114
Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan menyebutkan bahwa, “Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak
Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelalangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya
dari hasil penjualan tersebut”. Selanjutnya Pasal 7Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan menyebutkan bahwa, “Hak Tanggungan tetap mengikuti
objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada”. Bahwa dalam eksekusi Hak Tanggungan memiliki kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan karena
memiliki irah-rah, “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena itu maka pihak ketiga yang memiliki itikad baik yang telah melakukan suatu
perjanjian jaminan kebendaan melalui Hak Tanggungan sesuai undang-undang wajib memperoleh perlindungan hukum dari semua pihak aparatur penegak hukum. Karena
itu putusan pengadilan yang telah melakukan penyitaan terhadap objek jaminan Hak Tanggungan dari terdakwa karena terkait tindak pidana korupsi telah mengambil
putusan yang merugikan bagi pihak ketiga pemegang Hak Tanggungan.
D. Analisis Yuridis Normatif Tentang Kepastian Hukum Jaminan Hak Tanggungan
Pelaksanaan pengikatan jaminan Hak Tanggungan diatur di dalam Undang- Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dimana pada Pasal 6 UUHT No.
4 Tahun 1996 menyebutkan bahwa, “Pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum dengan memerlukan
persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan
Universitas Sumatera Utara
115
piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu dari pada kreditur-kreditur lainnya”. Pasal 6 UUHT tersebut menempatkan kreditur pemegang Hak Tanggungan sebagai
droit de preference atau kreditur yang diutamakan pengambilan pelunasan piutangnya dari kreditur-kreditur lainnya. Selanjutnya Pasal 7 UUHT No. 4 Tahun 1996
menyebutkan bahwa, “Hak Tanggungan mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek Hak Tanggungan tersebut berada”. Pasal 7 UUHT No. 4 Tahun 1996 tersebut
di atas dikenal dengan istilah droit de suite yaitu suatu asas kepemilikan suatu benda yang telah diikat dengan jaminan Hak Tanggungan, yang mengikuti ditangan
siapapun benda itu berada. Benda yang sudah diikat dan telah menjadi objek jaminan Hak Tanggungan
menjadi kewenangan sepenuhnya dari penerima Hak Tanggungan untuk melakukan eksekusi ataupun penjualan di bawah tangan dengan memerlukan persetujuan lagi
dari pemberi Hak Tanggungan apabila debitur selaku pemberi Hak Tanggungan wanprestasi dalam pelunasan piutangnya. Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 memberikan kewenangan kepada pihak ketiga kreditur pemegang
hak tanggungan yang merasa dirugikan atas putusan pengadilan yang melakukan penyitaan terhadap objek hak tanggungan untuk mengajukan keberatan ke pengadilan
terhadap penetapan penyitaan objek jaminan Hak Tanggungan tersebut. Di dalam penegasan putusan Mahkamah Agung No. 1829KPdt1992 dalam
kasus pengadilan yang telah meletakkan sita jaminan di atas barang agunan kredit, pada tingkat kasasi putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung dengan
Universitas Sumatera Utara
116
pertimbangan bahwa barang yang telah dijadikan barang agunan kredit tidak boleh diletakkan sita jaminan. Yang dapat diterapkan adalah sita penyesuaian yang
menempatkan pemohon sita berada pada urutan berikutnya di bawah hak agunan yang dipegang kreditur demikian pula putusan Mahkamah Agung No. 394KPdt1984
menegaskan barang yang sudah dijadikan barang agunan kredit tidak dapat dikenakan sita jaminan.
Larangan penetapan sita jaminan oleh pengadilan meliputi segala agunan baik hipotik atas kapal atau pesawat terbang atau Hak Tanggungan atas tanah maupun
gadai dan fidusia, bahkan tidak terbatas pada bentuk agunan yang memiliki hak preference hak privelege dan title eksekutorial seperti hipotik, hak tanggungan,
fidusia dan gadai termasuk pada bentuk agunan biasa. Dengan demikian dari segi yuridis normatif terhadap kepastian hukum objek jaminan Hak Tanggungan yang
disita oleh pengadilan telah memperoleh perlindungan hukum yang cukup kuat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku meliputi Undang-Undang No. 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang- Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
penegasan putusan Mahkamah Agung No. 1829KPdt1992 dan juga penegasan putusan MA No. 394KPdt1984 yang menegaskan bahwa barang yang sudah
dijadikan agunan hutang tidak dapat dikenakan sita jaminan. Kreditur pemegang Hak Tanggungan yang merasa dirugikan terhadap
penetapan penyitaan oleh pengadilan terhadap objek Hak Tanggungan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menetapkan penyitaan objek
Universitas Sumatera Utara
117
Hak Tanggungan tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan dari segi yuridis
normatif kepastian
hukum terhadap
jaminan Hak
Tanggungan, termasuk
perlindungan hukum terhadap kreditur pemegang Hak Tanggungan dan penyitaan objek Hak Tanggungan oleh pengadilan berkaitan dengan kasus tindak pidana
korupsi telah memiliki kepastian hukum yang jelas dan tegas sebagaimana dimuat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku baik Undang-Undang No. 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dan juga dalam penegasan putusan Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
118
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN