Makam keramat dan perubahan sosial : studi kasus di masyarakat sekitar makam Dalem Cikundul, Majalaya, Cianjur

(1)

MAKAM KERAMAT DAN PERUBAHAN SOSIAL

(Studi Kasus di Masyarakat Sekitar Makam Dalem Cikundul, Majalaya, Cianjur)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Sosiologi Agama (S. Sos)

Oleh: Nia Purnamasari

104032201031

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H/2009 M


(2)

MAKAM KERAMAT DAN PERUBAHAN SOSIAL

(Studi Kasus di Masyarakat Sekitar Makam Dalem Cikundul, Majalaya, Cianjur)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Sosiologi Agama (S. Sos)

Oleh: Nia Purnamasari

104032201031

Dibawah Bimbingan

Dra. Jouharotul Jamilah, M.Si NIP. 150 282 401

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H/2009 M


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang belaku di UIN Syrarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 24 Februari 2009


(4)

ABSTRAKSI

Nia Purnamasari Makam Keramat dan Perubahan Sosial

Yang dimaksud makam keramat di sini adalah makam Rd. Aria Wira Tanu

atau lebih di kenal dengan Makam Dalem Cikundul, yang berada di kampung Majalaya, Cianjur. Beliau merupakan pendiri utama kabupaten Cianjur, dan juga bupati pertama Cianjur. Pengeramatan terhadapnya sudah terjadi sejak dulu. Kekeramatan tersebut berangkat dari pemahaman teologis yang berawal dari ajaran tasawuf yang menggambarkan tentang sosok yang memiliki karomah. Sedangkan secara sosiologis, seseorang bisa dikeramatkan karena ia memiliki kharisma di masyarakat, kharisma itu bisa karena ilmunya ataupun kepribadiannya. Pengeramatan terhadap wali masih berlangsung hingga saat ini. Banyak para peziarah yang datang dan kedatangannya membawa perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi berdampak kepada masyarakat sekitar

makam. Masyarakat jadi lebih kreatif untuk membuka lahan usaha, seperti berdagang. Bahkan banyak yang menggantungkan hidup dari keberadaan makam, seperti: tukang parkir, penjaga tol, dan pengemis. Kharisma yang dimiliki Dalem Cikundul tidak akan pernah luntur sampai kapan pun. Seperti yang diungkapkan oleh Weber, bahwa ada tiga wewenang yang akan selalu berputar yaitu: Wewenang kharimatik, berganti wewenang tradisional, kemudian wewenang rasional, beralih lagi menjadi wewenang kharismatik, begitulah seterusnya. Subyek yang diteliti adalah masyarakat sekitar Makam Dalem Cikundul,

dimana mereka merupakan orang-orang yang hampir setiap hari ada di sana. Penelitian ini ingin mengetahui sejauh mana makam keramat Dalem

Cikundul mampu mengubah kehidupan sosial ekonomi keagamaan masyarakat sekitar makam. Melalui observasi dan wawancara, diketahui bahwa perubahan-perubahan yang terjadi berawal dari pengeramatan terhadap Makam Dalem Cikundul. Perubahan yang paling menonjol dalam kehidupan masyarakat adalah setelah reformasi. Dimana setelah reformasi semua berubah, mulai dari ekonomi, sosial, bahkan kepengurusan makam pun ikut berubah. Tapi, dalam hal kegamaan tidak terlalu nampak perubahannya. Karena, pada umumnya masyarakat mengakui dan mengimani akan adanya yang sakral (ruh) dan masih melaksanakan ritual keagamaan, seperti: Maulidan, Rajaban, dan Muharraman.


(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulilah, segala puji dan syukur hanya pantas kita panjatkan

kehadirat Ilahi Robbi, Sang pemilik Jagat Raya ini. Atas izin dan Ridho-Nya, akhirnya penulisan skripsi ini dapat selesai dengan waktu yang telah ditentukan. Sholawat beserta salam kita haturkan kepada manusia paling sempurna,

pemimpin umat yang telah menuntun kita menuju jalan kebenaran, baginda besar Muhammad SAW, tidak lupa pula untuk keluarga dan sahabatnya. Penulis menyadari tidak ada yang sempurna di dunia ini, begitupun dalam penulisan skripsi ini banyak kekurangannya. Oleh karena itu, tegur sapa dan keritik yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan-perbaikan di masa depan. Penulisan skripsi ini tidak mungkin cepat selesai tanpa bantuan dari

berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Drs. M. Amin Nurdin, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Dra. Ida Rosyidah, MA. Selaku Ketua Jurusan Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Dra. Jouharotul Jamilah, Msi. Selaku Sekretaris jurusan Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan juga dosen pembimbing yang dengan sabar selalu membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini

4. Bapak Iput yang telah bersedia untuk membantu dan membukakan cakrawala berfikir kepada penulis. Dan kepada bapak Drs. Makmun Ikhsan, Apt, yang telah meminjamkan buku-bukunya kepada penulis


(6)

5. para petugas perpustakaan Utama dan perpustakaan fakultas ushuluddin dan Filsafat terima kasih atas pelayanannya

6. Kepala desa beserta jajarannya, terima kasih atas informasi dan kesediaannya untuk membantu dan memudahkan penulis

7. Untuk ayahanda tercinta bapak M. Saepudin dan Ibunda tersayang C. Aisah, yang tak pernah lelah mendorong, menguatkan dan memberikan kasih sayangnya. Cucuran keringat dan do’a tulus tidak akan pernah sanggup ananda membalasnya.

8. Untuk kakak-kakakku, kang Dasep, teh Dede, teh Lilis, teh Neni dan teh Ai yang selalu memberikan support. Makasih atas perhatian dan kasih sayangnya yang tidak pernah putus, juga kakak iparku (a’ Enjon, kk, a’ Diki) dan tidak lupa untuk keponakan-keponakanku Cindy, Daffa, Najwaa, Rafli dan Alifa, yang selalu menantikan kehadiranku

9. Untuk saudara-saudaraku Umi, Ita, Uthi, Uus, dan Zumi, yang selalu mewarnai kehidupanku, tawa yang indah sewaktu kita bersama, semoga silaturahmi kita tidak akan pernah putus walau jarak memisahkan kita. Umi makasih ya atas bantuannya selama ini.

10.Untuk saudara-saudaraku di kostan PGRI, teh Ufah dan teh Nei makasih ya atas motivasinya, juga buat Neng dan Beti, ayo Semanga!!! jangan males…. 11.Untuk sahabat-sahabatku, teman seperjuangan, Aya, Nenk, Opik, Amir,

Syiqqil, Wahid, Budi, Hari, Asep, Njah, Ina, Mamih dan teman-teman Sosiologi Agama angkatan 2004. Semoga kita bisa sukses bareng-bareng ya....

Ciputat, 24 Februari 2009


(7)

DAFTAR ISI ABSTRAK ... ... ... ... i KATA PENGANTAR ... ... ... ii DAFTAR ISI ... ... ... .... iv DAFTAR TABEL ... ... ... vi BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Metodologi Penelitian ... 7

E. Sistematika Penulisan... 10

BAB II KAJIAN TEORI A. Makam Keramat ... 12

1. Pengertian Makam Keramat ... 12

2. Simbol dan Sakralitas... 14

B. Perubahan Sosial... 18

1. Pengertian Perubahan Sosial... 18

2. Faktor-faktor Perubahan Sosial ... 20

3. Pola-pola Perubahan Sosial ... 22

C. Agama dan Perubahan Sosial ... 26

1. Peranan Agama dalam Perubahan Sosial ... 26


(8)

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Gambaran Umum Kampung Majalaya ... 31

1. Geografi dan Demografi kampung Majalaya... 31

2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Majalaya ... 33

3. Kehidupan Keagamaan Masyarakat Majalaya ... 34

B. Makam Dalem Cikundul ... 35

1. Sejarah dan Perkembangan Makam Dalem Cikundul... 35

2. Sakralitas Makam Dalem Cikundul ... 43

BAB IV MAKAM DALEM CIKUNDUL DALAM MENGUBAH KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI KEAGAMAAN MASYARAKAT A. Perubahan Kehidupan Sosial... 45

1. Perubahan Sosial yang terjadi sebelum tahun 1990... 46

2. Perubahan Sosial yang terjadi setelah tahun 1990 ... 51

B. Perubahan Kehidupan ... 53

1. Komersialisasi Makam ... 53

2. Tumbuh dan Berkembangnya Peziarah... 57

C. Perubahan Kehidupan Keagamaan ... 59

1. Kepercayaan Kepada yang Sakral ... 59

2. Ritual Keagamaan ... 61

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 64

B. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA

... ...

... 66


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel I. Perubahan jumlah Pengunjung dari tahun ke tahun

... 47

Tabel II. Data Instansi yang pernah datang

... ...

49

Tabel III. Data Negara yang pernah datang

... ...


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam masyarakat modern dewasa ini, dimana kemajuan teknologi

yang terus berkembang, arus globalisasi yang tidak terbendung. Ada satu fenomena kehidupan yang cukup menarik untuk dicermati, yaitu membludaknya jumlah peziarah ke makam, baik makam wali maupun makam-makam yang di anggap keramat 1. Salah satu makam yang di anggap keramat oleh masyarakat sekitar adalah makam Cikundul. Makam bisa disebut keramat jika penghuni makam tersebut adalah

orang yang memiliki pengaruh di masyarakat. Pengaruh tersebut bisa berbentuk kharisma. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Weber bahwa kharisma adalah suatu kelebihan tertentu yang terdapat dalam karakter dan kepribadian seseorang 2. Kharisma akan diterapkan pada suatu mutu tertentu yang terdapat pada kepribadian seseorang, yang karenanya dia terpisah dari orang biasa dan diperlakukan sebagai orang yang dianugerahi kekuasaan atau mutu yang bersifat adiduniawi, luar biasa, atau sekurang-kurangnya merupakan kekecualian dalam hal-hal tertentu 3. Seseorang yang memiliki kharisma biasanya diperlakukan secara istimewa dalam masyarakat karena dianggap sebagai orang yang dianugerahi

1

Suci dan bertuah yang dapat memberikan efek magis dan psikiologis kepada pihak lain.

2

Doyle Paul Jhonson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jil. I, (Jakarta: PT. Gramedia, 1986), h. 229

3


(11)

kekuasaan, sehingga para pengikut yang setia memiliki komitmen terhadap normatif atau moral yang digambarkannya atau dicontohkannya. Menurut Weber, otoritas kharisma biasanya ada dalam tokoh-tokoh agama, karena mereka condong dihormati dan ditiru. Ketika otoritas kharisma ada pada tokoh-tokoh agama maka ada dua kemungkinan yang akan terjadi. kemungkinan pertama, kharisma tersebut bisa berlangsung lama dan bisa juga hanya bersifat sementara saja.. Kepercayaan masyarakat pada makam keramat diakui atau tidak

berangkat dari sebuah pemahaman teologis yang berawal dari ajaran tasawuf yang menggambarkan tentang sosok yang memiliki karomah tersebut. Yang mana ada tiga hal yang menonjol pada diri mereka, yakni karamah, barakah, dan syafaat. Ketiga hal itu melekat dan menjadikannya sebagai tokoh keramat, baik ketika hidup maupun setelah meninggal, sehingga untuk mencari tiga hal itulah makamnya menjadi pusat ziarah. Asal muasal fenomena ziarah kubur sebenarnya bukan berasal dari

Islam, melainkan tradisi Yahudi dan Nasrani. Namun, tidak dapat di pungkiri bahwa dalam Islam pun ada tradisi ziarah yang telah membudaya. Ziarah kubur diperbolehkan jika untuk mengingat kematian ataupun mengambil I’tibar (hikmah), yang tidak diperbolehkan adalah meminta-minta pada makam, mengucapkan sumpah dengan nama mereka, mendirikan bangunan di atas kuburan mereka, dan sebagainya. Mayoritas rakyat muslim melakukan ziarah kubur di hampir semua negeri mereka, di Afrika Utara, Mesir, Sudan, Irak, Iran, Afganistan, India,


(12)

Di Indonesia, pemujaan terhadap wali dalam arti ziarah ke makam wali

merupakan ritual yang sangat lazim. Makam wali yang sering dikunjungi oleh peziarah adalah makam wali songo yang ada di Jawa, tidak terkecuali

makam-makam lain seperti makam-makam Cikundul. Salah satu permasalahan menarik yang muncul dalam fenomena ziarah pada masyarakat adalah permasalahan sosial ekonomi. Dimana makam, jika dilihat hanyalah sebuah pekuburan biasa tanpa makna. Tapi lain halnya jika yang mendiami makam tersebut adalah seseorang yang memiliki kharisma dan pengaruh di masyarakat. Keberadaan makam Cikundul sebagai objek para peziarah, secara tidak

langsung telah memberikan banyak perubahan di segala bidang kehidupan. Tidak terkecuali pada bidang sosial dan ekonomi. Yang ditandai dengan banyaknya peminta-minta, setiap orang beramai-ramai ingin menjadi kuncen, banyak orang yang berjualan di sekitar makam, tersedianya lapangan parkir, dan lain-lain. Perubahan-perubahan yang terjadi membawa dampak positif dan

negatif. Dampak positif yang bisa di ambil adalah sedikit banyak bisa mengurangi jumlah pengangguran, membuka lahan usaha walaupun cuma berdagang, sedangkan dampak negatifnya, komersialisasi yang dilakukan terhadap makam bisa menimbulkan penyalah artian makam Cikundul. Terjadinya perubahan sosial dimanapun dan kapan pun, termasuk di daerah makam merupakan suatu kewajaran (natural) yang timbul sebagai sebuah proses dari pergaulan hidup manusia. Semakin berkembangnya


(13)

kehidupan manusia, maka kehidupan masyarakat pun akan turut berubah. Perubahan itu pun terjadi pada masyarakat yang berada di sekitar makam, apalagi makam yang dianggap keramat. Setiap masyarakat manusia selama hidupnya, pasti mengalami

perubahan-perubahan. Perubahan itu ada yang bergerak cepat ataupun lambat. Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat dapat bersifat progress atau regress, luas ataupun terbatas, cepat atau lambat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku organisasi, struktur lembaga kemasyarkatn, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan sebagainya.4 Perubahan-perubahan yang terjadi secara lambat memerlukan waktu

lama, dimana terdapat suatu rentetan perubahan-perubahan kecil yang saling mengikuti dengan lambat, dinamakan evolusi. Perubahan-perubahan terjadi dengan sendirinya, tanpa rencana ataupun suatu kehendak tertentu. Sedangkan perubahan yang terjadi secara cepat, mengenai sendi-sendi atau dasar-dasar pokok dari pada kehidupan masyarakat (yaitu lembaga-lembaga kemasyarakatan) lazimnya dinamakan "revolusi". Unsur-unsur yang pokok dari pada suatu revolusi adalah adanya perubahan cepat bahwa perubahan tersebut mengenai dasar-dasar atau sendi-sendi pokok dari kehidupan masyarakat. 5 Wilbert Moore sebagaimana yang dikutip oleh Robert H Lauer mengartikan perubahan sosial sebagai "perubahan penting dari struktur

4

Drs. Kurnadi Shahab. M. Si., Sosiologi Pedesaan, (jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), h. 14

5


(14)

sosial", dan yang dimaksud dengan struktur sosial adalah "pola-pola perilaku dan interaksi sosial". Moore memasukkan ke dalam definisi perubahan sosial berbagai ekspresi mengenai struktur seperti norma-norma, nilai-nilai, dan fenomena kultural. Pengertian lain dalam melihat perubahan sosial sebagai variasi atau modifikasi dalam setiap aspek proses sosial, pola sosial, dan bentuk-bentuk sosial serta "setiap modifikasi pola antar hubungan yang mapan dan standar perilaku. Semua itu menunjukkan bahwa perubahan sosial itu adalah fenomena yang rumpil dalam arti menembus ke berbagai tingkat kehidupan sosial.6 Perubahan sosial merupakan konsekuensi utama dari proses

modernisasi yang dialami oleh suatu masyarakat. Namun, ada yang berpendapat bahwa perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat seperti perubahan dalam unsur-unsur geografis, biologis, ekonomis, atau kebudayaan.7 Setiap perubahan sosial sebagai realitas yang menjadi sasaran,

senantiasa membawa tiga aspek, yaitu: aspek manusia, aspek waktu, dan aspek tempat. Dengan kata lain, setiap perubahan yang berarti digerakkan oleh manusia, dalam unit waktu tertentu dan lingkungan tertentu.8 Pada umumnya, tempat di sekitar makam hanyalah tempat biasa yang

tidak memiliki keistimewaan apa pun. Tapi, ramainya peziarah telah 6

Robert H Lauer, Perspektif tentang perubahan Sosial, edisi ke-2, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), h. 4

7

Abdullah Masmuh dkk, Agama Tradisional Potret Kearifan Masyarakat Samin dan Tengger, (Jogjakarta: LKis, 2003).

8


(15)

mengubah masyarakat di sekitar makam menjadi medan budaya (cultural sphere) di mana banyak orang keluar masuk dengan membawa adat dan kebiasaan yang berbeda. Kedatangan mereka telah mengubah kehidupan masyarakat Majalaya. Perubahan yang paling menonjol di bidang ekonomi. Masyarakat tidak lagi mengandalkan ekonomi dari pertanian saja, seperti halnya di daerah pedesaan, tapi juga dari sector lain seperti perdagangan melalui komersialisasi makam. Komersialisasi yang dilakukan telah banyak memberikan pengaruh

yang cukup signifikan terutama dalam hal ekonomi, itu bisa terlihat dari banyaknya masyarakat Majalaya yang kini sebagian bermata pencaharian berdagang di sekitar makam. Makam tidak lagi hanya pekuburan biasa, tapi juga sudah seperti tempat wisata. Dari latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk

mengangkat judul "Makam Keramat dalam Mengubah Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat" sebagai judul penelitian dalam skripsi ini.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pokok permasalahan dalam penelitian skripsi ini adalah perubahan

sosial ekonomi pada masyarakat di sekitar makam keramat. Penelitian ini dibatasi pada perubahan sosial ekonomi yang terjadi dari tahun 1990 sampai sekarang. Dan untuk lebih memperdalam penelitian ini, secara geografis dibatasi pada masyarakat yang ada di sekitar makam yang berada di kampung Majalaya desa Cijagang kecamatan Cikalongkulan kabupaten Cianjur.


(16)

Berdasarkan pembatasan masalah diatas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yang nanti akan terjawab dalam hasil penelitian skripsi ini, yaitu: "Bagaimana makam yang keramat Cikundul mampu mengubah

kehidupan ekonomi masyarakat Majalaya?"

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui bagaimana masyarakat Majalaya, khususnya yang berada di sekitar makam memahami keberadaan makam tersebut. b. Untuk mengetahui sejauh mana makam Cikundul bisa meningkatkan

ekonomi masyarakat Majalaya.

c. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh makam Cikundul mampu mendatangkan peziarah.

2. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Menambah wawasan sosial keagamaan, terutama mengenai makam keramat.

b. Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.


(17)

D. Metode Penelitian

Permasalahan yang terjadi di masyarakat terus berkembang, butuh cara

untuk mengetahui gejalanya. Maka dilakukanlah penelitian. Penelitian dilakukan karena dorongan atau rasa ingin tahu yang besar terhadap sesuatu.9

Metode yang dilakukan dalam penelitian skripsi ini adalah: 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif dengan metode

deskriptif, yakni metode yang dimaksudkan untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial, dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah studi kasus. Dimana studi kasus merupakan suatu pendekatan untuk

mempelajari, menerangkan atau menginterpretasikan suatu kasus (case) dalam konteksnya secara natural tanpa adanya intervensi.10 Studi kasus diambil karena diharapkan bisa menjelaskan suatu

fenomena sosial yang ada di masyarakat secara gamblang dan jelas, terutama dalam perubahan sosial ekonomi pada masyarakat sekitar makam di kampung Majalaya Cianjur.

9

Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 3.

10

Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian , Pemikiran Norman dan Egon Guba, (Yogyakarta: PT. Tirta Wacana Yogya, 2001), h. 93.


(18)

2. Subjek Penelitian

Penulis mengambil subjek dalam penelitian ini adalah masyarakat

di sekitar makam yang berada di daerah kampung Majalaya desa Cijagang kecamatan Cikalongkulon kabupaten Cianjur. 3. Tekhnik Pengumpulan Data

Adapun tekhnik pengumpulan data yang penulis lakukan adalah sebagai berikut:

a. Observasi Partisipan, yaitu dengan melakukan pengamatan secara langsung terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki, seperti: menjamurnya pedagang-pedagang di sekitar makam, banyaknya peminta-minta, membludaknya peziarah pada waktu-waktu tertentu, dan lain-lain.

b. Wawancara mendalam (indepth Interview), yaitu peneliti atau petugas penelitian melakukan "interview" dengan informan secara lisan dan mendalam.

c. kepustakaan (Library Research), yakni dengan membaca, memahami, dan menginterpretasikan buku-buku yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

4. Instrumen Pengumpulan Data

Instrument yang digunakan untuk pengumpulan data dalam

penulisan skripsi ini adalah pedoman wawancara. Pertanyaan-pertanyaan yang dimuat dalam pedoman wawancara hanya hal-hal pokok, dan umumnya berbentuk pertanyaan terbuka.


(19)

5. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah

analisis data kualitatif, dengan tidak menggunakan angka atau statistik, tetapi berupa analisis terhadap data yang berkaitan dengan penjelasan-penjelasan dan pandangan-pandangan penelitian skripsi ini. Dalam penelitian kualitatif ini, setiap kejadian yang terjadi di lapangan penulis catat, baik dari hasil wawancara maupun observasi, kemudian peneliti mereduksi (merangkum, mengikhtisarkan, menyeleksi) aspek-aspek penting yang muncul dan mencoba membuat ringkasan pada tiap-tiap kasus, berdasarkan kerangka teori dan pedoman wawancara.

D. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini disusun secara sistematis berdasarkan pembahasan yang dibutuhkan dan disusun kedalam lima bab sebagai berikut:

1. Bab pertama (I) membahas tentang pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan.

2. Bab kedua (II) membahas mengenai kajian teori yang digunakan sebagai rujukan dalam penelitian skripsi ini, yaitu: pertama berisi pembahasan mengenai makam dan pensakralan terhadap makam. Dan yang kedua membahas tentang perubahan sosial, terutama berkaitan dengan perubahan sosial, ekonomi dan keagamaan.


(20)

3. Bab ketiga (III) berisi profil daerah dan objek penelitian yang mendeskripsikan kondisi geografis dan demografis daerah penelitian. Selain itu, bab ini juga memberi gambaran serta sedikit analisis mengenai kondisi sosial, ekonomi dan agama masyarakat Majalaya.

4. Bab keempat (IV) merupakan analisa dari hasil penelitian dalam skripsi ini, berisi analisa proses terjadinya perubahan sosial ekonomi dari tahun 1990 sampai sekarang.

5. Bab kelima (V) berisi penutup yang membahas kesimpulan dan saran-saran, serta daftar pustaka dan lampiran-lampiran.


(21)

DAFTAR PUSTAKA SEMENTARA

Ag, Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, Jakarta: Logos, 2002.

Al-Albani, M. Nashiruddin, Tuntunan Lengkap Mengurus Jenazah, Jakarta: Gema Insani, 1999.

Dikumpulkan oleh Henri Chambert-Loir & Claude Guillot, Ziarah & Wali di Dunia Islam, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007

Faisah, Sanapiah, Format-format Penelitian Sosial, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Jhonson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jil. I, Jakarta: PT. Gramedia, 1986.

Laure, Robert H, Perspektif tentang Perubahan Sosial, edisi ke-2, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993.

Masmuh, Abdullah dkk, Agama Tradisional Potret Kearifan Masyarakat Samin dan tengger, Jogjakarta: LKis, 2003.

Nurdin, Amin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.

Razak, Yusran dan Ervan Nurtawab, Antropologi Agama, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007.

OC, Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, Jogjakarta: Kanisius, 1989. Salim, Agus, Teori dan Paradigma Penelitian, Pemikiran Norman dan Egon

Guba, Jogjakarta: PT. Tirta Wacana Yogya, 2001.

Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: CV. Rajawali, 1986. Subhani, Syaikh Ja’far, Tauhid dan Syirik Studi Kritis Faham Wahabi, Bandung:

Mizan, 1987.

Syam, Nur, Islam Pesisir, Jogjakarta: LKis, 2005. Veeger, K. J., Realitas Sosial, Jakarta: PT. Gramedia, 1993.


(22)

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Makam Keramat

1. Pengertian Makam Keramat

Para wali dianggap orang yang memiliki kekuatan luar biasa, itulah

mengapa makamnya selalu dipadati peziarah. Dalam tradisi jawa, makam dianggap mengandung kesakralan. Arti makam diambil dari bahasa Arab berasal dari kata maqam yang berarti tempat, status, atau hirarki. Sedangkan tempat menyimpan jenazah dalam bahasa Arab disebut Qabr, yang lebih dikenal dengan kubur atau kuburan. Pada umumnya kuburan atau makaman digunakan untuk menyebut tempat menguburkan atau memakamkan mayat. Namun, ada kekhususan mengenai penggunaan kata makam atau kubur tersebut, yakni jika yang dikuburkan itu adalah seorang wali atau orang suci, maka tempat penguburannya disebut makam wali bukan kuburan wali.11 Keramat (dari bahasa Arab, karamah) mengandung arti kemuliaan atau kemurahan. Di kalangan orang-orang tasawuf atau tarekat, berkembang pengertian bahwa keramat adalah keadaan atau perbuatan luar biasa yang timbul pada diri, atau dilakukan oleh para wali Allah. Banyak contoh yang beredar di kalangan mereka, tentang keramat itu, seperti dapat mengharungi lautan dengan sajadahnya (sajadah: tikar untuk Shalat), mengetahui adanya


(23)

bahaya sebelum terjadi, berada di dua tempat yang berjauhan pada waktu yang sama dan lain sebagainya. Tidak semua keadaan atau perbuatan luar biasa itu disebut keramat.

Yang terjadi pada diri nabi atau rasul, tidak disebut keramat, tapi mukjizat (mu’jizat), sedangkan yang dilakukan oleh orang-orang kafir atau orang-orang yang tidak beragama Islam, secara saleh disebut sihir, yang dapat juga disebut mejik hitam.12 Bagi sebagian masyarakat yang mempercayainya, makam tidak hanya

sekedar tempat untuk menyimpan mayat. Akan tetapi, makam merupakan tempat keramat, karena di situ dikuburkan jasad orang keramat. Jasad orang keramat tidak seperti orang kebanyakan, karena diyakini bahwa jasadnya tidak akan dimakan binatang tanah, seperti: cacing tanah, ulat pemangsa jasad manusia, dan lain-lain. Selain itu, jasadnya juga tidak akan rusak, serta rohnya memiliki kekuatan untuk mendatangi makamnya. Dia dianggap sebagai orang yang dekat dengan Allah SWT, sehingga dijadikan perantara doa agar doanya cepat sampai kepada Allah SWT. Memang, tidak semua orang berziarah itu benar tujuannya, sebab ada juga di antara mereka justru malah meminta roh penghuni makam untuk mengabulkan doa atau permohonannya. Pemujaan terhadap wali adalah ritual yang berlaku sejak lama di

kalangan dunia Islam. Masalah yang terjadi adalah masalah mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui perantara para wali yang sholeh.

" # $ % & ' ( ) *$ # ( $( $


(24)

Islam telah menentukan tempat-tempat dan waktu-waktu yang

memiliki keutamaan atau kekeramatan dibandingkan tempat lainnya. Dalam ibadah-ibadah khusus, seperti shalat, berdoa, membaca al-Qur’an, dan sebagainya. Kita dibenarkan tabarruk atau mencari keutamaannya. Namun yang perlu dipahami bahwa ketentuan itu datangnya dari Allah SWT dan rasul-Nya. Kita tidak dapat menentukan sendiri atau meraba-raba hal apa dan di mana yang sekiranya mengandung kekeramatan atau keberkahan. Perkara semacam itu termasuk mughayyabat (perkara gaib) yang tidak dapat dipahami maksud hakiki dengan menggunakan akal atau intuisi belaka.13 2. Simbol dan Sakralitas

Simbol atau lambang dianggap sebagai suatu hasil kreatifitas manusia. Di antara binatang-binatang, hanya manusialah yang mampu menciptakan bahasa simbolik dan pemikiran abstrak. Dia tidak hanya berbuat dan bereaksi, tetapi juga mengembangkan dan menanggapi perbuatan. Simbol adalah bentuk objek atau tanda apapun yang melahirkan respon sosial yang diakui bersama.14 Simbol ataupun lambang memiliki makna penting bagi suatu agama, karena dalam simbol terdapat inti emosi keagamaan yang hanya bisa dipandang tidak dapat diekspresikan. Maka semua upaya itu semata-mata merupakan perkiraan-perkiraan karena itu bersifat simbolik.15

*$( ( ( 0 ' ( 1 $ $ $

) - + $ / 23

/0 % $ ( $ ( $ % ( %- 0 $ ) 4

) 3 3

* 5 - $ % ( $ 0 ) " 6 ,


(25)

Simbol memiliki beberapa karakteristik, yaitu: pertama, simbol dibuat

dan dikembangkan secara bersama-sama dalam masyarakat. Ada budaya masyarakat India yang masih menganggap bahwa sapi merupakan simbol bagi umat Hindu, hanya mereka yang meyakini demikian. Begitu juga dengan hajar aswad yang diyakini umat Islam sebagai simbol suci meskipun hanya sebuah batu. Kedua, simbol mungkin memiliki lebih dari satu makna. Ketiga, ada keterkaitan langsung antara budaya dengan pemaknaan terhadap sebuah simbol. Simbol bisa berbeda sesuai waktu dan tempatnya, juga bisa berbeda makna simbol tentang sesuatu pada satu kelompok dengan kelompok lain terutama di masyarakat yang tingkat keragamannya sangat tinggi. Menurut Eliade sebagaimana yang dikutip oleh Yusron Razaq

berpendapat bahwa simbol mengungkap dimensi-dimensi realitas tertentu yang akan menjauhkan pengetahuan kita. Sesuatu yang ada dalam sebuah simbol memiliki kekuatan melampaui pemahaman dan kendali kita yang disebut olehnya bersama Rudolf Otto sebagai “yang sakral”.16 Mungkin terpikir di benak kita tentang sesuatu yang sakral. Yang sakral adalah yang berada di luar dirinya dan tidak terjangkau oleh akal atau penalaran manusia yang lebih kita kenal dengan yang transenden. Sesuatu yang sakral itu lebih mudah dikenal dari pada didefinisikan. Ia berkaitan dengan hal-hal yang penuh misteri, baik yang sangat mengagumkan maupun yang sangat menakutkan. Dalam masyarakat, yang kita kenal terdapat

3 $ 6 5 8 ( $ * 9 $ : - %$ # % ) 4


(26)

perbedaan antara yang suci dengan yang biasa atau yang sering kita katakan antara yang sakral dan yang sekuler atau duniawi (the sacred and the secular or the profane). Sesuatu yang sakral dan yang profan berkaitan erat dengan

pengalaman keagamaan manusia. Mengenai yang sakral dan yang profan dibicarakan pula oleh Emile Durkheim sebagaimana yang dikutip oleh Thomas F O’dea. Durkheim menyatakan yang suci lebih tinggi martabatnya dibandingkan dengan yang profan dan mengandung sifat serius yang lebih tinggi.17 Yang sakral berhubungan dengan milik bersama, berlangsung terus

menerus atau dapat pula sebentar saja yang ditujukan kepada seseorang, tempat, waktu atau benda tertentu. Sebagai sifat yang dipercayai, ia bukanlah sesuatu yang dapat ditunjukkan dan dapat dibawa pergi. Ia adalah kualitas yang tidak dipunyai pada benda yang sakral itu sendiri semenjak awal benda itu ada, tetapi dia adalah aura misterius yang ditambahkan kepada benda yang sakral itu. Yang sakral menimbulkan sikap yang juga antagonis. Di satu sisi orang menghormatinya, memberikan sesajen kepadanya, mengunjunginya dengan pengorbanan tenaga dan biaya yang besar, tetapi di sisi lain menurut Coillois, ia juga berbahaya punya hal-hal yang taboo dilakukan terhadapnya. Kalau kesuciannya dilanggar dan ditabookan dikerjakan juga, yang bersangkutan dipercayai akan mendapat bahaya. Sebaliknya yang profan adalah sesuatu yang biasa, yang rasional, yang

nyata, tidak ada perlakuan istimewa dan penghormatan terhadapnya.


(27)

Memikirkannya seperti merumuskan teori dan mengamati dan melakukan eksperimen terhadapnya, boleh dan sangat dianjurkan, tetapi tidak perlu diiringi dengan doa dan dzikir. Segala sesuatu di alam ini sebenarnya profan, karena kesakralan itu hanya anggapan sepihak dari manusia atau masyarakat yang memercayainya saja. Dalam kehidupan beragama juga ditemukan sikap mensakralkan

sesuatu, baik tempat, buku, orang, benda tertentu dan lain sebagainya. Sakral (sacred) berarti suci. Pasangannya dari yang sakral adalah yang profan, yaitu yang biasa saja atau yang alamiah. Dalam setiap agama memiliki sesuatu yang disakralkan atau disucikan. Kitab suci Al-Qur’an, bulan Ramadhan, Tanah Haram, Waliullah, Ka’bah, adalah suci dalam agama Islam. Tanda Salib, Gereja, hari natal, kitab Bibel atau al-kitab dipercayai suci dalam agama Kristen. Kasta Brahmana, kitab Weda, sungai Gangga, hari Nyepi, Pura adalah suci dalam kepercayaan agama Hindu. Totem, adalah suci dalam pandangan masyarakat primitif yang mempercayainya. Kitab Tripitaka, patung Sidharta Gautama, Vihara, dipercayai suci dalam ajaran agama Budha. Sinagog, kitab Taurat, hari Sabat, suci dalam pandangan penganut agama Yahudi. Sakral atau pun tidak sakral kalau dilihat secara material, fisik atau

kimiawi sebenarnya sama saja, karena suci atau sakral bukan terletak pada sifat benda itu sendiri, melainkan diberikan oleh manusia atau masyarakat yang menyucikannya kepada benda yang disucikan. Menurut Durkheim sebagaimana yang dikutip oleh Bustanudin Agus, manusia atau masyarakat


(28)

yang mempercayainya itu sajalah yang menjadikannya suci atau bertuah, tidak karena adanya sesuatu yang lain atau istimewa dalam benda tersebut.18

B. Perubahan Sosial

1. Pengertian Perubahan Sosial

Di dunia ini tidak ada yang tetap semuanya senantiasa berubah. Begitu pula dengan masyarakat. Masyarakat adalah objek dari perubahan. Masyarakat senantiasa berubah di semua tingkat kompleksitas internalnya. Di tingkat mikro terjadi perubahan interaksi dan perilaku individual. Di tingkat mezzo terjadi perubahan kelompok, komunitas dan organisasi. Di tingkat makro terjadi perubahan ekonomi, politik dan budaya (kultur). Masyarakat ada setiap saat dari masa lalu ke masa mendatang. Kehadirannya justru melalui fase antara apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi.19 Perubahan sosial dipandang sebagai sebuah konsep yang serba mencakup, yang menunjuk kepada perubahan fenomena sosial di berbagai tingkat kehidupan manusia, mulai dari tingkat individual hingga tingkat dunia.20 Meskipun tidak ada arti yang jelas mengenai perubahan sosial. Akan

tetapi, banyak pendapat menilai bahwa perubahan-perubahan sosial merupakan gejala-gejala wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia.

2@ $ ( $ % % ( ( # $ 0 $ ) " 6 ,

7 & $( ( 3 2

! 5 # - $ ) $ ( ;

3

6 - ' # & $ $ - $ ( (


(29)

Menurut Gillin sebagaimana yang dikutip oleh Soerjono Soekanto mengatakan bahwa perubahan-perubahan sosial adalah suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, yang disebabkan baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi, maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat tersebut. Sedangkan menurut Samuel Koening mengatakan bahwa perubahan-perubahan sosial menunjuk modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia. Modifikasi-modifikasi tersebut terjadi karena sebab-sebab yang intern maupun sebab-sebab ekstern. Definisi lain dikemukakan oleh Selo Soemardjan yang menyatakan

bahwa perubahan-perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola-pola perikelakuan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Tekanan pada definisi tersebut terletak pada lembaga-lembaga kemasyarakatan sebagai himpunan pokok manusia; perubahan-perubahan mana kemudian mempengaruhi segi-segi lainnya dari struktur masyarakat tersebut.21 Lain halnya menurut Hendropuspito. Menurutnya, tidak ada arti yang

khusus mengenai perubahan sosial. Namun ada beberapa definisi yang di angkat dari data hasil pengamatan tentang perubahan yang terjadi dalam

, $ $ $ $ ) 6 , :


(30)

masyarakat. Dari data tersebut dapat ditarik dua rumusan mengenai definisi perubahan sosial. Pertama, perubahan sosial didefinisikan sebagai perbedaan keadaan yang berarti dalam unsur masyarakat dibandingkan dengan keadaan sebelumya, bisa pula diartikan sebagai perubahan sosial yang pasif. Kedua, perubahan sosial adalah proses perkembangan unsur sosio-budaya dari waktu ke waktu yang membawa perbedaan yang berarti dalam struktur dan fungsi masyarakat dan diartikan lain sebagai perubahan sosial aktif.22 Perubahan sosial yang terjadi di tingkat makro meliputi ekonomi, di mana ekonomi merupakan sentral dari kehidupan manusia. Persoalan ekonomi dapat dikatakan sama tuanya dengan sejarah manusia. Perkembangan persoalan ekonomi berjalan seiring dengan perkembangan dari pertumbuhan manusia itu sendiri dengan pengetahuan teknologis yang dimiliki. Sosiologi memandang ekonomi sebagai studi bagaimana cara orang

atau masyarakat memenuhi kebutuhan hidup mereka terhadap jasa dan barang langka dengan melakukan pendekatan sosiologi. Hubungan ekonomi dan masyarakat saling berkaitan satu sama lain.

Sosiologi memandang ekonomi sebagai bagian integral dari masyarakat.23 2. Faktor Perubahan Sosial

Untuk mengetahui suatu perubahan yang terjadi pada masyarakat, maka perlu diketahui penyebab yang mengakibatkan terjadinya

' $( # # <> $ !2!

3


(31)

perubahan itu. Faktor-faktor tersebut, disadari atau tidak, telah memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi perkembangan masyarakat selanjutnya. Ada dua faktor yang terjadi dalam perubahan sosial: faktor penyebab

dan faktor penunjang. Faktor penyebab adalah faktor yang langsung mengakibatkan timbulnya perubahan sosial, baik berupa kejadian yang semula tidak ada menjadi ada, maupun pengubahan realitas yang sudah ada sebelumnya menjadi bentuk yang lain. Sedangkan faktor penunjang dalam bahasa latin occatio hanya menciptakan kesempatan atau situasi yang membantu penyebab menghasilkan akibatnya. Adapun yang menjadi faktor penyebab dan penunjang perubahan

adalah sebagai berikut: a. Faktor Penyebab Perubahan

Perubahan terjadi di tengah-tengah masyarakat tidak mungkin bisa dibendung. Perubahan adalah sesuatu hal yang wajar dan alami. Sangat sulit menentukan penyebab perubahan sosial yang murni dan tepat terjadi, karena bidang penyelidikan terlalu luas dan kabur serta kurang pembatasan yang jelas. Faktor penyebab perubahan sosial bisa dikategorikan menjadi

faktor manusia dan non manusia. 1) Faktor manusia

Kedudukan manusia sangat sentral dan penting dalam masyarakat dan dalam perkembangan masyarakat, maka wajar jika para ahli sosial serentak menunjuk manusia sebagai faktor penyebab utama perubahan.


(32)

2) Faktor non manusia

Jumlah faktor non manusia yang menyebabkan perubahan sosial cukup besar. Sebagian dari faktor-faktor itu pada mulanya merupakan akibat yang ditimbulkan oleh manusia. Namun kemudian menimbulkan perubahan masyarakat. Perubahan-perubahan non manusia antara lain: pertambahan penduduk, sistem ekonomi, penerapan penemuan baru (teknologi modern dan mode), sistem pendidikan yang terencana, arus sekulerisasi, dan lain-lain.

b. Faktor penunjang perubahan

Faktor-faktor yang menunjang perubahan sosial meliputi:

1) Jiwa yang terbuka terhadap perubahan, terutama jiwa revolusioner yang hidup dalam suatu masyarakat yang mau mengubah apa saja yang telah ada.

2) Bertambahnya perbendaharaan ilmu pengetahuan memungkinkan bertambahnya pemecahan baru mengenai berbagai masalah yang dihadapi.

3) Timbulnya keinginan-keinginan baru yang dikobarkan sebagai cita-cita nasional dan harus diperjuangkan pencapaiannya akan membuka hati bangsa sehingga mengadakan perubahan-perubahan guna memuaskan keinginan tersebut.

4) Bertambahnya penduduk merupakan tantangan berat yang perlu dijawab dengan perubahan sosial.


(33)

6) Kemajuan negara-negara lain juga merupakan faktor peluang bagi Negara-negara terbelakang.24

3. Pola-pola Perubahan Sosial

Perubahan sosial adalah istilah yang taksa (ambiguous). Kadang kala istilah ini digunakan dalam pengertian yang sempit, yang mengacu pada perubahan-perubahan struktur sosial (keseimbangan di antara berbagai kelas sosial, misalnya). Tetapi juga, kadang-kadang digunakan dalam pengertian yang sangat luas yang mencakup organisasi politik, perekonomian dan kebudayaan. Perubahan di sini penekanannya lebih kepada pengertian yang lebih

luas. Perubahan sosial dapat dikategorikan ke dalam beberapa tipe atau pola utama, yaitu: a. Pola linear

Ide statisme atau yang dikenal dengan pola perubahan sosial linear (Etzioni, 1973: 3-8, Kamanto Sunarto, 2000: 213), meyakini bahwa kehidupan ini pasti, baku, tetap dan tiada toleransi untuk perubahan. Dua tokoh pemikiran yang bisa dijadikan acuan terdapat dalam karyanya August Comte dan Herbert Spencer, sebagaimana yang dikutip oleh Rusmin Tumanggor. Menurut Comte, bahwa peradaban manusia senantiasa mengikuti suatu arah perubahan yang pasti, alami, sama dan tidak terelakkan. Sementara Spencer menambahkan bahwa struktur sosial berjalan secara evolusioner kearah ukuran yang lebih


(34)

besar, kemajemukan, keterpaduan, dan kepastian. Sehingga suatu masyarakat menjadi suatu bangsa yang beradab. Spencer adalah label yang diberikan pada model yang menekankan pada evolusi sosial, dengan kata lain perubahan sosial yang berlangsung secara pelan-pelan dan kumulatif (evolusi bukan revolusi) dan perubahan sosial itu ditentukan dari dalam (endogen bukannya eksogen).25 Namun ada pula pandangan unilinear bahwa masyarakat berkembang ke arah kemunduran, dinamakan primitivisme, suatu

pandangan yang dikemukakan oleh Wilbert Moore.

b. Pola siklus

Menurut pola yang kedua, yaitu pola siklus, di mana mereka menolak apapun yang bersifat tetap, stabil, dan baku. Menurut mereka,

masyarakat berkembang seperti roda, kadang di atas kadang di bawah. Pandangan perubahan sosial pola siklus ini dapat dilihat pada karyanya Oswald Spengler dan Vilfredo Pareto. Bagi Spengler, kebudayaan tumbuh, berkembang, dan pudar laksana perjalanan gelombang. Ia mencontohkan kebudayaan-kebudayaan besar seperti kebudayaan Yunani, Romawi, dan Mesir. Menurutnya, kebudayaan Barat akan mengalami hal yang sama (tumbuh dan pudar). Sementara bagi Pareto, setiap masyarakat memiliki dua lapisan, yaitu: lapisan atas (elite) dan lapisan bawah (non elite), yang berkuasa dan yang tidak

@ , ( $ " ) $


(35)

berkuasa. Aristokrasi berjalan hanya dalam jangka waktu tertentu saja dan akan selalu berganti dengan aristokrasi baru yang berasal dari lapisan bawah. Aristokrat yang berupaya mempertahankan kekuasaannya akan digulingkan oleh lapisan bawah dengan kekerasan atau revolusi. 26 Tokoh lain yang menggagas pola siklus ini adalah Ibnu Khaldun, ia menyatakan bahwa sejarah tidak akan berakhir, sejarah akan senantiasa bergulir. Karena pada hakikatnya, sejarah adalah catatan tentang masyarakat umat manusia. Sejarah itu sendiri identik dengan peradaban dunia; tentang perubahan yang terjadi pada watak perubahan itu, seperti keliaran, keramahtamahan, dan solidaritas golongan (ashabiyah); tentang revolusi dan pemberontakan oleh segolongan rakyat melawan golongan yang lain dengan akibat timbulnya kerajaan-kerajaan dan Negara-negara dengan berbagai macam tingkatannya; tentang kegiatan dan kedudukan orang, baik untuk mencapai penghidupannya, maupun dalam ilmu pengetahuan dan pertukangan; dan pada umumnya tentang segala perubahan yang terjadi dalam peradaban karena watak peradaban itu sendiri.27 c. Pola campuran

Dalam melihat perubahan yang terjadi pada masyarakat. Max Weber dan Karl Marx merupakan dua tokoh klasik yang menyinggung

36 $ " $ ( # & ) 4

) /

;-$ ( $ 0 8 (( $ , % ( " )


(36)

perubahan. Keduanya berapresiasi terhadap perubahan sosial secara linear sekaligus siklus. Misalnya, masyarakat komunis yang didambakan Marx hasil dari pemikiran konflik yang dikonstruknya adalah siklus perjalanan bertahap dari masyarakat sebelumnya, yaitu feodalisme dan kapitalisme. Pemikiran linear dari Marx dilihat dari pandangannya bahwa perkembangan pesat kapitalisme mengakibatkan konflik antara kaum buruh dan kaum borjuis yang dimenangkan oleh kaum buruh dilanjutkan kemudian membentuk masyarakat komunis (masyarakat yang tidak mengenal pembagian kerja tetapi diganti dengan kerja sama). Menurut Marx, bahwa Negara-negara jajahan Barat akan mengalami Proses yang sama yang dialami oleh masyarakat Barat. Senada dengan Marx, Weber melihat perkembangan linear dari masyarakat searah meningkatnya rasionalitas masyarakat. Di lain pihak, Weber menyebut tiga wewenang yang ada dalam masyarakat yang akan selalu beralih (siklus). Pada saat tertentu masyarakat memiliki wewenang kharismatik dan mengalami rutinisasi sehingga beralih menjadi wewenang tradisional, hingga wewenang rasional kemudian menjadi wewenang kharismatik lagi dan begitu seterusnya.28

C. Agama dan Perubahan Sosial

1. Peranan Agama dalam Perubahan Sosial


(37)

Agama ialah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh

penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan masyarakat luas pada umumnya.29 Setiap agama, paling tidak memiliki terdiri atas lima dimensi: ritual, mistikal, ideologikal, intelektual, dan sosial. Dimensi ritual berkenaan dengan upacara-upacara keagamaan, ritus-ritus religius, seperti shalat, misa atau kebaktian. Dimensi mistikal menunjukkan pengalaman yang meliputi paling sedikit tiga aspek: concern, cognition, trust dan fear. Keinginan untuk mencari makna hidup, kesadaran akan kehadiran Yang Maha Kuasa, tawakal dan takwa adalah dimensi mistikal. Dimensi ideologikal mengacu kepada serangkaian yang menjelaskan eksistensi manusia vis-a-vis Tuhan dan makhluk Tuhan yang lain. Dimensi intelektual menunjukkan tingkat pemahaman orang terhadap doktrin-doktrin agamanya. Kedalaman tentang ajaran-ajaran agama yang dipeluknya. Dimensi sosial disebut Glock dan Stark sebagai consequential dimensisons adalah manifestasi ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat. Ini meliputi seluruh perilaku yang didefinisikan agama.30 Pembahasan mengenai peran agama dalam mengubah kehidupan sosial ekonomi masyarakat dibahas oleh Max Weber yang terkenal dalam bukunya The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism, di mana prinsif agama (dalam

!+ ' $( # # <> % $ !!2

/

30


(38)

hal ini Calvinis) sangat kondusif bagi pertumbuhan ekonomi (kapitalisme). Weber mencoba menganalisa doktrin teologis dari beberapa aliran/sekte Protestanisme, terutama Calvinisme, yang dianggapnya aliran yang paling banyak menyumbang bagi perkembangan semangat kapitalisme. Ajaran Calvin tentang takdir dan nasib manusia di hari nanti, menurut Weber adalah merupakan kunci utama dalam hal menentukan sikap hidup dari para penganutnya. Takdir telah ditentukan; keselamatan diberikan Tuhan kepada orang terpilih dan berusaha untuk memerangi segala keraguan dan godaan setan, sebab ketiadaan kepercayaan, berarti kurangnya rahmat. Untuk memupuk kepercayaan pada diri itu maka manusia haruslah bekerja keras. Sebab, hanya kerja keras saja satu-satunya yang bisa menghilangkan keraguan religius dan memberikan kepestian akan rahmat.31 Menurut perspektif Weberian, dalam konteks yang berbeda-beda,

agama dapat menjadi sumber perubahan dan tantangan sosial. Adakalanya juga sebagai sumber keteraturan sosial dan legitimasi status quo. Namun, Weber juga meyakini bahwa agama secara gradual akan kehilangan signifikansi sosial sebagai konsekuensi dari rasionalisasi organisasi sosial dan ekonomi modern.32

2. Agama dalam Proses Modernisasi

" & %-( % * , ( $ - $ $ * $

) " $ !;2 2


(39)

Modernisasi merupakan gejala universal. Modernisasi sering

diidentikan dengan kemajuan atau evolusi. Satu fenomena yang menandai abad 20 dan terutama setelah perang

dunia kedua adalah pesatnya pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dalam watak dan perkembangannya menganggap dirinya otonom dan bebas dari segala ikatan, baik agama, maupun sosial. Akibatnya, tidak jarang penemuan-penemuan ilmu pengetahuan dan penerapan teknologi bertabrakan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam suatu agama. Hal ini disebabkan karena ilmu pengetahuan yang kini meliputi seantero segi hidup dan kehidupan umat manusia lahir dan dikembangkan di dunia Barat.33 Perkembangan ilmu dan teknologi yang semakin canggih telah

menggeser nilai-nilai agama yang telah ada. Ilmu pengetahuan seolah diyakini bagaikan “agama baru” yang mampu menjawab kehidupan umat manusia. Aspek metafisika yang sakral karenanya hilang dan segala sesuatu dipandang hanya secara materi belaka. Di sinilah inti modernisme yang ditolak oleh kaum tradisional, yaitu suatu pandangan yang hanya mempercayai materi. Segala sesuatu diukur sebatas benda yang bisa dilihat secara indrawi saja. Berbeda dengan masyarakat yang tradisional, yang memandang bahwa segala sesuatu memiliki hakikat. Hakikat itulah yang sebenarnya adalah realitas.34

0 % @ - # $ % + : $ ) >? 6 , :

!2; 3

/ ( $ ' ( ( $ 0 ( A ( & % 0 + # $


(40)

Pada dunia modern, yang profan menempati posisi dan pengaruh yang

sangat penting dan menggeser pengaruh yang sakral. Fenomena ini biasa dikenal dengan sekulerisasi. Sekulerisasi muncul pertama kali di Barat pada abad pertengahan, di

mana dominasi agama terhadap lembaga-lembaga sosial lain menurun. Gereja pada pada waktu itu yang sangat berkuasa, datang membawa pemikiran dan ajaran khurafat menentang akal dan rasio, mempertahankan kebekuannya melawan ilmu dan kebebasan, tampil dengan kekolotannya menghadapi kemajuan. Bersama para raja menghadapi rakyat dan bersama-sama dengan kaum feodal memusuhi kaum buruh dan mereka yang tertindas di bumi. Gereja memusuhi orang-orang yang menyampaikan teori ilmu yang bertentangan dengan ajarannya, seperti berpendapat bahwa bumi itu bulat dianggap suatu kekafiran dan keluar dari agama. Inilah faktor yang membidani lahirnya gerakan sekulerisme di Barat.35 Di dunia yang semakin modern ini, pengaruh agama diyakini

Durkheim akan semakin menurun. Pengaruh agama akan diambil alih oleh penjelasan ilmiah dan kegiatan upacara keagamaan akan menempati sebagian kecil saja ruang dan waktu kehidupan seseorang. “Tuhan yang dulu telah mati” kata Durkheim sebagaimana yang dikutip oleh Amin Nurdin dan Ahmad Abrori. Pada masyarakat modern, bentuk alternatif agama dikenal dengan nama “civil religion” atau agama sipil yang diutarakan Durkheim. Civil

+ & B ( : * ) % .


(41)

religion didefinisikan sebagai sekumpulan kepercayaan dan ritual keagamaan di luar institusi keagamaan yang sudah ada. Pandangan Durkheim tersebut tercermin pula dalam teori Robert N Bellah mengenai civil religion sebagaimana yang dikutip oleh Dadang Kahdi. Dalam pengamatan Bellah, di Amerika ada gejala yang disebutnya civil religion, suatu konsep Rossseu seperti tampak dalam dokumen-dokumen berdirinya Amerika Serikat, upacara-upacara dalam penerimaan jabatan-jabatan kenegaraan dan hari-hari pesta yang memperingati peristiwa-peristiwa penting di Amerika. Di situlah tumbuh American's Nation Self Under Standing. Menurut Bellah, civil religion adalah 'subordinasi' bangsa pada prinsif-prinsif etis yang mengatasi bangsa itu sendiri. Bellah menolak anggapan bahwa yang dimaksud dengan civil religion adalah ideologi yang memberi legitimasi cara hidup bangsa Amerika, bukan pula suatu pemujaan diri suatu bangsa.36


(42)

BAB III

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Gambaran Umum Kampung Majalaya

1. Geografi dan demografi Kampung Majalaya

Kampung Majalaya, Desa Cijagang, Kecamatan Cikalongkulon,

Kabupaten Cianjur, selain dikenal dengan udaranya yang sejuk, juga sebagian wilayahnya menjadi objek wisata ritual yang banyak dikunjungi masyarakat dari berbagai daerah. Di sana dimakamkan seorang wali pendiri Cianjur, Rd. Aria Wira Tanu Datar, yang menjadi bupati pertama Cianjur. Batas-batas administratif Kampung Majalaya adalah: sebelah barat

berbatasan dengan Desa Mekarjaya; sebelah timur berbatasan dengan Desa Sukamulya; sebelah selatan berbatasan dengan Desa Majalaya; dan sebelah utara berbatasan dengan Desa Sukamulya. Kampung Majalaya memiliki luas 523.615 hektar tanah dengan fungsi yang berbeda-beda, sesuai dengan kegunaannya. Adapun tata guna lahannya adalah sebagai berikut: 110 hektar berupa sawah dengan irigasi ½ teknis; 6,205 hektar berupa sawah tadah hujan; 36,740 hektar berupa tegal/ladang; 20 hektar permukiman; 195,225 hektar tanah perkebunan milik perorangan; 13 hektar tanah pekuburan (tanah wakaf); dan 179,185 hektar luas prasarana umum lainnya.


(43)

Meskipun lahan perkebunan lebih luas dibandingkan dengan lahan

pesawahan, tetapi Kampung Majalaya lebih mengandalkan pertanian sebagai penghasilan utamanya. Kantor Desa Cijagang terletak di Jalan Keramat Cikundul No. 01.

Untuk memasuki Kampung Majalaya atau berziarah ke makam Dalem Cikundul sangat mudah, karena sudah memadainya sarana dan prasarana transportasi. Jarak yang harus ditempuh dari kota Kabupaten Cianjur sekitar 21 km, sedangkan dari kota kecamatan sekitar 4 km. Kampung Majalaya telah memiliki berbagai sarana transportasi dan

komunikasi yang relatif memadai, antara lain: jalan yang relatif bagus dan dapat dilalui oleh berbagai jenis kendaraan, seperti truk, mobil, bahkan bis besar; sarana komunikasi dengan tiga wartel; televisi dan radio yang dimiliki oleh semua penduduk; dan adanya satu kantor pos pembantu. Air sebagai sarana paling penting untuk kehidupan manusia. Kebutuhan air bersih penduduk Majalaya diperoleh dari sumber air yang ada di daerah tersebut berupa: tujuh mata air, tujuh belas sumur gali, lima sumur pompa, 175 PAM, dan satu sungai. Untuk sarana kesehatan masyarakat terdapat sebuah puskesmas yang dilengkapi dengan ruang praktek dokter umum, rumah bersalin, dua toko obat,

dan empat posyandu. Kampung Majalaya juga terkenal dengan bola volinya. Untuk

memfasilitasi warganya yang gemar terhadap olah raga, terdapat lapangan sepak bola, lapangan bulu tangkis, meja ping pong dan lapangan voli.


(44)

Untuk penerangan rumah, hampir semua warga menggunakan jasa PLN untuk menerangi rumahnya. Demi terwujudnya masyarakat yang cerdas, sebagaimana yang

dicanangkan oleh pemerintah dengan wajib belajar sembilan tahun. Maka di Kampung Majalaya terdapat berbagai lembaga pendidikan: satu TK milik swasta, empat SD/Sederajat milik pemerintah, dan satu SLTP/Sederajat milik pemerintah. Akan tetapi, jika para siswa ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, mereka harus keluar dari Desa Majalaya untuk bersekolah SLTA yang ada di Kecamatan Cikalong Kulon, yang jaraknya tidak terlalu jauh dan bisa ditempuh dengan ojek atau angkutan umum. Selain pendidikan formal, terdapat pula pendidikan formal keagamaan: satu madrasah diniyyah, yang belajarnya dari siang hari sampai sore hari, dan lima Pondok Pesantren. Selain itu, ada pula pendidikan non formal/kursus, seperti bela diri dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya, jumlah lembaga tersebut digambarkan dalam tabel berikut:

Tabel Lembaga Pendidikan di Majalaya

No Uraian Volume Keterangan

1. TK/RA 1

2. Madrasah Ibtidaiyah 1

3. SDN/Sederajat 4

4. SLTP/Sederajat 1

Jumlah 7

Kampung Majalaya mempunyai penduduk sebanyak 4.609 jiwa, yang terdiri dari 2.333 penduduk laki-laki dan 2.276 penduduk perempuan. Dengan


(45)

kepadatan penduduk 27 orang per km2. Sementara itu, jumlah kepala keluarga terdapat 1.201 orang. 2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Majalaya

Pada umumnya mayoritas penduduk masyarakat Majalaya

bermatapencaharian sebagai petani maupun buruh tani, sebagaimana data yang diambil dari monografi desa Cijagang sebagai berikut: 60 orang sebagai petani, 1.126 orang sebagai buruh tani, 59 orang sebagai PNS, 60 orang sebagai pedagang, tiga orang sebagai montir, dua orang sebagai TNI, satu orang sebagai POLRI, 26 orang sebagai pensiunan TNI/POLRI/ABRI, enam orang sebagai dukun kampung terlatih, empat orang sebagai tukang jahit, tiga orang sebagai tukang cukur, dua orang sebagai tukang service elektronik, tiga orang sebagai tukang gali sumur, lima orang sebagai tukang pijat dan urut, satu orang sebagai dokter, empat orang sebagai paramedis, dua orang sebagai bidan, empat orang sebagai perawat, dan 50 orang sebagai tukang ojek. Untuk lebih jelasnya, digambarkan dalam tabel berikut:

Tabel Profesi Penduduk Majalaya

Jenis kelamin No. Jenis Pekerjaan

Laki-laki Perempuan

1 Petani 618 orang 32 orang

2 Buruh Tani 830 orang 295 orang

3 PNS 32 orang 27 orang

4 Pedagang 60 orang 60 orang

5 Montir 3 orang

-6 TNI 2 orang

-7 POLRI 1 orang

-8 Dukun Kampung 3 orang 3 orang


(46)

Jika ditelusuri lebih jauh mengenai mata pencaharian penduduk

Majalaya, ada sebagian penduduk yang bekerja dalam dua bidang profesi sekaligus, misalnya sebagai penjaga makam dan tukang parkir (petugas K.5). Di sepanjang jalan menuju makam Dalem Cikundul, banyak ditemui

warga yang memanfaatkan lahan atau rumah yang dijadikan tempat usaha, seperti warung atau pun toko. Sehingga pengunjung/peziarah tidak perlu khawatir merasa kehausan atau kelaparan ketika berada di tempat ziarah. Bahkan, saat malam tiba, kadang masih ada warung yang buka hingga larut malam, apalagi pada malam jumat kliwon di bulan Mulud dan Rajab. Ramainya pengunjung tidak hanya pada malam jumat kliwon di bulan

Mulud atau Rajab saja, tapi pada bulan-bulan biasa pun kadang masih ramai. Keramaian pengunjung bisa dilihat pada hari minggu dan malam jumat. Kesibukan masyarakat setempat nampak pada waktu-waktu tersebut. Namun, pada hari-hari biasa, banyak warung yang tutup dan suasana pun

semakin sepi, meski ada satu atau dua pengunjung yang datang. 3. Kehidupan Keagamaan Masyarakat Majalaya

Mayoritas Penduduk Majalaya beragama Islam, meskipun ada

sebagian yang beragama Katolik. Untuk sarana peribadatan, tersedia lima mesjid dan 26 langgar/surau. Dalam kehidupan sehari-hari, penduduk berupaya taat dalam menjalankan syariat agama. Ketaatan penduduk dalam menjalankan aktifitas keagamaan bisa dilihat dengan diadakannya pengajian rutin setiap hari, yakni ba’da Ashar, yang dilakukan bergilir di setiap RT. Pun, apabila ada hari-hari besar keagamaan seperti Mulud, Rajab atau pun tahun


(47)

baru Islam, Remaja Mesjid selalu memperingatinya dengan melakukan berbagai acara, seperti Muludan, Rajaban, Tabligh Akbar maupun khitanan massal. Mauludan atau Rajaban ini biasanya diisi dengan acara pembukaan, pembacaan ayat suci al-Qur’an, sambutan dari panitia, ceramah yang diisi oleh kiayi/ustadz yang ditokohkan oleh masyarakat setempat, dan terakhir ditutup dengan doa. Puncak peringatan Mauludan atau Rajaban biasanya diadakan di makam Dalem Cikundul, dengan konsep acara yang sama. Namun, kiayi/ustadz yang menjadi pembicara biasanya diundang dari luar daerah, seperti Bandung, Sukabumi, Cianjur kota dan sekitarnya.

B. Makam Dalem Cikundul

1. Sejarah dan Perkembangan Makam Dalem Cikundul

Pada tahun 1529, dalam rangka penyebaran agama Islam, Talaga direbut oleh Cirebon dari negara Pajajaran. Sejak itu kebanyakan rakyatnya masuk agama Islam, tetapi raja-raja Talaga masih tetap menganut agama lama, yakni Hindu. Urutan raja Talaga adalah sebagai berikut: a. Prabu Siliwangi

b. Mundingsari c. Mundingsari Leutik d. Pucuk Umum

e. Sunan Parung Gangsa f. Sunan Wanapri g. Sunan Ciburang


(48)

Sunan Ciburang mempunyai putera bernama Aria Wangsa Goparana. Dengan demikian Aria Wangsa Goparana merupakan keturunan (generasi) ketujuh dari Prabu Siliwangi terakhir. Aria Wangsa Goparana merupakan orang pertama yang masuk agama Islam. Oleh karena masuk agama Islam ini tidak direstui oleh orang tuanya, maka terpaksa Aria Wangsa Goparana meninggalkan keraton Talaga dan pergi menuju Sagaraherang. Di sini Aria Wangsa Goparana mendirikan Nagari (Sansk = Desa, Bld = negorij). Di Sagaraherang Aria Wangsa Goparana mendirikan pesantren dan menyebarkan agama Islam ke daerah sekitarnya. Aria Wangsa Goparana wafat pada akhir abad ke-17 dan dimakamkan di Kampung Nangkabeurit, Kecamatan Sagaraherang, Kabupaten Daerah Tingkat II Purwakarta. Putera-puterinya adalah: (1) Djayasasana, (2) Wiradiwangsa, (3) Candramanggala, (4) Santaaan Kumbang, (5) Yudanagara, (6) Nawing Candradirana, (7) Santaan Yudanagara, dan (8) Nyi Murti. Aria Wangsa Goparana menurunkan para bupati Cianjur yang bergelar Wira Tanu dan Wira Tanu Datar serta para keturunannya.37 Diantara putranya yang paling terkenal adalah Rd. Aria Wira Tanu yang nama kecilnya adalah Djayasasana. Sejak masa mudanya Djayasasana sangat takwa kepada Allah swt.,

tekun memperdalam agama, dan rajin bertapa Setelah dewasa, Jayasasana meninggalkan Sagaraherang yang diikuti oleh sejumlah rakyat, lalu bermukim

;@ $ $ 0 # $ ' ) ( > $, . 3 @ $( $


(49)

di Cijagang. Rakyatnya bertempat tinggal terpencar, yang umumnya di pinggir berbagai kali. Rd. Djayasasana sendiri bertempat tinggal di Cikundul. Oleh karena

itu, sub-nagari Cikundul menjadi ibunagari dari seluruh sub nagari tempat pemukiman rakyat Djayasasana. Beberapa tahun sebelum tahun 1680, keseluruhan sub nagari tempat pemukiman rakyat Djayasasana ini disebut Cianjur. Pada tahun kurang lebih 1652 rakyat Djayasasana tersebut di atas pernah dihitung oleh Puspawangsa (Ki Puspa dan Ki Wangsa) dan ternyata ada 300 umpi atau kurang lebih 1100 orang, yang diantaranya 200 orang diperintah oleh Mataram, selebihnya oleh Rd. Djayasasana sendiri, untuk menjaga batas Barat. Sejak saat itu, Rd. Djayasasana Aria Wira Tanu (Wira Tanu = senapati). Rakyatnya adalah orang merupakan satu kesatuan masyarakat. Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa kolonisasi rakyat Wira Tanu terjadi sebelum tahun 1652 dari Sagaraherang ke Cikundul dan sekitarnya. Pada saat yang bersamaan, banyaknya rakyat Wira Tanu, yang pada

1652 sudah ada 300 umpi atau kurang lebih 1100 orang, tentunya sudah bertambah dan cukup banyak untuk satu padaleman atau kabupatian. Oleh karena itulah tidak mengherankan jika VOC pada tahun 1680 menyebut Wira Tanu sebagai “regent” dan yang dimaksud dengan “negorye” Cianjur tidak lain dari pada kabupatian Cianjur, karena wilayah kekuasaan “regent” dinamakan “regenschap”. Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa


(50)

padaleman atau kabupatian Cianjur lahir atas prakarsa sendiri pada tahun 1677, pada saat kekuasaan “de facto’ atas daerah cianjur khususnya dan sebelah Barat Citarum umumnya, ada pada daerah yang bersangkutan. Jadi, Cianjur adalah merdeka secara “de facto”. Rd. Aria Wira Tanu, yang dimakamkan di Cikundul, disebut “Dalem”

Cikundul. Aria Wira Tanu adalah Dalem, atau bupati pertama dan penghabisan dari Cianjur yang merdeka secara “de facto” R. Wira Tanu wafat tahun 1633 dimakamkan di Kampung Majalaya, Desa Cijagang, Kecamatan Cikalongkulon, Kabupaten Cianjur. Sekarang banyak orang yang berziarah ke makam beliau. Makam tersebut diberi nama “Dalem Cikundul”. Beliaulah yang paling populer di antara anak cucu keturunan R. Wangsa Goparana. 2. Sakralitas makam Dalem Cikundul

Pensakralan terhadap makam Dalem Cikundul bersumber dari Kharisma yang dimiliki R. Wira Tanu. Dulu, pada saat Dalem Cikundul dilahirkan, banyak kejadian-kejadian yang menandai kelahirannya. Di antara ciri-ciri yang dimiliki oleh Dalem Cikundul: a. Dalam penuturan sebagian penduduk: saat sang bayi lahir, diketahui

oleh kakek dan nenek ahli Sunda Sanghyang dari Negeri Talun (kini termasuk Desa Ponggang, Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang) bahwa jari telunjuk dan jari tengah sang bayi sama tinggi dan sama besarnya. Menurut terkaan si kakek, sang bayi inilah yang besok akan menjadi raja Sunda.


(51)

b. Pangeran Jaya Lalana/Jaya Sasana/R. Dalem Cikundul sejak burey (anak sekitar umur tiga tahun) mempunyai kegemaran naik ke bukit dan menghadap ke arah kiblat, dengan seolah-olah merenung serta menerawang. Banyak penduduk mengetahui bahwa sang burey itu mempunyai indera yang tajam luar biasa, terutama pendengaran, penglihatan, perabaan, dan gaung suara yang berat (sekali pun berisik, tapi masih dapat didengar oleh orang yang dipanggil).

c. Beberapa minggu sebelum sang jabang bayi dilahirkan, di langit sebelah tenggara muncul bintang kemukus yang berwarna kuning keemasan, dengan ekornya menunjuk ke arah kiblat. Kemudian, begitu sang jabang bayi lahir dengan selamat, tanpa disadari bintang kemukus tersebut hilang dari pandangan.

d. Nama Sagalaherang bukan dari kata “Sagara dan Herang”, melainkan dari sebuah kondisi: yakni begitu adzan berkumandang tanda syukur atas lahirnya seorang jabang bayi, yang kemudian diberi nama Pangerana Jaya Lalana, terdengar oleh rakyat di daerah Dayeuh Kolot dan Cibodas yang secara naluriah tahu bahwa sang jabang bayi putranda dari Kiyai Aria Wangsa Gofarana telah lahir. Sehingga, secara serentak segala tabuh-tabuhan di Mesjid, Musholla, gardu-gardu, kentongan-kentongan antarkampung, ditalu dengan gemuruh. Pelita dipasang di segala tempat, jalan-jalan, tempat-tempat pemandian dan tempat-tempat orang berkumpul, jembatan-jembatan sampai ke tempat


(52)

pekuburan rakyat/desa. Maka, muncullah sebutan “Sagalaherang”, yang artinya: segalanya bercahaya terang benderang.


(53)

BAB IV

MAKAM DALEM CIKUNDUL

DAN PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

Jika dilihat secara kasat mata, makam Dalem Cikundul nampak sama

dengan makam-makam lainnya yang ada di sana. Namun, kharisma yang dimiliki oleh R. Aria Wira Tanu, atau lebih dikenal dengan Dalem Cikundul (penghuni makam tersebut), bagi penduduk nampak berbeda. Perjuangan dan jasa-jasa yang telah diberikannya membuat orang di sekitarnya, atau yang mengenalnya dari sejarah, menganggap bahwa beliau adalah orang suci yang dekat dengan Allah swt. dan bisa memberikan karomah bagi siapa saja yang mendoakannya. Meskipun dunia sudah semakin modern dan teknologi berkembang begitu pesat, penghormatan dan pengeramatan terhadap Dalem Cikundul masih berlangsung hingga saat ini. Kehadiran atau keberadaan makam Dalem Cikundul yang dikeramatkan

tersebut selalu dikunjungi oleh para peziarah dari berbagai kota, baik dari dalam kota maupun luar kota, bahkan dari luar negeri sekali pun. Tidak dapat dipungkiri, keberadaan makam ini cukup berpengaruh terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan keagamaan masyarakat yang berada di lingkungan makam tersebut. Pengaruh tersebut dapat bersifat negatif maupun positif. Sisi positif yang bisa diambil dari keberadaan makam tersebut adalah

dalam segi ekonomi. Dengan adanya makam, otomatis akan banyak peziarah yang datang. Kedatangan peziarah membuat masyarakat berpikir kreatif untuk


(54)

melakukan perdagangan demi menunjang hidupnya. Selain itu, para pemuda dapat memanfaatkan lahan kosong yang bisa dijadikan tempat parkir, lalu mereka bisa berkontribusi sebagai petugas parkir. Akan tetapi, kita patut prihatin akan dampak negatif yang bisa ditimbulkan

oleh keberadaan makam tersebut. Misalnya, ada orang yang lebih percaya kepada makam dan menyalahartikan maksud dan tujuan berziarah. Hal itu menimbulkan pengikisan akidah umat. Dari hasil penelitian yang penulis lakukan, banyak informasi yang penulis

dapatkan di sana. Salah satunya adalah bahwa ternyata keberadaan makam Dalem Cikundul dapat memberikan keberkahan pada masyarakat di sekitar makam maupun pada peziarah. Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana hasil penelitian yang penulis

lakukan, di bawah ini penulis akan memaparkan hasil penelitian mengenai perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat sekitar makam Dalem Cikundul dengan melihat kehidupan sosial, ekonomi, dan keagamaan.

A. Perubahan Kehidupan Sosial

1. Perubahan sosial yang terjadi sebelum tahun 1990 Perubahan adalah suatu keniscayaan yang tidak akan ada seorang pun yang bisa menghentikannya. Laju pertumbuhan terus berkembang; perubahan akan terus dan terus terjadi seiring dengan generasi-generasi baru yang terus bermunculan. Begitupun dengan masyarakat. Masyarakat selalu dinamis, tidak statis. Masyarakat di mana pun pasti akan mengalami perubahan-perubahan. Namun, perubahan itu ada yang cepat, ada juga yang lambat. Seperti halnya


(55)

masyarakat yang berada di sekitar makam Dalem Cikundul, mereka senantiasa mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Dahulu, sebelum memasuki tahun 1990 atau lebih tepatnya tahun

1970-an, lokasi di sekitar makam tidak sepadat sekarang: daerahnya masih berupa hutan; belum banyak penduduk yang tinggal di sana; dan rumah-rumah pun masih jarang. Tidak hanya itu, yang berjualan di sana tidak begitu banyak; kurang lebih ada sembilan atau sepuluh pedagang. Seperti yang dituturkan oleh pak TW: ”...kapungkur mah nya neng didieu masih hutan keneh, teu acan aya

bumi-bumi cara ayeuna, bapak ge kapungkur mah teu didieu, tapi dipalih kulon cakeut mimih, terang teu? Anu dagang ge henteu rame cara ayeuna, paling ge aya meureun salapan atawa sapuluh jongko, eta mun teu salah mah tahun 1970-an, tapi ayeuna mah tos rame...”38 (“dulu mah ya neng di sini masih hutan, belum ada rumah-rumah seperti sekarang, bapak aja dulu tidak tinggal di sini, tapi di sebelah barat dekat rumah Mimih, tau engga? Yang dagang juga tidak seramai sekarang, paling Cuma sembilan atau sepuluh jongko, itu kalo engga salah mah tahun 1970-an, tapi sekarang mah udah rame”) Pada tahun 1990-an, yang bertepatan dengan pemerintahan Orde baru, di mana pembangunan terus digalakkan, masyarakat merasakan kesejahteraan dan ketentraman. Pada masa inilah kedatangan peziarah membludak. Namun, bukan berarti sebelumnya tidak ada peziarah. Akan tetapi, puncaknya peziarah yang datang terjadi pada masa Orde Baru atau sekitar tahun 1990-an.

Tabel I. Perubahan Jumlah Peziarah dari Tahun ke Tahun

Tahun Jumlah Peziarah

1990 184.329 orang

1991 230.611 orang


(56)

1992 236.980 orang

1993 253.441 orang

1994 307.245 orang

1995 329.078 orang

1996 401.077 orang

1997 438.743 orang

1998 350.526 orang

1999 371.538 orang

2000 296.501 orang

2001 270.017 orang

2002 297.615 orang

2003 257.779 orang

2004 238.040 orang

2005 237.779 orang

2006 276.076 orang

2007 178.571 orang

Sumber: data diambil dari pendaftar pengunjung Banyaknya peziarah yang datang biasanya pada bulan-bulan tertentu

saja, seperti pada bulan Mulud dan Rajab, apalagi jika Kliwon. Pada jumat Kliwon di bulan Mulud atau Rajab, peziarah yang datang begitu banyak, hingga memadati perkampungan warga. Bahkan, peziarah yang datang membawa kendaraan tidak bisa parkir di sana, mereka harus memarkir kendaraannya di dekat rumah-rumah penduduk sehingga untuk menuju ke makam mereka harus rela berjalan kaki. Hal itu terjadi karena sarana parkir kurang memadai. Seperti apa yang diungkapkan oleh mang UF, penjaga tol masuk: ”....emang kangtos rame pisan, itu tuh nuju zamanna pak Harto,

kuncenna masih keneh mang Tarya, anu ziarah seueur, nu ziarah ge sampe kudu jalan kaki sagala, soalna mobilna teu tiasa leubeut, nya kan lapangan


(57)

parkirna ge kur aya anu aya dijero wungkul teu acan aya anu didieu...”39 (“memang sempet rame banget, itu tuh waktu zaman pak Harto, kuncennya masih mang Tarya, yang ziarah banyak mereka sampai harus jalan kaki, soalnya mobilnya engga bisa masuk, ya karena lapangan parkirnya Cuma yang di dalam doang yang belakang belum ada”) Hal senada pun diungkapkan oleh ID (petugas parkir/K. 5), ”enya

kapungkur mah sarana parkirna kurang jadi anu parkir ngamankeunna agak hese,”40 (“iya dulu sarana parkirnya kurang jadi kita-kita yang parkir ngamaninnya agak susah”) Peziarah yang datang terdiri dari berbagai daerah, tidak hanya dari dalam kota saja melainkan dari luar kota bahkan luar negeri yang pernah datang, umunya mereka hanya berwisata saja dan menikmati keindahan pemandangannya. Tidak hanya itu, pejabat daerah dan kru TV pun pernah datang ke makam Dalem Cikundul.

Tabel II. Data Instansi yang Pernah Datang

No. Instansi yang Pernah Datang

1 Kapolda Jawa Tengah

2 Pangdam III Siliwangi

3 Rektor IPB Bogor

4 Rektor Jayabaya

5 Gubernur LEMHANAS

6 DAN REM OGI SK

7 DANDIM 1018 Cianjur

8 Bupati Cianjur

9 KAJARI Cianjur

10 Mentri Kehutanan RI

11 Wakil Gubernur Jawa Barat

!A : $C # - ( ( $ $ $ 41 > , $ , $ !


(58)

12 Anggota DPR Cianjur

13 Kapolres Cianjur

14 Crew TV-Jkt

15 Crew TVRI

16 Crew Trans TV

Sumber: data diambil dari pendaftaran pengunjung

Tabel III. Data Warga Negara yang Pernah Datang

No. Nama negara Jumlah orang

1 Austria 1 orang

2 Australia 8 orang

3 Brunei 41 orang

4 Belanda 12 orang

5 Kanada 1 orang

6 India 1 orang

7 Inggris 2 orang

8 Jepang 3 orang

9 London 1 orang

10 Malaysia 23 orang

11 Perancis 2 orang

12 Singapura 10 orang

13 Swedia 2 orang

14 Thailand 6 orang

15 Swiss 1 orang

16 Turki 1 orang

17 USA 1 orang

Sumber: data diambil dari pendaftaran pengunjung Manusia memiliki garis hidup yang beragam; tidak semua orang

memiliki nasib yang sama. Ada yang kaya dan ada yang miskin. Di tempat ziarah mana pun, selalu ada orang-orang fakir miskin yang mengais rezeki dari belas kasih orang lain. Begitu pula yang terjadi di makam Dalem Cikundul.


(59)

Seiring dengan berjalannya waktu, perubahan demi perubahan terus

terjadi. Perubahan tidak hanya terjadi di masyarakat pedagang atau pun para peziarah yang datang dan terus berkembang. Perubahan yang cukup signifikan terjadi dalam kepengurusan makam. Dulu, sebelum negara ini melakukan reformasi, makam Dalem Cikundul dikelola oleh yayasan Wargi Cikundul, tapi sekarang, setelah reformasi, makam Dalem Cikundul di bawah naungan Desa.

2. Perubahan sosial yang terjadi setelah tahun 1990 Seperti sudah disinggung sebelumnya, banyaknya peziarah yang

datang terjadi sekitar tahun 1990-an. Lain halnya ketika memasuki tahun 2000. Jumlah pengunjung/peziarah semakin menurun dari tahun ke tahun. Reformasi menandai babak baru pemerintahan Indonesia. Krisis

moneter yang melanda bangsa ini berpengaruh kepada semua lapisan masyarakat, mulai dari masyarakat kota hingga masyarakat desa, tidak terkecuali masyarakat Makam Dalem Cikundul. Meskipun krisis dan jumlah pengunjung semakin menurun, tapi hal itu

tidak mematahkan semangat para pedagang untuk tetap berjualan. Jumlah pedagang malah semakin bertambah yang tadinya 30 orang menjadi 60 orang lebih. Seperti apa yang dituturkan oleh ID (petugas K.5/parkir), “...abdi kirang terang pami tahun 1990-an mah, tapi mun teu lepat

anu dagang didieu kurang leuwih kapungkur mah aya 30 urangan, tapi ayeuna tos aya 60 urang leuwih meureun, eta teh teu acan anu dagang asongan seperti tukang keresek, tukang bakso, tukang bubur sareng nu sanesna, mun di itung-itung aya meureun 70 urangan mah...”41 (“saya kurang tau percis kalo tahun 1990-an, tapi sepengetahuan saya yang dagang di


(60)

sini kurang lebih dulu ada 30 oranglah, tapi sekarang udah ada kali 60 orang lebih mah, itu belum termasuk yang dagang asongan, tukang kresek, tukang bakso dan lainnya, mungkin kalo di itung-itung ada 70-an orang lebih mah”) Para pedagang yang masih juga berjualan meskipun sepi adalah Ibu

NN dan Ibu NE, berikut penuturannya: “Biasana ge dagang teh tiap hari tara pernah tutup cara ayeuna ning, bari sepi ge da nu meser mah aya wae.”42 (“biasanya juga dagang tiap hari engga pernah tutup seperti sekarang,

walaupun sepi yang beli mah ada aja”) “...warung buka tiap hari tapi ayeuna mah sepi neng, tapi warung

mah tetep buka, nu meser paling urang dieu wungkul, tutup paling jam salapan weungi tapi mun masih rame kadang dugikeun ka jam sapuluh...”43 (“warung buka tiap hari tapi sekarang mah sepi neng, tapi warung mah tetep buka yang beli paling orang-orang sini aja, tutup paling jam sembilan malam tapi kalo masih rame kadang nyampe jam sepuluh”) Tapi lain halnya yang dilakukan oleh Bapak TW, warungnya buka kalau rame saja, berikut penuturannya, “Tapi ayeuna mah karena sepi jadi dagangna ngan pas rame wungkul, cara ayeuna sepi jadi tutup we.”44 (“kalo dulu jualannya tiap hari sampe 24 jam kali, tapi sekarang karena sepi jadi buka pas rame aja kayak sekarang sepi jadi tutup aja”) Berkurangnya pengunjung tidak mengurangi jumlah peminta-minta,

justru semakin banyak, walaupun mereka minta-minta Cuma waktu-waktu tertentu saja. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu YY, “abdi nyuhunkeun di dieu pas hari-hari tertentu wungkul, lamun rame karek kadieu, lamun teu

/ A : $C # - ( ( $ $ - * > , $ ) $ !

/ A : $C # - ( ( $ $ - > , $ ! ) $ !


(1)

BAB V PENUTUP C. Kesimpulan D. Saran


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta: T. Pn, 1978.

Agus, Bustamin. Agama dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

Al-albani, M. Nashiruddin. Tuntunan Lengkap Mengurus Jenazah. Jakarta: Gema Insani, 1999.

Ali, Mukti. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini. Jakarta: CV. Rajawali, 1987 Burke, Peter. Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001 Chambert, Henri, dkk. Ziarah & Wali di Dunia Islam. Jakarta: PT. Serambi Ilmu

Semesta, 2007.

Damsar. Sosiologi Ekonomi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997. Faisal, Sanapiah. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2003.

Hidayat, Komarudin dan Muhammad Wahyudi Nafis. Agama Masa Depan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Jhonson, Doyle Paul. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jil. I, Jakarta: PT. Gramedia, 1986.

Kahdi, Dadang. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002. Khaldun, Ibnu. Muqaddimah. Penerjemah Ahmadie Thoha. Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2005.

Lauer, Robert H. Perspektif Perubahan Sosial. edisi ke-2. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993.

Nottingham, Elizabeth K. Agama dan Masyarakat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Nurdin, Amin dan Ahmad Abrori. Mengerti Sosiologi. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.


(3)

Nurhadiansyah, Iman. "Pariwisata dan Perubahan Sosial". Skripsi S-1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2005.

OC, Hendropuspito. Sosiologi Agama. Jogjakarta: Kanisius, 1998. _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _. Sosiologi Sistematik. Jogjakarta: Kanisius, 1989. O'dea, Thomas F. Sosiologi Agama. Jakarta: CV. Rajawali, 1985. Pridhadhi, Endra K. Makhluk Halus dalam Fenomena Kemusyrikan. Jakarta:

Salemba Diniyyah, 2004.

Qaradhawi, Yusuf. Sekular Ekstrim. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000. Rahmat, Jalaludin. Psikologi Agama. Bandung: Mizan, 2003. Razaq, Yusron dan Ervan Nurtawab. Antropologi Agama. Jakarta: UIN Jakarta

Press, 2007.

Salim, Agus. Teori dan Paradigma Penelitian, Pemikiran Norman dan Egon Guba. Jogjakarta: PT. Tirta Wacana Jogja, 2001.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali, 1986. Subhani, Syaikh Fajar. Tauhid dan Syiriq Studi Kritis Faham Wahabi. Bandung:

Mizan, 1987.

Sucipto, Toto. "Budaya Spiritual di Lingkungan Makam Keramat Wangsa Goparana Sagalaherang". Dalam Sindu Galba, ed. Budaya Spiritual

Masyarakat Sunda. Bandung: Alqaprint Jatinangor, t.t.

Syam, Nur. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKis, 2005. Sztompka, Piotr. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada, 2007. Tumanggor, Rusmin. Sosiologi Perspektif Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press,

2004. Veeger, K. J. Realitas Sosial. Jakarta: PT. Gramedia, 1993. Sejarah Singkat dan Silsilah Rd. Aria Wira Tanu Datar (Rd. Ngabehi Jayasasana)

Dalem Cikundul di tulis oleh Cc Irwansyah.

Wawancara pribadi dengan Ibu Maska’nah, 18 Januari 2009. Wawancara pribadi dengan Ibu NN, 19 Januari 2009.


(4)

Wawancara pribadi dengan Ibu YY, 19 Januari 2009. Wawancara pribadi dengan Mang UF, 19 Januari 2009. Wawancara pribadi dengan Ibu NE, 20 Januari 2009. Wawancara pribadi dengan Bapak TW, 20 Januari 2009. Wawancara pribadi dengan Bapak EW, 20 Januari 2009. Wawancara pribadi dengan ID, 21 Januari 2009. Wawancara pribadi dengan Bapak AS, 25 Januari 2009. Wawancara pribadi dengan KK, 26 Januari 2009.


(5)

Nomor : Istimewa Lampiran : Satu berkas Hal :

Proposal Pengajuan Judul Skripsi

Kepada Yang Terhormat Ketua Jurusan Sosiologi Agama Di tempat Assalamu’alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera saya sampaikan. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT dan senantiasa di beri kemudahan dan sukses dalam menjalankan aktivitas

sehari-hari. Sehubungan dengan syarat untuk mendapatkan gelar S-1 pada Universitas Islam

Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. Maka, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Nia Purnamasari NIM : 104032201031 Fak/Prodi :

Ushuluddin dan Filsafat/Sosiologi Agama

Semester :

IX

Bermaksud untuk mengajukan proposal skripsi dengan judul “Makam Keramat dan Perubahan Sosial ekonomi (Studi Kasus di Masyarakat sekitar Makam Dalem Cikundul, Majalaya, Cijagang, Cikalongkulon, Cianjur)”.

Sebagai bahan pertimbangan, maka saya lampirkan: 1. Out line Skripsi

2. Abstraksi

3. Daftar Pustaka Sementara 4. Sertifikat Praktikum

Demikian proposal ini saya ajukan, atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih. Wassalamua’laikum Wr. Wb. Jakarta, 5

Agustus 2008

Dosen Pembimbing Akademik Pemohon

Dra. Jauharatul Jamilah, Msi Nia

Purnamas ari

Mengetahui,

Ketua Jurusan Sosiologi Agama Dra. Ida Rosyidah, M.A.


(6)