Prosedur dan Tata Cara Eksekusi Hak Tanggungan

51

B. Prosedur dan Tata Cara Eksekusi Hak Tanggungan

Eksekusi Hak Tanggungan merupakan suatu upaya bagi pemegang Hak Tanggungan untuk memperoleh kembali piutangnya, manakala debitur wanprestasi. Untuk itu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah memberikan kemudahan dan kepastian dalam pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan. Apabila debitur wanprestasi, kreditur pemegang Hak Tanggungan dapat menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum menurut cara yang ditentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berhak mengambil pelunasan piutangnya yang dijamin dengan Hak Tanggungan tersebut, dengan hak mendahului dari pada kreditur-kreditur yang lain. Kemudahan yang disediakan oleh Undang-Undang Hak Tanggungan dalam rangka eksekusi atas objek Hak Tanggungan dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu: 72 1. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda- Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. 2. Titel Eksekutorial yang terdapat dalam Sertipikat Hak Tanggungan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 14 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 72 Sudjana Rivai, Analisis Yuridis Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996 Dalam Kaitannya Dengan Praktek Pemberian Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Kredit Perbankan, Tarsito, Bandung, 2008, hal. 52 Universitas Sumatera Utara 52 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. 3. Penjualan dibawah tangan berdasarkan kesepakatan. Penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan jikadiperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Demikian ditentukan oleh Pasal 20 Ayat 2 UUHT. Yang dimaksud dengan penjualan dibawah tangan adalah penjualan atas tanah yang dijadikan sebagai jaminan dan dibebani dengan Hak Tanggungan oleh kreditur sendiri secara langsung kepada orang atau pihak lain yang berminat, tetapi dibantu juga oleh pemilik tanah dan bangunan dimaksud. 73 Oleh karena penjualan dibawah tangan dari obyek Hak Tanggungan hanya dapat dilaksanakan bila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, maka bank tidak mungkin melakukan penjualan dibawah tangan terhadap obyek Hak Tanggungan atau agunan kredit apabila debitur tidak menyetujuinya. Dalam praktek apabila terjadi kredit macet, debitur tidak kooperatif sehingga bank sulit untuk mendapatkan atau memperoleh persetujuan dari nasabah debitur. Syarat untuk dapat dilakukan penjualan dibawah tangan obyek Hak Tanggungan adalah adanya kesepakatan atau persetujuan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan agar diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Dalam keadaan-keadaan tertentu justru menurut pertimbangan bank lebih baik agunan dijual 73 Irma Devita Purnamasari, Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, Dan Bijak Memahami Masalah Hukum Jaminan Perbankan, Kaifa, Bandung, 2011 hal. 61-62 Universitas Sumatera Utara 53 dibawah tangan daripada dijual melalui pelelangan umum, apabila menurut pertimbangan bank hasil penjulan di bawah tangan lebih tinggi dibandingkan melalui pelelangan umum. Bank sendiri berkepentingan agar hasil penjualan agunan tersebut cukup jumlahnya untuk membayar seluruh jumlah kredit yang terutang. 74 Pelaksanaan penjualan jaminan di bawah tangan ini harus didahului dengan pemberitahuan kepada pihak-pihak terkait dan diumumkan dalam 2 dua surat kabar yang terbit di daerah tempat lokasi tanah dan bangunan atau obyek Hak Tanggungan berada. Hal ini dilakukan minimal 1 satu bulan sebelum penjualan dilakukan serta tidak ada Pelaksanaan penjualan jaminan di bawah tangan ini harus didahului dengan pemberitahuan kepada pihak-pihak terkait dan diumumkan dalam 2 dua surat kabar yang terbit di daerah tempat lokasi tanah dan bangunan atau obyek Hak Tanggungan berada. Hal ini dilakukan minimal 1 satu bulan sebelum penjualan dilakukan serta tidak adasanggahan dari pihak manapun. Apabila tidak dilakukan, penjualan dapat dikatakan batal demi hukum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 20 UUHT. Syarat untuk dapat dilakukan penjualan di bawah tangan obyek Hak Tanggungan adalah adanya kesepakatan atau persetujuan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan agar diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Kesulitan untuk memperoleh persetujuan dari nasabah debitur dapat 74 Ridwuan Khairandy, Problematika Yuridis Eksekusi Hak Tanggungan, Kencana, Jakarta, 2008, hal. 22 Universitas Sumatera Utara 54 terjadi karena: 75 a. Nasabah debitur dan atau pemilik agunan tidak mempunyai iktikad baik sehingga sulit ditemui atau tidak kooperatif; b. Nasabah debitur dan atau pemilik agunan tidak diketahui keberadaannya. Agar bank kelak dikemudian hari setelah kredit yang diberikan tidak mengalami kesulitan yang demikian, pada waktu kredit diberikan bank mensyaratkan agar di dalam perjanjian kredit diperjanjikan bahwa bank diberi kewenangan untuk dapat menjual sendiri agunan tersebut secara dibawah tangan atau meminta kepada debitur untuk memberikan surat kuasa khusus yang memberikan kekuasaan kepada bank untuk dapat menjual sendiri agunan tersebut secara di bawah tangan. 76 Bank melakukan tindakan seperti itu dengan alasan “jaga-jaga” yang tidak akan dipergunakan jika debitur membayar utangnya dengan lancar. 77 Alasan lainnya yang biasa disampaikan oleh bank adalah sebagai tindakan “shock therapy” bagi debitur, agar tidak melakukan tindakan wanprestasi. Yang dimaksud dengan surat kuasa menjual yaitu: pemberian kuasa kepada pihak lain oleh atau penerima kuasa untuk melakukan perbuatan hukum yaitu menjual suatu obyek tertentu. Pada prinsipnya sebenarnya kuasa untuk menjual diberikan oleh karena pihak penjual pemilik tanah tidak dapat hadir sendiri pada saat pembuatan akta jual beli karena alasan-alasan tertentu. Namun dalam praktek alasan pemberian kuasa 75 Ibid, hal. 63 76 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan: Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan Masalah-Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan, Airlangga University Press, Surabaya, 1996, hal. 121 77 Habib Adjie, Menjalin Pemikiran – Pendapat Tentang Kenotariatan Kumpulan Tulisan, PT. CitraAditya Bakti, Bandung, 2013, hal, 16 Universitas Sumatera Utara 55 berkembang sesuai kebutuhan praktek. Surat kuasa menjual, tunduk pada pengaturan surat kuasa dalam Pasal 1792 KUHPerdata, berbunyi sebagai berikut : Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Dari pasal tersebut kita dapat melihat bahwa unsur-unsur dari pemberian kuasa adalah : a. persetujuan; b. memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan; dan c. atas nama pemberi kuasa 78 Pertama-tama, haruslah unsur-unsur dan syarat-syarat untuk sahnya suatu persetujuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata dipenuhi, yaitu: a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. kecakapan untuk membuat suatau perikatan; c. suatu hal tertentu; dan d. suatu sebab yang halal. Unsur kedua dari pemberian kuasa, yaitu mengenai memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan adalah sesuai dengan yang telah disetujui oleh para pihak, baik yang dirumuskan secara umum maupun dinyatakan dengan kata-kata yang tegas. 78 Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal. 2 Universitas Sumatera Utara 56 Unsur ketiga di mana penerima kuasa melakukan tindakan hukum tersebut untuk dan atas nama pemberi kuasa. Penerima kuasa diberi wewenang untuk mewakili pemberi kuasa. Akibatnya, tindakan hukum yang dilakukan oleh penerima kuasa merupakan tindakan hukum dari pemberi kuasa. Apakah penerima kuasa dalam melakukan sesuatu tindakan hukum tersebut selalu untuk kepentingan pemberi kuasa semata-mata, disamping melakukannya atas nama pemberi kuasa? Ada kemungkinan pemberian kuasa tersebut dilakukan atas nama pemberi kuasa, tetapi untuk kepentingan penerima kuasa sehingga dalam hal-hal tertentu justru kepentingan penerima kuasa tersebut merupakan tujuan dari pemberian kuasa tersebut, misalnya: 1. Suatu utang-piutang di mana kepada bank diberikan sebagai jaminan hak atas tagihan dari debitur, yang untuk keperluan mana debitur memberi kuasa kepada bank untuk menagih piutang tersebut dan hasilnya diperhitungkan dengan utang debitur; 2. Pasal 1178 Ayat 2 KUHPerdata menyebutkan bahwa pemegang hipotik pertama diberi kuasa mutlak oleh pemberi hipotik untuk menjual persil yang dihipotikkan apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya. Untuk lebih jelasnya, kami kutip Pasal 1178 Ayat 2 KUHPerdata tersebut: Namun demikian, diperkenankanlah kepada si berpiutang hipotik pertama untuk, pada waktu diberikannya hipotik dengan tegas minta diperjanjikan bahwa jika uang tidak dilunasi semestinya atau jika bunga pokok tidak dilunasi semestinya atau jika bunga yang terutang tidak dibayar, ia secara mutlak akan dikuasakan menjual persil yang diperikatkan. Universitas Sumatera Utara 57 Adapun dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah UUHT, maka ketentuan Pasal 1178 KUHPerdata tersebut tidak berlaku untuk jaminan berupa hak atas tanah dan bangunan. Pasal 6 UUHT menyebutkan senada dengan ketentuan Pasal 1178 Ayat 2 KUHPerdata bahwa: Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Suatu perjanjian pendahuluan di mana para pihak berjanji dan mengikatkan diri akan melakukan suatu perjanjian lainnya kemungkinan menunggu syarat tertentu telah dipenuhi. Umpamanya, dalam hal jual-beli sebidang tanah, di mana bakal penjual dan bakal pembeli bersetuju untuk melakukan jual-beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT, tetapi syarat-syarat yang diperlukan untuk pelaksanaan jual-beli tersebut belum dipenuhi sertipikat tanah hak atas nama penjual belum selesai, harga jual-beli belum lunas dan sebagainya. Dalam hal demikian, para pihak mengadakan perjanjianpendahuluan perjanjian pengikatan jual-beli. Dalam perjanjian tersebut penjual memberikuasa kepada pembeli apabila syarat-syarat tersebut telah terpenuhi sertipikat tanah hak telah selesai tertulis atas nama penjual, harga jual beli telah dilunasi seluruhnya mewakili penjual sebagai pemilik tanah hak Universitas Sumatera Utara 58 tersebut guna melaksanakan jual beli di hadapan PPAT. 79 Dari contoh tersebut di atas dapat kita lihat bahwa penerima kuasa tidak saja mempunyai kekuasaan mewakili, vertegenwoordigingsmacht, tetapi juga hak mewakili vertegenwwoordigingsrecht. Di sini kepentingan penerima kuasa perlu diperhatikan mengingat berakhirnya suatu kuasa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1813 KUHPerdata, di antaranya, karena ditariknya kembali kuasanya oleh pemberi kuasa. Hal tersebut diatur pula dalam Pasal 1814 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa si pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya manakala itu dikehendakinya. Jika terjadi demikian, akan mengakibatkan hak-hak dari penerima kuasa kreditur atau bakal pembeli dalam contoh di atas sangat dirugikan. Pemberian kuasa yang diberikan dalam rangka suatu perjanjian, dimana pemberian kuasa tersebut merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian tersebut integrerend deel, karena tanpa adanya kuasa tersebut kepentingan penerima kuasa akan sangat dirugikan, perlulah pemberian kuasa tersebut diberikan syarat bahwa kuasa tersebut tidak dapat dicabut kembali atau yang sekarang dikenal atau disalahartikan dengan “kuasa mutlak”. Larangan kuasa mutlak yang dimaksud disini adalah larangan terhadap kuasa sebagaimana diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai pemindahan Hak Atas Tanah yang sekarang telah dimuat di dalam Pasal 39 huruf d peraturan Pemerintah Nomor 79 Bambang Herwanto, Hukum Jaminan Hak Tanggungan Dalam Teori dan Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 32 Universitas Sumatera Utara 59 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Kuasa mutlak tersebut pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah, dengan ciri-ciri yang disebutkan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri tersebut, yaitu : Kuasa mutlak yang dimaksud dalam diktum pertama adalah kuasa yang di dalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa; Kuasa mutlak yang pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah adalah kuasa mutlak yang memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh pemegang haknya.” Pemberian kuasa yang tidak dapat dicabut kembali oleh pemberi kuasa adalah sah apabila perjanjian yang menjadi dasar dari pemberian kuasa tersebut mempunyai alas titel hukum yang sah. Menurut putusan HR 12 Januari 1984 6458, ketentuan Pasal 1814 KUHPerdata tidak bersifat memaksa juga bukan merupakan ketentuan yang untuk menyimpangi dari ketentuan tersebut, sepanjang penyimpangan tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan umum van openbare orde dan kesusilaan. Seperti diketahui, ketentuan undang-undang mengenai perjanjian menganut system terbuka atau asas kebebasan berkontrak Pasal 1338 KUHPerdata, berarti kita diperbolehkan membuat perjanjian mengenai apa saja dengan siapa saja, dan hal tersebut akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang. Undang- undang yang akan mengaturnya apabila para pihak sudah tidak mengaturnya dalam perjanjian yang telah dibuatnya karena ketentuan undang-undang mengenai perjanjian bersifat mengatur aanvullend recht dan tidak bersifat memaksa Universitas Sumatera Utara 60 dwingend recht. Apabila dipastikan debitur wanprestasi, berdasarkan ketentuan Pasal 20 Ayat 2 dan 3 UUHT : 1. Dibuat kesepakatan antara pemberi dan pemegang hak tanggungan untuk menjual di bawah tangan untuk memperoleh harga tertinggi dan menguntungkan semua pihak; 2. Penjualan hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 bulan sejak dilakukan pemberitahuan oleh pemberi pemegang Hak Tanggungan kepada pihak yang berkepentingan; 3. Diumumkan paling sedikit dalam 2 surat kabar di daerah yang bersangkutan; 4. Tidak ada yang berkeberatan dengan penjualan tersebut. 80 Bank dapat menjual obyek Hak Tanggungan tanpa melalui prosedur lelang dan juga tidak diperlukan kuasa untuk menjual. Dalam praktek perbankan penjualan di bawah tangan atas obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan dengan beberapa cara dilihat dari itikad baik dari debitur atau pemberi Hak Tanggungan yaitu, debitur kooperatif, penjualan di bawah tangan dapat dilakukan melalui mekanisme : 81 a. Jual-beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yaitu pemberi Hak Tanggungan bertindak selaku penjual dengan calon pembeli dan langsung menanda tangani akta jual-beli atas tanah yang berkenaan dan disaksikan pihak bank selaku pemegang Hak Tanggungan. Dalam keadaan demikian biasanya debitur sendiri 80 Habib Adjie, Menjalin Pemikiran – Pendapat Tentang Kenotariatan Kumpulan Tulisan, PT. CitraAditya Bakti, 2013, Bandung, hal. 16 81 Ibid, hal. 18 Universitas Sumatera Utara 61 yang mencari pembeli untuk mendapatkan harga tertinggi. b. Debitur atau pemberi Hak Tanggungan menandatangani surat pernyataan penyerahan agunan secara sukarela sekaligus surat kuasa menjual kepada orang yang ditunjuk oleh bank selaku pemegang Hak Tanggungan dan apabila sewaktu-waktu bank mendapatkan pembeli atas agunan tersebut, jual-beli dapat dilakukan berdasarkan alas hak surat kuasa menjual tersebut. Permasalahan yang terjadi dalam praktek perbankan yaitu pemberian kuasa oleh debitur kepada kreditur untuk menjual agunan yang dituangkan dalam surat kuasa menjual yang dibuat pada saat atau bersamaan waktunya dengan penandatanganan perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok dan Akta Pemberian Hak Tanggungan disingkat APHT sebagai pengikatan jaminan atau accesoir yang berisi janji-janji sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 Ayat 2 UUHT. Surat Kuasa Menjual ini bertujuan untuk memberi kuasa kepada kreditur untuk menjual atau mengalihkan kepemilikan hak atas tanahnya apabila debitur wanprestasi, dan apabila kelak debitur wanprestasi maka pelaksanaan jual-beli berdasarkan surat kuasa menjual tersebut sebagai alas haknya dan sebagai pembelinya adalah bank itu sendiri dengan menunjuk karyawan, pemegang saham atau pihak lain sebagai atas nama untuk ” kepentingan” bank. Menurut pertimbangan bank penjualan di bawah tangan berdasarkan surat kuasa menjual lebih efektif, artinya penjualan obyek hak tanggungan tersebut tidak memerlukanwaktu yang lama dan proses yang panjang dibandingkan melalui prosedur lelang dan efisien, artinya biaya lebih murah dibanding melalui lelang yang Universitas Sumatera Utara 62 membutuhkan biaya lebih besar terkait dengan prosedur lelang. 82 C. Status Hukum Objek Jaminan Hak Tanggungan Yang Disita Oleh Pengadilan Karena Berkaitan Dengan Kasus Tindak Pidana Korupsi Pengertian penyitaan dirumuskan dalam Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang berbunyi, “Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan”. Dari pengertian penyitaan di atas, secara hukum acara pidana dapat dikatakan bahwa penyitaan menurut KUHAP adalah upaya paksa yang dilakukan penyidik untuk : 1. Mengambil atau katakan saja “merampas” sesuatu barang tertentu dari seorang tersangka, pemegang atau penyimpan. Tapi perampasan yang dilakukan dibenarkan hukum dan dilaksanakan menurut aturan undang- undang. Bukan perampasan liar dengan cara yang melawan hukum wederrechtelijk. 2. Setelah barangnya diambil atau dirampas oleh penyidik, ditaruh atau disimpan di bawah kekuasaannya. Tujuan penyitaan agak berbeda dengan penggeledahan. Seperti yang sudah dijelaskan, tujuan penggeledahan dimaksudkan untuk kepentingan penyelidikan atau untuk kepentingan pemeriksaan penyidikan. Lain halnya dengan penyitaan. Tujuan 82 Purwoe Sudarnoto, Eksekusi Objek Jaminan Hak Tanggungan Dalam Praktek Perbankan, Bumi Aksara, Bandung, 2007, hal. 15 Universitas Sumatera Utara 63 penyitaan, untuk kepentingan “pembuktian”, terutama ditujukan sebagai barang bukti di muka sidang peradilan. Kemungkinan besar tanpa barang bukti, perkara tidak dapat diajukan ke sidang pengadilan. Oleh karena itu, agar perkara tadi lengkap dengan barang bukti, penyidik melakukan penyitaan untuk dipergunakan sebagai bukti dalam penyidikan, dalam penuntutan dan pemeriksaan persidangan pengadilan. 83 Kadang-kadang barang yang disita, bukan milik tersangka. Adakalanya barang orang lain yang dikuasainya secara melawan hukum, seperti dalam perkara pidana pencurian. Atau memang barang tersangka, tapi yang diperolehnya dengan jalan melanggar ketentuan undang-undang atau diperoleh tanpa izin yang sah menurut perundang-undangan, seperti dalam tindak pidana ekonomi atau tindak pidana korupsi. Pasal 39 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP menyebutkan bahwa, “Penyitaan dapat dilakukan dalam setiap tingkat proses pemeriksaan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang pengadilan”. Penyitaan dalam proses perkara pidana menjangkau : 1. Penyitaan barang yang telah di Conservatoir Beslag di sita dalam sitaan perkara perdata. 2. Penyitaan barang yang berada dalam sita pailit budel pailitagar penyitaan dalam konteks proses perkara pidana yang menjangkau penyitaan barang dalam perkara perdata dapat benar-benar berjalan objektif, pengadilan harus 83 Marwadi Halim, Penyitaan Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan KUHAP, Bumi Aksara, Bandung, 2008, hal. 59 Universitas Sumatera Utara 64 benar-benar mempertimbangkan faktor relevansi dan urgensi yang digariskan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP secara utuh. Segi relevansi menunjuk kepada persyaratan barang yang boleh di sita menurut Pasal 39 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yaitu hanya terbatas pada : a. Benda atau tagihan tersangka terdakwa seluruh atau sebagian, yang diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana b. Benda yang digunakan baik secara langsung melakukan tindak pidana maupun mempersiapkan tindak pidana. c. Benda yang digunakan menghalangi penyidikan d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan Dari segi urgensi, telah ditegaskan dalam Pasal 39 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yaitu, “Penyitaan dilakukan untuk melakukan pemeriksaan.” Tindak pidana korupsi pada dasarnya telah diatur dalam KUH Pidana yang termuat pada Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 434 KUHPidana. Namun ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi dalam pasal-pasal KUHPidana sebagaimana tersebut di atas dirasakan kurang efektif dalam mengantisipasi atau bahkan mengatasi permasalahan tindak korupsi yang semakin meningkat di Indonesia. Oleh karena itu maka dipandang perlu untuk Universitas Sumatera Utara 65 membentuk suatu peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur tentang tindak pidana korupsi dengan sanksi yang diperberat. Undang-undang khusus diluar KUHPidana yang pidana mengatur tentang tindak pidana korupsi adalah Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disahkan di Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1999. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang disahkan di Jakarta pada tanggal 21 November 2001. Sebagaimana yang diketahui tindak pidana korupsi merupakan suatu extra ordinary crime kejahatan luar biasa yang diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Didalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp 1.000.000.000 satu miliar rupiah”. Selanjutnya Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa, “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan Universitas Sumatera Utara 66 keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun danatau denda paling sedikit Rp 50.000.000 lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp 1.000.000.000 satu miliar rupiah”. Pasal ini merupakan pasal yang menjelaskan tentang perbuatan korupsi yang dilakukan secara bersama-sama deelneming, artinya bahwa perbuatan korupsi tersebut tidak dilakukan sendiri namun juga melibatkan pihak lain secara bersama-sama menikmati korupsi tersebut karena penyalahgunaan jabatan yang dilakukan oleh orang yang memiliki jabatan tersebut. Dalam kasus pemberian jaminan hak tanggungan oleh pemberi hak tanggungan yaitu SHANTI CHAERUDDIN kepada bank PT. Bank Mega, Tbk dapat saja terjadi persengkokolan antara Account Officer AO PT. Bank Mega, Tbk dengan pihak pemberi Hak Tanggungan dengan tujuan untuk menyelamatkan aset dari pemberi Hak Tanggungan yang juga merupakan tersangka dalam kasus korupsi tersebut. Namun dalam pelaksanaan pengikatan jaminan Hak Tanggungan antara pemberi Hak Tanggungan yaitu SHANTI CHAERUDDIN dengan PT. Bank Mega, Tbk tidak didapati bukti yang cukup terhadap persengkokolan tersebut. Oleh karena itu pengikatan jaminan Hak Tanggungan antara SHANTI CHAERUDDIN dengan PT. Bank Mega, Tbk harus dipandang sebagai suatu itikad baik dari pihak PT. Bank Mega, Tbk sebagai jaminan hutang pemberi Hak Tanggungan atas pemberian fasilitas kredit yang telah diberikan oleh penerima Hak Tanggungan dalam hal ini adalah PT.Bank Mega, Tbk. Oleh karena itu maka hak-hak istimewa droit de preference dari PT. Bank Mega, Tbk yang dilindungi oleh UUHT wajib dihormati oleh institusi Universitas Sumatera Utara 67 pengadilan dengan tidak melakukan penyitaan terhadap objek jaminan Hak Tanggungan tersebut. Ketentuan Pasal 3Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak saja berlaku bagi pegawai negeri sipil atau pegawai negara yang menyalahgunakan kewenangannya untuk memperkaya diri sendiri atau kelompoknya atau orang lain. Tindak pidana korupsi dapat pula dilakukan oleh orangperusahaan swasta yang melaksanakan proyek pemerintah dimana anggarannya merupakan anggaran APBN atau APBD yang merupakan keuangan negara baik ditingkat pusat maupun di daerah. Pelaksanaan proyek pemerintah yang tidak berdasarkan rencana pengerjaan proyek yang telah ditetapkan dapat pula digolongkan sebagai tindak pidana korupsi, karena telah menyalahgunakan keuangan negara yang seharusnya digunakan untuk pelaksanaan proyek tersebut. Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa, “Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP yaitu, sebagai pidana tambahan adalah : a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan,begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut Universitas Sumatera Utara 68 b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 satu tahun d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana. 2. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b paling lama dalam waktu 1 satu bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. 3. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. Dari rumusan Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tersebut di atas dimungkinkan oleh undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tersebut untuk melakukan penyitaan terhadap barang-barang tidak bergerak termasuk barang tidak bergerak yang telah diikat melalui lembaga jaminan Hak Tanggungan berdasarkan UUHT Nomor 4 Tahun 1996 sebagai jaminan hutang dari pemberi Hak Tanggungan Universitas Sumatera Utara 69 kepada penerima Hak Tanggungan. Apabila terjadi perampasan penyitaan barang tidak bergerak yang telah menjadi objek Hak Tanggungan, maka akibatnya adalah menimbulkan kerugian bagi penerima Hak Tanggungan, karena objek jaminan Hak Tanggungan yang menjadi jaminan hutang dari debitur selaku pemberi Hak Tanggungan dirampasdisita oleh negara melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap incracht van gewijsde yang mengakibatkan objek jaminan Hak Tanggungan itu tidak dapat lagi dieksekusi apabila debitur sebagai pemberi Hak Tanggungan melakukan wanprestasi atau tidak mampu melakukan pelunasan terhadap hutang-hutangnya. Pasal 57 RBg Rechtsreglement Butengewesten menyebutkan bahwa, “pengadilan atau pejabat dan orang-orang teristimewa yang mewajibkan mengusut kejahatan dan pelanggaran selanjutnya harus mencari dan merampas barang-barang yang dipakai”. Dengan demikian, Benda Sitaan sebagai Pidana Tambahan Pasal 10 KUHP bisa terjadi peralihan kepemilikan dari personal ke negara. Penyitaan terhadap benda merupakan bagian dari pidana tambahan bagi pelaku tindak pidana diantaranya adalah dengan perampasan barang-barang tertentu, hal ini sangat jelas sekali diatur dalam Pasal 10 KUHP. UUHT telah memberikan dasar pengaturan hukum terhadap perlindungan kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan, tetapi yang menjadi permasalahan apabila barang jaminan yang menjadi objek Hak Tanggungan tersebut disita oleh negara dalam kasus tindak pidana korupsi. Pemberantasan tindak pidana korupsi bukan semata-mata untuk memberikan efek jera terhadap para pelaku namun Universitas Sumatera Utara 70 bertujuan dapat mengembalikan kerugian negara, sehingga diharapkan dapat dipergunakan untuk membangun perekonomian negara yang lebih baik. Disamping itu dengan mengoptimalkan hukuman terhadap pelaku korupsi dapat memberikan rasa takut pada yang lain untuk melakukan korupsi. Untuk mengembalikan kerugian keuangan dan perekonomian negara tersebut kemudian undang-undang memberikan sarana berupa pidana tambahan. 84 Pada prinsipnya pemberian Hak Tanggungan dalam pemberian kredit pada lembaga keuangan baik bank maupun non bank bertujuan untuk melindungi kreditur dalam rangka pelunasan piutangnya, apabila debitur wanprestasi tetapi dalam kenyataannya kreditur sangat sulit mendapatkan pelunasan terhadap piutangnya apabila debitur yang bersangkutan tersangkut dalam suatu tindak pidana korupsi dan telah dijatuhi sanksi seperti yang disebutkan dalam Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Problematika hukum muncul ketika debitur dalam perkara pidana korupsi tersebut telah dijatuhkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap inkracht van gewijsde dan debitur tersebut berada dalam ketidakmampuan membayar atau debitur tersebut wanprestasi otomatis terjadi kredit macet. Apabila dalam putusan pengadilan tersebut dijatuhkan sanksi pidana dengan melakukan perampasan terhadap barang-barang yang terkait dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh debitur tidak terkecuali atas benda yang menjadi objek jaminan pada pihak ketiga, untuk selanjutnya barang rampasan tersebut dilakukan 84 Benni Sudarmanto, Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, Dalam Perjanjian, Pengikatan Jaminan Hak Tanggungan, Tarsito, Bandung, 2007, hal. 66 Universitas Sumatera Utara 71 eksekusi. Dalam hal penyitaan objek Hak Tanggungan terkait dengan tindak pidana korupsi maka pihak pengadilan meskipun telah mengeluarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap tidak serta merta melakukan penyitaan terhadap objek Hak Tanggungan yang dimiliki oleh terdakwa tersebut. Apabila barang-barang tersebut diduga terkait atau merupakan hasil dari tindak pidana korupsi maka penyitaan itu dapat saja dilakukan dengan memperhitungkan jumlah kerugian negara akibat dari perbuatan terdakwa. Pemberian jaminan barang-barang milik terdakwa yang terkait atau diperoleh dari hasil perbuatan tindak pidana korupsi dengan menggunakan lembaga jaminan Hak Tanggungan sering kali merupakan modus operandi dari terdakwa untuk menyembunyikan dan mengamankan hasil korupsinya dengan pertimbangan bahwa barang yang telah dijaminkan dengan menggunakan Hak Tanggungan tersebut tidak mungkin disita oleh negara karena sudah menjadi objek jaminan Hak Tanggungan kepada pihak bank. 85 Eksekusi objek Hak Tanggungan oleh pihak bank juga tidak serta merta dilakukan karena pihak bank selaku kreditur masih memberi kesempatan berulang kali kepada debitur secara baik-baik untuk bisa membayar hutang-hutangnya. Eksekusi jaminan Hak Tanggungan oleh kreditur baru dilakukan apabila upaya-upaya pendekatan dan somasi yang dilakukan pihak kreditur tidak ditanggapi dengan itikad baik oleh debitur. Dengan demikian dapat dikatakan eksekusi objek jaminan Hak Tanggungan oleh kreditur merupakan ultimum remedium atau sarana terakhir yang dilakukan oleh kreditur dalam rangka melakukan pengambilan pelunasan piutangnya. Penyitaan objek Hak Tanggungan oleh pengadilan memberikan konsekuensi yuridis yang merugikan penerima Hak Tanggungan karena objek Hak Tanggungan tersebut telah beralih status menjadi milik negara bukan lagi menjadi milik Hak Tanggungan. Oleh karena itu pemegang Hak Tanggungan krediturbank tidak dapat lagi melakukan eksekusi terhadap objek jaminan Hak Tanggungan karena objek 85 Ibid, hal. 67 Universitas Sumatera Utara 72 jaminan Hak Tanggungan tersebut telah disita oleh negara melalui suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dengan terjadinya penyitaan terhadap objek jaminan Hak Tanggungan yang terkait dengan kasus tindak pidana korupsi maka pihak bank selaku kreditur yang hak-haknya dijamin oleh UUHT Nomor 4 Tahun 1996 selaku kreditur preference kreditur yang diutamakan dalam pengambilan pelunasan piutangnya menjadi terabaikan hak-haknya. UUHT Nomor 4 Tahun 1996 tidak mengatur tentang perlindungan hukum terhadap pemegang Hak Tanggungan apabila objek jaminan Hak Tanggungan disita oleh negara. UUHT Nomor 4 Tahun 1996 hanya memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang Hak Tanggungan sebagai kreditur preference apabila diperhadapkan dengan kreditur-kreditur lainnya sebagai pihak swasta. Sifat istimewa dari kreditur pemegang Hak Tanggungandroit de preference menjadi terbaikan karena kreditur preference tersebut dihadapkan dengan kewajiban kepada negara. Kewajiban kepada negara tersebut diantaranya adalah hutang pajak yang harus didahulukan dan pembayaran biaya lelang kepada negara. Kedua kewajiban tersebut wajib didahulukan oleh setiap warga negara kepada negara. Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa, Pihak ketiga yang merasa dirugikan atas putusan pengadilan yang melakukan penyitaan terhadap objek Hak Tanggungan tersebut dapat mengajukan keberatan bila eksekusi belum dilaksanakan”. Apabila eksekusi telah dilaksanakan maka pihak ketiga yang telah dirugikan tersebut dapat mengajukan gugatan perlawanan secara Universitas Sumatera Utara 73 perdata tersebut ke pengadilan negeri yang telah mengeluarkan putusan penyitaan terhadap objek Hak Tanggungan tersebut. Apabila dalam gugatan perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga tersebut ditolak atau tidak dapat diterima oleh pengadilan negeri tempat keluarnya putusan penyitaan tersebut, maka pihak ketiga dapat mengajukan upaya hukum banding ke pengadilan tinggi hingga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam melakukan perlawanan terhadap putusan pengadilan tersebut. 86 Penyitaan objek Hak Tanggungan oleh negara melalui putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap mengakibatkan terjadinya kerugian terhadap kreditrbank selaku pemegang Hak Tanggungan karena status hukum objek Hak Tanggungan tersebut telah beralih kepemilikannya untuk sementara kepada negara. Oleh karena itu, kreditur bank selaku pemegang Hak Tanggungan untuk sementara waktu tidak dapat lagi melakukan eksekusi terhadap objek Hak Tanggungan tersebut hingga perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh kreditur bank adalah melakukan gugatan perdata melalui jalur litigasi terhadap putusan pengadilan yang telah melakukan penyitaan terhadap objek jaminan Hak Tanggungan tersebut. 87 Upaya hukum lain adalah mengajukan gugatan perdata terhadap debitur pemberi Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata dimana pasal tersebut 86 Mardianto Rustandi, Gugatan Pihak Ketiga Terhadap Penyitaan Objek Hak Tanggungan Milik Debitur yang Terkait Kasus Korupsi, Media Ilmu, Surabaya, 2009, hal. 58 87 Muhammad Nurmadi, Kedudukan Objek Hak Tanggungan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, Pustaka Ilmu, Jakarta, 2008, hal. 47 Universitas Sumatera Utara 74 menyebutkan bahwa, “Semua kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.” Pasal 1131 KUHPerdata tersebut di atas mengisyaratkan tentang jaminan umum bagi kreditur terhadap hutang dari debitur. Dengan tidak dapat dieksekusinya objek jaminan Hak Tanggungan yang telah diperjanjikan karena status hukum objek jaminan Hak Tanggungan tersebut telah disita oleh negara sehingga telah beralih kepemilikan dari pemberi Hak Tanggungan kepada negara karena objek jaminan Hak Tanggungan tersebut terkait dengan perbuatan tindak pidana korupsi dalam memperolehnya. Oleh karena itu, krediturbank sebagai penerima Hak Tanggungan yang berstatus sebagai kreditur preference tidak dapat lagi melakukan eksekusi terhadap objek jaminan Hak Tanggungan tersebut untuk sementara waktu dalam pengambilan pelunasan piutangnya. Oleh karena itu upaya hukum kepada debitur pemberi Hak Tanggungan yang dapat dilakukannya oleh krediturbank adalah dengan mengajukan gugatan perdata terhadap harta kekayaan lainnya milik debitur agar dapat dilakukan penyitaan oleh pengadilan untuk mengambil pelunasan dari piutang kreditur. 88 Berdasarkan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP menyebutkan bahwa, Benda sitaan dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang pengadilan disimpan dalam Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara Rupbasan. Rupbasan adalah satu-satunya tempat penyimpanan segala jenis 88 Gatot Supramono, Kredit Perbankan, Masalah dan Pemecahannya Suatu Tinjauan Yuridis, Djambatan, Jakarta, 2008, hal. 29. Universitas Sumatera Utara 75 benda sitaan. Dalam hal sitaan terhadap benda-benda tidak bergerak tanah dan bangunan yang dapat diikat dengan jaminan Hak Tanggungan maka penyitaan dilakukan dengan melakukan pemblokiran terhadap sertipikat hak kepemilikan atas tanah dan bangunan dengan mengajukan permohonan pemblokiran terhadap instansi terkait dalam hal ini adalah kantor pertanahan tempat dimana tanah dan bangunan tersebut berada. Pada umumnya untuk penyitaan terhadap tanah dan bangunan maka di atas tanah dan bangunan tersebut akan didirikan papan pemberitahuan yang memberitahukan kepada publik bahwa tanah dan bangunan tersebut telah disita oleh negara untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang pengadilan. Benda sitaan yang dirampas untuk negara atau dimusnahkan tata cara pengeluarannya dari Rumah Penyimpanan Barang Sitaan Rupbasan diatur dalam Pasal 11 Peraturan Menteri Kehakiman Nomor M.05-UM.01.061983 yang berbunyi, “Sehubungan dengan pengeluaran benda sitaan yang akan di rampas untuk negara atau untuk dimusnahkan atau dirusakkan sehingga tidak terpakai lagi, hanya dapat dilakukan Kepala Rupbasan berdasarkan putusan pengadilan.” Penyitaan objek Hak Tanggungan oleh negara melalui suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap mengakibatkan objek Hak Tanggungan berupa tanah dan bangunan tersebut menjadi beralih kepemilikannya dari pemberi Hak Tanggungan debitur kepada negara karena adanya keterkaitan dengan kasus tindak pidana korupsi. Dengan beralihnya kepemilikan objek Hak Tanggungan tersebut maka negara juga berwenang mengambil ganti rugi terhadap Universitas Sumatera Utara 76 kerugian yang dideritanya atas perbuatan debitur yang telah merugikan keuangan negara dengan melakukan tindak pidana korupsi dan mengalihkannya dengan melakukan pembelian terhadap tanah dan bangunan yang menjadi objek Hak Tanggungan tersebut dengan menggunakan uang negara. Oleh karena itu, negara memiliki kewenangan dengan terjadinya kepemilikan objek Hak Tanggungan tersebut untuk melakukan lelang yang diatur di dalam Pasal 12 Pasal 11 Peraturan Menteri Kehakiman Nomor M.05-UM.01.061983 yang berbunyi, “Apabila berdasar perintah atau penetapan instansi yang bertanggung jawab secara yuridis atas benda sitaan hendak menjual lelang benda tersebut maupun atas dasar putusan pengadilan, petugas Rupbasan melaksanakan pengeluaran benda sitaan tersebut.” Penjualan lelang terhadap barang sitaan melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang yang berlaku, dan disaksikan oleh petugas Rupbasan. Uang hasil lelang dari objek jaminan Hak Tanggungan yang telah disita oleh negara melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tersebut dimasukkan ke kas Negara untuk dan atas nama jaksa dengan nomor perkara B270S.2Fd062009 sesuai dengan ketentuan Pasal 273 ayat 3 KUHAP yang berbunyi, “Jika putusan pengadilan juga menetapkan bahwa barang bukti dirampas untuk Negara, selain pengecualian sebagaimana tersebut pada Pasal 46, jaksa menguasakan benda tersebut kepada kantor lelang Negara dan dalam waktu 3 tiga bulan untuk dijual lelang yang hasilnya dimasukkan ke kas negara untuk dan atas nama jaksa.” Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penyitaan objek Hak Tanggungan Universitas Sumatera Utara 77 yang dilakukan oleh Negara melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap karena debitur pemberi Hak Tanggungan telah melakukan perbuatan tindak pidana korupsi merupakan kerugian bagi pihak ketiga yaitu kreditur bank yang telah menerima sertipikat Hak Tanggungan dalam perjanjian Hak Tanggungan terhadap tanah dan bangunan yang telah diikat melalui lembaga jaminan Hak Tanggungan tersebut. Oleh karena itu debitur pemberi Hak Tanggungan dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum onrechmatigedaads terhadap krediturbank karena tidak mampu menjamin harta bendanya yang telah diikat dengan Hak Tanggungan tersebut benar-benar dapat dijadikan jaminan hutang-hutang debitur apabila dikemudian hari debitur tak mampu membayar atau melunasi hutang- hutangnya tersebut. Tanggung jawab debitur atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya terhadap perjanjian jaminan Hak Tanggungan yang tidak dapat dieksekusi oleh kreditur menimbulkan hak kepada kreditur bank untuk mengajukan gugatan perdata menuntut ganti rugi ke pengadilan dalam hal gugatan conservatoir beslag sita jaminan atas harta benda milik debitur lainnya diluar objek jaminan Hak Tanggungan tersebut agar kreditur bank dapat mengambil pelunasan terhadap piutangnya. 89 Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang termuat di dalam UUHT bahwa suatu benda yang telah menjadi objek jaminan dalam pengikatan Hak Tanggungan seharusnya tidak dapat dilakukan penyitaan oleh 89 Wahyu Muliatno, Analisis Yuridis Penetapan Sita Terhadap Objek Hak Tanggungan, Suluh Ilmu, Surabaya, 2007, hal. 76 Universitas Sumatera Utara 78 pengadilan. Oleh karena itu pengadilan wajib menghormati hak-hak kreditur droit de preference yang telah dimiliki oleh kreditur PT Bank Mega, Tbk dengan diperolehnya sertipikat Hak Tanggungan tersebut. Oleh karena itu penyitaan objek Hak Tanggungan yang merupakan hak sepenuhnya dari kreditur preference merupakan perbuatan yang bertentangan dengan UUHT yang telah memberikan jaminan sepenuhnya terhadap kreditur preference untuk dapat mengeksekusi objek jaminan Hak Tanggungan apabila debitur tidak dapat melunasi hutang-hutangnya. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi tidak memuat ketentuan bahwa suatu benda yang telah diikat dengan jaminan Hak Tanggungan dapat disita oleh Negara melalui pengadilan. Oleh karena itu maka kewenangan pengadilan dalam melakukan penyitaan objek jaminan Hak Tanggungan tersebut hanya sebatas mengamankan barang bukti bukan untuk mengalihkan hak kepemilikan dari benda yang menjadi objek jaminan Hak Tanggungan tersebut. Dari segi hukum pidana tindakan debitur yang telah memberikan benda yang diikat dengan jaminan Hak Tanggungan terhadap kreditur sebagai jaminan hutangnya yang ternyata terkait dengan tindak pidana korupsi maka debitur tersebut dapat dituntut berdasarkan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan benda yang menjadi objek jaminan Hak Tanggungan tersebut di sita oleh Negara melalui pengadilan yang mengakibatkan kreditur pemegang Hak Tanggungan tidak dapat melakukan eksekusi terhadap objek jaminan Hak Tanggungan tersebut. Oleh karena itu debitur wajib mengganti kerugian atas tindakan perbuatan melawan hukum yang telah dilakukannya tersebut. Universitas Sumatera Utara 79 Konflik kepentingan antara kepentingan negara disatu pihak dan kepentingan krediturbank selaku pemegang Hak Tanggungan mengakibatkan kepentingan pemegang Hak Tanggungan menjadi terabaikan karena kepentingan negara lebih diutamakan. Apabila perkara yang dilawan sudah memperoleh putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga dalam hal ini adalah krediturbank selaku pemegang Hak Tanggungan adalah melakukan gugatan perdata terhadap putusan penyitaan tersebut. 90 Namun apabila dalam sidang pemeriksaan di pengadilan majelis hakim berpendapat bahwa objek jaminan Hak Tanggungan yang telah disita sebagai alat bukti di persidangan ternyata tidak terkait dengan tindak pidana korupsi maka objek jaminan Hak Tanggungan tersebut akan dikembalikan kepada terdakwa pemberi Hak Tanggungan melalui suatu putusan di pengadilan. Pada prinsipnya berdasarkan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Asas Kepemilikan Suatu Benda yang dikenal istilah droit de suite yang menyebutkan bahwa hak kepemilikan suatu benda mengikuti kemanapun benda itu berada. Di samping itu Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 juga memberikan kedudukan yang istimewa kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan sebagai droit de preference kedudukan yang diutamakan dari kreditur-kreditur lainnya untuk mengambil pelunasan hutangnya terlebih dahulu apabila debitur wanprestasi dalam pelunasan hutangnya dengan cara melakukan eksekusi terhadap objek Hak Tanggungan tersebut. 90 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal. 322 Universitas Sumatera Utara 80 Demikian pula halnya apabila kreditur pemegang hak tanggungan adalah merupakan bank negara, maka kreditur pemegang hak tanggungan tersebut wajib dilindungi secara hukum karena telah melakukan pengikatan jaminan hak tanggungan dengan itikad baik dengan debitur. Apabila dikemudian hari ternyata objek hak tanggungan yang telah diikat tersebut diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi maka hal tersebut bukan merupakan tanggung jawab kreditur pemegang hak tanggungan namun sepenuhnya menjadi tanggung jawab debitur pemberi hak tanggungan. meskipun dalam tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh debitur pemberi hak tanggungan telah merugikan keuangan negara, namun benda tidak bergerak milik debitur yang telah diikat dengan jaminan hak tanggungan terhadap kreditur, tidak dapat disita oleh negara, karena objek hak tanggungan tersebut merupakan jaminan hutang debitur kepada kreditur secara penuh dan kewenangan eksekusinya berada di tangan kreditur pemegang hak tanggungan sepenuhnya apabila debitur wanprestasi dalam pelunasan hutangnya. 91 Negara dalam meletakan sita terhadap objek jaminan hak tanggungan hanya dapat melakukan sita penyesuaian terhadap objek jaminan hak tanggungan tersebut. Artinya bahwa negara bukan merupakan kreditur preference dalam pelunasan piutang debitur, sehingga hak istimewa untuk didahulukan dalam pelunasan piutang debitur pemberi hak tanggungan berada di tangan kreditur pemegang hak tanggungan sebagai kreditur preference. Apabila kreditur preference telah memperoleh pelunasan atas piutangnya, dan masih terdapat sisa dana terhadap hasil lelang atau penjualan dari objek jaminan hak tanggungan tersebut maka barulah negara diberikan kewenangan 91 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Edisi II, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 275 Universitas Sumatera Utara 81 untuk mengambil pelunasan terhadap kerugian yang dideritanya atas perbuatan pemberi hak tanggungan yang telah melakukan tindak pidana korupsi tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sita penyesuaian yang dilakukan oleh negara baru berlaku apabila kreditur preference yang memiliki hak istimewa untuk didahulukan dalam pelunasan piutangnya sudah mengambil pelunasan terhadap piutangnya tersebut, baru kemudian negara dapat mengambil sisa dari hasil penjualan lelang dari objek hak tanggungan tersebut dalam pelunasan piutangnya. Eksekusi objek Hak Tanggungan tersebut didasarkan kepada grosseakta pada saat melakukan eksekusi objek jaminan Hak Tanggungan yang memuat irah-irah DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, meskipun dalam sidang pemeriksaan di pengadilan objek Hak Tanggungan tersebut terkait dengan kasus korupsi, pengadilan tidak berwenang melakukan penyitaan terhadap objek Hak Tanggungan tersebut. Hal ini didasarkan kepada kekuatan perlindungan hukum yang telah diberikan oleh Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 terhadap kreditur pemegang Hak Tanggungan sebagai kreditur yang diutamakan untuk melakukan perbuatan hukum sepenuhnya eksekusi terhadap objek Hak Tanggungan tersebut apabila debitur wanprestasi dalam pelunasan hutangnya. Hal ini diperkuat dengan Putusan Mahkamah Agung No. 394KPdt1984 yang menegaskan bahwa barang yang sudah dijadikan barang kredit, jaminan fidusia maupun jaminan Hak Tanggungan tidak dapat dikenakan sita jaminan. Universitas Sumatera Utara 82

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITUR PEMEGANG HAK