Perlidungan Hukum Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Berdasarkan UUHT Nomor 4 Tahun 1996

82

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITUR PEMEGANG HAK

TANGGUNGAN TERHADAP OBJEK JAMINAN YANG DISITA PENGADILAN TERKAIT KASUS KORUPSI

A. Perlidungan Hukum Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Berdasarkan UUHT Nomor 4 Tahun 1996

UUHT Nomor 4 Tahun 1996 merupakan undang-undang yang dibentuk berdasarkan amanah Pasal 51 UUPA Nomor 5 Tahun 1960 sebagai suatu ketentuan tentang tata cara pemberian jaminan Hak Tanggungan. UUHT Nomor 4 Tahun 1996 memuat perlindungan hukum yang seimbang kepada para pihak yang terkait dalam pembuatan perjanjian jaminan Hak Tanggungan tersebut. Perlindungan hukum yang seimbang yang diberikan UUHT Nomor 4 Tahun 1996 baik kepada debitur pemberi Hak Tanggungan maupun kepada krediturbank penerima sertipikat Hak Tanggungan merupakan suatu tujuan yuridis dibentuknya ketentuan tentang tata cara pemberian Hak Tanggungan tersebut. Bentuk perlindungan hukum yang diberikan UUHT Nomor 4 Tahun 1996 kepada kreditur bank selaku pemegang sertipikat Hak Tanggungan meliputi : 92 1. Bentuk perlindungan yang menyangkut kejelasan administratif Secara administratif perlindungan hukum terhadap kreditur bank diberikan oleh UUHT Nomor 4 Tahun 1996 melalui kewajiban pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan APHT melalui suatu akta otentik berdasarkan 92 Aditya Pramana, Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, Mitra Ilmu, Surabaya, 2006, hal. 61 82 Universitas Sumatera Utara 83 Pasal 10ayat 2 UUHT Nomor 4 Tahun 1996 yang menyebutkan bahwa, “Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Disamping itu berdasarkan Pasal 11 ayat 1 UUHT Nomor 4 Tahun 1996 disebutkan bahwa, “Di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan APHT tersebut wajib dicantumkan a. Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan b. Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan apabila diantara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan Akta Pemberian Hak Tangungan dianggap sebagai domisili yang dipilih. c. Penunjukkan secara jelas hutang atau hutang-hutang yang dijamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 10 ayat 1 UUHT Nomor 4 Tahun 1996. d. Nilai tanggungan. e. Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan. Hak Tanggungan mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek Hak Tanggungan itu berada Pasal 7 UUHT Nomor 4 Tahun 1996. Sifat ini dikenal dengan istilah droit de suite merupakan salah satu hak khusus bagi kepentingan kreditur pemegang Hak Tanggungan. Walaupun objek Hak Tanggungan sudah berpindah tangan dan menjadi milik lain kreditur masih tetap dapat menggunakan Universitas Sumatera Utara 84 haknya melalui eksekusi jika debitur cidera janji. Hak Tanggungan tidak akan berakhir sekalipun objek tanggungan itu berpindah tangan kepada pihak lain oleh sebab apapun. Hak Tanggungan juga memberikan kepastian hukum kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan dalam hal penjualan objek Hak Tanggungan melalui pelaksanaan penjualan lelang ataupun penjualan di bawah tangan. 93 Maksudnya adalah hak kreditur untuk menjual objek Hak Tanggungan dapat dilakukan melalui permohonan eksekusi kepada pengadilan dan meminta bantuan badan pelelangan umum untuk melakukan eksekusi dan penjualan objek Hak Tanggungan. Namun kreditur pemegang Hak Tanggungan dapat pula melakukan eksekusi objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri dan menjualnya sendiri secara di bawah tangan dengan tetap berpedoman kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam bidang Hak Tanggungan, dimana hasil penjualan hal tanggungan tersebut oleh kreditur akan diambil pelunasan piutangnya dan sisanya akan dikembalikan kepada pemberi Hak Tanggungan. Asas ini merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh kreditur pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang Hak Tanggungan. Hak tersebut didasarkan kepada janji yang diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan bahwa apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui 93 Rachmad Marzuki, Tata Cara Pemberian Hak Tanggungan Dalam Teori dan Praktek, Bumi Aksara, Bandung, 2002, hal. 15 Universitas Sumatera Utara 85 pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu daripada kreditur-kreditur lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemberi Hak Tanggungan. Pasal 6 UUHT Nomor 4 Tahun 1996 Perlindungan hukum kepada kreditur yang terdapat dalam UUHT Nomor 4 Tahun 1996 merupakan perlindungan hukum yang diberikan kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan sebagai kreditur preference kreditur yang diutamakan dalam hal pengambilan pelunasan piutangnya kepada debitur. Kekuatan perlindungan hukum yang diberikan oleh UUHT Nomor 4 Tahun 1996 kepada kreditur preference dijamin prioritasnya dibandingkan dengan kreditur-kreditur lainnya yang tidak terikat dalam suatu perjanjian Hak Tanggungan. 94 Namun dalam hal terjadinya penyitaan oleh pengadilan terhadap objek Hak Tanggungan karena terkait kasus korupsi, maka kreditur preference yang diistimewakan dalam UUHT Nomor 4 Tahun 1996 terjadi terbaikan hak-haknya karena berhadapan dengan negara yang mengalami kerugian akibat perbuatan pemberi Hak Tanggungan yang telah menggunakan uang negara untuk membeli objek Hak Tanggungan tersebut. Oleh karena itu negara memiliki kepentingan yang dipandang lebih diutamakan daripada kepentingan kreditur preference yang dijamin oleh UUHT Nomor 4 Tahun 1996. Meskipun dalam hal ini kreditur preference yang telah melakukan perjanjian Hak Tanggungan dengan debitur tidak mengetahui 94 Budiman Margono, Hak-hak Istimewa Kreditur Preference Dalam UUHT Nomor 4 Tahun 1996, Eressco, Bandung, 2009, hal. 40 Universitas Sumatera Utara 86 tentang objek Hak Tanggungan yang dibeli oleh pemberi Hak Tanggungan melalui uang hasil perbuatan melawan hukum dengan melakukan tindak pidana korupsi, namun kreditur preference harus menanggung akibat dari perbuatan pemberi Hak Tanggungan tersebut. Hal ini merupakan suatu ketidakadilan bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan yang telah dirampas hak-haknya oleh negara meskipun kreditur Hak Tanggungan tersebut telah sah berdasarkan UUHT melakukan perjanjian pengikatan Hak Tanggungan sehubungan dengan adanya perjanjian pokok yaitu hutang piutang yang telah dilaksanakan antara debitur pemberi Hak Tanggungan dengan kreditur pemegang Hak Tanggungan. 95 Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Hukum Acara Perdata proses penyelesaian suatu perkara tidak boleh menimbulkan kerugian kepada pihak ketiga yang tidak ikut menjadi pihak dalam perkara. Prinsip kontrak partai party contract yang digariskan Pasal 1340 KUHPerdata yang menegaskan perjanjian hanya mengikat pada para pihak yang membuatnya, berlaku juga dalam proses penyelesaian perkara yaitu hanya mengikat pada para pihat penggugat dan tergugat. Tidak boleh merugikan pihak ketiga atau pihak lain yang tidak terlibat sebagai pihak dalam perkara yang bersangkutan. Sehubungan dengan itu pengabulan dan pelaksanaan sita dalam suatu perkara hanya terbatas terhadap harta kekayaan tergugat dan tidak boleh melampaui terhadap kekayaan harta pihak ketiga. Barang agunan tidak boleh di sita tetapi dapat diterapkan sita penyesuian. Jangkauan prinsip sita penyesuaian tidak hanya terbatas pada larangan menyita 95 Ibid, hal. 45 Universitas Sumatera Utara 87 barang yang di sita pada waktu yang bersamaan atas permintaan pihak ketiga, tetapi meliputi juga barang agunan atau barang jaminan yang dijadikan hutang. Larangan itu meliputi segala agunan baik hipotek atas kapal atau pesawat terbang atau Hak Tanggungan atas tanah maupun gadai dan fidusia, bahkan tidak terbatas pada bentuk agunan yang memiliki hak preference hak privilege dan title eksekutorial seperti hipotek, Hak Tanggungan, fidusia dan gadai tetapi juga pada bentuk agunan biasa. Hal ini diatur di dalam penegasan putusan Mahkamah Agung No. 1829KPdt1992 dalam kasus pengadilan telah meletakkan sita jaminan di atas barang agunan kredit tindakan tersebut pada tingkat kasasi dibatalkan oleh Mahkamah Agung dengan pertimbangan bahwa praktek peradilan telah salah menerapkan asas vergelijkendebeslag yang diatur Pasal 463 Rv sebagai ketentuan tata tertib beracara. Berdasarkan prinsip tersebut terhadap barang yang telah dijadikan agunan kredit tidak boleh diletakkan sita jaminan. Yang dapat diterapkan adalah sita penyesuaian yang menempatkan pemohon sita berada pada urutan berikutnya di bawah hak agunan yang di pegang kreditur. Begitu juga putusan MA No. 394KPdt1984 menegaskan barang yang sudah dijadikan barang kredit kepada BRI tidak dapat dikenakan sita jaminan. Memperhatikan penjelasan di atas, dapat dikemukakan patokan penerapan prinsip sita penyesuaian dihubungkan dengan permintaan sita jaminan atau penyitaan pada umumnya terhadap barang jaminan kredit; a. Pengadilan atau hakim dilarang mengabulkan dan meletakkan sita jaminan terhadap barang yang diagunkan dan dijaminkan pada waktu yang bersamaan, Universitas Sumatera Utara 88 b. Permohonan sita terhadap barang yang sedang diagunkan harus ditolak, demi melindungi kepentingan pihak pemegang agunan, yang dapat diberikan pengadilan atas permintaan sita tersebut, hanya sebatas sita penyesuaian vergelijkende beslag. Dengan demikian menurut hukum acara perdata, permintaan sita jaminan maupun sita pada umumnya, hanya dapat diletakkan di atas barang: a. Secara murni benar-benar bebas dari pembebanan dari segala bentuk penyitaan beslag maupun dari segala bentuk pengagunan, b. prinsip ini harus konsekuen ditegakkan penerapannya demi melindungi kepentingan pemegang sita atau pemegang hak agunan terdahulu. Apabila terjadi kekeliruan atau kelalaian mengabulkan sita di atas barang yang diagunkan, misalnya dengan barang yang diikat dengan Hak Tanggungan, pasti terjadi tabrakan antara pemegang sita jaminan dengan pemegang Hak Tanggungan, dan tabrakan itu dapat menimbulkan penyelesaian yang rumit, karena masing-masing pihak mengatakan dirinya yang lebih unggul prioritasnya. Dalam Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang- Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Pidana Tindak Korupsi menyebutkan bahwa, “Dalam hal putusan pengadilan yang telah melakukan penyitaan terhadap harta benda milik terdakwa termasuk juga barang pihak ketiga yang mempunyai itikad baik, maka pihak ketiga tersebut dapat mengajukan surat keberatan kepada pengadilan yang bersangkutan dalam waktu paling lambat 2 dua bulan setelah putusan pengadilan tersebut diucapkan di sidang terbuka untuk umum”. Universitas Sumatera Utara 89 Dari ketentuan Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah memberikan ruang kepada pihak ketiga kreditur pemegang Hak Tanggungan untuk mengajukan surat keberatan atas penyitaan tersebut. Pasal 19 ayat 3 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa, “Pengajuan surat keberatan dari pihak ketiga atas tindakan penyitaan yang dilakukan oleh pengadilan melalui kejaksaan tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan tersebut. Apabila pelaksanaan penyitaan objek Hak Tanggungan tersebut belum dilaksanakan oleh pihak kejaksaan sebagai eksekutor maka pihak ketiga yang merasa keberatan karena dirugikan atas putusan penyitaan tersebut dapat menyampaikan surat keberatan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan penyitaan tersebut. Namun apabila putusan penyitaan tersebut telah dilaksanakan oleh pihak kejaksaan maka pihak ketiga yang dirugikan atas pelaksanaan penyitaan tersebut dapat mengajukan gugatan perlawanan atas putusan penyitaan tersebut secara perdata ke pengadilan negeri tempat di mana objek Hak Tanggungan tersebut berada. Pengajuan gugatan perdata oleh pihak ketiga dilaksanakan sebagaimana halnya proses beracara di dalam hukum perdata yang tunduk kepada hukum acara perdata yang diatur dalam HIRRBg. Pengajuan gugatan perdata yang pada dasarnya memiliki petitum keberatan atas pelaksanaan penyitaan objek Hak Tanggungan tersebut karena telah merugikan pihak yang mengajukan gugatan tersebut wajib memiliki dalil-dalil hukum sebagai alasan pengajuan gugatan perlawanan terhadap penyitaan tersebut. Dasar gugatan tersebut diantaranya adalah bahwa pihak ketiga Universitas Sumatera Utara 90 tidak mengetahui bahwa objek Hak Tanggungan yang telah di sita tersebut terkait dengan tindak pidana korupsi. Di samping itu bahwa objek Hak Tanggungan yang telah di sita telah dijadikan jaminan hutang oleh debitur yang sekaligus sebagai terdakwa kepada kreditur sehingga kreditur pemegang Hak Tanggungan memiliki hak yang diutamakan dari kreditur-kreditur lainnya dalam pelunasan piutangnya. Oleh karena itu gugatan yang diajukan adalah untuk melakukan pembatalan putusan sita terhadap objek Hak Tanggungan yang telah dikeluarkan oleh pengadilan. Dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1731KPdt2011 di dalam perkara perdata tingkat kasasi dalam perkara Kejaksaan Agung RI Cq.Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku melawan PT. Bank Mega, Tbk yang pada intinya mengadili perkara penyitaan objek Hak Tanggungan yang di sita oleh Kejaksaan Tinggi Maluku karena debitur pemberi Hak Tanggungan terkait dengan kasus korupsi tentang duduk perkaranya bahwa SHANTI CHAERUDDIN telah menandatangani perjanjian kredit No. 6 dengan PT. Bank Mega, Tbk tanggal 2 Juli 2008 dengan fasilitas pinjaman rekening Koran PRK sebesar Rp 500.000.000 lima ratus juta rupiah untuk modal kerja usaha supermarket dan salon dan fasilitas Term Loan TL sebesar Rp 1.000.000.000 satu miliar rupiah untuk refinancing pembelian 3 tiga unit ruko yang digunakan sebagai tempat usaha debitur. Penggugat PT. Bank Mega, Tbk sebagai suatu lembaga keuangan yang beritikad baik dalam hal memberikan fasilitas kredit kepada kreditur dan menerima jaminan yang diberikan kepada penggugat dengan prinsip kehati-hatian dari penggugat sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 8 Undang-Undang No. 7 Universitas Sumatera Utara 91 Tahun 1992 jo. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang menyebutkan bahwa, “Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berdasarkan demokrasi ekonomi prinsip kehati-hatian”. Bahwa seluruh prosedur dan tata cara pemberian kredit kepada debitur telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan bidang perbankan dan debitur telah memberikan jaminan berupa : 1. Sebuah Ruko dengan SHGB No. 62 Kelurahan Gamalama, Kecamatan Kota Ternate Utara, Kota Ternate, Propinsi Maluku Utara, Surat Ukur No. 192005 tanggal 31 Maret 2005, seluas 112 m 2 atas nama SHANTI CHAERUDDIN. 2. SHGB No. 66 Kelurahan Kota Ternate Utara, Kota Ternate, Propinsi Maluku Utara, Surat Ukur No. 17 tanggal 31 Maret 2005, seluas 112 m 2 atas nama SHANTI CHAERUDDIN. 3. SHGB No. 75 Kelurahan Gamalama, Kecamatan Kota Ternate Utara, Kota Ternate, Propinsi Maluku Utara, Surat Ukur No. 18 tanggal 31 Maret 2005, seluas 112 m 2 atas nama SHANTI CHAERUDDIN. Selanjutnya ketiga jaminan tersebut di atas disebut “Objek Jaminan” Seluruh objek jaminan yang diberikan oleh debitur kepada kreditur telah diikat dalam suatu jaminan Hak Tanggungan dan telah didaftarkan oleh penggugat pada kantor pertanahan kota Ternate pada tanggal 8 Juli 2008 sehingga sertifikat Hak Tanggungan tercatat atas nama PT. Bank Mega, Tbk sebagai pemegang Hak Tanggungan tingkat pertama. Berdasarkan APHT No.245VII2008 tanggal 2 Juni 2008, oleh Notaris Muhammad Anshar A. Basinu, SH, SHGB 62 Gamalama dengan nilai Hak Tanggungan sebesar Rp 625.000.000 enam ratus dua puluh lima juta Universitas Sumatera Utara 92 rupiah, untuk jaminan kedua terdaftar sertipikat Hak Tanggungan peringkat pertama berdasarkan APHT No.245VII2008 oleh Notaris Muhammad Anshar A. Basinu, SH SHGB No. 66Gamalama dengan nilai Hak Tanggungan sebesar Rp 625.000.000 enam ratus dua puluh lima juta rupiah. Jaminan ketiga terdaftar dengan sertipikat Hak Tanggungan peringkat pertama berdasarkan APHT No. 245VII2008 tanggal 2 Juni 2008, oleh Notaris Muhammad Anshar A. Basino SHGB 75Gamalama dengan nilai Hak Tanggungan sebesar Rp 625.000.000 enam ratus dua puluh lima juta rupiah. Bahwa dengan terdaftarkan ketiga jaminan tersebut di Kantor Pertanahan Kota Ternate dan telah terbitkan sertipikat Hak Tanggungan dengan peringkat pertama untuk ketiga jaminan tersebut di atas, maka penggugat sebagai pemegang Hak Tanggungan telah memenuhi ketentuan yang tercantum dalam Pasal 6 Undang- Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang pada intinya menyebutkan, “Bahwa apabila debitur cidera janji, maka pemegang Hak Tanggungan yang pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan tersebut”. Karena objek Hak Tanggungan tersebut telah memuat irah-irah DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, dan oleh karenanya penggugat dengan kekuasaan sendiri mempunyai hak sepenuhnya untuk menjualmengeksekusi objek Hak Tanggungan tersebut untuk pengambilan pelunasan piutangnya. Bahwa berdasarkan dari permohonan dari pihak penyidik Kejaksaan Tinggi Maluku Utara tertanggal 3 Juni 2009 No. B270S.2Fd062009 kepada Ketua Universitas Sumatera Utara 93 Pengadilan Negeri Ternate maka Ketua Pengadilan Negeri Ternate telah mengeluarkan penetapan No.162Peri.Pid2009PN-Tte tertanggal 9 Juni 2009 yang isinya adalah memberikan ijin pada Kejaksaan Tinggi Malulu Utara untuk melakukan penyitaan atas barang-barang bukti yang diduga adalah hasil korupsi yang dilakukan oleh Chairul Anthonius Bija yang merupakan suami dari Shanti Chaeruddin yang terdaftar dalam perkara No. 158Pid.Sus2009PN-Tte. bahwa berdasarkan surat penetapan Pengadilan Negeri Ternate No.162Peri.Pid2009PN-Tte tertanggal 9 Juni 2009 maka tergugat selaku penyidik dalam perkara pidana No. 158Pid.Sus2009PN- Tte melakukan sita terhadap objek Hak Tanggungan yang telah nyata-nyata berada di tangan PT. Bank Mega, Tbk yang terikat sebagai jaminan debitur pada penggugat, dengan kata lain penggugatlah yang menguasai objek Hak Tanggungan atas tindakan penyitaan tersebut penggugat PT. Bank Mega, Tbk telah melakukan perlawanan gugatan ke Pengadilan Negeri Ternate dan hasilnya dalam putusan Pengadilan Negeri Ternate dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa gugatan PT. Bank Mega, Tbk tidak dapat diterima ditolak oleh Pengadilan Negeri Ternate karena objek gugatan yaitu berupa 3 tiga bangunan ruko tersebut diperoleh terdakwa dari tindak pidana kejahatan yang mengakibatkan kerugian negara puluhan miliar rupiah. Meskipun 3 tiga bangunan ruko tersebut telah diikat dengan jaminan Hak Tanggungan. Pengikatan ketiga bangunan ruko tersebut oleh Shanti Chaeruddin dan Chairul Anthonius Bija merupakan suatu tindakan yang ingin menggelapkan barang bukti hasil kejahatan dari tindak pidana korupsi tersebut. Oleh karena itu majelis Pengadilan Negeri Ternate memandang bahwa tindakan debitur yang mengikat ketiga Universitas Sumatera Utara 94 bangunan ruko itu dengan jaminan Hak Tanggungan merupakan suatu tindakan kesengajaan untuk menggelapkan barang yang diduga diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi tersebut. Oleh karena itu Pengadilan Tinggi Ternate melalui putusannya No. 2342Pdt.G2009PNT-Tte memutuskan bahwa gugatan perlawanan yang diajukan oleh PT. Bank Mega, Tbk tidak dapat diterima sesuai ketentuan hukum yang berlaku didalam hukum pidana pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Oleh karena itu gugatan perlawanan yang diajukan oleh PT. Bank Mega, Tbk tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan patut di tolak terhadap putusan Pengadilan Negeri Ternate tersebut PT. Bank Mega, Tbk mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Ternate dan putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Tinggi Ternate melalui putusan No. 166Pdt.G2010PT-Tte menguatkan putusan Pengadilan Negeri Ternate dengan menolak gugatan PT. Bank Mega, Tbk tersebut. Mahkamah Agung dalam amar putusannya menyatakan bahwa judex facti Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Ternate telah salah menerapkan hukum. Menurut Mahkamah Agung bahwa objek suatu sengketa dalam perkara aquo yang telah diletakkan sertipikat Hak Tanggungan menjadi hak utama bagi pemegang Hak Tanggungan untuk dijadikan pelunasan kewajiban hukum debitur, oleh karena hak debitur atas objek Hak Tanggungan dipandang secara hukum berpindah kepada pemegang Hak Tanggungan kreditur. Oleh karena itu mempunyai istimewa atas penjualan objek Hak Tanggungan untuk pelunasan kewajiban hukum debitur adalah harus dilindungi hukum. Menyatakan penggugat PT. Bank Mega, Tbk adalah Universitas Sumatera Utara 95 penggugat yang baik dan benar memerintahkan kepada Kejaksaan Tinggi Ternate untuk mengembalikan barang sitaan berupa 3 tiga buah ruko yang telah diikat dengan Hak Tanggungan tersebut. Dari amar putusan Mahkamah Agung tersebut dapat dikatakan bahwa Mahkamah Agung menghormati dan melindungi secara hukum objek benda tidak bergerak yang telah diikat dengan Hak Tanggungan merupakan hak istimewa droid de preference dari kreditur pemegang Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan piutangnya apabila debitur wanprestasi. Pengikatan jaminan Hak Tanggungan antara debitur dan kreditur juga harus dipandang sebagai suatu itikad baik dari kreditur yang tidak mengetahui bahwa objek Hak Tanggungan tersebut diperoleh debitur dari perbuatan melawan hukum dengan melakukan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu kreditur pemegang Hak Tanggungan yang beritikad baik wajib dilindungi oleh hukum yang berlaku. Putusan Mahkamah Agung yang mengembalikan objek jaminan Hak Tanggungan kepada PT. Bank Mega, Tbk merupakan suatu putusan perdata sedangkan tindakan debitur pemberi Hak Tanggungan yang melakukan tindak pidana korupsi yang dijatuhi hukuman oleh pengadilan tipikor merupakan suatu putusan pidana. Oleh karena itu dalam putusan pengadilan ada 2 keputusan yang diambil yaitu keputusan yang mengembalikan objek jaminan Hak Tanggungan kepada PT. Bank Mega, Tbk sebagai suatu putusan perdata dan putusan pengadilan yang menjatuhi hukuman penjara terhadap pemberi Hak Tanggungan yang juga merupakan terdakwa tindak pidana korupsi merupakan suatu putusan pidana. Universitas Sumatera Utara 96 B. Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Terhadap Objek Jaminan Yang Disita Pengadilan Terkait Kasus Korupsi Pada prinsipnya pemberi Hak Tanggungan dalam perjanjian kredit pada lembaga keuangan baik bank maupun non bank bertujuan untuk melindungi kreditur pemegang Hak Tanggungan dalam rangka pelunasan piutangnya, apabila debitur wanprestasi. Tetapi dalam kenyataannya bila terjadi penyitaan oleh Negara melalui pengadilan terhadap objek Hak Tanggungan yang terkait dengan kasus tindak pidana korupsi maka jaminan perlindungan hukum terhadap kreditur pemegang Hak Tanggungan dalam pengambilan pelunasan piutangnya menjadi sulit untuk dilaksanakan karena objek jaminan Hak Tanggungan tersebut telah disita diambil alih secara paksa oleh negara karena pemberi Hak Tanggungan dalam memperoleh objek jaminan Hak Tanggungan tersebut melakukan perbuatan melawan hukum yakni tindak pidana korupsi. Dalam membeli objek jaminan Hak Tanggungan tersebut pemberi Hak Tanggungan menggunakan uang negara secara tidak sah dan bertentangan dengan hukum sehingga negara dirugikan atas perbuatan yang dilakukan oleh pemberi Hak Tanggungan tersebut. 96 Walaupun kreditur pemegang Hak Tanggungan tidak mengetahui bahwa pemberi Hak Tanggungan memperolehmembeli objek Hak Tanggungan dengan menggunakan uang negara secara tidak sah, namun tindakan pemberi Hak Tanggungan tersebut mengakibat kerugian materil bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan karena tidak dapat melaksanakan eksekusi terhadap objek jaminan Hak 96 Ramlan Musnawar, Eksekusi Objek Hak Tanggungan Pelaksanaan dan Hambatannya dalam Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2006, hal. 76 Universitas Sumatera Utara 97 Tanggungan tersebut. Debitur pemegang Hak Tanggungan yang dalam perkara tindak pidana korupsi telah dijatuhi hukuman penjara maupun hukuman tambahan berupa penyitaan harta kekayaan miliknya termasuk objek jaminan Hak Tanggunganoleh pengadilan, ternyata pula berada dalam ketidakmampuan membayar hutangnya kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan dalam perjanjian kredit. Dengan disitanya objek Hak Tanggungan tersebut maka kreditur pemegang Hak Tanggungan yang seharusnya berhak untuk mengeksekusi objek jaminan Hak Tanggungan menjadi terabaikan karena objek Hak Tanggungan yang akan dieksekusi kreditur pemegang Hak Tanggungan tersebut telah diambil alih secara paksa oleh negara melalui suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. 97 Dalam kasus penyitaan objek Hak Tanggungan oleh pihak penyidik Kejaksaan Tinggi Maluku Utara tertanggal 3 Juni 2009 No. B270S.2Fd062009 kepada Ketua Pengadilan Negeri Ternate yang telah mengeluarkan penetapan penyitaan terhadap 3 tiga bangunan ruko dengan SHGB milik pemberi Hak Tanggungan Shanti Chaeruddin yang telah diikat dengan jaminan Hak Tanggungan dan karena itu telah menjadi objek Hak Tanggungan dimana kreditur preferencenya adalah PT. Bank Mega, secara yuridis normatif telah bertentangan dengan asas droit de suite dan droit de preference yang terkandung di dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Di samping itu penyitaan tersebut dipandang juga telah bertentangan dengan penegasan Putusan Mahkamah Agung No. 97 Ibid, hal. 77 Universitas Sumatera Utara 98 1829KPdt1992 dan No. 394KPdt1984 yang melarang melakukan penyitaan terhadap benda yang telah diikat dengan jaminan Hak Tanggungan yang merupakan jaminan debitur kepada kreditur terhadap pelunasan piutangnya. Perlawanan yang diajukan oleh PT. Bank Mega, Tbk terhadap penetapan penyitaan objek Hak Tanggungan tersebut ditolak oleh Pengadilan Negeri Ternate dengan pertimbangan hukum bahwa 3 tiga objek Hak Tanggungan tersebut diperoleh terdakwa dari hasil tindak pidana korupsi sehingga ketiga objek Hak Tanggungan tersebut diklasfikasikan sebagai barang bukti kejahatan tindak pidana korupsi oleh Penyidik Kejaksaan Tinggi Maluku Utara sehingga patut dilakukan penyitaan terhadap objek jaminan Hak Tanggungan. Dasar pertimbangan hukum dari Pengadilan Negeri Ternate dalam mengeluarkan penetapan penyitaan terhadap 3 tiga objek Hak Tanggungan dimana kreditur preferencenya adalah PT. Bank Mega, Tbk bertentangan dengan prinsip droit de suite dan droit de preference yang terkandung dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Di samping itu Pasal 19 ayat 2 Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga memberikan perlindungan terhadap pihak ketiga kreditur preference untuk mengajukan keberatan ke pengadilan yang telah melakukan sita terhadap objek jaminan Hak tanggungan tersebut. Penyitaan terhadap ketiga objek hak tanggungan yang seharusnya menjadi kewenangan PT. Bank Mega, Tbk oleh Pengadilan Negeri Ternate telah menimbulkan kerugian materil terhadap kreditur preference yang telah melakukan pengikatan objek Hak Universitas Sumatera Utara 99 Tanggungan dengan itikad baik tersebut. PT. Bank Mega, Tbk tidak bertanggung jawab atas tindakan debitur yang telah melakukan perbuatan hukum dengan melakukan tindak pidana korupsi tersebut. Dengan dilakukannya pengikatan jaminan Hak Tanggungan terhadap ketiga ruko milik debitur tersebut maka kewenangan atas ketiga ruko tersebut tidak lagi menjadi milik dari debitur pemberi Hak Tanggungan namun sudah menjadi kewenangan sepenuhnya dari kreditur pemegang Hak Tanggungan untuk melakukan penjualan di bawah tangan atau eksekusi terhadap objek Hak Tanggungan tersebut apabila debitur tak mampu melunasi piutangnya. Penyitaan objek jaminan Hak Tanggungan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Ternate yaitu berupa 3 tiga buah ruko dengan SHGB tersebut merupakan penetapan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik secara perdata maupun pidana. Hal ini disebabkan karena ketiga ruko yang merupakan objek jaminan Hak Tanggungan tersebut bukan merupakan milik pemberi Hak Tanggungan lagi kewenangannya akan tetapi sudah beralih kewenangan kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu Pengadilan Negeri Ternate telah salah melakukan penyitaan barang bukti milik terdakwa yang juga merupakan pemberi hak tanggungan tersebut. Perlindungan hukum yang telah diberikan oleh UUHT Nomor 4 Tahun 1996 kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan menjadi tidak memiliki kekuatan hukum lagi pada saat kreditur preference tersebut berhadapan dengan negara sebagai pihak yang dirugikan dalam suatu kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pemberi Hak Tanggungan. Putusan pengadilan yang telah menyita objek jaminan Hak Universitas Sumatera Utara 100 Tanggungan milik pemberi Hak Tanggungan mengakibatkan juga terjadinya kerugian terhadap pihak ketiga yakni kreditur pemegang hak tangungan. Oleh karena itu, upaya hukum yang dapat dilakukan oleh kreditur pemegang Hak Tanggungan untuk mempertahankan dan melindungi hak-haknya adalah mengajukan gugatan secara perdata terhadap debitur karena telah melakukan perbuatan melawan hukum onrechmatigedaads yang telah mengakibatkan kerugian terhadap kreditur pemegang Hak Tanggungan. Perbuatan melawan hukum dalam ketentuan hukum perdata disebutkan dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa perbuatan melawan hukum adalah suatu perbuatan hukum yang melawan yang dilakukan oleh seseorang karena kesalahannya sehingga menimbulkan akibat yang merugikan pihak lain. Beberapa defenisi tentang perbuatan melawan hukum diantaranya adalah sebagai berikut : 98 1. Tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajiban sendiri selain dari kewajiban kontraktual atau kewajiban quasi contractal yang menerbitkan hak untuk mengganti rugi 2. Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum, kewajiban mana ditujukan terhadap setiap orang pada umumnya dan dengan tidak memenuhi kewajibannya tersebut dapat diminta suatu ganti rugi. 3. Tidak memenuhi suatu kewajiban yang dibebankan oleh hukum, kewajiban 98 Kartono Muljadi, Perbuatan Melawan Hukum Dalam KUHPerdata, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2007, hal. 28 Universitas Sumatera Utara 101 mana ditujukan terhadap setiap orang pada umumnya dan dengan tidak memenuhi kewajibannya tersebut dapat diminta suatu ganti rugi. 4. Suatu kesalahan perdata terhadap mana suatu ganti kerugian dapat dituntuk yang bukan merupakan wanprestasi terhadap kontrak, atau wanprestasi atau kewajiban trust, ataupun wanprestasi terhadap kewajiban equity lainnya. 5. Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh wanprestasi terhadap kontrak, atau lebih tepatnya, merupakan suatu perbuatan yang merugikan hak-hak orang yang diciptakan oleh hukum yang tidak tertib dari hubungan kontraktual. 6. Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang secara bertentangan dengan hukum melanggar hak orang lain yang diciptakan oleh hukum dan karenanya suatu ganti rugi dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan. Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan, Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Sedangkan ketentuan Pasal 1366 KUHPerdata menyatakan, setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaiannya atau kurang hati-hatinya. Ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata tersebut diatas mengatur pertanggungjawaban yang diakibatkan oleh adanya perbuatan melawan hukum baik karena berbuat positif = culpa in commitendo atau karena tidak berbuat pasif = culpa on ommitendo. Sedangkan Pasal 1365 KUHPerdata lebih mengarah pada tuntutan pertanggungjawaban yang diakibatkan oleh kesalahan karena kelalaian Universitas Sumatera Utara 102 onrechtmatigenalaten. Dari Pasal tersebut dapat dilihat bahwa untuk mencapai suatu hasil baik dalam melakukan gugatan berdasarkan ketentuan melawan hukum maka harus dipenuhi syarat-syarat atau unsur-unsur sebagai berikut : 99 1. Perbuatan yang melawan hukum, yaitu suatu perbuatan yang melanggar hak subyektif orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat sendiri yang telah diatur dalam undang-undang. Dengan perkataan lain melawan undang-undang 2. Harus ada kesalahan, syarat kesalahan itu dapat diukur secara : a. Obyektf yaitu dengan dibuktikan bahwa dalam keadaan seperti itu manusia yang normal dapat menduga kemungkinan timbulnya akibat dan kemungkinan ini akan mencegah manusia yang baik untu berbuat atau tidak berbuat. b. Subyektif yaitu dengan dibuktikan bahwa apakah si pembuat berdasarkan keahlian yang ia miliki dapat menduga akan akibat dari perbuatannya. Selain itu orang yang melakukan perbuatan melawan hukum harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, karena orang yang tidak tahu apa yang ia lakukan tidak wajib membayar ganti rugi. Sehubungan dengan kesalahan terdapat dua kemungkinan : 100 1 Orang yang dirugikan juga mempunyai kesalahan terhadap timbulnya kerugian. Dalam pengertian bahwa jika orang yang dirugikan juga bersalah 99 Ibid. hal. 30 100 Bachtiar Sibarani, Pertanggungjawaban Perdata Dalam Perbuatan Melawan Hukum, Rajawali, Jakarta, 2006, hal. 17 Universitas Sumatera Utara 103 atas timbulnya kerugian, maka sebagian dari kerugian tersebut dibebankan kepadanya kecuali jika perbuatan melawan hukum itu dilakukan dengan sengaja. 2 Kerugian ditimbulkan oleh beberapa pembuat. Jika kerugian itu ditimbulkan karena perbuatan beberapa orang maka terhadap masing-masing orang yang bertanggung jawab atas terjadinya perbuatan tersebut dapat dituntut untuk keseluruhannya. 3. Harus ada kerugian yang ditimbulkan. Dalam pengertian bahwa kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum dapat berupa : a. Kerugian materiil, dimana kerugian materiil dapat terdiri dari kerugian yang nyata-nyata diderita dan keuntungan yang seharunya diperoleh. Jadi pada umumnya diterima bahwa si pembuat perbuatan melawan hukum harus mengganti kerugian tidak hanya untuk kerugian yang nyata-nyata diderita, juga keuntungan yang seharusnya diperoleh. b. Kerugian immateril, dimana perbuatan melawan hukum pun dapat menimbulkan kerugian yang bersifat immateril seperti ketakutan, sakit dan kehilangan kesenangan hidup. Untuk menentukan luasnya kerugian yang harus diganti umumnya harus dilakukan dengan menilai kerugian tersebut, untuk itu pada azasnya yang dirugikan harus sedapat mungkin ditempatkan dalam keadaan seperti keadaan jika terjadi perbuatan melawan hukum. Pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti Universitas Sumatera Utara 104 rugi tidak hanya kerugian yang telah ia derita pada waktu diajukan tuntutan akan tetapi juga apa yang ia akan derita pada waktu yang akan datang. 4. Adanya hubungan causal antara perbuatan dan kerugian. Untuk memecahkan hubungan causal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian, terdapat dua teori yaitu : a. Condition sine qua non, dimana menurut teori ini orang yang melakukan perbuatan melawan hukum selalu bertanggung jawab jika perbuatannya condition sine qua non menimbulkan kerugian yang dianggap sebagai sebab dari pada suatu perubahan adalah semua syarat-syarat yang harus ada untuk timbulnya akibat. b. Adequate veroorzaking, dimana menurut teori ini si pembuat hanya bertanggung jawab untuk kerugian yang selayaknya dapat diharapkan sebagai akibat dari pada perbuatan melawan hukum. c. Terdapat hubungan causal jika kerugian menurut aturan pengalaman secara layak merupakan akibat yang dapat diharapkan akan timbul dari perbuatan melawan hukum. Jadi secara singkat dapat diperinci sebagai berikut : a. Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh organ badan hukum, pertanggungjawabannya didasarkan pada Pasal 1364 BW. b. Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seorang wakil badan hukum yang mempunyai hubungan kerja dengan badan hukum, dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan Pasal 1367 BW. Universitas Sumatera Utara 105 c. Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh organ yang mempunyai hubungan kerja dengan badan hukum, pertanggung jawabannya dapat dipilih antara pasal 1365 dan pasal 1367 BW Agar suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum, maka harus memenuhi unsur-unsur perbuatan sebagai berikut: 101 1. Adanya suatu perbuatan. Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan dari si pelakunya. Perbuatan disini meliputi perbuatan aktif berbuat sesuatu maupun pasif tidak berbuat sesuatu, padahal secara hukum orang tersebut diwajibkan untuk patuh terhadap perintah undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan public order and morals. 2. Perbuatan tersebut melawan hukum. Manakala pelaku tidak melaksanakan apa yang diwajibkan oleh undang-undang, ketertiban umum dan atau kesusilaan, maka perbuatan pelaku dalam hal ini dianggap telah melanggar hukum, sehingga mempunyai konsekwensi tersendiri yang dapat dituntut oleh pihak lain yang merasa dirugikan. 3. Adanya kerugian bagi korban. Yang dimaksud dengan kerugian, terdiri dari kerugian materil dan kerugian immateril. Akibat suatu perbuatan melawan hukum harus timbul adanya kerugian di pihak korban, sehingga membuktikan adanya suatu perbuatan yang melanggar hukum secara luas. 4. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian. Hubungan kausal merupakan salah satu ciri pokok dari adanya suatu perbuatan melawan 101 Ibid. hal.19 Universitas Sumatera Utara 106 hukum. Perbuatan melawan hukum dalam hal ini harus dilihat secara materiil. Dikatakan materiil karena sifat perbuatan melawan hukum dalam hal ini haru dilihat sebagai suatu kesatuan tentang akbat yang ditimbulkan olehnya terhadap diri pihak korban. Untuk hubungan sebab akibat ada2 dua macam teori, yaitu teori hubungan faktual dan teori penyebab kira-kira. Hubungan sebab akibat causation in fact hanyalah merupakan masalah fakta atau apa yang secara faktual telah terjadi. Sedangkan teori penyebab kira-kira adalah lebih menekankan pada apa yang menyebabkan timbulnya kerugian terhadap korban, apakah perbuatan pelaku atau perbuatan lain yang justru bukan dikarenakan bukan suatu perbuatan melawan hukum. Namun dengan adanya suatu kerugian, maka yang perlu dibuktikan adalah hubungan antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang ditimbulkan. Akibat perbuatan melawan hukum diatur pada Pasal 1365 KUHPerdata sampai dengan 1367 KUHPerdata sebagai berikut : Menurut Pasal 1365 KUHPerdata dikutip bunyinya, Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian.” Sedangkan Pasal 1366 KUHPerdata, menyebutkan, “Setiap orang bertanggung-jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya” Lebih lanjut, Pasal 1367 KUHPerdata, menyebutkan, “Seorang tidak saja bertanggung-jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, Universitas Sumatera Utara 107 tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh orang-orang yang berada di bawah pengawasannya dan seterusnya”. Penggantian kerugian sebagai akibat dari adanya perbuatan melawan hukum, sebagaimana telah disinggung diatas, dapat berupa penggantian kerugian materiil dan immateriil. Lazimnya, dalam praktek penggantian kerugian dihitung dengan uang, atau disetarakan dengan uang disamping adanya tuntutan penggantian benda atau barang-barang yang dianggap telah mengalami kerusakanperampasan sebagai akibat adanya perbuatan melawan hukum pelaku. Jika mencermati perumusan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, secara limitatif menganut asas hukum bahwa penggantian kerugian dalam hal terjadinya suatu perbuatan melawan hukum bersifat wajib. Bahkan, dalam berbagai kasus yang mengemukakan di pengadilan, hakim seringkali secara ex-officio menetapkan penggantian kerugian meskipun pihak korban tidak menuntut kerugian yang dimaksudkan. Secara teoritis penggantian kerugian sebagai akibat dari suatu perbuatan melawan hukum diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu : kerugian yang bersifat aktual actual loss dan kerugian yang akan datang. Dikatakan kerugian yang bersifat aktual adalah kerugian yang mudah dilihat secara nyata atau fisik, baik yang bersifat materiil dan immateriil. Kerugian ini didasarkan pada hal-hal kongkrit yang timbul sebagai akibat adanya perbuatan melawan hukum dari pelaku. Sedangkan kerugian yang bersifat dimasa mendatang adalah kerugian-kerugian yang dapat diperkirakan Universitas Sumatera Utara 108 akan timbul dimasa mendatang akibat adanya perbuatan melawan hukum dari pihak pelaku. Kerugian ini seperti pengajuan tuntutan pemulihan nama baik melalui pengumuman di media cetak dan atau elektronik terhadap pelaku. Ganti kerugian dimasa mendatang ini haruslah didasarkan pula pada kerugian yang sejatinya dapat dibayangkan dimasa mendatang dan akan terjadi secara nyata. Perbuatan pemberi Hak Tanggungan yang telah dengan sengaja melakukan penjaminan terhadap objek Hak Tanggungan yang terkait dengan kasus korupsi merupakan suatu perbuatan yang melawan hukum yang telah merugikan kreditur pemegang Hak Tanggungan sehingga tidak dapat lagi melakukan tindakan eksekusi terhadap objek Hak Tanggungan yang seharusnya menjadi hak kreditur pemegang Hak Tanggungan. Apabila debitur wanprestasi atau tidak mampu melunasi hutang- hutangnya kepada kreditur, oleh karena itu gugatan yang diajukan oleh kreditur adalah gugatan melawan hukum secara perdata berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, untuk mempertahankan dan melindungi hak-haknya yang telah dirugikan oleh debitur pemberi Hak Tanggungan. Dalam gugatan ganti rugi atas perbuatan melawan hukum yang diajukan oleh kreditur pemegang Hak Tanggungan sebagai penggugat terhadap pemberi Hak Tanggungan sebagai tergugat maka pihak penggugat yakni kreditur pemegang Hak Tanggungan dapat memohonkan sita jaminan kepada pengadilan terhadap harta kekayaan milik tergugat yakni pemberi Hak Tanggungan agar gugatan dari kreditur pemegang Hak Tanggungan memiliki kekuatan eksekusi terhadap harta kekayaan milik debitur tersebut. Universitas Sumatera Utara 109 Sita terhadap harta benda milik tergugat conservatoir beslag berarti bertujuan agar terdapat kekuatan eksekusi dari barang-barang tertentu milik tergugat sebagai pelunasan hutang tergugat kepada penggugat. Dalam Pasal 256 RBg intisari dari conservatoir beslag ini harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut : 1. Harus ada sangkaan yang beralasan, bahwa tergugat sebelum putusan dijatuhkan atau dilaksanakan mencari akal akan menggelapkan atau melarikan barang-barangnya 2. Barang yang disita itu merupakan barang kepunyaan orang yang terkena sita, artinya bukan milik penggugat 3. Permohonan diajukan kepada ketua pengadilan negeri yang memeriksa perkara yang bersangkutan 4. Permohonan harus diajukan dengan surat tertulis 5. Sita conservatoir dapat dilakukan atau diletakkan baik terhadap barang yang bergerak dan tidak bergerak. Sehubungan dengan ketentuan Pasal 256 RBg, Mahkamah Agung dalam salah satu putusannya menyatakan bahwa conservatoir beslag yang diadakan bukan atas alas an-alasan yang disyaratkan dalam pasal dimaksud adalah tidak dibenarkan. Pada sita conservatoir yang dapat menjadi objek sita adalah 1. Barang bergerak milik debitur 2. Barang tetap milik debitur 3. Barang bergerak milik debitur yang berada di tangan orang lain pihak ketiga Penyitaan hanya dilakukan terhadap barang-barang yang nilainya diperkirakan Universitas Sumatera Utara 110 tidak jauh melampaui nilai gugatan nilai uang yang menjadi sengketa, sehingga nilai sita seimbang dengan digugat. Penyitaan juga dilakukan terlebih dahulu atas benda bergerak, dan baru diteruskan ke benda-benda tidak bergerak, jika menurut perkiraan nilai benda-benda tersebut tidak akan mencukupi. Pada asasnya semua barang bergerak maupun tetap milik debitur menjadi tanggungan untuk segala perikatan yang bersifat perorangan, dan semua hak-hak atas harta kekayaan dapat diuangkan untuk memenuhi tagihan, sehingga dapat demikian dapat disita. Akan tetapi tentang hal ini ada pengecualiannya. Ada bagian-bagian dari harta kekayaan yang tidak dapat disita dan ada yang dibebaskan dari penyitaan. Yang tidak dapat disita terutama adalah hak-hak perorangan. Hak untuk mendapat ganti kerugian dalam hubungan perburuhan pun tidak boleh disita untuk menjalankan putusan hakim. Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara berbunyi, Pihak manapun dilarang melakukan penyitaan terhadap : a. Uang atau surat berharga milik negara daerah baik yang berada pada instansi pemerintah maupun pada pihak ketiga. b. Uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada negaradaerah c. Barang bergerak milik negara daerah baik yang berada pada instansi pemerintah maupun pada pihak ketiga d. Barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik negaradaerah yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan. Universitas Sumatera Utara 111 Upaya hukum gugatan ganti rugi atas dasar perbuatan melawan hukum yang diajukan oleh kreditur pemegang Hak Tanggungan terhadap debitur pemberi Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata dapat dilakukan apabila debitur pemberi Hak Tanggungan masih memiliki harta kekayaan lainnya yang tidak disita oleh pengadilan maupun diluar objek jaminan Hak Tanggungan tersebut. Namun apabila debitur pemberi Hak Tanggungan tidak memiliki harta kekayaan lainnya karena telah disita seluruhnya oleh negara melalui putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap maka upaya hukum gugatan ganti rugi secara perdata berdasarkan perbuatan melawan hukum yang termuat dalam Pasal 1365 KUHPerdata tersebut tidak perlu diajukan, karena pengajuan gugatan tersebut tidak memiliki kekuatan untuk melakukan penyitaan atas harta kekayaan debitur sebagai pengganti objek Hak Tanggungan yang telah disita oleh negara melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut. Gugatan ganti rugi yang diajukan oleh kreditur pemegang Hak Tanggungan berdasarkan perbuatan melawan hukum debitur berdasaran 1365 KUHPerdata tersebut akan sia-sia karena debitur tidak lagi memiliki harta kekayaan yang dapat dijadikan jaminan atas hutang-hutangnya dan juga kreditur pemegang Hak Tanggungan tidak dapat mengambil pelunasan atas piutanya kepada debitur. C. Upaya Hukum Sebagai Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Dalam Mempertahankan Hak Atas Objek Jaminan Yang Terkait Kasus Korupsi Penyitaan objek Hak Tanggungan oleh pengadilan karena terkait dengan tindak pidana korupsi tentu merugikan kreditur pemegang Hak Tanggungan. Universitas Sumatera Utara 112 Meskipun kreditur pemegang Hak Tanggungan bukanlah pemilik objek Hak Tanggungan tersebut. Namun pemegang Hak Tanggungan yang memegang sertipikat Hak Tanggungan merupakan jaminan dari debitur pemberi Hak Tanggungan, dalam perjanjian pokok hutang piutang. Apabila debitur tidak mampu melunasi hutangnya maka sesuai hukum Hak Tanggungan kreditur pemegang Hak Tanggungan memiliki hak preference untuk melakukan eksekusi atas objek jaminan Hak Tanggungan tersebut. Apabila objek Hak Tanggungan tersebut telah disita oleh pengadilan karena debitur terkait dengan kasus tindak pidana korupsi maka kewenangan kreditur dalam mengekskusi objek Hak Tanggungan sudah tidak dapat lagi dilaksanakan karena objek Hak Tanggungan tersebut telah beralih kepemilikannya dari debitur kepada pengadilan negara melalui suatu putusan pengadilan. Oleh karena itu pihak kreditur yang telah dirugikan tersebut dapat melakukan upaya hukum dilitigasi dengan cara melakukan perlawanan terhadap putusan pengadilan tersebut dengan mengajukan gugatan perdata ke pengadilan. Upaya perlawanan eksekusi terhadap penyitaan yang dilakukan oleh pengadilan melalui kejaksaan dapat diajukan oleh kreditur dengan mengajukan gugatan perlawanan ke pengadilan negeri tempat dimana objek sita tersebut berada. Dalam Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 menyebutkan bahwa dalam hal putusan pengadilan yang telah melakukan penyitaan terhadap harta benda milik terdakwa termasuk juga barang pihak ketiga yang mempunyai itikad baik, maka pihak ketiga tersebut dapat mengajukan surat keberatan kepada pengadilan yang Universitas Sumatera Utara 113 bersangkutan dalam waktu paling lambat 2 dua bulan setelah putusan pengadilan tersebut diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Dari ketentuan Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah memberikan ruang kepada pihak ketiga kreditur pemegang Hak Tanggungan untuk mengajukan surat keberatan atas penyitaan tersebut. Pasal 19 ayat 3 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa, “Pengajuan surat keberatan dari pihak ketiga atas tindakan penyitaan yang dilakukan oleh pengadilan melalui kejaksaan tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan tersebut”. Dasar hukum pengajuan surat keberatan atas putusan penyitaan yang dilakukan oleh pengadilan melalui kejaksaan tersebut oleh pihak ketiga adalah bahwa pihak ketiga tidak tahu menahu bahwa objek Hak Tanggungan yang telah diikat oleh perjanjian Hak Tanggungan tersebut diantara debitur dan kreditur adalah dibeli dari uang hasil kejahatan tindak pidana korupsi. Kreditur pemegang Hak Tanggungan dalam melakukan perjanjian Hak Tanggungan bersama debitur didasarkan kepada asas itikad baik. Apabila dikemudian hari ternyata bahwa objek Hak Tanggungan tersebut terkait dengan kasus tindak pidana korupsi maka hal tersebut bukan menjadi tanggungjawab dari kreditur pemegang Hak Tanggungan, akan tetapi sepenuhnya menjadi tanggungjawab debitur. Oleh karena itu kreditur pemegang Hak Tanggungan wajib memperoleh perlindungan hukum dari pihak pengadilan karena adanya asas itikad baik yang dimilikinya. Universitas Sumatera Utara 114 Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan menyebutkan bahwa, “Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelalangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”. Selanjutnya Pasal 7Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan menyebutkan bahwa, “Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada”. Bahwa dalam eksekusi Hak Tanggungan memiliki kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan karena memiliki irah-rah, “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena itu maka pihak ketiga yang memiliki itikad baik yang telah melakukan suatu perjanjian jaminan kebendaan melalui Hak Tanggungan sesuai undang-undang wajib memperoleh perlindungan hukum dari semua pihak aparatur penegak hukum. Karena itu putusan pengadilan yang telah melakukan penyitaan terhadap objek jaminan Hak Tanggungan dari terdakwa karena terkait tindak pidana korupsi telah mengambil putusan yang merugikan bagi pihak ketiga pemegang Hak Tanggungan.

D. Analisis Yuridis Normatif Tentang Kepastian Hukum Jaminan Hak Tanggungan