Tinjauan Yuridis Terhadap Kedudukan Benda Tidak Bergerak Sebagai Jaminan Dalam Perjanjian Kredit

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEDUDUKAN BENDA

TIDAK BERGERAK SEBAGAI JAMINAN DALAM

PERJANJIAN KREDIT

S K R I P S I

OLEH :

NIM : 040200076

YESSY SUSANNA TARIGAN

Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Perdata BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEDUDUKAN BENDA TIDAK BERGERAK SEBAGAI JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar

SARJANA HUKUM

OLEH :

NIM : 040200076

YESSY SUSANNA TARIGAN

Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Perdata BW

Disetujui,

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

(Prof. DR. Tan Kamello, SH, MS) NIP. 131570455

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Prof. DR. Tan Kamello, SH, MS) (Megarita SH,CN, M.Hum)


(3)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul dari skripsi ini adalah : “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEDUDUKAN BENDA TIDAK BERGERAK SEBAGAI JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT”.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Sehingga pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan rasa terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. DR. Runtung Sitepu, SH, M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof. DR. Suhaidi, SH, M.H, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.H, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Bapak M. Husni, SH, M.H, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

5. Bapak Prof. DR. Tan Kamello, SH, MS, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan sekaligus juga selaku Dosen Pembimbing I yang telah menyediakan waktu untuk memberikan saran dan petunjuk serta bimbingan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.


(4)

6. Ibu Megarita, SH, CN, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Ibu Yefrizawati, SH, M.Hum selaku Dosen Wali penulis selama mengikut i masa perkuliahan.

8. Bapak dan Ibu dosen serta para pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan yang turut mendukung segala urusan perkuliahan dan administrasi penulis selama mengikuti perkuliahan.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis juga mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada:

1. Orang Tua penulis yang tercinta: Ayahanda Alex S. Tarigan, BA dan Ibunda Yunitha M. Purba, yang telah memberikan segenap kasih sayang, perhatian, dan bimbingan yang tulus kepada penulis.

2. Saudara-saudara penulis tercinta: Abang Hendra Frederick Tarigan, S.Sos, Kakak Irma Anastasia Tarigan, S.S, dan Adik Ayu Fransiska Tarigan yang telah memberikan kasih sayang yang tulus dan dukungan moril kepada penulis.

3. Sahabat-sahabat penulis yang tercinta: Mala Ginting, SH, Rini Rafika SH, Ulfa Daulay, Februzi “Uci” Regina, SH, Mufidah “Mumu” Ulfah, Eka, Hotma, Roslan, Christina, Stefani Sinaga, Elvira Leman,SE, Feblitania, Virsa, Flora Tarigan juga Perpetua “Gembuliana” Agatha yang telah memberikan dukungan dan segenap bantuan kepada penulis.


(5)

4. Rekan-rekan stambuk 2004 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara khususnya anak-anak jurusan Hukum Perdata BW yang telah memberikan bantuan selama penulis dalam masa perkuliahan.

5. Adik-adikku yang telah memberi dukungan moril, doa, dan bantuan kepada penulis selama masa perkuliahan dan penyusunan skripsi : Stambuk 2005 (Dini Oktariza, Eki, Yudha, Emmy, Swarni, Merry, Tety), Stambuk 2006 (Teresia, Eva, Sonti, Renatha), Elysanta Stambuk 2007.

6. Rekan-rekan penulis dalam berorganisasi (PERMAHI dan IMKA) atas dukungannya kepada penulis.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan yang dimiliki penulis. Oleh karena itu penulis mohon maaf apabila banyak terdapat kekurangan dan penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca sekalian demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberi sumbangan pengetahuan bagi kita semua dan dapat bermanfaat bagi semua pihak. Terima Kasih.

Medan, Juni 2008

Penulis

YESSY SUSANNA TARIGAN


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Keaslian Penulisan ... 6

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

E. Tinjauan Pustaka ... 7

F. Metode Penelitian ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II URGENSI JAMINAN DALAM PEMBERIAN KREDIT A. Defenisi Jaminan ... 18

B. Jenis-Jenis Jaminan ... 21

C. Fungsi Jaminan Dalam Perjanjian Kredit ... 31

D. Pengikatan Jaminan atas Benda Bergerak dan Benda Tidak Bergerak ... 35

BAB III KREDIT SEBAGAI BENTUK PENYALURAN DANA OLEH


(7)

A. Pengaturan Kredit dalam Undang-Undang Perbankan ... 45

B. Bentuk dan Jenis Kredit Bank ... 47

C. Prosedur Penyaluran Dana dalam Perbankan ... 52

D. Tujuan dan Fungsi Kredit ... 59

E. Perjanjian Kredit ... 64

BAB IV KEDUDUKAN BENDA TIDAK BERGERAK SEBAGAI JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT A. Pengaturan Benda Tidak Bergerak sebagai Jaminan dalam KUHPerdata ... 75

B. Penilaian (Valuasi) Jumlah Nominal Harga Jaminan atas Benda Tidak Bergerak ... 79

C. Hak-Hak Para Pihak dalam Pengikatan benda Tidak Bergerak Sebagai Jaminan ... 83

D. Fungsi Jaminan dalam Penyelesaian Kredit Bermasalah …... 86

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 94

B. Saran ... 97


(8)

ABSTRAK

Salah satu bentuk usaha bank sebagai lembaga yang merupakan financial

intermediary adalah melakukan penyaluran dana dalam bentuk pemberian kredit

sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Dalam hal ini bank merupakan perantara bagi pihak-pihak yang kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana (lack of funds). Pemberian kredit tersebut dituangkan dalam suatu perjanjian kredit yang sifatnya mengikat bagi kedua belah pihak yakni bank sebagai kreditur dan debitur sebagai pihak peminjam. Pemberian kredit ini disertai pula dengan pengikatan jaminan. Adapun dalam skripsi ini yang lebih ditekankan adalah jaminan dalam bentuk benda tidak bergerak. Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana urgensi jaminan dalam pemberian kredit oleh bank, bagaimana kedudukan kredit dalam hal penyaluran dana oleh bank, serta bagaimana kedudukan benda tidak bergerak sebagai jaminan dalam perjanjian kredit.

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah metode penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan melalui penelusuran data-data obyektif yang berhubungan dengan obyek penelitian yang meliputi data-data sekunder berupa penelusuran, penelaahan, dan pengutipan bahan-bahan di kepustakaan yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini.

Urgensi jaminan dalam pemberian kredit oleh bank terlihat jelas dimana adanya jaminan tersebut merupakan upaya antisipatif dari bank untuk memperkecil resiko yang mungkin akan muncul dalam pemberian kredit. Kedudukan kredit dalam hal penyaluran dana oleh bank yakni kredit merupakan bentuk usaha bank yang menyalurkan dana kepada pihak yang memerlukan dana. Pemberian kredit itu didasarkan pada “The Five C of Credit Analysis” atau prinsip 5C’s yakni: character, capacity, capital, collateral, dan condition of economy. Kedudukan benda tidak bergerak sebagai jaminan memiliki peran penting khususnya dalam hal penyelesaian kredit bermasalah dimana barang jaminan tersebut dapat dijual setelah melalui prosedur penyelamatan dan penyelesaian kredit sebagai pelunasan atas utang debitur yang menyebabkan terjadinya kredit yang bermasalah.


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kedudukan lembaga perbankan yakni sebagai salah satu lembaga keuangan memiliki nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga ini dimaksudkan sebagai perantara pihak-pihak yang mempunyai kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana (lack of funds). Oleh karena itu, perbankan akan bergerak dalam kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, dan bank juga melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian.

Untuk mencapai kemanfaatan yang maksimal dari kegiatan perbankan maka terbentuk suatu sistem perbankan yang berlaku secara umum dan menyeluruh, yaitu sifat serta fungsi pokok dari kegiatan bank yang hampir sama. Dengan kata lain, terdapat keterkaitan kehidupan dan kegiatan bank secara global yang melewati batas-batas negara, sehingga tidak terbatas dalam suatu lingkup wilayah negara tertentu, tetapi secara luas meliputi kehidupan perekonomian dunia.

Indonesia memiliki kekhasan karakteristik corak perbankan yang sedikit berbeda dengan corak perbankan yang lazim di negara lain, tetapi secara umum corak perbankan Indonesia tetap sama dengan yang berlaku menyeluruh di


(10)

belahan dunia manapun. Kekhasan ini dipengaruhi oleh ideologi Pancasila dan tujuan negara yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun kekhasan tersebut terlihat jelas dalam kehidupan perbankan Indonesia, diantaranya:

1. Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Fungsi utamanya adalah sebagai penghimpun dan pengatur dana masyarakat dan bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.

2. Perbankan Indonesia sebagai sarana untuk memelihara kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional, juga guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pelaksanaan perbankan Indonesia harus banyak memperhatikan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan unsur-unsur Trilogi Pembangunan.

3. Perbankan Indonesia dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya kepada masyarakat tetap harus senantiasa bergerak cepat guna menghadapi tantangan-tantangan yang semakin berat dan luas, baik dalam perkembangan perekonomian nasional maupun internasional.1

Perbankan yang didasarkan kepada demokrasi ekonomi memiliki arti bahwa masyarakat harus memegang peranan aktif dalam kegiatan perbankan,

1

Drs. Muhamad Djumhana,S.H, Hukum Perbankan di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 4


(11)

sedangkan pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia, bertindak memberikan arahan dan bimbingan terhadap pertumbuhan dunia perbankan sekaligus menciptakan iklim yang sehat bagi perkembangannya.

Mengingat peranannya maka dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional, sehingga sangat wajar apabila terhadap lembaga perbankan tersebut pemerintah mengadakan pembinaan dan pengawasan yang ketat. Semuanya itu didasari oleh landasan pemikiran agar lembaga perbankan di Indonesia mampu berfungsi secara efisien, sehat, wajar, serta mampu melindungi secara baik dana yang dititipkan masyarakat kepadanya, serta mampu menyalurkan dana masyarakat tersebut ke bidang-bidang yang produktif bagi pencapaian sasaran pembangunan.

Dalam perkembangan perekonomian nasional maupun internasional yang senantiasa bergerak cepat disertai banyaknya dan bervariasinya tantangan yang dihadapi, sehingga perlu untuk diikuti secara tanggap oleh perbankan nasional dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya. Untuk itu perbankan nasional perlu diperkuat dengan landasan hukum yang dibutuhkan bagi terselenggaranya pembinaan dan pengawasan yang mendukung peningkatan kemampuan perbankan dalam menjalankan fungsinya secara sehat, wajar dan efisien, sekaligus memungkinkan perbankan nasional melakukan penyesuaian yang diperlukan sejalan dengan berkembangnya norma-norma perbankan secara internasional.

Ada dua sisi penting yang selalu mengikuti perkembangan industri perbankan dewasa ini, yaitu:


(12)

2. Peranan industri perbankan dalam memacu pertumbuhan ekonomi di suatu negara.

Sehingga tidak dapat disangkal bahwa kegiatan usaha perbankan selain pengaruhnya atas pertumbuhan perekonomian, juga selalu melekat atau terkandung aspek-aspek hukum, baik sebagai dasar aktivitas dari kegiatan operasional bank itu sendiri, maupun sebagai akibat yang ditimbulkan oleh karena aktivitas tersebut.

Kegiatan-kegiatan operasional bank, baik dalam usaha menghimpun dana dari masyarakat maupun mengelola dana, menanam kembali dana tersebut kepada masyarakat, sampai dana tersebut kembali lagi kepada bank, senantiasa terpaut dengan ketentuan hukum. Oleh karena itu, seiring dengan semakin meningkat dan berkembangnya kegiatan usaha perbankan, peranan bidang hukum dalam mendukung keberhasilan kegiatan itupun semakin dirasakan penting.2

Dalam hal menjalankan roda perekonomian tersebut maka diperlukan suatu lembaga sebagai perantara atau sebagai jembatan untuk mempertemukan

Keperluan akan dana dalam kehidupan masyarakat sehari-hari untuk menggerakkan roda perekonomian dirasakan semakin meningkat. Di satu sisi terdapat masyarakat yang kelebihan dana namun tidak memiliki kemampuan untuk mengusahakannya. Sedangkan di sisi lain ada pula masyarakat lain yang memiliki kemampuan dan keinginan untuk berusaha tetapi memiliki hambatan yakni tidak memiliki dana yang cukup atau bahkan tidak memiliki dana sama sekali.

2

Hasanuddin Rahman, S.H, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Di


(13)

dua pihak yang kelebihan dana dengan kekurangan dana. Di sinilah bank berperan sebagai Financial Intermediary yang akan bertindak sebagai kreditur yang menyediakan dana bagi mereka yang kekurangan dana yang dalam hal ini disebut sebagai debitur. Sehingga terbentuklah suatu perjanjian utang-piutang atau pemberian kredit.

Pemberian kredit pada umumnya dapat diberikan kepada siapa saja yang memiliki kemampuan untuk itu yakni dengan melalui suatu perjanjian utang-piutang. Apabila perjanjian tersebut telah disepakati maka akan lahir kewajiban pada kreditur, yaitu untuk menyerahkan dana atau uang yang diperjanjikan kepada debitur dengan hak menerima kembali uang tersebut dari debitur sesuai pada waktu yang telah ditentukan dengan disertai bunga yang disepakati oleh para pihak pada saat perjanjian pemberian kredit tersebut disetujui dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.

Hak dan kewajiban debitur adalah bertimbal balik dengan hak dan kewajiban kreditur. Selama proses pemberian kredit tidak mengalami masalah yakni kedua belah pihak dalam pemberian kredit tersebut tidak melalaikan hak dan kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan maka tidak akan muncul persoalan.

Pada umumnya persoalan tersebut dapat timbul apabila debitur lalai mengembalikan uang pinjaman pada saat yang telah ditentukan. Jika hal tersebut terjadi maka sesuai dengan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata menentukan bahwa semua kebendaan yang menjadi milik seseorang, baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari, akan menjadi jaminan bagi perikatannya.


(14)

Sehingga dalam pemberian kredit itu sendiri dibuat pula suatu perjanjian tambahan yakni yang menentukan suatu jaminan dari debitur sebagai upaya antisipatif bagi kreditur apabila debitur lalai melaksanakan kewajibannya.

Dalam suatu perjanjian utang-piutang memerlukan lebih dari sekedar janji untuk melaksanakan atau memenuhi kewajibannya. Untuk itu ilmu hukum dan peraturan perUndang-Undangan yang ada telah menciptakan dan melahirkan serta mengundangkan dan memberlakukan jaminan dalam bentuk kebendaan dan apabila debitur lalai melaksanakan kewajibannya sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan maka kreditur berhak untuk menggunakan jaminan kebendaan tersebut, misalnya dengan menjual benda yang dijaminkan tersebut sebagai bentuk pelunasan utang dari debitur.

B. Perumusan Masalah

Dalam skripsi ini, yang menjadi permasalahan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana urgensi jaminan dalam pemberian kredit.

2. Bagaimana kedudukan perjanjian kredit dalam penyaluran dana oleh bank. 3. Bagaimana kedudukan benda tidak bergerak sebagai jaminan dalam perjanjian

kredit.

C. Keaslian Penulisan

Skripsi ini pembahasannya dikhususkan untuk membahas tentang kedudukan benda tidak bergerak sebagai jaminan dalam perjanjian kredit.


(15)

Disamping itu juga membahas tentang urgensi jaminan dalam pemberian kredit serta mengenai kredit sebagai bentuk penyaluran dana oleh bank.

Adapun setelah dilakukan penelusuran perpustakaan serta hasil pembahasan skripsi yang sudah ada maupun sedang dilakukan ternyata belum pernah dilakukan pembahasan skripsi mengenai Tinjauan Yuridis Terhadap Kedudukan Benda Tidak Bergerak Sebagai Jaminan Dalam Perjanjian Kredit.

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana urgensi jaminan dalam pemberian kredit. 2. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan perjanjian kredit dalam penyaluran

dana oleh bank.

3. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan benda tidak bergerak sebagai jaminan dalam perjanjian kredit.

E. Tinjauan Kepustakaan

Agar tidak terjadi kesalahan penafsiran dalam pemahaman skripsi ini, maka penulis menguraikan pengertian dari skripsi yang berjudul “Tinjauan

Yuridis Terhadap Kedudukan Benda Tidak Bergerak Sebagai Jaminan Dalam Perjanjian Kredit. Adapun yang menjadi kata kunci dalam skripsi ini adalah

benda tidak bergerak dan jaminan dalam perjanjian kredit. 1. Pengertian Benda Tidak Bergerak


(16)

yakni: segala yang ada di alam yang berwujud atau berjasad (bukan roh); zat (mis. air, minyak); barang yang berharga (sebagai kekayaan); harta; barang. Dalam skripsi ini akan lebih membahas tentang benda tidak bergerak. Menurut Prof. Subekti, SH, benda tidak bergerak berarti benda yang tidak bergerak karena sifatnya, karena tujuan pemakaiannya, dan karena ditentukan demikian oleh Undang-Undang. Benda tidak bergerak karena sifatnya meliputi tanah, termasuk segala sesuatu yang secara langsung atau tidak langsung, karena perbuatan alam atau perbuatan manusia, digabungkan secara erat menjadi satu dengan tanah itu.3 2. Pengertian Jaminan Dalam Perjanjian Kredit

Menurut Hasanuddin Rahman, jaminan adalah tanggungan yang diberikan oleh debitur atau pihak ketiga kepada kreditur, karena pihak kreditur mempunyai suatu kepentingan bahwa debitur harus memenuhi kewajibannya dalam suatu perikatan.4

a. Jaminan yang diberikan kepada kreditur yaitu hak kebendaan atau hak perseorangan. Hak kebendaan dapat berupa benda berwujud maupun benda tidak berwujud ataupun dapat pula benda bergerak dan benda tidak bergerak. Sedangkan hak perseorangan adalah penanggungan utang yang diatur dalam Pasal 1820-1850 KUHPerdata.

Sehingga dari pengertian tersebut dapat pula disimpulkan bahwa:

b. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut dapat diberikan oleh debitur sendiri maupun pihak ketiga.

c. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut bertujuan untuk memberikan

3

Prof. Subekti, S.H, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta, hal 61

4


(17)

keamanan dan kepentingan kreditur yang terlebih dahulu diadakan dengan suatu perikatan yang khusus yang mana perikatan tersebut bersifat accesoir.

Akan tetapi pengertian jaminan itu sendiri tidak ada ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, namun dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 terdapat dalam Pasal 8 disebutkan bahwa dalam pemberian kredit, bank umum wajib mempunyai kepastian atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.

Adapun KUH Perdata juga tidak menyebutkan pengertian jaminan namun dalam Pasal 1131 disebutkan bahwa:

“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan.”

Adapun keberadaan jaminan kredit merupakan salah satu syarat yang penting dan bertujuan untuk memperkecil resiko bank dalam menyalurkan kredit. Sehingga jaminan kredit berfungsi untuk menjamin pelunasan utang debitur bila debitur ingkar janji atau wanprestasi. Maka jaminan kredit akan memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak bank bahwa kreditnya akan tetap kembali dengan cara mengeksekusi jaminan kredit perbankannya.

Jaminan kredit bank dapat digolongkan dalam beberapa klasifikasi berdasarkan sudut pandang tertentu, misalnya cara terjadinya, sifatnya, kebendaan yang dijadikan objek jaminan, dan lain sebagainya.


(18)

Jaminan karena undang-undang adalah jaminan yang dilahirkan atau diadakan oleh, seperti jaminan umum, hak privelege dan hak retensi (pasal 1132 dan pasal 1134 ayat (1) KUHPerdata). Sedangkan jaminan karena perjanjian adalah jaminan yang dilahirkan atau diadakan oleh perjanjian yang diadakan para pihak sebelumnya, seperti gadai, hipotik, hak tanggungan, dan fidusia.

b. Jaminan umum dan jaminan khusus

Pada prinsipnya, menurut hukum segala harta kekayaan debitur akan menjadi jaminan bagi perutangannya dengan semua kreditur. Pada pasal 1131 KUHPerdata menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang abru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Ini berarti seluruh harta kekayaan milik si debitur akan menjadi jaminan pelunasan atas utang debitur kepada semua kreditur. Kekayaan debitur dimaksud meliputi kebendaan bergerak maupun benda tetap, baik yang sudah ada pada saat perjanjian utang piutang diadakan maupun yang baru yang akan ada di kemudian hari yang akan menjadi milik debitur setelah perjanjian utang piutang diadakan. Dengan demikian, tanpa kecuali seluruh harta kekayaan debitur akan menjadi jaminan umum atas pelunasan perutangannya, baik yang telah diperjanjikan maupun tidak diperjanjikan sebelumnya. Jaminan umum ini dilahirkan karena undang-undang, sehingga tidak perlu ada perjanjian jaminan sebelumnya.


(19)

Akan tetapi, jaminan umum ini dalam praktek perkreditan dianggap tidak memuaskan kreditur, yakni kurang menimbulkan rasa aman dan terjamin bagi kredit yang diberikan. Dengan jaminan umum tersebut, kreditur tidak mengetahui secara persis berapa jumlah harta kekayaan debitur yang ada sekarang dan yang akan ada dikemudian hari, serta kepada siapa saja debitur itu berutang, sehingga khawatir hasil penjualan harta kekayaan debitur nantinya tidak cukup untuk melunasi utang-utangnya. Sehingga kreditur memerlukan adanya benda-benda tertentu yang ditunjuk secara khusus sebagai jaminan piutangnya dan itu hanya berlaku bagi si kreditur tersebut. Dengan kata lain diperlukan adanya jaminan yang dikhususkan baginya baik yang bersifat kebendaan maupun perorangan. Jaminan khusus ini timbul karena adanya perjanjian yang khusus diadakan antara kreditur dan debitur.

Karena jaminan umum ini dianggap kurang menguntungkan bagi kreditur maka diperlukan penyerahan harta kekayaan tertentu untuk diikat secara khusus sebagai jaminan pelunasan utang debitur, sehingga kreditur yang bersangkutan mempunyai kedudukan yang diistimewakan atau didahulukan daripada kreditur-kreditur lainnya dalam hal pelunasan utangnya. Jaminan ini akan memberikan perlindungan kepada kreditur dan di dalam perjanjiannya akan diterangkan pula mengenai hal ini.

c. Jaminan kebendaan dan jaminan perseorangan

Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas sesuatu benda, yang mempunyai ciri-ciri yakni memiliki hubungan


(20)

langsung atas benda tertentu dari debitur, dapat dipertahankan terhadap siapa pun, selalu mengikuti bendanya dan dapat diperalihkan (misalnya gadai, hipotik). Sedangkan jaminan perseorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perseorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan pada debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya (misalnya borgtocht). Selain sifat-sifat tersebut, yang membedakan hak kebendaan dari hak perseorangan adalah asas prioriteit yang dikenal pada hak kebendaan dan asas kesamaan pada hak perseorangan.

d. Jaminan pokok, jaminan utama dan jaminan tambahan

Kredit tersebut diberikan kepada debitur berdasarkan “kepercayaan” dari kreditur terhadap kesanggupan pihak debitur untuk membayar utangnya kelak. Karena dalam hukum diberlakukan diberlakukan suatu prinsip bahwa “kepercayaan” tersebut dipandang sebagai jaminan pokok dari pembayaran kembali utang-utangnya kelak. Sementara jaminan-jaminan lainnya yang bersifat kontraktual, seperti hak tanggungan atas tanah, gadai, hipotik, fidusia, dan sebagainya hanya dipandang sebagai “jaminan tambahan” semata-mata, yakni tambahan atas jaminan utamanya berupa jaminan atas barang yang dibiayai dengan kredit tersebut.

e. Jaminan atas benda bergerak dan tidak bergerak

Pembebanan jaminan kredit didasarkan pada objek bendanya. Kalau yang dijadikan jaminan adalah tanah, maka pembebanannya adalah dengan menggunakan hak tanggungan atas tanah, sedangkan kalau yang dijadikan jaminan adalah kapal laut atau pesawat udara, maka pembebanannya adalah


(21)

dengan menggunakan hipotik. Sementara itu, kalau yang dijadikan jaminan adalah benda bergerak, maka pembebanannya dengan menggunakan gadai, fidusia, cessie dan account receivable.

f. Jaminan regulatif dan jaminan non regulatif

Jaminan regulatif adalah jaminan kredit yang kelembagaannya sendiri sudah diatur secara eksplisit dan sudah mendapat pengakuan dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang tergolong dalam jaminan regulatif antara lain adalah hipotik, gadai, hak tanggungan, akta pengakuan utang. Sedangkan jaminan non regulatif adalah bentuk-bentuk jaminan yang tidak diatur atau tidak khusus diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, tetapi dikenal dan dilaksanakan dalam praktek. Jaminan non regulatif ini ada yang berbentuk jaminan kebendaan seperti pengalihan tagihan dagang, pengalihan tagihan asuransi, tetapi ada juga jaminan non regulatif yang semata-mata hanya bersifat kontraktual, seperti kuasa menjual dan lain-lainnya.

g. Jaminan konvensional dan jaminan non konvensional

Jaminan konvensional adalah jaminan yang pranata hukumnya sudah lama dikenal dalam sistem hukum kita, baik yang telah diatur dalam undangan, hukum adat maupun yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bukan berasal dari hukum adat, tetapi sudah lama dilaksanakan dalam praktek, seperti hipotik, hak tanggungan, gadai barang bergerak, gadai tanah, fidusia, garansi, dan akta pengakuan utang. Sementara itu bentuk-bentuk jaminan non konvensional adalah bentuk-bentuk jaminan


(22)

yang eksistensinya dalam sistem hukum jaminan yang masih terbilang baru sungguhpun sudah dilaksanakan secara meluas, sehingga pranatanya belum sempat pula diatur secara rapi, antara lain seperti pengalihan hak tagih debitur (assignment of receivable for security purpose), pengalihan hak tagih klaim (assignment of insurance proceeds), kuasa menjual, dan jaminan menutupi kekurangan biaya (cash deficiency).5

Pemberian kredit oleh bank kepada debitur, pada pelaksanaannya terdapat resiko terjadinya kredit bermasalah. Kredit bermasalah atau Non Performing Loan ini terjadi ketika terdapat kemacetan dalam pemberian kredit tersebut. Adapun dalam ketentuan Himbara (Himpunan Bank-Bank Negara) terkait penyelesaian kredit macet terdapat tiga ukuran yang dipergunakan, meliputi: kriteria debiturnya, besarnya keringanan yang diberikan, serta ketentuan bagi debitur yang masih dalam masa transisi.6

1. Kredit Lancar (pass),

Penggolongan kualitas kredit menurut SK Direktur Bank Indonesia Nomor 30/267/KEP/DIR pada Pasal 4 terdiri atas:

2. Kredit Dalam Perhatian Khusus (special mention), 3. Kredit Kurang Lancar (substandard),

4. Kredit Diragukan (doubtful), dan 5. Kredit Macet.

5

Rachmadi Usman, S.H, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia,PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal 287-291

6


(23)

Adapun kriteria sebagai kredit macet apabila terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 270 hari; atau kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru; atau dari segi hukum maupun kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai wajar. Pengecualian terhadap kriteria tersebut apabila kredit dinilai mengandung aspek pidana oleh instansi berwenang.

Penanganan kredit bermasalah sebelum diselesaikan secara yudisial dilakukan melalui penjadwalan (rescheduling), persyaratan (reconditioning), dan penataan kembali (restructuring). Penanganan dapat melalui salah satu cara ataupun gabungan dari ketiga cara tersebut. Setelah ditempuh dengan cara tersebut dan tetap tidak ada kemajuan penanganan, selanjutnya diselesaikan secara yudisial/litigasi melalui jalur pengadilan, pengadilan Niaga, melalui PUPN, dan melalui Lembaga Paksa Badan.7

7

Disinilah barang jaminan tersebut berperan dalam pemberian kredit yakni digunakan sebagai pelunasan pembayaran kredit macet tersebut oleh debitur.

Dengan demikian, dalam praktek perbankan khususnya dalam pemberian kredit, jaminan sangatlah berperan penting untuk memperkecil resiko dalam hal pelunasan utang debitur.

F. Metode Penelitian

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian untuk penulisan skripsi ini adalah metode penelitian kepustakaan.


(24)

Bahan atau Materi penelitian dalam penyelesaian skripsi ini yakni dengan melaksanakan penelitian kepustakaan dengan penelusuran data-data objektif yang berhubungan dengan obyek penelitian yang meliputi data sekunder berupa penelusuran, penelahaan dan pengutipan bahan-bahan di kepustakaan yang berhubungan dengan judul untuk menjelaskan permasalahan.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab, yaitu:

1. Bab I. Pendahuluan.

Bab ini dimulai dengan mengemukakan apa yang menjadi latar belakang penulisan skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Kedudukan Benda

Tidak Bergerak Sebagai Jaminan Dalam Perjanjian Kredit”, permasalahan,

keaslian penulisan skripsi, tujuan dan manfaat penulisan skripsi, tinjauan pustaka, metode penelitian serta sistematika penulisan.

2. Bab II. Urgensi Jaminan Dalam Pemberian Kredit .

Dalam bab ini diuraikan mengenai defenisi jaminan, jenis-jenis jaminan dan fungsi jaminan dalam perjanjian kredit serta pengikatan jaminan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak.

3. Bab III. Kredit Sebagai Bentuk Penyaluran Dana Oleh Bank.

Bab ini akan menguraikan mengenai pengaturan kredit dalam Undang-Undang Perbankan, jenis dan bentuk kredit bank, prosedur penyaluran dana


(25)

dalam perbankan, tujuan dan fungsi kredit, serta mengenai perjanjian kredit itu sendiri.

4. Bab IV. Kedudukan Benda Tidak Bergerak Sebagai Jaminan Dalam

Perjanjian Kredit.

Bab ini akan membahas mengenai pengaturan benda tidak bergerak dalam KUHPerdata, penilaian (valuasi) jumlah nominal harga jaminan atas benda tidak bergerak, hak-hak para pihak dalam pengikatan benda tidak bergerak sebagai jaminan dalam perjanjian kredit, serta mengenai fungsi jaminan dalam penyelesaian kredit bermasalah.

5. Bab V. Kesimpulan dan Saran.

Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dari seluruh bab-bab yang terdapat dalam penulisan skripsi ini sebagai jawaban dari permasalahan dan kemudian dibuat saran-saran yang merupakan sumbangan pemikiran penulis terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dalam skripsi ini.


(26)

BAB II

URGENSI JAMINAN DALAM PEMBERIAN KREDIT

A. Defenisi Jaminan

Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu zekerheid atau cautie. Zekerheid atau cautie ini mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya, disamping pertanggungjawaban umum debitur terhadap barang-barangnya. Selain istilah jaminan, dikenal juga dengan agunan. Istilah agunan ini dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Agunan adalah:

“Jaminan tambahan diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.”

Agunan dalam konteks ini merupakan jaminan tambahan (accessoir). Tujuan agunan adalah untuk mendapatkan fasilitas dari bank. Jaminan ini diserahkan oleh debitur kepada bank. Unsur-unsur agunan ini meliputi:

1. Jaminan tambahan;

2. diserahkan oleh debitur kapada bank;

3. untuk mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan.8

Pada pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dalam penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko

8

H. Salim HS, S.H, M.S, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, hal 21-22.


(27)

sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk mengurangi resiko tersebut jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank.9

1. Jaminan yang bersifat umum, yaitu jaminan yang diberikan debitur kepada setiap kreditur, hak-hak tagihan mana tidak mempunyai hak saling

Untuk memperoleh keyakinan dalam pemberian kredit kepada debitur, maka sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari debitur. Karena agunan menjadi salah satu unsur jaminan pemberian kredit maka jika berdasarkan unsur-unsur lain dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur untuk mengembalikan utangnya, agunan hanya dapat berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkut an.

Dengan demikian, jaminan tersebut dapat berarti material maupun immaterial. Hal ini diperkuat dengan melihat ketentuan pasal 1131 KUHPerdata yang menentukan bahwa segala kebendaan pihak yang berutang baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.

Pada dasarnya, terdapat 2 (dua) asas pemberian jaminan jika ditinjau dari sifatnya, yakni:

9

Hasanuddin Rahman, S.H, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di


(28)

mendahului (konkuren) antara kreditur yang satu dengan kreditur yang lainnya.

2. Jaminan yang bersifat khusus, yaitu jaminan yang diberikan oleh debitur kepada kreditur, hak-hak tagihan mana mempunyai hak mendahului sehingga ia berkedudukan sebagai kreditur privilege (hak preverent).

Yang dimaksud dengan jaminan itu sendiri adalah tanggungan yang diberikan oleh debitur dan atau pihak ketiga kepada kreditur karena pihak kreditur memiliki suatu kepentingan bahwa debitur harus memiliki kewajibannya dalam suatu perikatan. Dari pengertian ini dapat dikemukakan bahwa:

a. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut, baik berupa hak kebendaan maupun hak perorangan. Hak kebendaan ini berupa benda berwujud dan benda tak berwujud, benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Sedangkan hak perorangan adalah penanggungan utang, yang diatur dalam pasal 1820-1850 KUHPerdata.

b. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut, dapat diberikan oleh debitur sendiri maupun oleh pihak ketiga yang disebut juga penjamin atau penanggung. Jaminan perorangan atau penanggungan utang selalu diberikan oleh pihak ketiga kepada kreditur. Penanggungan tersebut diberikan baik dengan sepengetahuan atau tanpa sepengetahuan debitur yang bersangkutan. c. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut, untuk keamanan dan


(29)

perikatan tersebut bersifat accesoir dari Perjanjian Kredit atau Pengakuan Utang yang diadakan antara debitur dengan kreditur.10

Pentingnya keberadaan jaminan dalam pemberian kredit oleh bank ini tidak lain adalah suatu upaya dalam mengantisipasi resiko yang mungkin timbul dalam tenggang waktu antara pelepasan dan pelunasan kredit tersebut.

Adapun dalam pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 2001 tentang Jaminan Pemberian Kredit, menyebutkan pengertian jaminan dalam pemberian kredit yakni keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.11 Dengan demikian jaminan kredit itu merupakan hak dan kekuasaan yang diserahkan oleh debitur kepada kreditur/bank guna menjamin pelunasan utangnya apabila kredit yang diterimanya tidak dapat dilunasi sesuai waktu sebagaimana ditentukan dalam perjanjian kredit.12

1. Jaminan Perorangan

B. Jenis-Jenis Jaminan

Dalam praktik perbankan khususnya dalam pemberian kredit, pada

umumnya jenis-jenis jaminan terdiri dari:

Jaminan perorangan (Personal Guarantee) adalah jaminan berupa pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh seseorang pihak ketiga, guna

10

Ibid, hal 162.

11

Drs. Muhamad Djumhana,S.H, Hukum Perbankan di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 510

12

Prof. DR. Faisal Afiff, SPEC, LIC, Strategi dan Operasional Bank, PT Eresco, Bandung, hal 12


(30)

menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur kepada pihak kreditur apabila debitur yang bersangkutan cidera janji (wanprestasi).

Namun saat ini, bukan saja jaminan perorangan yang dikenal tetapi bank sudah sering menerima jaminan serupa yang diberikan oleh perusahaan yang dikenal dengan istilah Corporate Guarantee.

Adapun jaminan ini pada dasarnya adalah penanggungan utang yang pengaturannya dalam KUHPerdata terdapat dalam pasal 1820 sampai dengan pasal 1850 (termasuk pula pasal 1316).

Pada pasal 1820 KUHPerdata memberikan pengertian penanggungan utang sebagai suatu persetujuan dengan mana seseorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang, manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.

Dari pengertian tersebut dapat ditemukan unsur-unsur dalam suatu penanggungan utang, yaitu:

a. Adanya hubungan utang piutang (antara si berutang dengan si berpiutang); b. Disepakatinya persetujuan penanggungan utang dengan masuknya pihak

ketiga (penanggung) dalam hubungan hukum tersebut diatas;

c. Masuknya pihak ketiga dinyatakan dalam suatu persetujuan yang berisi kesanggupan penanggung untuk memenuhi perikatan debitur jika ia melakukan wanprestasi.

Demi kepentingan bank, apabila penanggungan utang ini diterima sebagai jaminan atas kredit yang akan dilepasnya, agar terhindar dari berbagai resiko


(31)

yang merugikan dan tidak diinginkan maka bank haruslah memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Perjanjian penanggungan utang adalah perjanjian accesoir, artinya harus ada perjanjian utang piutang yang diikutinya. Sebagaimana diatur dalam pasal 1821 ayat 1 KUHPerdata, yang menegaskan bahwa tiada penanggungan jika tidak ada perikatan pokok yang sah. Dalam hal ini sekaligus berarti kualitas dari perjanjian utang piutang haruslah benar-benar sempurna tanpa cacat sedikitpun, karena cacatnya perjanjian utang piutang akan berpengaruh terhadap cacatnya pula penanggungan utang sebagai perjanjian accesoir.

b. Apabila penanggungan utang tersebut adalah Personal Guarantee, atau dengan kata lain penaggung utang (guarantor)- nya adalah perorangan, maka diperlukan persetujuan istri (atau bantuan suami) dalam melakukan perjanjian penanggungan utang tersebut. Filosofinya terletak pada pasal 1826 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa perikatan-perikatan papra penanggung berpindah kepada ahli warisnya.

c. Apabila penanggungan utang tersebut adalah Corporate Guarantee, atau dengan kata lain penanggung utang (guarantor)-nya adalah perusahaan (biasanya Perseroan Terbatas), maka yang pertama-tama harus diperhatikan dalah Anggaran Dasar/Akta Pendirian Perseroan, tentang siapa-siapa yang berhak mewakili perseroan tersebut.

d. Dalam perjanjian penanggungan utang, hendaknya dimasukkan klausula yang menyebutkan bahwa penanggung utang (guarantor) melepaskan


(32)

hak-hak istimewanya yang diatur dalam KUHPerdata, sehingga kreditur (bank) dapat juga menagih si penanggung tanpa adanya kewajiban menagih terlebih dahulu si berutang (debitur). Mengenai hal ini pengaturannya dimuat pada pasal 1831 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa si penanggung tidaklah diwajibkan membayar kepada si berpiutang, selainnya jika si berutang lalai, sedangkan benda-benda si berutang lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya. Sedangkan pada pasal 1832 antara lain menyebutkan pengecualiannya bahwa si penanggung tidak dapat menuntut supaya benda-benda si berutang lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya, apabila ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut supaya benda-benda si berutang lebih dahulu disita dan dijual.

e. Debitur tidak dibenarkan menjadi penanggung utang (guarantor), baik berupa Personal Guarantee maupun Corporate Guarantee. Filosofinya, bahwa debitur atau orang yang berutang, secara yuridis formal menjadikan seluruh harta bendanya – baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari – menjadi jaminan atas utang-utangnya (pasal 1131 KUHPerdata).

f. Apabila diadakan tambahan kredit dan atau perpanjangan masa perjanjian kredit atau utang piutang, yang dijamin oleh penanggungan utang, maka haruslah dengan sepengetahuan dan persetujuan penanggung utang (guarantor) yang bersangkutan. Filosofinya:


(33)

1. Bahwa setiap utang yang dijamin oleh guarantor, harus diketahui olehnya, sehingga tidak akan ada sangkalan mengenai adanya perubahan struktur kredit tersebut, karena ia pun ikut mengetahui dan menyetujuinya;

2. Bahwa setiap perubahan perikatan pokoknya, maka secara yuridis formal perjanjian yang mengikutinya harus pula diubah sesuai dengan perikatan pokoknya;

3. Tidaklah diperbolehkan untuk memperluas penanggungan utang hingga melebihi ketentuan-ketentuan yang menjadi syarat sewaktu mengadakannya (pasal 1824 KUHPerdata).

2. Jaminan Kebendaan

Jaminan kebendaan adalah jaminan berupa harta kekayaan, baik benda maupun hak kebendaan, yang diberikan dengan cara pemisahan bagian dari harta kekayaan baik dari si debitur maupun dari pihak ketiga, guna menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur kepada pihak kreditur apabila debitur yang bersangkutan cidera janji (wanprestasi).

Menurut sifatnya, jaminan kebendaan ini terbagi atas 2 (dua), yaitu: jaminan dengan benda berwujud (material) dan jaminan dengan benda tidak berwujud (immaterial).

Benda berwujud, dapat berupa benda/barang bergerak dan atau barang tidak bergerak. Sedangkan benda tidak berwujud yang lazim diterima bank sebagai jaminan kredit adalah berupa hak tagih.


(34)

dapat berupa kendaraan bermotor, logam mulia, stok barang, dan sebagainya yang dapat dinilai baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Sedangkan barang tidak bergerak yang lazim diterima sebagai jaminan kredit oleh bank, dapat berupa tanah, bangunan, kapal berukuran 20 meter kubik keatas, dan lain-lain termasuk mesin-mesin pabrik yang melekat dengan tanah. Pembagian barang bergerak dan tidak bergerak tersebut diatur dalam ketentuan pasal 506 sampai dengan pasal 518 KUHPerdata.13

a. Tanah dan Bangunan

Dalam skripsi ini akan lebih diutamakan jaminan kredit yaitu berupa barang tidak bergerak.

Adanya kenyataan bahwa tanah-tanah dan benda-benda khususnya bangunan di atasnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, maka apabila bank akan menerima tanah sebagai jaminan kredit, maka benda-benda yang berada di atas tanah tersebut harus diminta pula sebagai jaminan atas kredit tersebut. Dalam prakteknya, benda-benda tersebut biasanya adalah bangunan, baik rumah maupun kantor yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan yang dibiayai.

Untuk menerima tanah sebagai jaminan kredit, haruslah dilihat jenis hak atas tanah tersebut. Pentingnya mengetahui jenis hak atas tanah yang akan dijaminkan tersebut, adalah agar dapat dinilai dengan benar serta dapat mengantisipasi resiko-resiko yang mungkin timbul dikemudian hari, apabila terjadi kemacetan atas kredit yang telah diberikan.

13

Hasanuddin Rahman, S. H, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Di


(35)

Jenis-jenis hak atas tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tersebut meliputi:

1. Hak Milik, yaitu hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang daapt dipunyai orang atas tanah, dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, serta dengan mengingat bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

2. Hak Guna Usaha, yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan dan diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar serta dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

3. Hak Guna Bangunan, yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan milik sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan jangka waktu tersebut dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun serta dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

4. Hak Pakai, yaitu hak untuk menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikan atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal


(36)

tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.

5. Hak Sewa, yaitu hak untuk mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.

6. Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan, yaitu hak-hak yang hanya dapat dipunyai oleh Warga Negara Indonesia dan diatur oleh Peraturan Pemerintah.

7. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara, seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian.14

Berdasarkan hak-hak yang disebutkan diatas maka untuk pengamanan atas jaminan kredit, bank seyogianya hanya akan mempertimbangkan untuk menerima Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan sebagai jaminan kredit. Hal ini dengan melihat bahwa hanya ketiga jenis hak tersebut yang secara tegas disebutkan kemungkinan dapat beralih dan dialihkan.

Namun demikian, melihat perkembangan dan persaingan antar bank saat ini, tidak sedikit bank yang berani menerima jenis hak atas tanah tersebut, bahkan terhadap tanah-tanah yang tidak jelas kepemilikannya, yaitu berupa tanah kavling dan tanah garapan. Walaupun secara yuridis

14

Tampil Anshari Siregar, Undang-Undang Pokok Agraria Dalam Bagan, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, hal 49-50


(37)

formal, bank akan menghadapi banyak resiko apabila menerima tanah yang tidak jelas jenis hak dan status kepemilikannya.

b. Kapal

Kapal adalah semua perahu, dengan nama apapun, dan dari macam apapun juga, kecuali apabila ditentukan atau diperjanjikan lain, maka kapal itu dianggap meliputi segala alat perlengkapannya. Yang dimaksud alat perlengkapan kapal adalah segala benda yang bukan suatu bagian daripada kapal itu sendiri, namun diperuntukkan untuk selamanya dipakai tetap dengan kapal itu (pasal 309 KUHDagang).

Kapal laut adalah semua kapal yang dipakai untuk pelayaran di laut atau yang diperuntukkan untuk itu (pasal 310 KUHDagang).

Kapal Indonesia adalah setiap kapal yang dianggap sebagai demikian oleh undang-undang tentang surat-surat kapal dan pas-pas kapal (pasal 311 KUHDagang).

Sebuah kapal yang telah dibuat atau sedang dibuat di Indonesia, dianggap sebagai kapal Indonesia, hingga saat diserahkannya kapal itu oleh si pembuat kepada si oranglah atas tanggungan siapa kapal itu telah atau sedang dibuat, atau saat kapal itu dipakainya sendiri oleh si pembuat guna suatu pelayaran (pasal 312 KUHDagang).

Dari pengertian-pengertian diatas maka apabila bank akan menerima kapal sebagai jaminan kredit, bank harus melihat apakah kapal tersebut kapal Indonesia atau bukan yaitu dengan meminta Surat Kebangsaan


(38)

Kapal, yang dikeluarkan oleh negara atau pemerintah, tempat dimana asal kebangsaan kapal tersebut.

Adapun untuk kepentingan pembebanan hak tanggungan atau perikatan jaminan kapal, maka secara umum dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu kapal yang berukuran kurang dari 20 meter kubik, dan kapal yang berukuran 20 meter kubik atau lebih (sesuai ketentuan pasal 314 KUHDagang). Untuk kapal yang berukuran 20 meter kubik atau lebih, haruslah memiliki Grosse Akta Pendaftaran Kapal yang dikeluarkan oleh syahbandar, surat laut, dan pasa kapal tahunan. Sedangkan untuk kapal-kapal lainnya, perlu dimintakan surat ukur kapal-kapal, surat keterangan layak jalan, dan surat izin perjalanan dalam negeri.

Diterimanya suatu kapal sebagai jaminan dalam pemberian kredit maka memerlukan suatu monitoring yang optimal dari pihak bank sebagai pemberi kredit guna meminimalkan resiko yang mungkin timbul atas barang jaminan tersebut. Sehingga harus sangat diperhatikan beberapa hal yang menyangkut tentang kapal dalam menjadikannya sebagai jaminan kredit, seperti kepemilikan kapal, ukuran, dan keadaan fisik kapal tersebut.15

c. Mesin-mesin

Sama halnya dengan kapal, untuk kepentingan pembebanan hak tanggungan atau perikatan jaminan mesin-mesin ini, maka secara umum dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu mesin yang karena sifatnya

15


(39)

melekat dengan tanah sehingga dianggap sebagai benda tetap/tidak bergerak, dan mesin-mesin yang karena sifatnya dengan mudah dapat dipindahkan, sehingga dianggap sebagai benda tidak tetap/tidak bergerak.

Selain perbedaan dalam pembebanan hak tanggungan, maka perlakuan dan persyaratan dalam menerima mesin-mesin tersebut sebagai jaminan, maka tidak ada perbedaan baik yang dianggap sebagai benda tetap maupun sebagai benda bergerak.

Dalam hal bank menetapkan mesin-mesin tersebut dapat dijadikan jaminan kredit atau tidak, maka bank sebagai pemberi kredit harus memperhatikan kepemilikan dan keadaan fisik dari mesin-mesin tersebut. Untuk mengetahui kepemilikannya, maka dapat dilihat pada faktur/invoice atau pada kuitansi pembeliannya.16

1. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa surat perjanjian tertulis;

C. Fungsi Jaminan Dalam Perjanjian Kredit

Kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko sehingga bank dituntut kemampuan dan efektivitasnya dalam mengelola resiko kredit dan meminimalkan potensi kerugian sehingga bank wajib memerhatikan asas-asas perkreditan yang sehat, diantaranya:

2. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit pada usaha yang sejak semula telah diperhitungkan kurang sehat dan akan membawa kerugian;

16


(40)

3. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk pembelian saham dan modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham; atau

4. Memberikan kredit melampaui batas maksimum pemberian kredit (legal

lending limit).17

Asas-asas perkreditan yang sehat ini juga harus sejalan dengan asas-asas hukum jaminan yang objeknya benda, sebagai berikut:

1. Asas hak kebendaan (real tight)

Sifat hak kebendaan adalah absolut, artinya hak ini dapat dipertahankan pada setiap orang. Pemegang hak benda berhak menuntut setiap orang yang mengganggu haknya. Sifat lain dari hak kebendaan adalah drot de suite, artinya hak kebendaan mengikuti bendanya didalam tangan siapapun dia berada. Didalam karakter ini terkandung asas hak yang tua didahulukan dari hak yang muda (droit de preference). Jika beberapa kebendaan diletakkan di atas suatu benda, berarti kekuatan hak itu ditentukan oleh urutan waktunya. Sifat kebendaan itu sendiri adalah memberikan wewenang yang kuat kepada pemiliknya, hak itu dapat dinikmati, dialihkan, dijaminkan, dan disewakan. 2. Asas asesor

Artinya hak jaminan ini bukan merupakan hak yang berdiri sendiri (zelfstandigrecht), tetapi ada dan hapusnya bergantung (accessorium) kepada perjanjian pokok.

3. Hak yang didahulukan

Artinya hak jaminan yang didahulukan pemenuhannya dari piutang lain.

17


(41)

4. Objeknya adalah benda yang tidak bergerak, terdaftar atau tidak terdaftar. 5. Asas asesi

Yaitu perlekatan antara benda yang ada di atas tanah dengan tapak tanahnya. 6. Asas pemisahan horizontal

Yaitu dapat dipisahkan benda yang ada di atas tanah dengan tanah yang merupakan tapaknya.

7. Asas terbuka

Artinya ada publikasi sebagai pengumuman agar masyarakat mengetahui adanya beban yang diletakkan di atas suatu benda.

8. Asas spesifikasi/pertelaan dari benda jaminan. 9. Asas mudah dieksekusi.18

Jaminan mempunyai kedudukan dan manfaat yang sangat penting dalam menunjang pembangunan ekonomi. Karena keberadaan lembaga ini dapat memberikan manfaat bagi kreditur dan debitur. Manfaat bagi kreditur adalah:

1. Terwujudnya keamanan terhadap transaksi dagang yang ditutup; 2. Memberikan kepastian hukum bagi kreditur.19

Bagi debitur dengan adanya benda jaminan itu dapat memperoleh fasilitas kredit dari bank dan tidak khawatir dalam mengembangkan usahanya. Keamanan modal adalah bahwa kredit atau modal yang diserahkan oleh kreditur kepada debitur tidak merasa takut atau khawatir tidak dikembalikannya modal tersebut. Memberikan kepastian hukum adalah memberikan kepastian bagi pihak kreditur

18

Prof. DR. Tan Kamello, S.H, M.S, Hukum Jaminan Fidusia, PT Alumni, Bandung, hal 19-20

19

H.Salim HS,S.H,M.S, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, hal 28


(42)

dan debitur. Kepastian bagi kreditur adalah kepastian untuk menerima pengembalian pokok kredit dan bunga dari debitur. Sedangkan bagi debitur adalah kepastian untuk mengembalikan pokok kredit dan bunga yang ditentukan. Disamping itu, bagi debitur adalah adanya kepastian dalam berusaha. Karena dengan modal yang dimilikinya maka dapat mengembangkan bisnisnya lebih lanjut. Apabila debitur tidak mampu dalam mengembalikan pokok kredit dan bunga, bank atau pemilik modal dapat melakukan eksekusi terhadap benda jaminan.

Fungsi jaminan kredit tersebut meliputi:

a. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapat pelunasan dari agunan apabila debitur melakukan cidera janji, yaitu untuk membayar utangnya kembali pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian;

b. Menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau sekurang-kurangnya kemungkinan untuk berbuat demikian dapat diperkecil; c. Memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya, khususnya

mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar debitur dan/atau pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank.20

Sehingga dapat disimpulkan bahwa jaminan kredit bank berfungsi untuk menjamin pelunasan utang debitur bila debitur cidera janji atau pailit. Jaminan

20

Rachmadi Usman, S. H, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal 286


(43)

kredit akan memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak perbankan bahwa kreditnya akan tetap kembali dengan cara mengeksekusi jaminan kredit perbankannya.

Untuk melindungi uang yang dikucurkan lewat kredit dari resiko kerugian tersebut maka pihak perbankan membuat “pagar pengamanan”. Hal ini dikarenakan dalam kondisi sebaik apapun atau dengan analisis sebaik mungkin, resiko kredit macet tidak dapat dihindari. Pagar pengamanan yang dibuat biasanya berupa jaminan yang harus disediakan debitur. Tujuan jaminan ini adalah untuk melindungi kredit dari resiko kerugian, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Lebih dari itu jaminan yang diserahkan oleh nasabah merupakan beban sehingga si nasabah akan bersungguh-sungguh untuk mengembalikan kredit yang diambilnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa jaminan kredit tersebut berfungsi untuk memberi keamanan bagi pihak perbankan terutama apabila terjadi kredit macet maka jaminan tersebut dapat dieksekusi untuk menutupi utang debitur tersebut.21

Untuk kepentingan bank, dalam hal menjamin pengembalian kredit yang diberikan, maka terhadap jaminan atau agunan yang diserahkan oleh debiturnya, haruslah dilakukan pengikatan atau pembebanan hak tanggungan. Mengenai pengikatan jaminan atau lembaga jaminan ini bahwa untuk benda-benda bergerak dipakai lembaga jaminan fidusia dan atau gadai, dan untuk benda-benda tidak

D. Pengikatan Jaminan atas Benda Bergerak dan Benda Tidak Bergerak

21


(44)

bergerak dipakai lembaga jaminan hipotik dan atau dengan pembebanan hak tanggungan. Kemudian dalam SE BI No. 23/6/UKU tanggal 28 Februari 1991, disebutkan bahwa pengikatan agunan dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.22

1. Pengikatan secara gadai;

Sehingga dengan berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996 maka terhadap jaminan benda tidak bergerak seperti tanah pengikatannya dilakukan menurut ketentuan undang-undang ini.

Untuk pengikatan jaminan atas benda bergerak, dapat dilakukan dengan menggunakan 3 (tiga) cara, yaitu:

2. Pengikatan jaminan fidusia;

3. Cessie, yaitu cara penyerahan barang jaminan untuk tagihan-tagihan,

misalnya deposito, simapanan, dan tagihan pada pihak ketiga (pengikatannya dengan cara gadai).23

Dalam hal pengikatan secara gadai, diatur dalam pasal 1150 sampai dengan pasal 1160 KUHPerdata. Pengertian gadai ini diatur dalam pasal 1150 KUHPerdata, yakni:

“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang dan oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang

22

Ibid, hal 182

23

Prof. DR. Faisal Affif, SPEC. LIC, Strategi dan Operasional Bank, PT Eresco Bandung, hal 126


(45)

tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.”

Hal-hal penting mengenai gadai yakni sebagai berikut:

1. Perjanjian gadai merupakan perjanjian tambahan disamping perjanjian pokoknya (perjanjian pinjam-meminjam uang). Artinya, jika perjanjian pokoknya hapus, otomatis perjanjian gadai ini hapus pula.

2. Barang yang digadaikan harus berada di bawah kekuasaan kreditur (pemegang gadai).

3. Kreditur dilarang mengaku barang yang digadaikan menjadi miliknya, dalam hal debitur tidak membayar atau melunasi utangnya.

4. Jika debitur tidak memenuhi janjinya dalam surat utang/ persetujuan membuka kredit, kreditur berhak untuk setelah tenggang waktu pembayaran utang itu lampau, debitur diperingati untuk melunasi barang gadai itu dimuka umum (lelang). Mengenai barang dagangan yang dapat dipasarkan di bursa penjualannya dapat dilakukan di tempat tersebut itu, asalkan dengan perantaraan dua orang makelar yang ahli dalam jual beli barang-barang itu.

5. Tanpa persetujuan dari debitur (pemberi gadai), kreditur (pemberi gadai) dilarang memakai atau mengeksplotir barang yang digadaikan. Untuk pengikatan jaminan atas benda bergerak dilakukan dengan cara fdusia yang merupakan bentuk penyimpangan dari gadai, dan timbul karena kebutuhan dalam praktik dengan maksud agar barang-barang yang dijamin dapat dikuasai dan dan dipergunakan oleh debitur.


(46)

Adapun fiducia memiliki kebaikan yakni benda-benda yang dijaminkan tetap ada pada/dipegang oleh dan atas tanggung jawab debitur yang memegang sehingga kreditur tidak perlu bersusah payah menyimpan dan mengurus/memelihara benda-benda itu seperti dalam gadai.24

1. Hak Tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftar. Namun demikian bangunan di atas milik orang lain yang tidak dapat dibebani hak tanggungan berdasarkan Undang-Undang Dalam pasal 1 Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999, telah diberi batasan dan pengertian mengenai fidusia, yaitu fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda. Adapun jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya.

Pada pasal 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia telah diatur mengenai ruang lingkup jaminan fidusia yang diperjelas dengan pasal 3 Undang-Undang Jaminan Fidusia yang menyatakan bahwa jaminan fidusia tidak berlaku terhadap:

24

Prof. DR. Faisal Affif, SPEC. LIC, Strategi dan Operasional Bank, PT Eresco Bandung, hal.128


(47)

Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dapat dijadikan objek jaminan fidusia.

2. Hipotik atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 (dua puluh)M3 atau lebih.

3. Hipotik atas pesawat terbang. 4. Gadai.

Sehingga dapat dikatakan yang menjadi objek jaminan fidusia adalah benda apapun yang dapat dimiliki dan dialihkan hak kepemilikannya. Benda itu dapat berupa benda berwujud maupun tidak berwujud, terdaftar maupun tidak terdaftar, bergerak maupun tidak bergerak, dengan syarat bahwa benda tersebut tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atau hipotik sebagaimana dimaksud dalam pasal 314 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang jis pasal 1162, dst KUHPerdata.25

Sebelum keluarnya Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996, dalam hal pengikatan jaminan atas benda tidak bergerak, dapat dilakukan dengan cara hipotik dan credit verband. Hak hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan

26

25

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Rajawali Pers, hal 141

26

Prof. DR. Faisal Affif, SPEC. LIC, Op. Cit, hal.128

. Sedangkan credit verband adalah suatu jaminan atas tanah berdasarkan STB/1908 No. 542 yang maksudnya adalah untuk memberikan kesempatan pada orang-orang Bumiputra agar dapat meminjam uang dengan


(48)

jaminan tanah dengan status hak milik adat atau belum bersertifikat.27

a. Berkaitan erat dengan hak jaminan atas tanah

Akan tetapi dengan dikeluarkannya Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996 maka terhadap benda tak bergerak seperti tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah dalam pengikatannya sebagai jaminan dalam pemberian kredit dilakukan dengan pembebanan hak tanggungan.

Hak Tanggungan sebenarnya menyangkut tiga aspek sekaligus yaitu berkaitan erat dengan hak jaminan atas tanah, berkaitan dengan kegiatan perkreditan, dan juga berkaitan dengan perlindungan hukum bagi para pihak yang terkait.

Hak tanggungan jika dikaitkan dengan Pasal 4 UUHT maka berakibat sebagai berikut:

1. Hak Tanggungan sebagai hak jaminan atas hak atas tanah tidak hanya

menyangkut benda-benda yang telah ada saja, tetapi juga benda-benda yang akan ada (pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Hak Tanggungan jo. pasal 1175 KUHPerdata).

2. Dimungkinkan pula pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut yang tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah (dimiliki oleh orang lain) dengan syarat pembebanan hak tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang bersangkutan oleh pemiliknya atau

27


(49)

yang diberi kuasa untuk itu dengan akta otentik (Pasal 4 ayat (4) dan Pasal 5 UUHT).

b. Berkaitan dengan Kegiatan Perkreditan

Sehubungan dengan kegiatan perkreditan tersebut, maka hak tanggungan adalah salah satu hak jaminan di bidang hukum yang dapat memberi perlindungan khusus kepada kreditur dalam kegiatan perkreditan. Oleh karena itu jika dikaitkan dengan sifatnya, hak tanggungan sebagai hak jaminan atas tanah sebagai agunan memberikan kedudukan diutamakan (preference) kepada kreditur. Maka kreditur yang bersangkutan dapat memperoleh pelunasan atas piutangnya terlebih dahulu dari kreditur-kreditur lainnya, karena objek hak tanggungan tersebut disediakan khusus untuk pelunasan piutang kreditur tertentu.

c. Berkaitan dengan Perlindungan Hukum

Hal ini berhubungan dengan masalah perjanjian, hubungan utang-piutang antara kreditur dengan debitur, dan apa yang dapat dilakukan kreditur jika debitur misalnya tidak dapat memenuhi apa yang sudah diperjanjikan atau wanprestasi.28

28

Adapun yang dapat dijadikan objek hak tanggungan harus memenuhi syarat-syarat antara lain:

a. Dapat dinilai dengan uang, karena hutang yang dijamin adalah berupa uang.

b. Termasuk hak yang wajib didaftar dalam Daftar Umum karena harus memenuhi syarat spesialitas dan publisitas.


(50)

c. Mempunyai sifat yang dapat dipindahtangankan karena apabila debitur cidera janji, benda yang dijadikan jaminan akan dijual dimuka umum.

d. Memerlukan penunjukkan oleh undang-undang.

Maka sesuai dengan syarat diatas objek hak tanggungan sebagaimana tersebut dalam Pasal 4 jo Pasal 27 Undang-Undang Hak Tanggungan dan Penjelasan Umum angka 5 adalah hak atas tanah dengan status sebagai berikut:

1. Yang ditunjuk oleh UUPA sesuai dengan Pasal 16 ayat (1) a, b, c sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan yaitu: Hak Milik (Pasal 25), Hak Guna Usaha (Pasal 33), dan Hak Guna Bangunan (Pasal 39).

2. Yang ditunjuk oleh Undang-Undang Rumah Susun (Pasal 27 Undang-Undang Hak Tanggungan jo. Pasal 12 dan 13 Undang-Undang Rumah Susun).

3. Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah Negara (Pasal 12 ayat (1) a Undang-Undang Rumah Susun jo. Pasal 27 Undang-Undang Hak Tanggungan dan penjelasannya).

4. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang bangunannya berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah Negara (Pasal 13a Undang-Undang Rumah Susun jo. Pasal 27 Undang-Undang-Undang-Undang Hak Tanggungan dan penjelasannya).

5. Hak Pakai atas Tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan, namun dalam pemberian kredit


(51)

pada umumnya bank hanya mau menerima benda jaminan dalam konteks tanah dan benda diatasnya yang telah memiliki sertifikat.

Subjek hak tanggungan menurut Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 9 Undang-Undang Hak Tanggungan, baik pemberi maupun pemegang Hak Tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum, yang mempunyai kewenangan untuk melakukan

perbuatan hukum (rechtsbevoegdheid) terhadap objek hak tanggungan yang

bersangkutan pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan; sedangkan pemegang hak tanggungan berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang (kreditur).

Adapun untuk benda tak bergerak yang akan dijadikan jaminan dalam pemberian kredit sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hak Tanggungan yang menyatakan bahwa untuk benda tak bergerak yang tidak dapat bibebankan dengan hak tanggungan maka pengikatannya sebagai jaminan dilakukan dengan fidusia. Misalnya rumah susun yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1985 menyatakan bahwa hak pakai atas rumah susun dapat dijadikan utang dalam hal ini dijadikan jaminan kredit, dilakukan dengan dibebani fidusia.29

1. Penilaian tidak merugikan bagi bank, apabila barang jaminan dilelang.

Bank sebagai kreditur atau pihak pemberi kredit dalam menetapkan benda atau barang tersebut dapat dijadikan sebagai jaminan kredit maka perlu melakukan penilaian terhadap benda atau barang yang kemudian menjadi jaminan kredit tersebut sebagai upaya antisipatif apabila terjadi kredit macet, yakni dengan memperhatikan bahwa:

29


(52)

2. Bila bangunan sebagai jaminan, maka bangunan dalam keadaan kosong. Artinya bila terdapat penghuni yang menyewa atau mengontrak, secara hukum mereka dilindungi oleh peraturan yang berlaku. Maka nilai bangunan tersebut, dalam penilaian jaminan, bangunan harus dikurangi uang pesangon untuk pengosongan rumah, terkecuali penempatan bangunan tersebut berupa kontrak dengan batas waktu akan berakhir.

3. Memperhitungkan harga tertinggi dan kemudian penaksiran harga terendah. 4. Menentukan Taksiran Harga Lelang Sita (THLS) dari barang jaminan

tersebut (merupakan rata-rata dari penaksiran harga tertinggi dan harga terendah).

5. Dalam menentukan nilai lebih harus mencakup tagihan bunga, bunga tunggakan, dan ongkos perkara dengan nilai tertentu dari seluruh tagihan pada saat penunggakan diajukan ke pengadilan.

6. Memperhitungkan tambahan pengamanan yakni jumlah harga pokok

ditambah dengan jumlah tambahan pengamanan, sehingga akan diperoleh Taksiran Harga Lelang Sita (THLS). Adapun perhitungan tambahan pengamanan ini tergantung oleh besarnya suku bunga, lamanya kemungkinan bunga tertunggak, serta kemungkinan terhutangnya ongkos-ongkos lain yang diperjanjikan.30

30

Prof. DR. Faisal Affif, SPEC. LIC, Strategi dan Operasional Bank, PT Eresco Bandung, hal 132


(53)

BAB III

KREDIT SEBAGAI BENTUK PENYALURAN DANA

OLEH BANK

A. Pengaturan Kredit Dalam Undang-Undang Perbankan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998, menyatakan dalam pasal 1 ayat 2:

“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat.”

Dari pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa fungsi bank dalam sistem hukum perbankan di Indonesia adalah sebagai intermediary bagi masyarakat yang surplus dana dan masyarakat yang kekurangan dana. Penghimpunan dana masyarakat yang dilakukan oleh bank berdasarkan pasal tersebut dinamakan simpanan, sedangkan penyalurannya kembali dari bank kepada masyarakat dinamakan kredit.

Penyaluran dana dari bank kepada masyarakat atau dengan kata lain penyaluran kredit ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yakni pada pasal 1 ayat 11, mengenai batasan kredit yang menyatakan:

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”


(54)

Adapun dalam hal bank berfungsi sebagai “lembaga perantara” antara masyarakat yang kekurangan dana dengan masyarakat yang kelebihan dana, sesuai dengan pengaturan tentang fungsi bank dalam Pasal 1 ayat 2, yang lebih diperluas dan diperinci dalam bentuk usaha bank yang diatur pada pasal 6 Undang-Undang Perbankan, yang menyatakan:

“Usaha bank meliputi:

a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan; berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;

b. Memberikan kredit,

c. Menerbitkan surat pengakuan utang;

d. Membeli, menjual, atau menjamin atas resiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya:

1. Surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;

2. Surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;

3. Kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah; 4. Sertifikat Bank Indonesia (SBI);

5. Obligasi;

6. Surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;

7. Instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;

e. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah;

f. Menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya; g. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan

perhitungan dengan atau antar pihak ketiga;

h. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga;

i. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak;

j. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek;


(55)

k. Membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya; l. Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali

amanat;

m.Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan yang ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah;

n. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Dari serangkaian bentuk usaha bank, tampak dengan jelas bahwa kredit adalah salah satu bentuk usaha bank yang telah diatur dalam Undang-Undang Perbankan itu sendiri, yang mana seperti diatur dalam pasal 1 ayat 11 tentang defenisi kredit, kata-kata “… penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu…” dapat ditafsirkan pula secara luas, yakni produk jasa perbankan, sepanjang memerlukan penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, maka produk tersebut menjadi produk perkreditan.31

B. Bentuk dan Jenis Kredit Bank

Beragamnya jenis usaha, mengakibatkan beragam pula kebutuhan akan dana. Kebutuhan akan dana yang beragam ini menyebabkan jenis kredit yang ada dalam suatu bank menjadi beragam pula. Hal ini disesuaikan dengan kebutuhan dana yang diinginkan nasabah. Karena pada dasarnya pemberian kredit ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan perorangan atau badan yang membutuhkan dana.

31

Try Widiyono, S.H, M. H, Sp. N, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk


(56)

Adapun mengenai bentuk dari perjanjian kredit itu sendiri tidak ditentukan dalam Undang-Undang Perbankan. Dalam praktek perbankan, guna mengamankan pemberian kredit atau pembiayaan, umumnya perjanjian kreditnya dituangkan dalam bentuk tertulis dan dalam perjanjian baku (standards contract). Perjanjian kredit bank dapat pula dibuat dibawah tangan dan bisa secara notarial.

Perjanjian kredit memiliki fungsi sebagai panduan bank dalam perencanaan, pelaksanaan, pengorganisasian, dan pengawasan pemberian kredit yang dilakukan oleh bank, sehingga bank tidak dirugikan dan kepentingan nasabah yang yang mempercayakan dananya kepada bank terjamin dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, sebelum pemberian kredit dilakukan bank harus sudah memastikan bahwa seluruh aspek yuridis yang berkaitan dengan kredit telah diselesaikan dan telah memberikan perlindungan yang memadai bagi bank.

Kredit, khususnya kredit perbankan terdiri atas beberapa jenis apabila dilihat dari berbagai segi kriteria tertentu. Dalam hal ini jenis kredit yang ada sekarang juga tidak bisa dipisahkan dari kebijakan perkreditan yang digariskan sesuai dengan tujuan pembangunan. Semula kredit berdasarkan kepercayaan murni, yaitu berbentuk kredit perorangan karena kedua belah pihak saling mengenal. Dan dengan seiring berjalannya waktu maka perkreditan perorangan semakin mengecil perannya digantikan oleh peran kredit dari lembaga perbankan.

Dalam sektor perkreditan perbankan ini akhirnya berkembang pula unsur-unsur lain yang menjadi landasan kegiatan perkreditan tersebut sehingga selanjutnya berkembang berbagai jenis kredit seperti yang ada sekarang. Jenis kredit perbankan dapat dibedakan dengan mengacu pada kriteria tertentu.


(57)

Pengklasifikasian jenis-jenis kredit tersebut bermula dari klasifikasi yang dijalankan oleh perbankan dalam rangka mengawasi kredit secara efektif. Dari kegiatan pengklasifikasian tersebut maka saat ini dikenal jenis-jenis kredit yang didasarkan pada:

1. Kelembagaannya.

Kredit perbankan dengan melihat kelembagaannya maka dikenal beberapa jenis kredit. Pengelompokan demikian dengan dasar kriteria dari segi kelembagaannya, yaitu dalam arti pihak yang terkait sebagai pihak pemberi dan penerima kredit terutama menyangkut struktur kelembagaan pelaksana kredit itu sendiri. Kredit berdasarkan kriteria kelembagaan ini terdiri atas: a. Kredit Perbankan, yakni kredit yang diberikan oleh bank milik Negara

atau bank swasta kepada masyarakat untuk kegiatan usaha dan atau konsumsi.

b. Kredit Likuiditas, yakni kredit yang diberikan oleh bank sentral kepada bank-bank yang beroperasi di Indonesia, yang selanjutnya digunakan sebagai dana untuk membiayai kegiatan perkreditannya. Dasar hukumnya yaitu pasal 10 dan pasal 11 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.

c. Kredit Pinjaman Antar Bank, yaitu:kredit yang diberikan oleh bank yang kelebihan dana kepada bank yang kekurangan dana.

2. Jangka waktu.


(58)

a. Kredit Jangka Pendek (short term loan), yaitu kredit yang berjangka waktu maksimum satu tahun. Bentuknya dapat berupa kredit rekening Koran, kredit penjualan, kredit pembeli, kredit wesel,dan sebagainya.

b. Kredit Jangka Menengah (medium term loan), yaitu kredit berjangka waktu antara satu tahun sampai tiga tahun. Bentuknya dapat berupa kredit investasi jangka menengah.

c. Kredit Jangka Panjang, yaitu kredit yang berjangka waktu lebih dari tiga tahun. Pada umumnya kredit ini meliputi kredit investasi yang bertujuan menambah modal perusahaan dalam rangka melakukan ekspansi (perluasan), rehabilitasi, dan pendirian proyek baru.

3. Penggunaan kredit

Jenis kredit menurut penggunaannya terdiri atas:

a. Kredit Konsumtif, yaitu kredit yang diberikan oleh bank pemerintah atau bank swasta yang diberikan kepada perseorangan untuk membiayai keperluan konsumsinya untuk kebutuhan sehari-hari.

b. Kredit Produktif, baik kredit investasi maupu n kredit eksploitasi. Kredit investasi yaitu kredit yang ditujukan untuk penggunaan sebagai pembiayaan modal tetap, yaitu peralatan produksi, gedung dan mesin-mesin, juga untuk membiayai rehabilitasi, ekspansi, relokasi proyek, atau pendirian proyek baru. Kredit eksploitasi, yaitu kredit yang ditujukan untuk penggunaan pembiayaan kebutuhan dunia usaha akan modal kerja berupa persediaan bahan baku, persediaan produk akhir, barang dalam proses produksi, serta piutang.


(59)

c. Perpaduan antara kredit konsumtif dan kredit produktif (semi konsumtif dan semi produktif).

4. Kelengkapan dan keterikatannya dengan dokumen yang dibutuhkannya. Kredit ini merupakan kredit yang sangat terikat dengan dokumen-dokumen berharga yang memiliki substitusi nilai jumlah uang dan dokumen tersebut yang merupakan jaminan pokok pemberian kredit sehingga lazim disebut

documentary credit. Kredit jenis ini terdiri atas:

a. Kredit Ekspor, yaitu semua bentuk kredit sebagai sumber pembiayaan bagi usaha ekspor. Dapat berupa kredit langsung dan kredit tidak langsung, seperti pembiayaan kredit modal kerja jangka pendek, ataupun kredit investasi untuk jenis industri yang berorientasi ekspor.

b. Kredit Impor, yang pada dasarnya hampir sama dengan kredit ekspor seperti pada unsur dan ruang lingkupnya.

5. Aktivitas perputaran usaha.

Kredit ini melihat dinamika, sektor yang digeluti, aset yang dimiliki, dan sebagainya, dan kredit ini terbagi atas:

a. Kredit Kecil, yakni kredit yang diberikan kepada pengusaha yang digolongkan sebagai pengusaha kecil.

b. Kredit Menengah, yakni kredit yang diberikan kepada pengusaha yang asetnya lebih besar daripada pengusaha kecil.

c. Kredit Besar, yaitu ditinjau dari segi jumlah kredit yang diterima oleh debitur. Dalam pelaksanaannya, bank melihat resiko yang besar sehingga


(1)

yaitu pada pasal 1 ayat 2, pasal 1 ayat 11, dan pasal 6 Undang-Undang Perbankan.

Bentuk dan jenis kredit bank dibagi berdasarkan kelembagaannya, jangka waktu, penggunaan kredit, kelengkapan dan keterikatannya dengan dokumen yang dibutuhkannya, aktivitas usaha serta berdasarkan jaminannya. Dalam hal prosedur penyaluran dana dalam bentuk kredit,bank melaksanakannya berdasarkan “The Five C of Credit Analysis” atau prinsip 5C’s yakni: penilaian terhadap watak (character), penilaian terhadap kemampuan (capacity), penilaian terhadap penilaian terhadap modal (capital), penilaian terhadap agunan (collateral), dan penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitur (condition of economy).

Kredit bertujuan untuk mencari keuntungan, membantu usaha nasabah, serta membantu pemerintah. Sehingga kredit berfungsi bagi pihak bank sebagai kreditur misalnya sebagai sumber pendapatannya, bagi pihak debitur/peminjam yakni membantu dalam melancarkan usahanya, bagi otorita moneter yakni kredit berfungsi sebagai instrumen moneter, bahkan bagi masyarakat kredit berfungsi untuk mengurangi penggangguran karena memperluas peluang untuk berusaha. Pemberian kredit ini dilakukan melalui perjanjian kredit yang bersifat baku dan mengikat bagi kedua belah pihak. 3. Bahwa kedudukan benda tidak bergerak sebagai jaminan dalam perjanjian

kredit sebagaimana diatur dalam KUHPerdata mengenai benda tidak bergerak yakni pada pasal 506 sampai dengan pasal 508. Dalam hal benda tidak bergerak sebagai jaminan dalam pengaturannya dalam KUHPerdata, yaitu


(2)

pada Buku II KUHPerdata. Namun jaminan-jaminan yang masih berlaku dalam Buku II KUHPerdata hanyalah gadai (pand) dan hipotek kapal laut, sedangkan untuk hipotek atas tanah tidak berlaku lagi karena telah diganti oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Gadai diatur dalam pasal 1150 KUHPerdata sampai dengan pasal 1160 KUHPerdata. Mengenai hipotek diatur dalam pasal 1162 sampai dengan 1232 KUHPerdata.

Dalam pemberian kredit ketika melakukan pengikatan barang jaminan sebelumnya dilakukan penilaian (valuasi) jumlah nominal harga jaminan benda tak bergerak yang menentukan barang jaminan tersebut setidaknya memiliki nilai yang sama atau berada di atas jumlah kredit yang diberikan bank. Dengan dilakukannya pengikatan benda tidak bergerak sebagai jaminan maka timbul hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian kredit tersebut. Jaminan tersebut juga berperan dalam penyelesaian kredit bermasalah (non

performing loan) yang dapat ditempuh dengan dua cara atau strategi yaitu

penyelamatan kredit (melalui perundingan kembali antara bank sebagai kreditur dan nasabah peminjam sebagai debitur) dan penyelesaian kredit melalui lembaga hukum.

B. Saran

Berdasarkan beberapa kesimpulan yang telah diuraikan di atas, maka perlu kiranya dicari langkah yang paling tepat untuk menjawab berbagai permasalahan


(3)

yang sudah diuraikan sebelumnya. Untuk itu terdapat saran yang mungkin dapat dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan tersebut, yakni sebagai berikut:

1. Bahwa sesuai dengan urgensi jaminan dalam pemberian kredit oleh bank maka mengingat peran penting jaminan dalam pemberian kredit yang dapat memperkecil resiko bagi bank dalam pemberian kredit hendaknya bank sebagai pihak kreditur yang memberikan dana kepada pihak yang kekurangan dana (debitur) lebih selektif dalam memberikan kredit, yakni dengan melihat kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya selama jangka waktu tertentu dan juga dalam menentukan apa yang dijadikan sebagai jaminan dalam perjanjian kredit tersebut.

2. Bahwa dalam hal perjanjian kredit sebagai wadah atau sarana dalam melakukan penyaluran dana oleh bank dimana terdapat salah satu fungsi kredit yakni mengurangi pengangguran karena terdapat peluang yang luas untuk berusaha maka hendaknya bank lebih meningkatkan penyaluran dana dalam bentuk kredit dan memberi kemudahan dalam pemberian kredit namun tetap menguntungkan kedua belah pihak.

3. Dalam hal kedudukan benda tidak bergerak sebagai jaminan dalam perjanjian kredit sebagaimana telah diatur dalam KUHPerdata maupun undang-undang contohnya pada saat melakukan valuasi terhadap barang jaminan agar dilakukan dengan efektif dan tidak memakan waktu yang lama serta dalam penyelesaian kredit bermasalah yang pada praktiknya sering memakan waktu yang lama, hendaknya dilakukan dengan lebih ringkas, cepat, dan tepat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Afiff, Faisal, Strategi dan Operasional Bank, PT Eresco, Bandung, 1996.

Djumhana, Muhamad, Hukum Perbankan di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, 2008

Judisseno, Rimsky K, Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002.

Kamello, Tan, Hukum Jaminan Fidusia, PT Alumni, Bandung, 2006.

Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, Rajawali Pers, Jakarta, 2002.

Rahman, Hasanuddin, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Di

Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.

Salim, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Siregar, Tampil Anshari, Undang-Undang Pokok Agraria Dalam Bagan, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 2004.

Subekti, 2001 Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta,

Tjiptoadinugroho, R, Perbankan Masalah Perkreditan, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1994


(5)

Tjoekam, Mohammad, Perkreditan Bisnis Inti Bank Komersial, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999.

Usman, Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia,PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.

Widiyono, Try, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan Di

Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2006.

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Rajawali Pers, Jakarta, 2003.

Internet :

Undang-Undang

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.

:

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.


(6)