51
B. Prosedur dan Tata Cara Eksekusi Hak Tanggungan
Eksekusi Hak Tanggungan merupakan suatu upaya bagi pemegang Hak Tanggungan untuk memperoleh kembali piutangnya, manakala debitur wanprestasi.
Untuk itu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah memberikan kemudahan
dan kepastian dalam pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan. Apabila debitur wanprestasi, kreditur pemegang Hak Tanggungan dapat
menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum menurut cara yang ditentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berhak mengambil
pelunasan piutangnya yang dijamin dengan Hak Tanggungan tersebut, dengan hak mendahului dari pada kreditur-kreditur yang lain.
Kemudahan yang disediakan oleh Undang-Undang Hak Tanggungan dalam rangka eksekusi atas objek Hak Tanggungan dapat dilakukan dengan tiga cara,
yaitu:
72
1. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda- Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
2. Titel Eksekutorial yang terdapat dalam Sertipikat Hak Tanggungan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 14 Ayat 2 Undang-Undang Nomor
72
Sudjana Rivai, Analisis Yuridis Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996 Dalam Kaitannya Dengan Praktek Pemberian Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Kredit Perbankan,
Tarsito, Bandung, 2008, hal. 52
Universitas Sumatera Utara
52
4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
3. Penjualan dibawah tangan berdasarkan kesepakatan. Penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan
jikadiperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Demikian ditentukan oleh Pasal 20 Ayat 2 UUHT. Yang dimaksud dengan penjualan
dibawah tangan adalah penjualan atas tanah yang dijadikan sebagai jaminan dan dibebani dengan Hak Tanggungan oleh kreditur sendiri secara langsung
kepada orang atau pihak lain yang berminat, tetapi dibantu juga oleh pemilik tanah dan bangunan dimaksud.
73
Oleh karena penjualan dibawah tangan dari obyek Hak Tanggungan hanya dapat dilaksanakan bila ada kesepakatan antara
pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, maka bank tidak mungkin melakukan penjualan dibawah tangan terhadap obyek Hak Tanggungan atau
agunan kredit apabila debitur tidak menyetujuinya. Dalam praktek apabila terjadi kredit macet, debitur tidak kooperatif sehingga
bank sulit untuk mendapatkan atau memperoleh persetujuan dari nasabah debitur. Syarat untuk dapat dilakukan penjualan dibawah tangan obyek Hak Tanggungan
adalah adanya kesepakatan atau persetujuan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan agar diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Dalam
keadaan-keadaan tertentu justru menurut pertimbangan bank lebih baik agunan dijual
73
Irma Devita Purnamasari, Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, Dan Bijak Memahami Masalah Hukum Jaminan Perbankan, Kaifa, Bandung, 2011 hal. 61-62
Universitas Sumatera Utara
53
dibawah tangan daripada dijual melalui pelelangan umum, apabila menurut pertimbangan bank hasil penjulan di bawah tangan lebih tinggi dibandingkan melalui
pelelangan umum. Bank sendiri berkepentingan agar hasil penjualan agunan tersebut cukup jumlahnya untuk membayar seluruh jumlah kredit yang terutang.
74
Pelaksanaan penjualan jaminan di bawah tangan ini harus didahului dengan pemberitahuan kepada pihak-pihak terkait dan diumumkan dalam 2 dua surat kabar
yang terbit di daerah tempat lokasi tanah dan bangunan atau obyek Hak Tanggungan berada. Hal ini dilakukan minimal 1 satu bulan sebelum penjualan dilakukan serta
tidak ada Pelaksanaan penjualan jaminan di bawah tangan ini harus didahului dengan pemberitahuan kepada pihak-pihak terkait dan diumumkan dalam 2 dua surat kabar
yang terbit di daerah tempat lokasi tanah dan bangunan atau obyek Hak Tanggungan berada. Hal ini dilakukan minimal 1 satu bulan sebelum penjualan dilakukan serta
tidak adasanggahan dari pihak manapun. Apabila tidak dilakukan, penjualan dapat dikatakan batal demi hukum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 20
UUHT. Syarat untuk dapat dilakukan penjualan di bawah tangan obyek Hak
Tanggungan adalah adanya kesepakatan atau persetujuan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan agar diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan
semua pihak. Kesulitan untuk memperoleh persetujuan dari nasabah debitur dapat
74
Ridwuan Khairandy, Problematika Yuridis Eksekusi Hak Tanggungan, Kencana, Jakarta, 2008, hal. 22
Universitas Sumatera Utara
54
terjadi karena:
75
a. Nasabah debitur dan atau pemilik agunan tidak mempunyai iktikad baik sehingga sulit ditemui atau tidak kooperatif;
b. Nasabah debitur dan atau pemilik agunan tidak diketahui keberadaannya. Agar bank kelak dikemudian hari setelah kredit yang diberikan tidak
mengalami kesulitan yang demikian, pada waktu kredit diberikan bank mensyaratkan agar di dalam perjanjian kredit diperjanjikan bahwa bank diberi kewenangan untuk
dapat menjual sendiri agunan tersebut secara dibawah tangan atau meminta kepada debitur untuk memberikan surat kuasa khusus yang memberikan kekuasaan kepada
bank untuk dapat menjual sendiri agunan tersebut secara di bawah tangan.
76
Bank melakukan tindakan
seperti itu dengan alasan “jaga-jaga” yang tidak akan dipergunakan jika debitur membayar utangnya dengan lancar.
77
Alasan lainnya yang biasa disampaikan oleh bank adalah sebagai tindakan “shock therapy” bagi debitur, agar tidak melakukan tindakan wanprestasi. Yang
dimaksud dengan surat kuasa menjual yaitu: pemberian kuasa kepada pihak lain oleh atau penerima kuasa untuk melakukan perbuatan hukum yaitu menjual suatu obyek
tertentu. Pada prinsipnya sebenarnya kuasa untuk menjual diberikan oleh karena pihak penjual pemilik tanah tidak dapat hadir sendiri pada saat pembuatan akta jual
beli karena alasan-alasan tertentu. Namun dalam praktek alasan pemberian kuasa
75
Ibid, hal. 63
76
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan: Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan Masalah-Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak
Tanggungan, Airlangga University Press, Surabaya, 1996, hal. 121
77
Habib Adjie, Menjalin Pemikiran – Pendapat Tentang Kenotariatan Kumpulan Tulisan, PT. CitraAditya Bakti, Bandung, 2013, hal, 16
Universitas Sumatera Utara
55
berkembang sesuai kebutuhan praktek. Surat kuasa menjual, tunduk pada pengaturan surat kuasa dalam Pasal 1792
KUHPerdata, berbunyi sebagai berikut : Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan
mana seorang
memberikan kekuasaan
kepada seorang
lain, yang
menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Dari pasal tersebut kita dapat melihat bahwa unsur-unsur dari pemberian kuasa adalah :
a. persetujuan; b. memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan; dan
c. atas nama pemberi kuasa
78
Pertama-tama, haruslah unsur-unsur dan syarat-syarat untuk sahnya suatu persetujuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata dipenuhi, yaitu:
a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. kecakapan untuk membuat suatau perikatan;
c. suatu hal tertentu; dan d. suatu sebab yang halal.
Unsur kedua dari pemberian kuasa, yaitu mengenai memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan adalah sesuai dengan yang telah disetujui oleh
para pihak, baik yang dirumuskan secara umum maupun dinyatakan dengan kata-kata yang tegas.
78
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal. 2
Universitas Sumatera Utara
56
Unsur ketiga di mana penerima kuasa melakukan tindakan hukum tersebut untuk dan atas nama pemberi kuasa. Penerima kuasa diberi wewenang untuk
mewakili pemberi kuasa. Akibatnya, tindakan hukum yang dilakukan oleh penerima kuasa merupakan tindakan hukum dari pemberi kuasa. Apakah penerima kuasa dalam
melakukan sesuatu tindakan hukum tersebut selalu untuk kepentingan pemberi kuasa semata-mata, disamping melakukannya atas nama pemberi kuasa? Ada kemungkinan
pemberian kuasa tersebut dilakukan atas nama pemberi kuasa, tetapi untuk kepentingan penerima kuasa sehingga dalam hal-hal tertentu justru kepentingan
penerima kuasa tersebut merupakan tujuan dari pemberian kuasa tersebut, misalnya: 1. Suatu utang-piutang di mana kepada bank diberikan sebagai jaminan hak atas
tagihan dari debitur, yang untuk keperluan mana debitur memberi kuasa kepada bank untuk menagih piutang tersebut dan hasilnya diperhitungkan
dengan utang debitur; 2. Pasal 1178 Ayat 2 KUHPerdata menyebutkan bahwa pemegang hipotik
pertama diberi kuasa mutlak oleh pemberi hipotik untuk menjual persil yang dihipotikkan apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya.
Untuk lebih jelasnya, kami kutip Pasal 1178 Ayat 2 KUHPerdata tersebut: Namun demikian, diperkenankanlah kepada si berpiutang hipotik pertama untuk,
pada waktu diberikannya hipotik dengan tegas minta diperjanjikan bahwa jika uang tidak dilunasi semestinya atau jika bunga pokok tidak dilunasi semestinya atau jika
bunga yang terutang tidak dibayar, ia secara mutlak akan dikuasakan menjual persil yang diperikatkan.
Universitas Sumatera Utara
57
Adapun dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang
berkaitan dengan Tanah UUHT, maka ketentuan Pasal 1178 KUHPerdata tersebut tidak berlaku untuk jaminan berupa hak atas tanah dan bangunan.
Pasal 6 UUHT menyebutkan senada dengan ketentuan Pasal 1178 Ayat 2 KUHPerdata bahwa: Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan
pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan tersebut. Suatu perjanjian pendahuluan di mana para pihak berjanji dan mengikatkan
diri akan melakukan suatu perjanjian lainnya kemungkinan menunggu syarat tertentu telah dipenuhi. Umpamanya, dalam hal jual-beli sebidang
tanah, di mana bakal penjual dan bakal pembeli bersetuju untuk melakukan jual-beli di hadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah PPAT, tetapi syarat-syarat yang diperlukan untuk
pelaksanaan jual-beli tersebut belum dipenuhi sertipikat tanah hak atas nama penjual belum selesai, harga jual-beli belum lunas dan sebagainya. Dalam hal demikian, para
pihak mengadakan perjanjianpendahuluan perjanjian pengikatan jual-beli. Dalam perjanjian tersebut penjual memberikuasa kepada pembeli apabila syarat-syarat
tersebut telah terpenuhi sertipikat tanah hak telah selesai tertulis atas nama penjual, harga jual beli telah dilunasi seluruhnya mewakili penjual sebagai pemilik tanah hak
Universitas Sumatera Utara
58
tersebut guna melaksanakan jual beli di hadapan PPAT.
79
Dari contoh tersebut di atas dapat kita lihat bahwa penerima kuasa tidak saja mempunyai kekuasaan mewakili, vertegenwoordigingsmacht, tetapi juga hak
mewakili vertegenwwoordigingsrecht. Di sini kepentingan penerima kuasa perlu diperhatikan mengingat berakhirnya suatu kuasa sebagaimana disebutkan dalam Pasal
1813 KUHPerdata, di antaranya, karena ditariknya kembali kuasanya oleh pemberi kuasa. Hal tersebut diatur pula dalam Pasal 1814 KUHPerdata yang menyebutkan
bahwa si
pemberi kuasa
dapat menarik
kembali kuasanya
manakala itu
dikehendakinya. Jika terjadi demikian, akan mengakibatkan hak-hak dari penerima kuasa kreditur atau bakal pembeli dalam contoh di atas sangat dirugikan. Pemberian
kuasa yang diberikan dalam rangka suatu perjanjian, dimana pemberian kuasa tersebut merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian tersebut
integrerend deel, karena tanpa adanya kuasa tersebut kepentingan penerima kuasa akan sangat dirugikan, perlulah pemberian kuasa tersebut diberikan syarat bahwa
kuasa tersebut tidak dapat dicabut kembali atau yang sekarang dikenal atau disalahartikan dengan “kuasa mutlak”.
Larangan kuasa mutlak yang dimaksud disini adalah larangan terhadap kuasa sebagaimana diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982
tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai pemindahan Hak Atas Tanah yang sekarang telah dimuat di dalam Pasal 39 huruf d peraturan Pemerintah Nomor
79
Bambang Herwanto, Hukum Jaminan Hak Tanggungan Dalam Teori dan Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 32
Universitas Sumatera Utara
59
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Kuasa mutlak tersebut pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah, dengan ciri-ciri yang disebutkan dalam
Instruksi Menteri Dalam Negeri tersebut, yaitu : Kuasa mutlak yang dimaksud dalam diktum pertama adalah kuasa yang di
dalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa; Kuasa mutlak yang pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah adalah kuasa
mutlak yang
memberikan kewenangan
kepada penerima
kuasa untuk
menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh pemegang haknya.”
Pemberian kuasa yang tidak dapat dicabut kembali oleh pemberi kuasa adalah sah apabila perjanjian yang menjadi dasar dari pemberian kuasa tersebut mempunyai
alas titel hukum yang sah. Menurut putusan HR 12 Januari 1984 6458, ketentuan
Pasal 1814 KUHPerdata tidak bersifat memaksa juga bukan merupakan ketentuan yang untuk menyimpangi dari ketentuan tersebut, sepanjang penyimpangan tersebut
tidak bertentangan dengan kepentingan umum van openbare orde dan kesusilaan. Seperti diketahui, ketentuan undang-undang mengenai perjanjian menganut
system terbuka atau asas kebebasan berkontrak Pasal 1338 KUHPerdata, berarti kita diperbolehkan membuat perjanjian mengenai apa saja dengan siapa saja, dan hal
tersebut akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang. Undang- undang yang akan mengaturnya apabila para pihak sudah tidak mengaturnya dalam
perjanjian yang telah dibuatnya karena ketentuan undang-undang mengenai perjanjian bersifat mengatur aanvullend recht dan tidak bersifat memaksa
Universitas Sumatera Utara
60
dwingend recht. Apabila dipastikan debitur wanprestasi, berdasarkan ketentuan Pasal 20 Ayat
2 dan 3 UUHT : 1. Dibuat kesepakatan antara pemberi dan pemegang hak
tanggungan untuk menjual
di bawah
tangan untuk
memperoleh harga
tertinggi dan
menguntungkan semua pihak; 2. Penjualan hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 bulan sejak dilakukan
pemberitahuan oleh pemberi pemegang Hak Tanggungan kepada pihak yang berkepentingan;
3. Diumumkan paling sedikit dalam 2 surat kabar di daerah yang bersangkutan; 4. Tidak ada yang berkeberatan dengan penjualan tersebut.
80
Bank dapat menjual obyek Hak Tanggungan tanpa melalui prosedur lelang dan juga tidak diperlukan kuasa untuk menjual. Dalam praktek perbankan penjualan
di bawah tangan atas obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan dengan beberapa cara dilihat dari itikad baik dari debitur atau pemberi Hak Tanggungan yaitu, debitur
kooperatif, penjualan di bawah tangan dapat dilakukan melalui mekanisme :
81
a. Jual-beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yaitu pemberi Hak Tanggungan
bertindak selaku penjual dengan calon pembeli dan langsung menanda tangani akta jual-beli atas tanah yang berkenaan dan disaksikan pihak bank selaku
pemegang Hak Tanggungan. Dalam keadaan demikian biasanya debitur sendiri
80
Habib Adjie, Menjalin Pemikiran – Pendapat Tentang Kenotariatan Kumpulan Tulisan, PT. CitraAditya Bakti, 2013, Bandung, hal. 16
81
Ibid, hal. 18
Universitas Sumatera Utara
61
yang mencari pembeli untuk mendapatkan harga tertinggi. b.
Debitur atau pemberi Hak Tanggungan menandatangani surat pernyataan penyerahan agunan secara sukarela sekaligus surat kuasa menjual kepada orang
yang ditunjuk oleh bank selaku pemegang Hak Tanggungan dan apabila sewaktu-waktu bank mendapatkan pembeli atas agunan tersebut, jual-beli dapat
dilakukan berdasarkan alas hak surat kuasa menjual tersebut. Permasalahan yang terjadi dalam praktek perbankan yaitu pemberian kuasa
oleh debitur kepada kreditur untuk menjual agunan yang dituangkan dalam surat kuasa
menjual yang
dibuat pada
saat atau
bersamaan waktunya
dengan penandatanganan perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok dan Akta Pemberian Hak
Tanggungan disingkat APHT sebagai pengikatan jaminan atau accesoir yang berisi janji-janji sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 Ayat 2 UUHT.
Surat Kuasa Menjual ini bertujuan untuk memberi kuasa kepada kreditur untuk menjual atau mengalihkan kepemilikan hak atas tanahnya apabila debitur
wanprestasi, dan apabila kelak debitur wanprestasi maka pelaksanaan jual-beli berdasarkan surat kuasa menjual tersebut sebagai alas haknya dan sebagai
pembelinya adalah bank itu sendiri dengan menunjuk karyawan, pemegang saham atau pihak lain sebagai atas nama untuk ” kepentingan” bank.
Menurut pertimbangan bank penjualan di bawah tangan berdasarkan surat kuasa menjual lebih efektif, artinya penjualan obyek hak tanggungan tersebut tidak
memerlukanwaktu yang lama dan proses yang panjang dibandingkan melalui prosedur lelang dan efisien, artinya biaya lebih murah dibanding melalui lelang yang
Universitas Sumatera Utara
62
membutuhkan biaya lebih besar terkait dengan prosedur lelang.
82
C. Status Hukum Objek Jaminan Hak Tanggungan Yang Disita Oleh Pengadilan Karena Berkaitan Dengan Kasus Tindak Pidana Korupsi
Pengertian penyitaan dirumuskan dalam Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang berbunyi, “Penyitaan adalah serangkaian
tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud,
untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan”. Dari pengertian penyitaan di atas, secara hukum acara pidana dapat dikatakan
bahwa penyitaan menurut KUHAP adalah upaya paksa yang dilakukan penyidik untuk :
1. Mengambil atau katakan saja “merampas” sesuatu barang tertentu dari seorang tersangka, pemegang atau penyimpan. Tapi perampasan yang
dilakukan dibenarkan hukum dan dilaksanakan menurut aturan undang- undang. Bukan perampasan liar dengan cara yang melawan hukum
wederrechtelijk. 2. Setelah barangnya diambil atau dirampas oleh penyidik, ditaruh atau disimpan
di bawah kekuasaannya. Tujuan penyitaan agak berbeda dengan penggeledahan. Seperti yang sudah
dijelaskan, tujuan penggeledahan dimaksudkan untuk kepentingan penyelidikan atau untuk kepentingan pemeriksaan penyidikan. Lain halnya dengan penyitaan. Tujuan
82
Purwoe Sudarnoto, Eksekusi Objek Jaminan Hak Tanggungan Dalam Praktek Perbankan, Bumi Aksara, Bandung, 2007, hal. 15
Universitas Sumatera Utara
63
penyitaan, untuk kepentingan “pembuktian”, terutama ditujukan sebagai barang bukti di muka sidang peradilan. Kemungkinan besar tanpa barang bukti, perkara tidak dapat
diajukan ke sidang pengadilan. Oleh karena itu, agar perkara tadi lengkap dengan barang bukti, penyidik melakukan penyitaan untuk dipergunakan sebagai bukti dalam
penyidikan, dalam penuntutan dan pemeriksaan persidangan pengadilan.
83
Kadang-kadang barang yang disita, bukan milik tersangka. Adakalanya barang orang lain yang dikuasainya secara melawan hukum, seperti dalam perkara
pidana pencurian. Atau memang barang tersangka, tapi yang diperolehnya dengan jalan melanggar ketentuan undang-undang atau diperoleh tanpa izin yang sah
menurut perundang-undangan, seperti dalam tindak pidana ekonomi atau tindak pidana korupsi.
Pasal 39 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP menyebutkan bahwa, “Penyitaan dapat dilakukan dalam setiap tingkat proses
pemeriksaan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang pengadilan”. Penyitaan dalam proses perkara pidana menjangkau :
1. Penyitaan barang yang telah di Conservatoir Beslag di sita dalam sitaan perkara perdata.
2. Penyitaan barang yang berada dalam sita pailit budel pailitagar penyitaan dalam konteks proses perkara pidana yang menjangkau penyitaan barang
dalam perkara perdata dapat benar-benar berjalan objektif, pengadilan harus
83
Marwadi Halim, Penyitaan Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan KUHAP, Bumi Aksara, Bandung, 2008, hal. 59
Universitas Sumatera Utara
64
benar-benar mempertimbangkan faktor relevansi dan urgensi yang digariskan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP secara utuh.
Segi relevansi menunjuk kepada persyaratan barang yang boleh di sita menurut Pasal 39 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
KUHAP yaitu hanya terbatas pada : a. Benda atau tagihan tersangka terdakwa seluruh atau sebagian, yang
diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana b. Benda yang digunakan baik secara langsung melakukan tindak pidana
maupun mempersiapkan tindak pidana. c. Benda yang digunakan menghalangi penyidikan
d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana
yang dilakukan Dari segi urgensi, telah ditegaskan dalam Pasal 39 ayat 2 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yaitu, “Penyitaan dilakukan untuk melakukan pemeriksaan.”
Tindak pidana korupsi pada dasarnya telah diatur dalam KUH Pidana yang termuat pada Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan
434 KUHPidana. Namun ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi dalam pasal-pasal KUHPidana sebagaimana tersebut di atas dirasakan kurang
efektif dalam mengantisipasi atau bahkan mengatasi permasalahan tindak korupsi yang semakin meningkat di Indonesia. Oleh karena itu maka dipandang perlu untuk
Universitas Sumatera Utara
65
membentuk suatu peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur tentang tindak pidana korupsi dengan sanksi yang diperberat. Undang-undang khusus diluar
KUHPidana yang pidana mengatur tentang tindak pidana korupsi adalah Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
disahkan di Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1999. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang
disahkan di Jakarta pada tanggal 21 November 2001. Sebagaimana yang diketahui tindak pidana korupsi merupakan suatu extra
ordinary crime kejahatan luar biasa yang diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Didalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
disebutkan bahwa, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling
sedikit Rp 200.000.000 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp 1.000.000.000 satu miliar rupiah”. Selanjutnya Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa, “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
Universitas Sumatera Utara
66
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 20 dua
puluh tahun danatau denda paling sedikit Rp 50.000.000 lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp 1.000.000.000 satu miliar rupiah”. Pasal ini merupakan pasal
yang menjelaskan tentang perbuatan korupsi yang dilakukan secara bersama-sama deelneming, artinya bahwa perbuatan korupsi tersebut tidak dilakukan sendiri
namun juga melibatkan pihak lain secara bersama-sama menikmati korupsi tersebut karena penyalahgunaan jabatan yang dilakukan oleh orang yang memiliki jabatan
tersebut. Dalam kasus pemberian jaminan hak tanggungan oleh pemberi hak tanggungan yaitu SHANTI CHAERUDDIN kepada bank PT. Bank Mega, Tbk dapat
saja terjadi persengkokolan antara Account Officer AO PT. Bank Mega, Tbk dengan pihak pemberi Hak Tanggungan dengan tujuan untuk menyelamatkan aset dari
pemberi Hak Tanggungan yang juga merupakan tersangka dalam kasus korupsi tersebut. Namun dalam pelaksanaan pengikatan jaminan Hak Tanggungan antara
pemberi Hak Tanggungan yaitu SHANTI CHAERUDDIN dengan PT. Bank Mega, Tbk tidak didapati bukti yang cukup terhadap persengkokolan tersebut. Oleh karena
itu pengikatan jaminan Hak Tanggungan antara SHANTI CHAERUDDIN dengan PT. Bank Mega, Tbk harus dipandang sebagai suatu itikad baik dari pihak PT. Bank
Mega, Tbk sebagai jaminan hutang pemberi Hak Tanggungan atas pemberian fasilitas kredit yang telah diberikan oleh penerima Hak Tanggungan dalam hal ini adalah
PT.Bank Mega, Tbk. Oleh karena itu maka hak-hak istimewa droit de preference dari PT. Bank Mega, Tbk yang dilindungi oleh UUHT wajib dihormati oleh institusi
Universitas Sumatera Utara
67
pengadilan dengan tidak melakukan penyitaan terhadap objek jaminan Hak Tanggungan tersebut.
Ketentuan Pasal 3Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak saja berlaku
bagi pegawai
negeri sipil
atau pegawai
negara yang
menyalahgunakan kewenangannya untuk memperkaya diri sendiri atau kelompoknya atau orang lain.
Tindak pidana korupsi dapat pula dilakukan oleh orangperusahaan swasta yang melaksanakan proyek pemerintah dimana anggarannya merupakan anggaran APBN
atau APBD yang merupakan keuangan negara baik ditingkat pusat maupun di daerah. Pelaksanaan proyek pemerintah yang tidak berdasarkan rencana pengerjaan proyek
yang telah ditetapkan dapat pula digolongkan sebagai tindak pidana korupsi, karena telah menyalahgunakan keuangan negara yang seharusnya digunakan untuk
pelaksanaan proyek tersebut. Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa, “Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana KUHP yaitu, sebagai pidana tambahan adalah : a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana
korupsi dilakukan,begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut
Universitas Sumatera Utara
68
b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 satu tahun
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh
pemerintah kepada terpidana. 2. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat
1 huruf b paling lama dalam waktu 1 satu bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita
oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. 3. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum
dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Dari rumusan Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tersebut di atas dimungkinkan oleh undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tersebut untuk melakukan penyitaan terhadap barang-barang tidak bergerak termasuk barang tidak
bergerak yang telah diikat melalui lembaga jaminan Hak Tanggungan berdasarkan UUHT Nomor 4 Tahun 1996 sebagai jaminan hutang dari pemberi Hak Tanggungan
Universitas Sumatera Utara
69
kepada penerima Hak Tanggungan. Apabila terjadi perampasan penyitaan barang tidak bergerak yang telah menjadi objek Hak Tanggungan, maka akibatnya adalah
menimbulkan kerugian bagi penerima Hak Tanggungan, karena objek jaminan Hak Tanggungan yang menjadi jaminan hutang dari debitur selaku pemberi Hak
Tanggungan dirampasdisita oleh negara melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap incracht van gewijsde yang mengakibatkan objek jaminan
Hak Tanggungan itu tidak dapat lagi dieksekusi apabila debitur sebagai pemberi Hak Tanggungan melakukan wanprestasi atau tidak mampu melakukan pelunasan
terhadap hutang-hutangnya. Pasal 57 RBg Rechtsreglement Butengewesten menyebutkan bahwa,
“pengadilan atau pejabat dan orang-orang teristimewa yang mewajibkan mengusut kejahatan dan pelanggaran selanjutnya harus mencari dan merampas barang-barang
yang dipakai”. Dengan demikian, Benda Sitaan sebagai Pidana Tambahan Pasal 10 KUHP bisa terjadi peralihan kepemilikan dari personal ke negara. Penyitaan
terhadap benda merupakan bagian dari pidana tambahan bagi pelaku tindak pidana diantaranya adalah dengan perampasan barang-barang tertentu, hal ini sangat jelas
sekali diatur dalam Pasal 10 KUHP. UUHT telah memberikan dasar pengaturan hukum terhadap perlindungan
kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan, tetapi yang menjadi permasalahan apabila barang jaminan yang menjadi objek Hak Tanggungan tersebut disita oleh
negara dalam kasus tindak pidana korupsi. Pemberantasan tindak pidana korupsi bukan semata-mata untuk memberikan efek jera terhadap para pelaku namun
Universitas Sumatera Utara
70
bertujuan dapat mengembalikan kerugian negara, sehingga diharapkan dapat dipergunakan untuk membangun perekonomian negara yang lebih baik. Disamping
itu dengan mengoptimalkan hukuman terhadap pelaku korupsi dapat memberikan rasa takut pada yang lain untuk melakukan korupsi. Untuk mengembalikan kerugian
keuangan dan perekonomian negara tersebut kemudian undang-undang memberikan sarana berupa pidana tambahan.
84
Pada prinsipnya pemberian Hak Tanggungan dalam pemberian kredit pada lembaga keuangan baik bank maupun non bank bertujuan untuk melindungi kreditur
dalam rangka pelunasan piutangnya, apabila debitur wanprestasi tetapi dalam kenyataannya kreditur sangat sulit mendapatkan pelunasan terhadap piutangnya
apabila debitur yang bersangkutan tersangkut dalam suatu tindak pidana korupsi dan telah dijatuhi sanksi seperti yang disebutkan dalam Pasal 18 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Problematika hukum muncul ketika debitur dalam perkara pidana korupsi tersebut telah dijatuhkan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap inkracht van gewijsde dan debitur tersebut berada dalam ketidakmampuan membayar atau debitur tersebut wanprestasi otomatis terjadi kredit
macet. Apabila dalam putusan pengadilan tersebut dijatuhkan sanksi pidana dengan melakukan perampasan terhadap barang-barang yang terkait dengan tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh debitur tidak terkecuali atas benda yang menjadi objek jaminan pada pihak ketiga, untuk selanjutnya barang rampasan tersebut dilakukan
84
Benni Sudarmanto, Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, Dalam Perjanjian, Pengikatan Jaminan Hak Tanggungan, Tarsito, Bandung, 2007, hal. 66
Universitas Sumatera Utara
71
eksekusi. Dalam hal penyitaan objek Hak Tanggungan terkait dengan tindak pidana korupsi
maka pihak pengadilan meskipun telah mengeluarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap tidak serta merta melakukan penyitaan terhadap objek Hak
Tanggungan yang dimiliki oleh terdakwa tersebut. Apabila barang-barang tersebut diduga terkait atau merupakan hasil dari tindak pidana korupsi maka
penyitaan itu dapat saja dilakukan dengan memperhitungkan jumlah kerugian negara akibat dari perbuatan terdakwa. Pemberian jaminan barang-barang milik
terdakwa yang terkait atau diperoleh dari hasil perbuatan tindak pidana korupsi dengan menggunakan lembaga jaminan Hak Tanggungan sering kali merupakan
modus operandi dari terdakwa untuk menyembunyikan dan mengamankan hasil korupsinya dengan pertimbangan bahwa barang yang telah dijaminkan dengan
menggunakan Hak Tanggungan tersebut tidak mungkin disita oleh negara karena sudah menjadi objek jaminan Hak Tanggungan kepada pihak bank.
85
Eksekusi objek Hak Tanggungan oleh pihak bank juga tidak serta merta dilakukan karena pihak bank selaku kreditur masih memberi kesempatan berulang
kali kepada debitur secara baik-baik untuk bisa membayar hutang-hutangnya. Eksekusi jaminan Hak Tanggungan oleh kreditur baru dilakukan apabila upaya-upaya
pendekatan dan somasi yang dilakukan pihak kreditur tidak ditanggapi dengan itikad baik oleh debitur. Dengan demikian dapat dikatakan eksekusi objek jaminan Hak
Tanggungan oleh kreditur merupakan ultimum remedium atau sarana terakhir yang dilakukan oleh kreditur dalam rangka melakukan pengambilan pelunasan piutangnya.
Penyitaan objek Hak Tanggungan oleh pengadilan memberikan konsekuensi yuridis yang merugikan penerima Hak Tanggungan karena objek Hak Tanggungan
tersebut telah beralih status menjadi milik negara bukan lagi menjadi milik Hak Tanggungan. Oleh karena itu pemegang Hak Tanggungan krediturbank tidak dapat
lagi melakukan eksekusi terhadap objek jaminan Hak Tanggungan karena objek
85
Ibid, hal. 67
Universitas Sumatera Utara
72
jaminan Hak Tanggungan tersebut telah disita oleh negara melalui suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dengan terjadinya penyitaan
terhadap objek jaminan Hak Tanggungan yang terkait dengan kasus tindak pidana korupsi maka pihak bank selaku kreditur yang hak-haknya dijamin oleh UUHT
Nomor 4 Tahun 1996 selaku kreditur preference kreditur yang diutamakan dalam pengambilan pelunasan piutangnya menjadi terabaikan hak-haknya.
UUHT Nomor 4 Tahun 1996 tidak mengatur tentang perlindungan hukum terhadap pemegang Hak Tanggungan apabila objek jaminan Hak Tanggungan disita
oleh negara. UUHT Nomor 4 Tahun 1996 hanya memberikan perlindungan hukum terhadap
pemegang Hak
Tanggungan sebagai
kreditur preference
apabila diperhadapkan dengan kreditur-kreditur lainnya sebagai pihak swasta. Sifat istimewa
dari kreditur pemegang Hak Tanggungandroit de preference menjadi terbaikan karena kreditur preference tersebut dihadapkan dengan kewajiban kepada negara.
Kewajiban kepada negara tersebut diantaranya adalah hutang pajak yang harus didahulukan dan pembayaran biaya lelang kepada negara. Kedua kewajiban tersebut
wajib didahulukan oleh setiap warga negara kepada negara. Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa, Pihak ketiga yang merasa dirugikan atas putusan pengadilan yang melakukan
penyitaan terhadap objek Hak Tanggungan tersebut dapat mengajukan keberatan bila eksekusi belum dilaksanakan”. Apabila eksekusi telah dilaksanakan maka pihak
ketiga yang telah dirugikan tersebut dapat mengajukan gugatan perlawanan secara
Universitas Sumatera Utara
73
perdata tersebut ke pengadilan negeri yang telah mengeluarkan putusan penyitaan terhadap objek Hak Tanggungan tersebut. Apabila dalam gugatan perlawanan yang
diajukan oleh pihak ketiga tersebut ditolak atau tidak dapat diterima oleh pengadilan negeri tempat keluarnya putusan penyitaan tersebut, maka pihak ketiga dapat
mengajukan upaya hukum banding ke pengadilan tinggi hingga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam melakukan perlawanan terhadap putusan pengadilan
tersebut.
86
Penyitaan objek Hak Tanggungan oleh negara melalui putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap mengakibatkan terjadinya kerugian
terhadap kreditrbank selaku pemegang Hak Tanggungan karena status hukum objek Hak Tanggungan tersebut telah beralih kepemilikannya untuk sementara kepada
negara. Oleh karena itu, kreditur bank selaku pemegang Hak Tanggungan untuk sementara waktu tidak dapat lagi melakukan eksekusi terhadap objek Hak
Tanggungan tersebut hingga perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh kreditur bank adalah
melakukan gugatan perdata melalui jalur litigasi terhadap putusan pengadilan yang telah melakukan penyitaan terhadap objek jaminan Hak Tanggungan tersebut.
87
Upaya hukum lain adalah mengajukan gugatan perdata terhadap debitur pemberi Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata dimana pasal tersebut
86
Mardianto Rustandi, Gugatan Pihak Ketiga Terhadap Penyitaan Objek Hak Tanggungan Milik Debitur yang Terkait Kasus Korupsi, Media Ilmu, Surabaya, 2009, hal. 58
87
Muhammad Nurmadi, Kedudukan Objek Hak Tanggungan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, Pustaka Ilmu, Jakarta, 2008, hal. 47
Universitas Sumatera Utara
74
menyebutkan bahwa, “Semua kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian
hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.” Pasal 1131 KUHPerdata tersebut di atas mengisyaratkan tentang jaminan umum bagi kreditur
terhadap hutang dari debitur. Dengan tidak dapat dieksekusinya objek jaminan Hak Tanggungan yang telah diperjanjikan karena status hukum objek jaminan Hak
Tanggungan tersebut telah disita oleh negara sehingga telah beralih kepemilikan dari pemberi Hak Tanggungan kepada negara karena objek jaminan Hak Tanggungan
tersebut terkait dengan perbuatan tindak pidana korupsi dalam memperolehnya. Oleh karena itu, krediturbank sebagai penerima Hak Tanggungan yang berstatus sebagai
kreditur preference tidak dapat lagi melakukan eksekusi terhadap objek jaminan Hak Tanggungan tersebut untuk sementara waktu dalam pengambilan pelunasan
piutangnya. Oleh karena itu upaya hukum kepada debitur pemberi Hak Tanggungan yang dapat dilakukannya oleh krediturbank adalah dengan mengajukan gugatan
perdata terhadap harta kekayaan lainnya milik debitur agar dapat dilakukan penyitaan oleh pengadilan untuk mengambil pelunasan dari piutang kreditur.
88
Berdasarkan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP menyebutkan bahwa, Benda sitaan dalam proses penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan sidang pengadilan disimpan dalam Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara Rupbasan. Rupbasan adalah satu-satunya tempat penyimpanan segala jenis
88
Gatot Supramono, Kredit Perbankan, Masalah dan Pemecahannya Suatu Tinjauan Yuridis, Djambatan, Jakarta, 2008, hal. 29.
Universitas Sumatera Utara
75
benda sitaan. Dalam hal sitaan terhadap benda-benda tidak bergerak tanah dan bangunan yang dapat diikat dengan jaminan Hak Tanggungan maka penyitaan
dilakukan dengan melakukan pemblokiran terhadap sertipikat hak kepemilikan atas tanah dan bangunan dengan mengajukan permohonan pemblokiran terhadap instansi
terkait dalam hal ini adalah kantor pertanahan tempat dimana tanah dan bangunan tersebut berada. Pada umumnya untuk penyitaan terhadap tanah dan bangunan maka
di atas tanah dan bangunan tersebut akan didirikan papan pemberitahuan yang memberitahukan kepada publik bahwa tanah dan bangunan tersebut telah disita oleh
negara untuk
kepentingan penyidikan,
penuntutan dan
pemeriksaan sidang
pengadilan. Benda sitaan yang dirampas untuk negara atau dimusnahkan tata cara
pengeluarannya dari Rumah Penyimpanan Barang Sitaan Rupbasan diatur dalam Pasal 11 Peraturan Menteri Kehakiman Nomor M.05-UM.01.061983 yang berbunyi,
“Sehubungan dengan pengeluaran benda sitaan yang akan di rampas untuk negara atau untuk dimusnahkan atau dirusakkan sehingga tidak terpakai lagi, hanya dapat
dilakukan Kepala Rupbasan berdasarkan putusan pengadilan.” Penyitaan objek Hak Tanggungan oleh negara melalui suatu putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap mengakibatkan objek Hak Tanggungan berupa tanah dan bangunan tersebut menjadi beralih kepemilikannya
dari pemberi Hak Tanggungan debitur kepada negara karena adanya keterkaitan dengan kasus tindak pidana korupsi. Dengan beralihnya kepemilikan objek Hak
Tanggungan tersebut maka negara juga berwenang mengambil ganti rugi terhadap
Universitas Sumatera Utara
76
kerugian yang dideritanya atas perbuatan debitur yang telah merugikan keuangan negara dengan melakukan tindak pidana korupsi dan mengalihkannya dengan
melakukan pembelian terhadap tanah dan bangunan yang menjadi objek Hak Tanggungan tersebut dengan menggunakan uang negara. Oleh karena itu, negara
memiliki kewenangan dengan terjadinya kepemilikan objek Hak Tanggungan tersebut untuk melakukan lelang yang diatur di dalam Pasal 12 Pasal 11 Peraturan
Menteri Kehakiman Nomor M.05-UM.01.061983 yang berbunyi, “Apabila berdasar perintah atau penetapan instansi yang bertanggung jawab secara yuridis atas benda
sitaan hendak menjual lelang benda tersebut maupun atas dasar putusan pengadilan, petugas Rupbasan melaksanakan pengeluaran benda sitaan tersebut.”
Penjualan lelang terhadap barang sitaan melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang yang
berlaku, dan disaksikan oleh petugas Rupbasan. Uang hasil lelang dari objek jaminan Hak Tanggungan yang telah disita oleh negara melalui putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tersebut dimasukkan ke kas Negara untuk dan atas nama jaksa dengan nomor perkara B270S.2Fd062009 sesuai dengan ketentuan Pasal 273 ayat
3 KUHAP yang berbunyi, “Jika putusan pengadilan juga menetapkan bahwa barang bukti dirampas untuk Negara, selain pengecualian sebagaimana tersebut pada Pasal
46, jaksa menguasakan benda tersebut kepada kantor lelang Negara dan dalam waktu 3 tiga bulan untuk dijual lelang yang hasilnya dimasukkan ke kas negara untuk dan
atas nama jaksa.” Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penyitaan objek Hak Tanggungan
Universitas Sumatera Utara
77
yang dilakukan oleh Negara melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap karena debitur pemberi Hak Tanggungan telah melakukan perbuatan
tindak pidana korupsi merupakan kerugian bagi pihak ketiga yaitu kreditur bank yang telah menerima sertipikat Hak Tanggungan dalam perjanjian Hak Tanggungan
terhadap tanah dan bangunan yang telah diikat melalui lembaga jaminan Hak Tanggungan tersebut. Oleh karena itu debitur pemberi Hak Tanggungan dapat
dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum onrechmatigedaads terhadap krediturbank karena tidak mampu menjamin harta bendanya yang telah diikat dengan
Hak Tanggungan tersebut benar-benar dapat dijadikan jaminan hutang-hutang debitur apabila dikemudian hari debitur tak mampu membayar atau melunasi hutang-
hutangnya tersebut. Tanggung jawab debitur atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya terhadap perjanjian jaminan Hak Tanggungan yang tidak dapat
dieksekusi oleh kreditur menimbulkan hak kepada kreditur bank untuk mengajukan gugatan perdata menuntut ganti rugi ke pengadilan dalam hal gugatan conservatoir
beslag sita jaminan atas harta benda milik debitur lainnya diluar objek jaminan Hak Tanggungan tersebut agar kreditur bank dapat mengambil pelunasan terhadap
piutangnya.
89
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang termuat di dalam UUHT bahwa suatu benda yang telah menjadi objek jaminan dalam
pengikatan Hak Tanggungan seharusnya tidak dapat dilakukan penyitaan oleh
89
Wahyu Muliatno, Analisis Yuridis Penetapan Sita Terhadap Objek Hak Tanggungan, Suluh Ilmu, Surabaya, 2007, hal. 76
Universitas Sumatera Utara
78
pengadilan. Oleh karena itu pengadilan wajib menghormati hak-hak kreditur droit de preference yang telah dimiliki oleh kreditur PT Bank Mega, Tbk dengan
diperolehnya sertipikat Hak Tanggungan tersebut. Oleh karena itu penyitaan objek Hak Tanggungan yang merupakan hak sepenuhnya dari kreditur preference
merupakan perbuatan yang bertentangan dengan UUHT yang telah memberikan jaminan sepenuhnya terhadap kreditur preference untuk dapat mengeksekusi objek
jaminan Hak Tanggungan apabila debitur tidak dapat melunasi hutang-hutangnya. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Tindak Pidana Korupsi tidak memuat ketentuan bahwa suatu benda yang telah diikat dengan jaminan Hak Tanggungan dapat disita oleh Negara melalui
pengadilan. Oleh karena itu maka kewenangan pengadilan dalam melakukan penyitaan objek jaminan Hak Tanggungan tersebut hanya sebatas mengamankan
barang bukti bukan untuk mengalihkan hak kepemilikan dari benda yang menjadi objek jaminan Hak Tanggungan tersebut. Dari segi hukum pidana tindakan debitur
yang telah memberikan benda yang diikat dengan jaminan Hak Tanggungan terhadap kreditur sebagai jaminan hutangnya yang ternyata terkait dengan tindak pidana
korupsi maka debitur tersebut dapat dituntut berdasarkan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan benda yang menjadi objek jaminan Hak Tanggungan tersebut di
sita oleh Negara melalui pengadilan yang mengakibatkan kreditur pemegang Hak Tanggungan tidak dapat melakukan eksekusi terhadap objek jaminan Hak
Tanggungan tersebut. Oleh karena itu debitur wajib mengganti kerugian atas tindakan perbuatan melawan hukum yang telah dilakukannya tersebut.
Universitas Sumatera Utara
79
Konflik kepentingan antara kepentingan negara disatu pihak dan kepentingan krediturbank selaku pemegang Hak Tanggungan mengakibatkan kepentingan
pemegang Hak Tanggungan menjadi terabaikan karena kepentingan negara lebih diutamakan. Apabila perkara yang dilawan sudah memperoleh putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap, maka upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga dalam hal ini adalah krediturbank selaku pemegang Hak Tanggungan adalah
melakukan gugatan perdata terhadap putusan penyitaan tersebut.
90
Namun apabila dalam sidang pemeriksaan di pengadilan majelis hakim berpendapat bahwa objek jaminan Hak Tanggungan yang telah disita sebagai alat
bukti di persidangan ternyata tidak terkait dengan tindak pidana korupsi maka objek jaminan Hak Tanggungan tersebut akan dikembalikan kepada terdakwa pemberi
Hak Tanggungan melalui suatu putusan di pengadilan. Pada prinsipnya berdasarkan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang No. 4 Tahun
1996 tentang Asas Kepemilikan Suatu Benda yang dikenal istilah droit de suite yang menyebutkan bahwa hak kepemilikan suatu benda mengikuti kemanapun benda itu
berada. Di samping itu Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 juga memberikan kedudukan yang istimewa kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan sebagai droit
de preference kedudukan yang diutamakan dari kreditur-kreditur lainnya untuk mengambil pelunasan hutangnya terlebih dahulu apabila debitur wanprestasi dalam
pelunasan hutangnya dengan cara melakukan eksekusi terhadap objek Hak Tanggungan tersebut.
90
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal. 322
Universitas Sumatera Utara
80
Demikian pula halnya apabila kreditur pemegang hak tanggungan adalah merupakan bank negara, maka kreditur pemegang hak tanggungan tersebut wajib
dilindungi secara hukum karena telah melakukan pengikatan jaminan hak tanggungan dengan itikad baik dengan debitur. Apabila dikemudian hari ternyata objek hak
tanggungan yang telah diikat tersebut diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi maka hal tersebut bukan merupakan tanggung jawab kreditur pemegang hak tanggungan
namun sepenuhnya menjadi tanggung jawab debitur pemberi hak tanggungan. meskipun dalam tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh debitur pemberi hak
tanggungan telah merugikan keuangan negara, namun benda tidak bergerak milik debitur yang telah diikat dengan jaminan hak tanggungan terhadap kreditur, tidak
dapat disita oleh negara, karena objek hak tanggungan tersebut merupakan jaminan hutang debitur kepada kreditur secara penuh dan kewenangan eksekusinya berada di
tangan kreditur pemegang hak tanggungan sepenuhnya apabila debitur wanprestasi dalam pelunasan hutangnya.
91
Negara dalam meletakan sita terhadap objek jaminan hak tanggungan hanya dapat melakukan sita penyesuaian terhadap objek jaminan hak tanggungan tersebut.
Artinya bahwa negara bukan merupakan kreditur preference dalam pelunasan piutang debitur, sehingga hak istimewa untuk didahulukan dalam pelunasan piutang debitur
pemberi hak tanggungan berada di tangan kreditur pemegang hak tanggungan sebagai kreditur preference. Apabila kreditur preference telah memperoleh pelunasan atas
piutangnya, dan masih terdapat sisa dana terhadap hasil lelang atau penjualan dari objek jaminan hak tanggungan tersebut maka barulah negara diberikan kewenangan
91
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Edisi II, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 275
Universitas Sumatera Utara
81
untuk mengambil pelunasan terhadap kerugian yang dideritanya atas perbuatan pemberi hak tanggungan yang telah melakukan tindak pidana korupsi tersebut.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sita penyesuaian yang dilakukan oleh negara baru berlaku apabila kreditur preference yang memiliki hak istimewa untuk
didahulukan dalam pelunasan piutangnya sudah mengambil pelunasan terhadap piutangnya tersebut, baru kemudian negara dapat mengambil sisa dari hasil penjualan
lelang dari objek hak tanggungan tersebut dalam pelunasan piutangnya. Eksekusi objek Hak Tanggungan tersebut didasarkan kepada grosseakta pada
saat melakukan eksekusi objek jaminan Hak Tanggungan yang memuat irah-irah DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA yang
memiliki kekuatan hukum yang sama dengan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, meskipun dalam sidang pemeriksaan di
pengadilan objek Hak Tanggungan tersebut terkait dengan kasus korupsi, pengadilan tidak berwenang melakukan penyitaan terhadap objek Hak Tanggungan tersebut. Hal
ini didasarkan kepada kekuatan perlindungan hukum yang telah diberikan oleh Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 terhadap kreditur pemegang Hak Tanggungan
sebagai kreditur yang diutamakan untuk melakukan perbuatan hukum sepenuhnya eksekusi terhadap objek Hak Tanggungan tersebut apabila debitur wanprestasi
dalam pelunasan hutangnya. Hal ini diperkuat dengan Putusan Mahkamah Agung No. 394KPdt1984 yang menegaskan bahwa barang yang sudah dijadikan barang kredit,
jaminan fidusia maupun jaminan Hak Tanggungan tidak dapat dikenakan sita jaminan.
Universitas Sumatera Utara
82
BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITUR PEMEGANG HAK