarut dan kontrol air laut tidak ditemukan adanya larva udang yang mati. Dari hasil perhitungan kematian larva diperoleh kembali hasil untuk nilai LC50 pada ekstrak


(1)

Sampel yang telah dialiri pereaksi Dragendorf

Sampel yang telah dialiri pereaksi Lieberman-Burchard

Sampel yang telah dialiri pereaksi KOH

Sampel yang telah dialiri pereaksi FeCl3

10 Sampel yang telah dialiri


(2)

11 Sampel yang telah dialiri pereaksi H2SO4

12 Penampakan bercak noda

sampel yang telah dialiri pereaksi Dragendorf pada lampu UV 366 nm

13 Penampakan bercak noda

sampel yang telah dialiri pereaksi Lieberman-Bounchard pada lampu UV 366 nm

14 Penampakan bercak noda

sampel yang telah dialiri pereaksi KOH pada lampu UV 366 nm

15 Penampakan bercak noda

sampel yang telah dialiri pereaksi FeCl3 pada lampu UV 366 nm


(3)

16 Penampakan bercak noda sampel yang telah dialiri pereaksi AlCl3 pada lampu UV 366 nm

KEPUSTAKAAN Al-Qur’an.

Cahyadi, Robby. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Buah Pare (Momordica charantia) Terhadap Larva Artemia Salina Leach dengan Metode BST. Jurnal pdf. Semarang: Universitas Diponegoro, 2009.

Dirjen POM. Sediaan Galenik. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986.

Djide, Natsir, Prof. Dr. Mikrobiologi Terapan.. Makassar: Penerbit UNHAS, 2008.

Endarwati.Tumbuhan Indonesia. Jakarta: ECG, 2005

Gembong, Tjitrosoepomo. Morfologi Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University, 2005


(4)

Gunawan, D, Mulyani, S., Ilmu Obat Alam (Farmakognosi) Jilid I. Jakarta: Penerbit Penebar Swadaya, 2004

Indrayani, L., H. Soetjipto, dan L. Sihasale. Skrining Fitokimia dan Uji Toksisitas Ekstrak Daun Pencut Kuda (Stachytarpheta jamacencis L. Vahl) Terhadap Larva Udang Artemia salina Leach. Journal of Science. 12: 57-61, 2006

Katno & S. Pramono.Tingkat Manfaat dan Keamanan Tumbuhan Obat dan

Obat Tradisional. Yogyakarta: UGM, 2002

Mudjiman, A. Makanan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya, 1998

Pisutthanan, S, P. Plianbangchang, N. Pisutthanan, S. Ruanruay, O. Muanrit, “Brine Shrimps Lethality Activity of Thai Medicinal Plants in the Family Meliaceae”, Naresuan University Journal, 12(2), 13-14, 2004

Sastrohamidjojo, Hardjono, Dr. Analisis Kromatografi. Jogyakarta: Penerbit ITB, 1985.

Stahl, Egon. Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Bandung: Penerbit ITB, 1985.

Tjiptosoepomo, G. Taksonomi Tumbuhan Obat-Obatan, Yogyakarta: Gajah Mada Univesity Press, 1994.

Utami, Prapti. Buku Pintar Tanaman Obat. Jakarta: Redaksi Agromedia, 2008.

Wahyuono, Subagus. Uji Toksisitas Beberapa Tumbuhan Obat Indonesia dengan Brine Shrimp Lethality Test (BST). Jurnal pdf. Surabaya: Universitas Airlangga, 2010


(5)

Wijayakusuma, Hembing. Tanaman B e r k h a s i a t O b a t d i I n d o n e s i a. Jakarta: Pustaka Kartini, 1992

BIOGRAFI PENULIS

Assalamu alaikum Warahmatullahi wabarakatuh

Nur Amirah Reski, akrab disapa amirah dilahirkan Hila-hila, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi selatan tanggal 16 Mei 1995, adalah anak ketiga dari 3 bersaudara pasangan bapak Bahtiar S.Pd dan Kasmawati,S.Pd. Pendidikan dasar ditempuh di SD negeri 195 Ekatiro pada tahun 2001 dan menyelesaikan pada tahun 2007, kemudian pendidikan tingkat lanjut ditempuh di SMP negeri 29 Bulukumba pada tahun 2007 dan menyelesaikan pada tahun 2010. Pendidkan tingkat menengah (sederajat) ditempuhnya di MAN 2 Model Makassar pada tahun 2010 dan menyelesaikan pada tahun 2013.

Setelah Lulus Di MAN, penulis dari dulunya berkeinginan masuk Di universitas UIN alauddin Makassar pada jurusan Farmasi tetapi ada beberapa kegagalan pada saat jalur SNMPTN, SMB dan karena berkat dukungan dari orang


(6)

tua dan temna-teman, akhirnya penulis dapat lulus dijalur UMM, yaitu jalur terakhir UIN alauddin Makassar. Alhamdulillah