Fenomena Makam Orang Jepang Di Medan (Studi Kasus Makam Orang Jepang Di Delitua

(1)

FENOMENA MAKAM ORANG JEPANG DI MEDAN (STUDI KASUS MAKAM ORANG JEPANG DI DELITUA)

MEDAN NIHONJIN BOCHI NO GENSHOU (DELITUA DE NIHONJIN BOCHI NO JIKEN KENKYUU)

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam

bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

Aprilandri Cahyaputra Siadari 110708038

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

FENOMENA MAKAM ORANG JEPANG DI MEDAN (STUDI KASUS MAKAM ORANG JEPANG DI DELITUA)

MEDAN NIHONJIN BOCHI NO GENSHOU (DELITUA DE NIHONJIN BOCHI NO JIKEN KENKYUU)

SKRIPSI

Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana

Dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang Oleh :

APRILANDRI CAHYAPUTRA SIADARI 110708038

Pembimbing I Pembimbing II

Prof.Drs. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D Adriana Hasibuan, S.S, M.Hum NIP. 19580704 1984 12 1 001 NIP. 19620727 198703 2 005

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(3)

Disetujui oleh :

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan

Medan, 2015

Departemen Sastra Jepang Ketua,

Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum NIP. 19600919 1988 03 1 001


(4)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul FENOMENA MAKAM ORANG JEPANG DI MEDAN (STUDI KASUS MAKAM ORANG JEPANG DI DELITUA), yang bertujuan untuk mendeskripsikan fenomena makam orang Jepang di Delitua, Medan dan cara pemeliharaan untuk menjaga kelestarian makam orang Jepang di Delitua, Medan tersebut.

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia banyak orang Jepang yang meninggal di Indonesia khususnya di Sumatera Utara. Pemerintah Jepang memutuskan untuk membangun sebuah pemakaman sebagai tempat untuk menempatkan tulang-belulang tersebut. Makam ini berada di Delitua, Medan.

Saat ini makam orang Jepang di Medan berada di daerah delitua, namun sebelumnya makam orang Jepang di Medan berada di dalam kota Medan di jalan Gatot Subroto. Sebelum dipindahkan terdapat 250 pilar yang digunakan di makam orang Jepang di Delitua, Medan. Terdapat monumen untuk mengenang 25 Komandan perang yang dieksekusi pada tahun 1947. Namun, pada tahun 1951 setelah perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda banyak batu nisan yang dicuri oleh penduduk lokal. Yang tersisa hanya belasan batu nisan. Bentuk makam di makam orang Jepang di Delitua, Medan masih dipengaruhi oleh kepercayaan Budha dan Shinto. Namun, ada juga bentuk Eropa yang menggunakan keramik. Orang-orang yang dikuburkan pada makam ini adalah pahlawan-pahlawan Jepang yang turut serta dalam perang kemerdekaan Indonesia.


(5)

Makam orang Jepang di Delitua, Medan adalah termasuk Pemakaman Umum. Oleh karena itu pemerintah Jepang melalui Badan Pengurus Perkuburan Jepang di Medan berusaha untuk menjaga kelestarian makam tersebut. Anggota Badan Pengurus Perkuburan tersebut adalah Konsulat Jendral Jepang di Medan, Yayasan Warga Persahabatan Cabang Medan, dan Medan Japan Club. Badan Pengurus Perkuburan Jepang di Medan menggaji seseorang untuk mengontrol kebersihan, menjaga makam, kemudian merawat makam tersebut. Biaya pengeluaran untuk makam ini semuanya diambil dari donasi anggota Badan Pengurus Perkuburan Jepang di Medan.

Pemberian kuyo pada makam orang Jepang di Delitua, Medan dilakukan pada saat higan, yaitu pada pertengahan bulan Maret dan bulan September. Namun, acara yang jarang dilakukan pada masa sekarang ini adalah acara bersih-bersih makam seperti yang dilakukan pada masa keturunan pertama. Sebelum acara berziarah dilakukan Badan Pengurus Perkuburan Jepang di Medan melalui Konsulat Jendral Jepang di Medan menghimbau kepada warga Jepang dan warga Indonesia keturunan Jepang agar bersama-sama pergi ke pemakaman. Himbauan ini bertujuan untuk mempertahankan keharmonisan warga Jepang dan warga Indonesia keturunan Jepang, kemudian juga untuk mendidik generasi selanjutnya dari warga Indonesia keturunan Jepang tentang menghormati leluhur.

Berkat usaha dari Badan Pengurus Perkuburan Jepang di Medan untuk merawat makam orang Jepang di Delitua, Medan kelestarian makam orang Jepang di Medan tetap terjaga. Maka keberadaan makam orang Jepang di Delitua, Medan dapat terus berlanjut.


(6)

要旨 ようし

この論文 ろ ん ぶ ん

の題名 だ い め い

はメダン め だ ん

日本人墓地 にほんじんぼち

の 現 象 げんしょう

「デリトゥアで日本人墓地

の事件研究 じけんけんきゅう

」、デリトゥアメダンに日本人墓地の現象とデリトゥアメダン

日本人墓地の末永 すえなが

くを守 まも

るための看護 かんご

する方法 ほうほう

を説明 せつめい

するの目的 もくてき

である。

インドネシアにおける日本の 占 領 せんりょう

の時にインドネシア、特に北スマト

ラには死亡 しぼう

した日本人がたくさんである。日本政府 せいふ

はその死亡した日本人

の骨格 こっかく

の置 お

く場所 として墓地を立てることを決

めた。この墓地はデリト

ゥアメダンにあった。

現 在 の メ ダ ン 日 本 人 墓 地 は デ リ ト ゥ ア と 言 う 地方 ちほう

に あ る が 、 以前 いぜん

はメ

ダン市内 しない

の GATOT SUBROTO 通 どお

りにあった。移転 いてん

された前にデリトゥア

メダン日本人墓地には250柱

はしら

が理非 り ひ

された。1947年に処刑 しょけい

された

25軍事令官 ぐ ん じ れ い か ん

を記憶 きおく

するための 碑

いしぶみ

があった。しかし、1951年にイン

ドネシアたいオランダ独立戦争 どくりつせんそう

の後で墓石 ぼせき

が地方 ちほう

の 住 民 じゅうみん

に盗 ぬす

まれる。残 のこ

りは十墓石しかである。デリトゥアメダン日本人墓地に墓 はか

の形は 仏 教 ぶっきょう

神道 しんとう

の信仰 しんこう

を 影 響 えいきょう

された。しかし、陶磁 とうじ

器 き

が使わる洋式 ようしき


(7)

の墓地で埋 う

もれた人々はインドネシア独立戦争を参加する日本の英雄 えいゆう

たち

である。

デリトゥアメダン日本人墓地は公営墓地 こうえいぼち

を含 ふく

めてある。即

すなわ

ち日本政府 せいふ

はメダン日本人墓地管理員会 にほんじんぼちかんりいんかい

でこの墓地の末永くを守るために努力する。

メダン日本人墓地管理員会の会員 かいいん

はメダン日本の総領事館 そうりょうじかん

と友好住民基金 ゆうこうじゅうみんききん

とメダン日本クラブである。メダン日本人墓地管理員会は清潔 せいけつ

を監理 かんり

して、

墓 地 を 見張 み は

っ て 、 そ し て 看護 かんご

し て い る た め に 人 を 雇用 こよう

す る 。 こ の 墓 地 の

経費 けいひ

は全部 ぜんぶ

でメダン日本人墓地管理員会の会員からの寄付 き ふ

が取 と

られた。

彼岸 ひがん

の 時 に デ リ ト ゥ ア メ ダ ン 日 本 人 墓 地 で 供養 くよう

を 与 え さ れ る 、 そ れは

三月中と九月中である。しかし、現在のまばらな予定 よてい

は第一世代 だ い い ち せ だ い

の時よう

にお墓掃除 は か そ う じ

をやっていた。供養を与える前にメダン日本人墓地管理員会は

メダン日本の総領事館でメダンにいる日本の国民 こくみん

と日本人子孫 に ほ ん じ ん し そ ん

のインドネ

シア人にいっしょに墓地へ行ってを呼びかける。この呼 よ

び声 ごえ

の目的 もくてき

は日本

の国民と日本人子孫のインドネシア人睦 むつ

まじいを保 たも

つことである、そして

日本人子孫のインドネシア人の次の世代に祖先 そせん


(8)

メ ダ ン 日 本 人 墓 地 管 理 員 会 の デ リ ト ゥ ア メ ダ ン 日 本 人 墓 地 の 看 護 す る

の努力のおかげでデリトゥアメダン日本人墓地の末永くはずっとかわらな

い。それでデリトゥアメダン日本人墓地の存在 そんざい


(9)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra dalam program studi Sastra Jepang di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dan Bapak Drs. Eman Kusdyana, M.Hum, selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D. selaku Pembimbing I dan Ibu Adriana Hasibuan, S.S, M.Hum, selaku pembimbing II yang telah mengorbankan waktu dan tenaga untuk memberikan pengetahuan dan bimbingan serta nasehat dan saran yang sangat bermanfaat bagi penyusunan skripsi ini.

Kepada seluruh dosen Sastra Jepang yang telah membimbing, memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama belajar di jurusan Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara ini.

Secara khusus dan terimakasih yang sedalam-dalamnya tak lupa penulis haturkan kepada ayah dan ibu tercinta Ir. Tumpal P. Saragi MSc dan Dra. Sri Kuncorowati, adik-adik tersayang Aldri Boantua Siadari dan Roulina Oktalya Siadari, terimakasih atas kasih sayang, motivasi, pengorbanan, kesabaran dan hiburannya dalam menemani penulis menyelesaikan pendidikan.


(10)

ii

Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam melaksanakan pendidikan dan penelitian ini penulis menyampaikan terimakasih yang tak terhingga, semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal.

Medan, Oktober 2015

Aprilandri Cahyaputra Siadari NIM. 110708038


(11)

iii

DAFTAR ISI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan ... 4

1.4. Tinjauan Pustaka dan kerangka Teori ... 5

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

1.6. Metode Penelitian ... 11

BAB II FENOMENA MAKAM ORANG JEPANG YANG ADA DI DELITUA MEDAN ... 14

2.1. Latar Belakang Sejarah Pemakaman ... 14

2.2. Makam Orang Jepang di Delitua ... 15

2.2.1. Jumlah ... 15

2.2.2. Bentuk ... 16

2.2.3. Orang Yang Dikuburkan ... 19

2.2.4. Perawatan ... 21

2.2.5. Acara Pemujaan ... 25

BAB III PEMELIHARAAN MAKAM ORANG JEPANG DI DELITUA MEDAN ... 34


(12)

iv

3.2. Biaya ... 37

3.3. Peziarah/Penyembahan ... 39

3.4. Acara-Acara Formal dan Informal ... 43

3.5. Masa Depan Makam Orang Jepang di Deltua... 44

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

4.1. Kesimpulan ... 46

4.2. Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA


(13)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul FENOMENA MAKAM ORANG JEPANG DI MEDAN (STUDI KASUS MAKAM ORANG JEPANG DI DELITUA), yang bertujuan untuk mendeskripsikan fenomena makam orang Jepang di Delitua, Medan dan cara pemeliharaan untuk menjaga kelestarian makam orang Jepang di Delitua, Medan tersebut.

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia banyak orang Jepang yang meninggal di Indonesia khususnya di Sumatera Utara. Pemerintah Jepang memutuskan untuk membangun sebuah pemakaman sebagai tempat untuk menempatkan tulang-belulang tersebut. Makam ini berada di Delitua, Medan.

Saat ini makam orang Jepang di Medan berada di daerah delitua, namun sebelumnya makam orang Jepang di Medan berada di dalam kota Medan di jalan Gatot Subroto. Sebelum dipindahkan terdapat 250 pilar yang digunakan di makam orang Jepang di Delitua, Medan. Terdapat monumen untuk mengenang 25 Komandan perang yang dieksekusi pada tahun 1947. Namun, pada tahun 1951 setelah perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda banyak batu nisan yang dicuri oleh penduduk lokal. Yang tersisa hanya belasan batu nisan. Bentuk makam di makam orang Jepang di Delitua, Medan masih dipengaruhi oleh kepercayaan Budha dan Shinto. Namun, ada juga bentuk Eropa yang menggunakan keramik. Orang-orang yang dikuburkan pada makam ini adalah pahlawan-pahlawan Jepang yang turut serta dalam perang kemerdekaan Indonesia.


(14)

Makam orang Jepang di Delitua, Medan adalah termasuk Pemakaman Umum. Oleh karena itu pemerintah Jepang melalui Badan Pengurus Perkuburan Jepang di Medan berusaha untuk menjaga kelestarian makam tersebut. Anggota Badan Pengurus Perkuburan tersebut adalah Konsulat Jendral Jepang di Medan, Yayasan Warga Persahabatan Cabang Medan, dan Medan Japan Club. Badan Pengurus Perkuburan Jepang di Medan menggaji seseorang untuk mengontrol kebersihan, menjaga makam, kemudian merawat makam tersebut. Biaya pengeluaran untuk makam ini semuanya diambil dari donasi anggota Badan Pengurus Perkuburan Jepang di Medan.

Pemberian kuyo pada makam orang Jepang di Delitua, Medan dilakukan pada saat higan, yaitu pada pertengahan bulan Maret dan bulan September. Namun, acara yang jarang dilakukan pada masa sekarang ini adalah acara bersih-bersih makam seperti yang dilakukan pada masa keturunan pertama. Sebelum acara berziarah dilakukan Badan Pengurus Perkuburan Jepang di Medan melalui Konsulat Jendral Jepang di Medan menghimbau kepada warga Jepang dan warga Indonesia keturunan Jepang agar bersama-sama pergi ke pemakaman. Himbauan ini bertujuan untuk mempertahankan keharmonisan warga Jepang dan warga Indonesia keturunan Jepang, kemudian juga untuk mendidik generasi selanjutnya dari warga Indonesia keturunan Jepang tentang menghormati leluhur.

Berkat usaha dari Badan Pengurus Perkuburan Jepang di Medan untuk merawat makam orang Jepang di Delitua, Medan kelestarian makam orang Jepang di Medan tetap terjaga. Maka keberadaan makam orang Jepang di Delitua, Medan dapat terus berlanjut.


(15)

要旨 ようし

この論文 ろ ん ぶ ん

の題名 だ い め い

はメダン め だ ん

日本人墓地 にほんじんぼち

の 現 象 げんしょう

「デリトゥアで日本人墓地

の事件研究 じけんけんきゅう

」、デリトゥアメダンに日本人墓地の現象とデリトゥアメダン

日本人墓地の末永 すえなが

くを守 まも

るための看護 かんご

する方法 ほうほう

を説明 せつめい

するの目的 もくてき

である。

インドネシアにおける日本の 占 領 せんりょう

の時にインドネシア、特に北スマト

ラには死亡 しぼう

した日本人がたくさんである。日本政府 せいふ

はその死亡した日本人

の骨格 こっかく

の置 お

く場所 として墓地を立てることを決

めた。この墓地はデリト

ゥアメダンにあった。

現 在 の メ ダ ン 日 本 人 墓 地 は デ リ ト ゥ ア と 言 う 地方 ちほう

に あ る が 、 以前 いぜん

はメ

ダン市内 しない

の GATOT SUBROTO 通 どお

りにあった。移転 いてん

された前にデリトゥア

メダン日本人墓地には250柱

はしら

が理非 り ひ

された。1947年に処刑 しょけい

された

25軍事令官 ぐ ん じ れ い か ん

を記憶 きおく

するための 碑

いしぶみ

があった。しかし、1951年にイン

ドネシアたいオランダ独立戦争 どくりつせんそう

の後で墓石 ぼせき

が地方 ちほう

の 住 民 じゅうみん

に盗 ぬす

まれる。残 のこ

りは十墓石しかである。デリトゥアメダン日本人墓地に墓 はか

の形は 仏 教 ぶっきょう

神道 しんとう

の信仰 しんこう

を 影 響 えいきょう

された。しかし、陶磁 とうじ

器 き

が使わる洋式 ようしき


(16)

の墓地で埋 う

もれた人々はインドネシア独立戦争を参加する日本の英雄 えいゆう

たち

である。

デリトゥアメダン日本人墓地は公営墓地 こうえいぼち

を含 ふく

めてある。即

すなわ

ち日本政府 せいふ

はメダン日本人墓地管理員会 にほんじんぼちかんりいんかい

でこの墓地の末永くを守るために努力する。

メダン日本人墓地管理員会の会員 かいいん

はメダン日本の総領事館 そうりょうじかん

と友好住民基金 ゆうこうじゅうみんききん

とメダン日本クラブである。メダン日本人墓地管理員会は清潔 せいけつ

を監理 かんり

して、

墓 地 を 見張 み は

っ て 、 そ し て 看護 かんご

し て い る た め に 人 を 雇用 こよう

す る 。 こ の 墓 地 の

経費 けいひ

は全部 ぜんぶ

でメダン日本人墓地管理員会の会員からの寄付 き ふ

が取 と

られた。

彼岸 ひがん

の 時 に デ リ ト ゥ ア メ ダ ン 日 本 人 墓 地 で 供養 くよう

を 与 え さ れ る 、 そ れは

三月中と九月中である。しかし、現在のまばらな予定 よてい

は第一世代 だ い い ち せ だ い

の時よう

にお墓掃除 は か そ う じ

をやっていた。供養を与える前にメダン日本人墓地管理員会は

メダン日本の総領事館でメダンにいる日本の国民 こくみん

と日本人子孫 に ほ ん じ ん し そ ん

のインドネ

シア人にいっしょに墓地へ行ってを呼びかける。この呼 よ

び声 ごえ

の目的 もくてき

は日本

の国民と日本人子孫のインドネシア人睦 むつ

まじいを保 たも

つことである、そして

日本人子孫のインドネシア人の次の世代に祖先 そせん


(17)

メ ダ ン 日 本 人 墓 地 管 理 員 会 の デ リ ト ゥ ア メ ダ ン 日 本 人 墓 地 の 看 護 す る

の努力のおかげでデリトゥアメダン日本人墓地の末永くはずっとかわらな

い。それでデリトゥアメダン日本人墓地の存在 そんざい


(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Jepang memasuki wilayah Indonesia pada saat sedang perang Asia Timur Raya. Pada tanggal 8 Desember 1941, Jepang membom Pangkalan Militer AS di Hawai. Oleh karena itu, Jepang datang ke Indonesia untuk mencari cadangan militer sebagai antisipasi terhadap serangan Sekutu. Kedatangan Jepang disambut baik oleh bangsa Indonesia. Hal ini berkaitan dengan adanya anggapan dari masyarakat yang terdapat dalam ramalan Jayabaya bahwa Jepang telah berjasa besar melepaskan bangsa ini dari belenggu penjajahan Belanda. Jepang juga menyebut dirinya “Saudara Tua” bangsa Indonesia. Intinya Jepang ingin menciptakan kesan bahwa mereka tidak sama seperti Belanda atau orang-orang Eropa lainnya yang telah menjajah Indonesia sebelumnya.

Pendudukan Tentara Jepang di Indonesia dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu wilayah Indonesia bagian Timur yang diduduki oleh tentara Angkatan Laut Jepang, sedangkan Indonesia bagian Barat dikuasai oleh Tentara Angkatan Darat Jepang. Angkatan darat Jepang yang berkedudukan di pulau Sumatera berpusat dan dikendalikan dari Singapura yang dipimpin oleh seorang gubernur Militer dinamakan dengan Gunseikan.

Pembagian tentara Jepang menjadi dua bagian bertujuan untuk melengkapi perlengkapan pasukan di dua kelompok besar pertahanan (Darat dan Laut). Untuk memperlancar pencarian pemuda calon cadangan pertahanan Jepang, maka


(19)

2

dibentuklah Sendendu. Pasukan Sendendu juga dibentuk sebagai propoganda tentang Jepang di Sumatera Utara. Badan ini juga membentuk surat kabar yang terbit di Sumatera Utara sebagai bacaan rakyat. Surat kabar ini dinamakan dengan Sumatera Shinbun.

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia banyak orang Jepang yang meninggal di berbagai tempat di Indonesia khususnya di Sumatera Utara menurut Sari (2006:48) antara lain: Tebing Tinggi, Binjai, Tanjung Tiran Batu Bara Kabupaten Asahan, Kisaran, Tanjung Balai, Stabat, Siantar, Prapat, Kabanjahe, Kabanjahe-Tigapana, Sawalunto, Medan, Pangkalan Brandan, Rantau Prapat, Aceh Mulabo, Aceh Langsa, Kuala Simpang, Aceh-Arakundoe, dan Jakarta.

Pemerintah Jepang memutuskan untuk membangun sebuah komplek pemakaman untuk menempatkan semua tulang-belulang dari orang-orang yang meninggal tersebut dalam satu tempat. Makam ini terletak di kota Medan tepatnya di daerah Delitua. Makam ini dibangun atas keputusan Konsulat Jendral Jepang yang ada di Medan dengan persetujuan dari pemerintah Indonesia dengan perincian biaya dari pemerintah Jepang melalui Konsulat Jendral Jepang Medan.

Makam orang Jepang di Medan bukanlah makam keluarga karena tidak terdapat kamei (nama keluarga), kamon (kepala keluarga), koro (tempat dupa), dan geika (tempat bunga). Tulang-belulang yang dikuburkan di pemakaman ini juga bukan tulang belulang yang memiliki hubungan darah antara satu sama lain. Pada pemakaman ini terdapat 33 makam dan 119 buah guci abu. Seluruh bangunan makam memiliki bentuk yang dipengaruhi oleh kepercayaan Buddha dan Shinto. Ada juga makam yang memiliki bangunan dengan bentuk Eropa,


(20)

3

namun masih tetap memiliki unsur kepercayaan Buddha dan Shinto pada tulisan di batu nisannya.

Dari pengamatan yang penulis lakukan pada makam orang Jepang di Delitua, pemakaman ini masih sangat terawat dan terlihat sangat bersih karena pemerintah Jepang menggaji seseorang untuk merawat dan menjaga makam ini. Kemudian dari wawancara singkat penulis dengan penjaga makam tersebut, penulis mendapatkan informasi bahwa keluarga dari orang Jepang yang dikuburkan pada pemakaman ini sudah jarang sekali yang datang karena keluarganya yang masih hidup sekarang ini adalah keturunan ke-4 yang merupakan cicit mereka, karena garis keturunannya sudah jauh maka para keluarga tersebut tidak lagi mengenal siapa yang dikuburkan di pemakaman ini. Namun, setiap setahun sekali tepatnya pada bulan September yang merupakan ulang tahun makam tersebut, konsulat jendral Jepang di Medan datang ke makam untuk sembahyang dan memberikan kuyo (persembahan).

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara singkat mengenai makam orang Jepang di Delitua yang menurut penulis cukup fenomenal diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang pemakaman tersebut dengan judul penelitian “Fenomena Makam Orang Jepang Di Medan (Studi Kasus Makam Orang Jepang di Delitua)”.


(21)

4 1.2. PERUMUSAN MASALAH

Pendudukan Jepang di Indonesia berakhir pada tahun 1945, makam orang Jepang di Delitua dibangun pada tahun 1972. Pembangunan makam tersebut dilakukan setelah Indonesia merdeka dan sampai saat ini makam tersebut masih sangat terawat karena masih dipelihara dan dikelola dengan baik. Setiap tahun kegiatan berziarah masih rutin dilakukan. Peziarah yang datang merupakan anak cucu dari orang-orang yang dikuburkan pada makam tersebut kemudian warga Jepang maupun orang Indonesia yang merupakan keturunan orang Jepang. Berdasarkan keterangan diatas maka timbul beberapa pertanyaan antara lain:

1. Bagaimana fenomena makam orang Jepang di Delitua, Medan? 2. Bagaimana pemeliharaan makam orang Jepang di Delitua, Medan?

1.3. RUANG LINGKUP PEMBAHASAN

Penelitian ini hanya difokuskan pada sejarah, pelaksanaan pemeliharaan, pelaksanaan persembahan, peranan pengelola pemakaman serta identitas dari orang yang dikuburkan pada makam orang Jepang di Delitua. Jumlah makam pada pemakaman ini berjumlah 35 makam dan keseluruhannya dijadikan sampel penelitian. Untuk mendapatkan data-data yang akurat, penulis akan terjun langsung ke lapangan mencari catatan-catatan atau dokumen tentang makam tersebut dan melakukan wawancara dengan orang atau instansi yang bersangkutan yang mengerti tentang pemakaman tersebut.


(22)

5

Untuk menjawab pertanyaan perumusan masalah nomor satu, penulis hanya mencari dan menggunakan data atau fakta-fakta dari pengamatan langsung dan dari hasil wawancara serta dokumen konsulat jendral Jepang dan yayasan pengurus makam tersebut. Untuk menjawab pertanyaan perumusan masalah nomor dua, penulis hanya akan mencari dan menggunakan data dari hasil wawancara dan catatan dokumentasi dari instansi yang bersangkutan.

1.4. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI A. Tinjauan Pustaka

Menurut Mogami dalam Situmorang (2011:53) dalam pandangan orang Jepang, roh berada di dalam tulang-belulang. Oleh karena itu persembahan-persembahan diarahkan kepada tulang-belulang dan pergi ke Ihai. Oleh karena itu persembahan-persembahanselain dilakukan di kuburan juga dilakukan di Ihai di rumah.Dalam pemikiran Jepang dahulu dikenal dua sistem makam yaitu:

1. Makam tempat menguburkan tulang-belulang jenazah yang terletak di gunung, dianggap makam yang kotor.

2. Makam tempat memberikan sesajen dan pemujaan (makam yang dibuat di dalam desa) dianggap makam yang suci.

Menurut Kenji (2000:34) pada awalnya orang Jepang apabila ada keluarganya yang meninggal maka mayat tersebut dibuang ke Tanima Jigoku (lembah), dan untuk rohnya dibuat tempat penyembahan. Tetapi kemudian karena ada perasaan kedekatan antara orang yang masih hidup dengan orang yang sudah meninggal tersebut, misalnya perasaan cinta akan keluarga maka kemudian mayat tersebut


(23)

6

tidak lagi dibuang ke Tanima Jigoku tetapi dikuburkan. Oleh karena itu Kenji (2000: 38) mengatakan kewajiban menguburkan tersebut mempunyai 3 buah pemikiran, yaitu:

1. Bagaimana cara menguburkannya.

2. Siapa yang bertanggung jawab menguburkannya. 3. Bagaimana pembiayaannya.

Kemudian menurut Inoguchi (1976:109) penguburan di Jepang ada berbagai macam, antara lain:

1. Penguburan di air(水葬 すいそう

), misalnya di sungai atau di laut. 2. Penguburan di api ( 火葬

かそう

), yaitu dengan pembakaran. 3. Penguburan di tanah( 土葬 ).

4. Penguburan di semak-semak( 林葬 )bertujuan agar cepat dimakan burung.

Menurut Iwayumi (2001:2) Jenis-jenis kuburan atau pemakaman di Jepang:

1. Pemakaman umum ( 公営墓地 こうえいぼち

), terdiri dari:

1). Pemakaman yang dikelola publik ( 公営墓地 ). 2). Pemakaman kampung( 部落有墓地

ぶ ら く よぼ ち ). 2. Pemakaman pribadi ( 私有墓地

し ゆうぼ ち

), terdiri dari:

1). Pemakaman pribadi yang berbadan hukum, dibagi atas:


(24)

7

Pemakaman oleh Jiin ( Otera, Jinja ).

• Pemakaman yang dikelola oleh badan hukum agama. b. Pemakaman yang diperuntukkan untuk umum, dibagi

menjadi 2 bagian, yaitu:

• Pemakaman yang dikelola oleh yayasan

( 財団法人営墓地

ざ い だ ん ほ う じ ん え い ぼ ち ).

• Pemakaman yang dikelola oleh perusahaan

( 社団法人営墓地

し ゃ だ ん ほ う じ ん え い ぼ ち ).

c. Pemakaman yang dikelola oleh perusahaan

( 営利法人営墓地

えいりほうじんえいぼち ).

2). Pemakaman pribadi yang tidak berbadan hukum

( 個人有墓地

こじんゆうぼち ).

Menurut Ariga dalam Situmorang (2011:25) Ie adalah kelompok kerjasama dalam mengelola kehidupan. Ariga tidak menyetujui apabila Ie dikatakan kelompok ikatan sedarah, karena pekerja di dalam Ie pun merupakan anggota keluarga Ie namun belum tentu ada ikatan darah.

Sistem Ie juga dijadikan sebagai ideologi Negara pada zaman Meiji, sebelumnya Ie hanya terbatas pada kelompok kehidupan sehari-hari. Ie sebagai ideologi negara adalah pengertian bahwa sebuah negara berasal dari kumpulan keluarga-keluarga yang menjadi satu. Menurut Morioka dalam Situmorang (2011: 36) Kazokukokkakan (pandangan negara keluarga) adalah negara sebagai kelompok keluarga besar, hubungan di dalamnya (Kaisar dan rakyat sama dengan


(25)

8

orangtua dan anak), rumah kaisar sama dengan rumah seluruh rakyat, sebagai etika dasar adalah Chu dan Ko (pengabdian kepada orangtua dan pengabdian kepada pemimpin adalah satu).

Menurut Aoyama dalam Situmorang (2011:33) pemujaan leluhur sangat melekat dengan sistem Ie, keberadaan Ie, dan Ihai adalah sama. Pemikiran seperti ini ada sejak zama Edo.Ihai adalah sebuah papan yang bertuliskan nama orang yang sudah meninggal lengkap dengan tahunnya. Ihai diletakkan di rak pemujaan sebagai objek pemujaan leluhur.

Menurut Mulines dalam Sari (2006:9), yang dimaksud dengan makam tradisional Jepang adalah:

1. Makam yang bersifat agama rakyat. 2. Makam yang bersifat Shinto.

3. Makam yang bersifat berbagai macam aliran agama Buddha.

4. Seluruh makam yang bersifat konfuisme dan pandangan nilai yang mempengaruhinya.

Ciri khas makam tradisional Jepang, antara lain: 1. Terdapat Kamon pada batu nisan (cap nama). 2. Terdapat Koro (tempat dupa).

3. Bentuknya :

Bentuk makam tradisional Jepang, antara lain: 1). Berbentuk persegi empat.

2). Berbentuk tiang. 3). Berbentuk batu alam.


(26)

9 B. Kerangka Teori

Dalam pengerjaan penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan penelitian historis (Historical Research), yaitu kajian logik terhadap peristiwa-peristiwa setelah peristiwa itu terjadi. Menurut Suryabrata dalam Silaen (2013:9) tujuan penelitian ini adalah untuk membuat rekontruksi masa lampau secara sistematis dan objektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, menverifikasikan, serta mensistesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat. Penulis menggunakan pendekatan ini karena penulis akan memaparkan awal mula pembangunan pemakaman orang Jepang di Delitua dari catatan-catatan mengenai pemakaman tersebut.

Penulis juga akan menggunakan pendekatan fenomenologi. Menurut Kuswarno (2009:2) fenomenologi berusaha mencari pemahaman bagaimana manusia mengkonstruksi makna dan konsep penting dalam kerangka intersubyektivitas (pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang lain).Menurut Moleong dalam Endraswara (2006:67) pendekatan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. Peneliti fenomenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu dari orang-orang/subyek yang sedang diteliti sedemikian rupa sehingga penulis mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari.


(27)

10 1.5.Tujuan dan Manfaat Penelitian

A. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan fenomena makam orang Jepang di Delitua, Medan. 2. Untuk mendeskripsikan pemeliharaan makam di makam orang Jepang di

Delitua, Medan.

B. Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan agar nantinya akan bermanfaat bagi pihak-pihak tertentu, seperti:

1. Bagi peneliti sendiri diharapkan agar mengetahui lebih dalam tentang norma budaya yang dianut orang Jepang yang berkenaan dengan perawatan pemakaman orang-orang terdahulunya.

2. Bagi mahasiswa dan masyarakat umum, penelitian ini dapat memberi penjelasan dan pengetahuan tentang makam orang Jepang yang ada di Delitua, Medan.

3. Bagi peneliti lain, dapat menjadi referensi jika ingin meneliti lebih dalam tentang makam orang Jepang.


(28)

11 1.6. METODE PENELITIAN

A. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah metode kepustakaan, dokumentasi, observasi langsung, dan wawancara. Menurut Nasution (1996 :14), metode kepustakaan atau Library Research adalah mengumpulkan data dan membaca referensi yang berkaitan dengan topik permasalahan yang dipilih penulis. Kemudian merangkainya menjadi suatu informasi yang mendukung penulisan skripsi ini. Studi kepustakaan merupakan aktivitas yang sangat penting dalam kegiatan penelitian yang dilakukan. Beberapa aspek yang perlu dicari dan diteliti meliputi : masalah, teori, konsep, kesimpulan serta saran. Data dihimpun dari berbagai literatur buku yang berhubungan dengan masalah penelitian. Studi kepustakaan adalah metode yang penting untuk mencari dan menggali lebih dalam studi yang berhubungan dengan penelitian, misalnya: teori-teori, masalah yang ada, konsep-konsep serta penarikan kesimpulan dan saran.

Menurut Sugiyono (2011:329-330) dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan, kriteria, biografi, peraturan, kebijakan. Dokumen yang berbentuk gambar misalnya foto, gambar hidup, sketsa, dan lain-lain. Dokumen yang berbentuk karya misalnya karya seni, yang dapat berupa gambar, patung, film, dan lain-lain. Hasil penelitian dari wawancara atau observasi akan lebih kridibel atau dapat dipercaya kalau didukung oleh sejarah pribadi kehidupan masa kecil, sekolah, di tempat kerja, di masyarakat, dan autobiografi.


(29)

12

Menurut Nazir (2011:175) observasi langsung adalah cara pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut. Peneliti akan mengamati secara langsung realitas dan fenomena yang ada di lapangan. Populasi makam di Delitua berjumlah 35 makam dan keseluruhan makam dijadikan sampel dalam pengamatan yang dilakukan penelitian ini.

Wawancara adalah sebuah proses tanya jawab untuk memperoleh keterangan atau penjelasan untuk tujuan penelitian. Dengan bertatap muka dengan seorang informan sehingga memperoleh data, keterangan atau pandangan untuk kepentingan pengumpulan data. Wawancara juga berguna untuk melengkapi data dari observasi langsung atau pengamatan. Koentjaraningrat dalam Endraswara (2006:168) membagi wawancara ke dalam dua golongan besar, yaitu (1) wawancara berencana atau stpenelitirdized interview dan (2) wawancara tak berencana atau unstpenelitirized interview. Perbedaannya terletak pada perlu atau tidaknya peneliti menyusun daftar pertanyaan yang dipergunakan sebagai pedoman untuk mewawancarai informan. Sedangkan dipandang dari sudut bentuk pertanyaannya wawancara dapat dibedakan antara (1) wawancara tertutup atau closed interview dan (2) wawancara terbuka atau open interview. Perbedaan terletak pada jawaban yang dikehendaki dari informan. Apabila jawaban yang di inginkan terbatas maka wawancara tersebut tertutup. Sedangkan apabila pertanyaan yang dikehendaki tidak terbatas, maka wawancara tersebut terbuka. Penulis menggunakan metode wawancara berncana dan akan membuat daftar pertanyaan sebelum melakukan wawancara kemudian penulis akan menggunakan wawancara terbuka untuk menerima jawaban dari informan dalam penelitian ini.


(30)

13

Wawancara terbuka dilakukan agar data yang di kumpulkan lebih variatif dan beragam.

B. Penentuan Responden

Responden dari kata asal ”respon” atau penanggap, yaitu orang yang menanggapi. Dalam penelitian, responden adalah orang yang diminta memberikan keterangan tentang suatu fakta atau pendapat. Keterangan tersebut dapat disampaikan dalam bentuk tulisan, yaitu ketika mengisi angket, atau lisan, ketika menjawab wawancara. (http://subliyanto.blogspot.com/2010/06/subyek-penelitian-dan-responden.html).

Responden yang penulis pilih dalam melengkapi data penelitian ini adalah pekerja, peziarah dan pengurus pemakaman di Delitua tersebut.

C. Teknik Analisis Data

Dalam tahap analisis data, penulis akan menggunakan pendekatan fenomenologi, pendekatan sejarah atau historical research, seperti yang telah penulis jelaskan pengertiannya di dalam kerangka teori diatas. Penulis juga menggunakan metode deskriptif (studi kasus) kualitatif. Studi kasus menurut Maxfield dalam Nazir (2011:57) adalah penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Subjek penelitian dapat saja individu, kelompok, lembaga, maupun masyarakat. Peneliti ingin mempelajari secara intensif latar belakang serta interaksi lingkungan dari unit-unit sosial yang menjadi subjek. Tujuan studi kasus adalah untuk memberikan gambaran yang mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta


(31)

14

karakter-karakter yang khas dari kasus, ataupun status dari individu, yang kemudian dari sifat-sifat khas di atas akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum.


(32)

15

BAB II

FENOMENA MAKAM ORANG JEPANG YANG ADA DI

DELITUA MEDAN

2.1.LATAR BELAKANG SEJARAH PEMAKAMAN

Saat ini makam orang Jepang di Medan berada di daerah Delitua. Namun sebelumnya makam orang Jepang di Medan berada di dalam kota Medan di Jalan Gatot Subroto. Berikut adalah catatan dokumentasi dari Badan Pengurus Perkuburan Jepang di Medan.

“Sebelumnya makam orang Jepang di Medan berada di Jalan Gatot Subroto yang sekarang dikenal sebagai Plaza Medan Fair. Sebelum perang, perkumpulan orang Jepang yang menetap di Indonesia saat itu membentuk kepanitiaan untuk mengontrol pemeliharaan, sekitar 250 pilar digunakan pada pemakaman tersebut.

Setelah perang dunia ke-2 pada tahun 1945 saat Jepang kalah perang lokasi pemakaman dibiarkan sunyi tidak ada yang mengelola karena seluruh anggota pengurus dan biksu Buddha ditarik kembali ke Jepang pada saat itu.

Pada tahun 1951, setelah perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda, sisa-sisa tentara asli Jepang dan pejabat Konsulat berkumpul, saat itu pemeliharaan makam tidak lagi cukup jika hanya menjadi otoritas panitia kepengurusan makam orang Jepang di Medan. Saat-saat itu adalah saat yang penuh masalah bagi Indonesia, orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal mulai berkumpul disekitar makam, kemudian mereka merusak batu nisan dan membangun rumah di pinggir sungai menggunakan pondasi dari pecahan-pecahan batu nisan dari pemakaman orang Jepang di Medan. Orang-orang Jepang yang pulang ke Jepang mencemaskan batu nisan tersebut, mereka memasang kawat besi disekitar makam namun, dalam satu malam kawat besi tersebut sudah rusak, dalam tahun terakhir hanya sekitar belasan batu nisan yang selamat.

Dengan adanya perencanaan pembangunan di kota Medan membuat konsulat meminta kepada pemerintah kota Medan untuk memindahkan makam orang Jepang keluar. Kemudian dari hasil diskusi Konsul Jendral dengan pemerintah kota Medan, pemerintah kota menawarkan daerah Delitua yang menjadi lokasi pemakaman saat ini sebagai situs alternatif. Hari perpindahan makam resmi jatuh pada 22 September 1973, dilaksanakan upacara perpindahan


(33)

16

dengan kepercayaan Buddha yang dihadiri oleh Bapak Inoue dari kuil Nishihon dari Jepang dan warga Jepang.

Perlu dicatat bahwa saat ini biaya konstruksi makam orang Jepang dibiayai oleh sumbangan relawan perusahaan Jepang di Medan. Terdapat 25 monumen prajurit di dalam pemakaman saat ini, sekitar tahun 1947, setelah perang besar 25 komandan militer dan 25 orang lainnya di eksekusi. Monumen ini dibangun untuk menghibur arwah mereka, monumen ini juga merupakan monumen untuk mengenang sisa tentara Jepang yang terluka yang turut serta dalam perang kemerdekaan Indonesia.

Pada waktu itu di Medan juga kedatangan dengan yang disebut karayuki-san. Mereka meninggalkan barang-barang seperti: shamisen, botol kosmetik dan lain-lain. Perempuan Jepang yang meninggal pada zaman Meiji sampai tahap awal Showa berasal dari prefektur Kumamoto (Amakusa), Nagasaki, dan berbagai tempat lainnya di Jepang.

Demi perang kemerdekaan Indonesia, orang-orang yang bekerja jauh dari rumah, dan orang-orang yang meninggal, bersama dengan doa kebahagiaan di akhirat untuk orang-orang yang datang ke tempat ini yang menjadi tanah di tanah asing, mulai sekarang merupakan tanggung jawab kami untuk benar-benar memelihara Pemakaman Orang Jepang di Medan”.

Kemudian menurut Sari (2006:48) makam orang Jepang ini merupakan makam perpindahan dari berbagai tempat di provinsi Sumatera Utara maupun diluar provinsi Sumatera Utara. Kota dan daerah asal para jenazah tersebut antara lain: Tebing Tinggi, Binjai, Tanjung Tiran Batu Bara Kabupaten Asahan, Kisaran, Tanjung Balai, Stabat, Siantar, Prapat, Kabanjahe, Kabanjahe-Tigapana, Sawalunto, Medan, Pangkalan Brandan, Rantau Prapat, Aceh Mulabo, Aceh Langsa, Kuala Simpang, Aceh-Arakundoe, dan Jakarta.

2.2. MAKAM ORANG JEPANG DI DELITUA 2.2.1. JUMLAH

Menurut catatan dokumentasi Badan Pengurus Perkuburan Jepang di Medan, sebelum di pindahkan ke Delitua, terdapat 250 pilar (nisan) yang digunakan pada Makam Orang Jepang di Medan. Pada saat itu makam masih berada di dalam kota


(34)

17

Medan, tepatnya di jalan Gatot Subroto yang sekarang dikenal dengan Medan Fair.Terdapat 25 monumen prajurit yang menjadi monumen untuk mengenang 25 komandan perang dan 24 orang yang di eksekusi pada tahun 1947, dan juga sisa tentara Jepang yang terluka pada saat perang kemerdekaan Indonesia. Namun, pada pada tahun 1951 setelah perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda, banyak batu nisan yang dicuri oleh penduduk Indonesia sehingga hanya tinggal belasan batu nisan yang tersisa.

Menurut Sari (2206:48) pada makam orang Jepang di Delitua, Medan terdapat 35 makam orang Jepang dengan berbagai macam bentuk dan 305 buah guci abu jenazah yang dilektakkan di dalam rak (tempat penyimpanan abu) yang terdapat di dalam sebuah ruangan.

2.2.2. BENTUK

Menurut Mulines dalam Sari (2006:9), yang dimaksud dengan makam tradisional Jepang adalah:

1. Makam yang bersifat agama rakyat. 2. Makam yang bersifat Shinto.

3. Makam yang bersifat berbagai macam aliran agama Buddha.

4. Seluruh makam yang bersifat konfuisme dan pandangan nilai yang mempengaruhinya.

Ciri khas makam tradisional Jepang, antara lain: 1. Terdapat Kamon pada batu nisan (cap nama). 2. Terdapat Koro (tempat dupa).


(35)

18

Bentuk makam tradisional Jepang, antara lain: 1). Berbentuk persegi empat.

2). Berbentuk tiang. 3). Berbentuk batu alam.

Menurut Fujii dalam Iwayumi (2001:4) di Jepang ada berbagai macam bentuk dari batu nisan, yaitu:

1. Tipe Jepang :

• Bentuk batu nisan persegi • Bentuk batu penyangga persegi

Bentuk Ihai (catatan di kamar mayat Budhis) • Bentuk batu nisan papan kayu

• Bentuk buah catur (kuda) • Bentuk pilar/penyangga bulat 2. Tipe Eropa

3. Tipe menara 4. Tipe batu alam

5. Tipe patung batu Budha 6. Tipe makam bulat diatas bukit

7. Tipe makam dengan batu nisan/monumen peringatan

Menurut Niwa dalam Iwayumi (2001:4) bentuk-bentuk batu nisan yaitu: 1. Tipe Jepang:

• Tipe persegi ( 角碑型 )

• Tipe lima lingkaran ( 五輪型 ) • Bentuk kapal/model perahu ( 船型 )


(36)

19

• Bentuk menara permata ( 宝塔型 )

• Bentuk dewa pelindung anak dalam agama Budha ( 地蔵型 ) 2. Tipe Eropa:

• Bentuk salib ( 十学型 )

• Bentuk pola petak-petak persegi/lantai batu ( 石畳型 ) • Tipe gerbang berbentuk busur ( ア―チ型 )

• Bentuk orang/ 人物型

• Bentuk yang lain (bentuk papan dam Jepang)

Menurut Iwayumi (2001:4) ada 5 macam bentuk batu nisan, yaitu: 1. Tipe Jepang

Karena zaman sekarang bentuk batu nisan dapat dilihat, jadi dapat dipikirkan tipe yang paling khas/ ideal. Kebanyakan mengambil konstruksi 3 tingkat yang rendah dan memasang batu epipedum tegak lurus panjang diatas dua baris alas yang terbuat dari batu yang disebut dengan, “batu perahu”.

2. Tipe Eropa

Karena bentuknya yang sudah berkembang maka banyak terdapat kuburan yang dibuat seperti taman di daerah sekitar kota.

3. Bentuk Perubahan Tipe Jepang

Tidak lagi menggunakan batu perahu epipedum yang tegak lurus seperti tipe Jepang, contohnya batu alam yang panjang/tinggi, atau mengutangi bagian alas depannya.


(37)

20 4. Menara Lima Lingkaran

Menggunakan lima menara lingkaran sebagai batu nisan 5. Bentuk bulat, bentuk piramid, dan lain sebagainya.

Pada makam orang Jepang di Delitua, Medan terdapat sebuah ruangan di dalam pemakamaan. Menurut Sari (2006:48) ada sebuah ruangan di dalam area pemakaman tersebut yang digunakan para peziarah untuk menyembah roh leluhurnya atau roh keluarganya dengan memberikan doa dan sesajen (kuyo). Di dalam ruangan tersebut juga kamidana atau butsudan yang dilektakkan di tengah-tengah rak abu jenazah dan diantara kedua sisinya diletakkan ihai.

Menurut Sari (2006:49) makam orang Jepang di Delitua, Medan bukan makam keluarga karena tidak terdapat kamei, kamon, koro dan geika. Kemudian di dalam pemakaman ini masih terdapat ciri makam tradisional Jepang, yaitu:

1. Berbentuk persegi empat 2. Berbentuk patung Budha 3. Berbentuk batu alam 4. Berbentuk menara

Di samping itu ada juga yang menggunakan bentuk kolaborasi yaitu antara tipe Jepang dengan tipe Eropa, yang berbentuk persegi empat dengan batu keramik.

2.2.3. ORANG YANG DIKUBURKAN

Orang yang dikuburkan pada makam orang Jepang di Delitua, Medan kebanyakan adalah pahlawan yang turut serta dalam perang kemederkaan Indonesia melawan Belanda. Menurut catatan dokumentasi dari Badan pengurus


(38)

21

perkuburan Jepang di Medan, diantaranya terdapat 74 pejuang yang terdiri dari 25 prajurit yang gugur dalam perang kemerdekaan Indonesia, kemudian 25 orang komandan perang yang berpangkat sersan dan mayor, dan 24 pejuang yang dieksekusi, namun ada juga beberapa warga sipil yang juga di kuburkan pada pemakaman tersebut.

Menurut Sari (2006:51) makam pada gambar 1 merupakan makam pindahan dari Binjai pada tanggal 3 Maret 1999. Di dalam makam terdapat 20 tulang belulang Jenazah. Makam pada gambar 7 merupakan makam dari para pejuang yang tewas dalam perang. Di dalamnya terdapat 25 pejuang laki-laki.

Menurut Sari (2006:50-51) makam pada gambar 3.1 merupakan makam dua orang pahlawan Jepang yang meninggal pada waktu perang. Data para pahlawan tersebut tertulis pada batu nisannya:

1. Makino Kenji, asal Toyama Ken (Toyama Shi Jepang). Alamat tidak diketahui, mantan Sersan Mayor Dai Nippon Teikoku Kaigun (angkatan laut kerajaan Jepang) pada tahun Meiji ke-37 (1904). Meninggal pada tahun 1939 di Tanjung Tiram Batu Bara Kabupaten Asahan dan dimakamkan di perkuburan Kristen di desa Simpang Tiga Labuhan Ruku. Pecah perang antara Jepang dan Rusia, Almarhum Sersan Makino Kenji direkrut turun dalam perang melawan angkatan laut Rusia.

2. Thurrumi Hasan, asal Jepang, turut dalam perang kemerdekaan Republik Indonesia. Pangkat Sersan Mayor Tentara Unit Persenjataan pada tanggal 29 Juli 1947. Terkubur bersama senjatanya di Sei Ular melawan Belanda, terkena serangan udara Belanda.


(39)

22 2.2.4. PERAWATAN

Menurut Iwayumi dalam Sari (2006:37-41) jenis-jenis kuburan atau pemakaman di Jepang terbagi atas:

1. Pemakaman umum ( 公営墓地 こうえいぼち

), terdiri dari:

1). Pemakaman yang dikelola publik ( 公営墓地 ). 2). Pemakaman kampung( 部落有墓地

ぶ ら く よぼ ち ). 2. Pemakaman pribadi ( 私有墓地

し ゆうぼ ち

), terdiri dari:

1). Pemakaman pribadi yang berbadan hukum, dibagi atas:

a. Pemakaman yang dikelola oleh lembaga agama, dibagi atas: • Pemakaman oleh Jiin ( Otera, Jinja ).

• Pemakaman yang dikelola oleh badan hukum agama. b. Pemakaman yang diperuntukkan untuk umum, dibagi

menjadi 2 bagian, yaitu:

• Pemakaman yang dikelola oleh yayasan

( 財団法人営墓地

ざ い だ ん ほ う じ ん え い ぼ ち ).

• Pemakaman yang dikelola oleh perusahaan

( 社団法人営墓地

し ゃ だ ん ほ う じ ん え い ぼ ち ).

c. Pemakaman yang dikelola oleh perusahaan

( 営利法人営墓地

えいりほうじんえいぼち ).

2). Pemakaman pribadi yang tidak berbadan hukum

( 個人有墓地

こじんゆうぼち ).


(40)

23 1. Pemakaman umum ( 公営墓地

こうえいぼち )

Pemakaman umum merupakan salah satu pemakaman masyarakat Jepang yang dikelola oleh negara. Pemakaman ini terbagi atas 2 pihak pengelola, yaitu:

1). Pemakaman yang dikelola publik ( 公営墓地 )

Pemakaman ini/Koeibochi merupakan pememkaman umum masyarakat Jepang yang dikelola oleh negara. Hal ini sesuai dengan konsep pemikiran masyarakat jepang dengan sistem Ie dalam kelembagaannya. Bahwa negara adalah sebuah keluarga dimana rumah tangga adalah unit terkecil sedangkan negara adalah unit keluarga terbesar.

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka pengelolaan makam orang Jepang yang berada diluar negara Jepang juga merupakan tanggung jawab pemerintah Jepang. Dalam hal ini pengelolaan dilakukan oleh para duta Jepang pada setiap negara. Contohnya adalah makam orang Jepang di Delitua, Medan yang dikelola oleh Badan Pengurus Perkuburan Jepang di Medan yang terdiri dari tiga lembaga yaitu: Konsulat Jendral Jepang di Medan, Medan Japan Club, dan Yayasan Warga Persahabatan Cabang Medan.

2). Pemakaman kampung( 部落有墓地 ぶ ら く よぼ ち

Pemakaman Kampung/Burakuyobochi adalah pemakaman masyarakat Jepang yang dikelola oleh pemerintah wilayah pada suatu daerah atau desa. Pada masyarakaat Jepang terdapat pemikiran negara


(41)

24

sebagai sebuah keluarga. Pada masa feodal pengertian keluarga adalah satu keluarga dalam ruang lingkup satu wilayah. Di daerah kepala keluarganya adalah Daimyo dan seluruh anak buahnya adalah anggota keluarga. Makam ini dikelola oleh badan pengurus perkuburan yang ada pada setiap kantor pemerintahan wilayah masing-masing daerah.

2. Pemakaman pribadi ( 私有墓地 し ゆうぼ ち

Pemakaman pribadi/Shiyuubochi dibagi atas dua bagian:

1). Pemakaman pribadi yang berbadan hukum ( 法人営墓地 ほ う じ ん え い ぼ ち

)

Pemakaman ini disebut Houjineibochi, merupakan salah satu jenis pemakaman masyarakat Jepang yang dibangun dan dikelola oleh suatu lembaga yang berbadan hukum atau perusahaan yang khusus menangani masalah pengurusan mayat dan makam. Makam ini dibagi lagi menjadi tiga bagian:

a. Pemakaman yang dikelola oleh lembaga agama

( 宗教法人営墓地

しゅうきょうほうじんえいぼち ) Pemakaman ini terdiri dari:

Pemakaman yang dikelola oleh Jiin (Otera, Jinja) Pemakaman ini disebut Jiin Bochi karena pemakaman orang Jepang ini dikelola oleh orang-orang yang bekerja dalam organisasi keagamaan, baik kuil Shinto (Jinja)maupun kuil Budha (Otera). Peraturan yang atau undang-undang yang digunakan dalam sistem


(42)

25

makam kuil ini adalah peraturan yang dibuat oleh keluarga yang mendukung sekte atau golongan keagamaan.

• Pemakaman yang dikelola oleh badan hukum keagamaan

Pemakaman ini adalah pemakaman yang dikelola oleh organisasi keagamaan yang berbadan hukum yang menerima konsumen tanpa membedakan agama atau kepercayaan konsumen serta pemakai makam.

b. Pemakaman yang diperuntukkan untuk umum

( 公益法人営墓地

こ う え き ほ う じ ん え い ぼ ち )

Kouekihoujinei Bochi yaitu makam orang Jepang yang dikelola oleh lembaga kesejahteraan umum yang berbadan hukum dan menerima konsumen tanpa membedakan agama dari para konsumen tersebut. Pengelola makam ini adalah berupa yayasan kemasyarakatan dan organisasi daerah yang terdapat di setiap daerah yang disebut dengan Badan Hukum Kemasyarakatan Umum. Lembaga ini mengelola makam, bukan untuk mencari keuntungan.

Jaminan kesinambungan makam akan tetap terjaga sebab pengelolaan makam tidak bertujuan untuk mendatangkan keuntungan lebih. Pengelolaan makam tersebut diatur dalam undang-undang pemakaman (Bomaiho) pasal ke-10 bahwa pihak yang mengelola pembakaran mayat dan yang membuat


(43)

26

tempat penyimpanan abu (Nokotsu) harus menerima izin dari gubernur daerah. Pemakaman ini dibagi lagi menjadi dua bagian:

• Pemakaman yang dikelola oleh yayasan

( 財団法人営墓地

ざ い だ ん ほ う じ ん え い ぼ ち )

Zaidanhoujinei Bochi yaitu makam yang dikelola oleh suatu badan hukum yang berupa yayasan atau kelompok yang fungsional.

• Pemakaman yang dikelola oleh perusahaan

( 営利法人営墓地

えいりほうじんえいぼち )

Makam ini merupakan makam yang dikelola oleh perusahaan. Perusahaan di Jepang juga mempunyai konsep pemikiran tentang sistem Ie, bahwa perusahaan adalah sebuah keluarga (Ie). Para pegawai merupakan anggota keluarga dan yang menjadi kepala keluarga adalah pemimpin. Perusahaan Jepang membuat makam bagi para pegawainya yang telah meninggal dan membuat altar Budha dan Shinto untuk memuja para leluhurnya di dalam perusahaan tersebut.

2.2.5. ACARA PEMUJAAN

Dalam pandangan Jepang, kematian adalah kekotoran, roh orang yang baru meninggal dianggap labil dan berbahaya. Menurut Situmorang (2011:48) dalam


(44)

27

pandangan Jepang kekotoran dibagi atas 2 macam yaitu, akafuju/ 赤 不 浄 dan

kurofuju/ 黒 不 浄.Akafuju adalah darah dan kurofuju adalah kematian, oleh

karena itu diperlukan acara-acara pemujaan dan doa-doa untuk penyucian. Seluruh acara pemujaan dilakukan untuk menyucikan roh tersebut hingga menjadi dewa/Kami. Menurut Morioka dalam Situmorang (2011:46) roh yang tidak ada penyembahnya disebut muenrei/無 縁 霊, maka roh tersebut dipercaya akan menjadi yurei /幽 霊(hantu), atau disebut juga gaki dalam agama Budha. Penyembahan leluhur ini dikatakan sebagai inti dari agama Ie.

Kemudian menurut Fujii dalam Situmorang (2013:43) pemujaan leluhur pada umumnya adalah pemujaan orang mati (cult of the dead), adalah pemujaan akan bentuk kepercayaan yang berpusat pada penyembahan yang bertujuan untuk menyenangkan roh, dan membersihkan roh orang mati dari kekotoran setelah berpisah dari raga supaya roh tersebut menjadi suci dan tenang.

Setelah upacara kematian, menurut Situmorang (2011:50) orang Jepang kemudian melakukan acara pemujaan/pemberian kuyo pada hari ke-7, hari ke-49, hari ke-100, acara 1 tahun (isshuki), 3 tahun (sankaiki), 7 tahun (nanakaiki), 13 tahun (juusankaiki), 17 tahun (juunanakaiki), 23 tahun (nijuusankaiki), hinnga 33 tahun (sanjuusankaiki) (dalam konsep Budha) atau 49 tahun (konsep Shinto). Hingga acara ke-33 tahun atau 49 tahun roh leluhur sudah dianggap menjadi dewa/kami.

Menurut Tsuboi dalam Situmorang (2011:51) jumlah seluruh upacara menjadi seibutsu (proses menjadi hotoke/dewa) sama jumlahnya dengan jumlah acara proses pendewasaan atau dari lahir hingga menikah. Kemudian roh tersebut diembah hingga tomurai age (mencapai 33 tahun).


(45)

28

Ada pula suatu ritual yang berhubungan dengan pemujaan leluhur yang ditujukan kepada satu kelompok arwah dari suatu Ie, ritual ini disebut dengan mai-asa atau mai-ban. Yaitu penyajian sesajen berupa makanan di pagi hari atau di malam hari yang diiringi dengan pembakaran hio (dupa) atau peletakkan bunga di butsudan atau kamidana dirumah, kegiatan ini biasanya dilakukan oleh para ibu.

a. Hoji

Upacara yang dilaksanakan setelah upacara kematian dalam agama Budha adalah hoji( 法 寺 ) atauhoyo ( 法 要 ). Menurut Oota dalam Saraswati (2003:45-46) tujuan dari upacara ini adalah suizen (melakukan persembahan untuk mendoakan arwah orang yang meninggal), keiga (mendoakan kebahagiaan arwah orang yang meninggal), kigan (memohon doa pada dewa dan sang Budha), serta hoon (membalas budi). Tetapi pada umumnya, pengadaan hoji atau hoyo adalah untuk melakukan persembahan serta menghibur serta mendoakan arwah orang yang meninggal.

Pada saat ini seluruh kerabat dan keluarga orang yang meninggal berkumpul di depan altar dimana ihai dan kotsutsubo (tempat abu orang yang meninggal) diletakkan. Pendeta akan dipanggil untuk membacakan sutra kemudian dupa dinyalakan dan hidangan disajikan untuk para tamu yang datang. Menurut Danandjaja (1997:351) Kadang-kadang hoji dilakukan pada hari ke100 (hyakkanichi) dan untuk jangka waktu tertentu akan dilakukan sho-tsuki-menichi yaitu hoji yangdilaksanakan setiap tahun tepat pada tanggal kematian, mei-tsuki-menichi yaitu hoji yang dilakukan setiap bulan dan nenki yaitu hoji yang dilakukan secara periodik.


(46)

29 b. Tomurai Age

Menurut Situmorang (2011:41) Tomurai Age adalah acara memindahkan ihai dari kamidana dirumah, dipindahkan ke gunung atau dibakar. Hal ini dilakukan karena sosen (leluhur) tersebut sudah 49 tahun disembah dirumah. Oleh karena itu dianggap sudah menjadi dewa (sosendadai atau okusama).

MenurutKodansha Encyclopedia of Japan dalam Dewanti (1996:32) Tomurai Age adalah peringatan ke-33 tahun (konsep Budha) atau ke-50 tahun (konsep Shinto) yang merupakan upacara peringatan kematian terakhir. Orang Jepang beranggapan bahwa pada saat itu orang yang meninggal akan bergabung bersama para leluhur yang lain, ihai orang yang meninggal dibakar, dibuang ke laut atau disimpan dikuil sambil mengatakan ”Hotoke wa kami ni nari...” yang berarti arwah akan menjadi dewa.

c. Higan

Menurut Kyousuke (1997:1167) Higan adalah:

春分・秋分の日を中日とし、前後各三日を合わせた七日間。 Shunbun to Shuubun no hi wo chuunichi toshi, zengo kakumikka wo awaseta nanokakan

Yang artinya:

Hari ekuinoks dalam 7 hari yang disesuaikan masing-masing 3 hari sebelum dan 3 hari sesudah.

Maksudnya adalah higan adalah waktu dimana hari ekuinoks musim semi (shunbun no hi) dan musim gugur (shuubun no hi) yang disesuaikan dalam 3 hari sebelum dan 3 hari sesudahnya dalam 7 hari. Menurut KBBI (kbbi.web.id/ekuinoks) ekuinoks adalah saat matahari melintasi ekuator sehingga


(47)

30

siang dan malam bagi tempat-tempat di lintang 0˚ sama panjang; saat busur siang dan busur malam matahari sama panjang bagi semua tempat di bumi, diperkirakan pada tanggal 21 maret dan 23 september.

Menurut Situmorang (2011:41) higan adalah upacara yang dilakukan pada tgl 17 Maret dan 17 September. Adalah hari dimana panjang siang dan malam sama.

Menurut Kodansha Encyclopedia of Japan dalam Dewanti (1996:35) upacara higan ini dimaksudkan untuk menolong arwah melewati dunia yang penuh kekacauan ini menuju dunia pencerahan.

Pada saat higan inilah dimana keluarga pergi berziarah ke makam untuk membersihkan makam dan juga mengadakan upacara dengan mengundang pendeta Budha untuk membacakan sutra di depan butsudan, hidangan makanan dan sake juga disediakan di depan butsudan. Ada kue yang terbuat dari kacang merah yang bernama o-hagi yang khusus disiapkan pada saat itu, sebagian dihidangkan kepada para leluhur dan sebagian lagi untuk dimakan pada saat makan malam.

d. Segaki

Menurut Kyousuke (1997:764) Segaki adalah:

(仏教で)餓鬼道に堕らた死者や無録の死者のためにする供 養。

(Bukkyou de) gakimichidou ni orata shisha ya muroku no shisha no tame ni suru kuyo.

Yang artinya:

(Dalam ajaran Budha) persembahan untuk orang meninggal yang tidak dikenali dan oeang meninggal yang menjadi hantu gentayangan.


(48)

31

Upacara ini ditujukan kepada roh gentayangan (muen-botoke) yang dianggap membahayakan manusia. Menurut Smith dalam Dewanti (1996:36-37) ada kepercayaan bahwa saat pendeta membacakan kitab sutra, para muen-botoke berkumpul mengelilingi altar dan pada saat upacara dilakukan secara resmi nyorai harus diletakkan diatas altar bersamaan dengan ihai yang bertuliskan nama untuk beribu-ribu roh dari tiga dunia, upacara ini biasanya dilakukan pada malam hari tanpa lampu atau musik, dan kitab sutra dibacakan pendeta dengan suara yang rendah agar tidak mengganggu muen-botoke. Upacara segaki dilakukan antara tanggal 1-15 Juli dan juga menjadi bagian dari upacara obon, namun dapat juga dilakukan pada saat peringatan terjadinya kecelakaan ataupun bencana alam.

e. Upacara pada saat Shogatsu

Takeda dalam Dewanti (1996:32) mengemukakan bahwa pada saat obon atau shogatsu atau tahun baru merupakan saat dimana keluarga-keluarga Jepang menyambut arwah para leluhur yang pulang ke Ie mereka masing-masing. Daun pinus pada saat shogatsu dan bunga-bunga pegunungan yang ditata pada saat obon di rumah-rumah mereka adalah tanda bahwa arwah leluhur turun dari gunung dan tinggal bersama keturunannya di rumah mereka. Shogatsu adalah perayaan tahun baru yang dilaksanakan pada tanggal 1-13 Januari yang ditandai dengan berkumpulnya seluruh anggota keluarga, mengunjungi kuil Budha atau Shinto dan mengunjungi sanak saudara atau kerabat.

Jepang Dewasa Ini (1998: 116) mengatakan bahwa pada saat shogatsu keluarga-keluarga Jepang mengucapkan selamat datang kepada arwah leluhur yang berkunjung kerumahnya. Para leluhur dihibur dengan doa-doa dan sesajen


(49)

32

yang diletakkan di altar keluarga sampai mereka kembali pada akhir perayaan. Upacara shogatsu ini dilakukan dengan tujuan untuk menyambut Toshigami atau dewa tahun baru. Rumah-rumah dibersihkan, dihiasi dengan tali yang terbuat dari jerami padi yang dipasang sebagai garis perbatasan antara kawasan suci dengan kawasan duniawi atau disebut dengan Shimenawa yang dipasang di depan pintu rumah sebagai tanda bahwa rumah tersebut adalah tempat tinggal dewa dan untuk mencegah roh-roh jahat masuk ke dalam rumah.

Di depan pintu gerbang diletakkan kadomatsu, yaitu rangkaian dari tiga ranting daun cemara di bambu, yang melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan di tahun yang akan datang. Di dalam The Kodansha Bilingual Encyclopedia of Japan (2003:530) dikatakan bahwa ketika shogatsu, terdapat altar khusus yang disebut toshidana. Toshidana ini digunakan untuk menaruh berbagai persembahan yang ditujukan kepada kami atau dewa. Benda-benda yang dijadikan persembahan tersebut diantaranya adalah ranting tumbuhan sakaki, kagamimochi (dua buah mochi yang berbentuk bundar pipih seperti cermin yang diletakkan dengan cara bertumpuk dengan bagian yang lebih kecil diatas dan yang lebih besar dibawah), dan sake. Ada juga sebagian orang yang menggunakan kamidana (altar Shinto) sebagai toshidana.

f. Obon

Menurut Oota dalam Saraswati (2003:50-51) Urabon-e (盂 蘭 盆 会) atau disebut juga dengan Obon(お 盆) secara umum dipahami sebagai upacara atau seremoni untuk mendoakan arwah leluhur. Urabon sendiri mempunyai pengertian yaitu:


(50)

33

盂蘭盆会とは、地獄や餓鬼道に落ちて、さかさづりに苦しん

でる霊を救うという意味で、そのために供義を営むのが盂蘭

盆などです。 Terjemahan bebasnya:

Arti dari urabon adalah menolong roh yang menderita yang terjatuh di alam gaki dan neraka, dan untuk itu upacara persembahan yang dilakukan adalah urabon-e

Dalam Bukyo Minzoku Jiten ( 1986:51 ) dijelaskan bahwa kata bon ( 盆 ) atau obon (お盆 ) merupakan kependekan dari urabon yang berasal dari bahasa Sansekerta ullambana, yang mempunyai arti menggantung secara terbalik. Kataullambanaitusendiriberasaldari avalambana yang berarti menggantung, yang mencerminkan kehidupan manusia di alam baka yang sengsara. Istilah ini yang kemudian di dalam bahasa dan tradisi Jepang lebih dikenal dengan obon.

Upacara obon ini diadakan setiap tahunnya pada bulan Juli pada tanggal 13 sampai dengan 16 Juli. Dalam upacara obon, arwah-arwah orang yang meninggal dan para leluhur dikatakan akan kembali pulang kerumah keluarganya dan untuk menyambut kedatangan roh-roh tersebut disediakan api yang menyala. Pada malam hari ke-13, api dinyalakan di depan pintu gerbang. Arti dari api tersebut adalah untuk membimbing para roh agar tidak tersesat sampai dirumah keluarganya. Penyalaan api pada malam ke-13 itu disebut juga dengan mukae bon. Pada saat 13 di pagi hari juga dibuat bon dana ( 盆棚 ) atau meja persembahan yang dibuat untuk menyambut para leluhur. Bon dana tersebut adalah papan meja berbentuk segi empat yang diisi dengan ihai para leluhur. Kemudian di depan ihai diletakkan terong atau timun yang dibentuk menyerupai kuda atau sapi yang


(51)

34

dianggap sebagai kendaraan bagi roh para leluhur untuk datang dan pergi ke rumah keluarganya. Benda-benda lain yang diletakkan di bon danaatau shoryoudana adalah berupa dupa, air suci, bunga, buah-buahan, sayur-sayuran, dan makanan kesukaan almarhum semasa hidup. Bon dana kemudian diletakkan di depan pintu rumah, di taman atau diletakkan di butsudan. Peletakan bon dana tersebut disesuaikan dengan kebiasaan masing-masing daerah di Jepang.

Pada hari ke-14 dan ke-15, arwah-arwah orang yang meninggal tersebut akan menetap di rumah keluarganya hingga malam hari ke-16 arwah-arwah tersebut akan kembali ke alamnya. Sama halnya dengan pada saat mukae bon, pada tanggal 16 keluarga dari arwah-arwah tersebut juga akan menyalakan api/obor untuk menerangi jalan yang akan dilewati oleh para roh tersebut sekaligus mengantarkannya pulang kembali ke alamnya. Penyalaan api/obor pada hari ke-16 ini disebut juga dengan okuri bon.


(52)

35

BAB III

PEMELIHARAAN MAKAM ORANG JEPANG DI DELITUA

MEDAN

Makam orang Jepang di Delitua, Medan sebelumnya berada di dalam kota Medan di Jalan Gatot Subroto yang sekarang dikenal dengan Medan Fair. Makam orang Jepang di Delitua, Medan dikelilingi oleh pagar tembok yang memisahkan makam tersebut dengan komplek pemakaman orang Cina. Dari pintu masuk terdapat jalan dari bata blok yang mengarah langsung ke sebuah ruangan. Ruangan tersebut digunakan oleh para peziarah sebagai tempat pemberian kuyo atau persembahan. Di dalam ruangan tersebut terdapat sebuah kamidana atau butsudan yang diletakkan ditengah-tengah rak guci abu dan diatasnya diletakkan ihai atau papan yang bertuliskan nama dan tanggal kematian dari orang yang sudah meninggal. Kemudian ada juga dua buah papan yang berisi nama-nama dari orang-orang yang dikuburkan pada pemakaman ini atau yang abunya berada di dalam salah satu guci abu yang di simpan di dalam rak penyimpanan, papan tersebut terletak di sisi kiri ruangan. Di sebelah ruangan tersebut terdapat bangunan kecil yang digunakan untuk pekerja.

Dari hasil pengamatan (observasi) langsung makam pada Pemakaman Orang Jepang di Delitua, Medan berjumlah 33 makam dan terdapat 319 buah guci abu. Di dalam guci abu, tidak semuanya berisi abu dari jenazah yang dimakamkan, tetapi ada juga yang isinya adalah barang-barang yang menjadi simbolis atau tanda pengenal dari jenazah seperti cincin, kalung, pakaian dan sebagainya. Barang-barang tersebut sudah ada di pemakaman sebelum di pindahkan, nama


(53)

36

dari pemilik barang-barang tersebut juga tertera pada papan yang berada di dalam ruangan persembahan. Dari hasil wawancara dengan Perwakilan dari Badan Pengurus Perkuburan Jepang di Medan Ibu Khadijah Umeda mengatakan “kemungkinan pada saat pertama kali dikuburkan, orang tersebut tidak ditemukan jenazahnya atau hanya tanda pengenalnya saja yang ditemukan maka barang tersebut yang dikuburkan untuk dijadikan simbol”.

Bentuk dari makam pada makam orang Jepang di Delitua umumnya memiliki bentuk yang dipengaruhi oleh kepercayaan Shinto dan Buddha. Dari 33 makam diantaranya 3 makam memiliki batu nisan berbentuk batu alam, 5 makam memiliki batu nisan berbentuk patung Buddha, 3 makam memiliki batu nisan berbentuk tiang, 19 makam memiliki batu nisan berbentuk persegi empat, dan 3 makam berbentuk kolaborasi tipe Jepang dan tipe Eropa, yaitu berbentuk persegi empat dengan batu keramik. Dalam pemakaman ini, tidak terdapat kamei (nama keluarga), kamon (lambang keluarga), namun masih terdapat koro (tempat dupa) dan juga geika (tempat bunga).

Perawatan makam orang Jepang di Delitua, Medan saat ini hanya dilaksanakan oleh perkumpulan Badan Pengurus Perkuburan Jepang di Medan terdiri dari anggota tiga lembaga yaitu: Konsulat Jendral Jepang di Medan, Medan Japan Club, dan Yayasan Warga Persahabatan Cabang Medan. Usaha-usaha perawatan yang dilakukan adalah membayar seseorang untuk menjaga pemakaman tersebut agar tetap bersih, kemudian menjaga agar jika ada orang Jepang yang datang ke pemakaman tersebut tetap bisa berziarah. Kemudian biaya untuk perawatan makam diperoleh dari donasi para anggota perkumpulan. Setiap berkumpul para anggota mengadakan donasi untuk pembangunan, pemeliharaan


(54)

37

seperti mengganti barang-barang yang rusak, untuk membeli sesajen dan keperluan untuk berziarah, kemudian biaya untuk menggaji pekerja di pemakaman per bulannya. Pada saat pembangunan selain dari donasi juga ada bantuan dari pemerintah Jepang.

3.1.PEKERJA

Badan Pengurus Perkuburan Jepang di Medan menggaji seseorang untuk mengontrol kebersihan, merawat, dan menjaga makam orang Jepang di Delitua, Medan setiap harinya, kemudian juga bertujuan agar ada seseorang yang memandu turis/orang Jepang yang datang ke makam untuk berziarah. Dari hasil wawancara dengan Perwakilan dari Panitia Badan Pengurus Perkuburan Jepang di Medan Ibu Khadijah Umeda mengatakan “sebagai usaha dalam merawat Pemakaman Orang Jepang di Medan, kami menempatkan seseorang untuk menetap di lokasi makam agar dapat mengontrol, menjaga kebersihan, dan terus mengawasi keadaan makam”.

Ibu Khadijah Umeda juga mengatakan “dengan adanya seseorang di makam tersebut selain untuk menjaga makam tersebut, kami mengharapkan agar jika ada orang Jepang yang datang ke makam tersebut secara tiba-tiba bisa tetap berziarah”.

Seorang pekerja yang disiapkan untuk menjaga agar pemakaman tetap bersih dan terawat oleh pemerintah Jepang tersebut bernama Siti Aisyah berusia 70 tahun. Beliau bekerja di pemakaman ini sudah sejak pemakaman ini dibangun di Delitua, yaitu tahun 1972.

Dari hasil wawancara dengan pekerja di makam orang Jepang di Delitua, Medan yaitu Ibu Siti Aisyah, penulis menyimpulkan bahwa kegiatan merawat


(55)

38

yang dilakukan setiap harinya adalah membersihkan pemakaman seperti menyapu, memotong rumput dan kegiatan bersih-bersih lainnya. Pada saat acara berziarah beliau hanya menjaga kebersihan seluruh area pemakaman. Kemudian membuka rak guci abu, menyiapkan altar persembahan (kamidana atau butsudan) seperti meletakkan ihai di atas altar dan menyiapkan tempat dupa (koro) sebelum acara dimulai dan merapikan kembali semua barang-barang terebut setelah acara selesai. Beliau tidak bertanggung jawab untuk memberikan sesajen atau persembahan (kuyo) seperti makanan dan menyalakan dupa di pagi hari atau malam hari seperti yang di lakukan oleh seorang ibu di dalam sebuah keluarga Ie setiap harinya. Apabila ada barang yang rusak, maka beliau pergi melapor ke Panitia Kepengurusan Makam orang Jepang di Medan yang bertempat di Kantor Konsulat Jendral Jepang di Medan. Kemudian setiap bulannya beliau mengambil upah atau gaji di Kantor Konsulat Jendral Jepang di Medan.

Pada saat makam orang Jepang dipindahkan ke Delitua, pemerintah Jepang melakukan ritual pemakaman dengan memanggil pendeta agama Buddha. Menurut Ibu Khadijah Umeda, pada saat pemakaman selesai dibangun merupakan masa dimana Badan Pengurus Perkuburan Jepang di Medan masih terdiri dari generasi keturunan pertama. Pada saat itu mereka melakukan ritual pemujaan dalam agama Budha. Dalam ritual tersebut panitia tidak memanggil biksu dari Jepang melainkan memanggil biksu dari Indonesia.

3.2.BIAYA

Menurut Iwayumi (2001:2) Jenis-jenis kuburan atau pemakaman di Jepang: 1. Pemakaman umum ( 公営墓地

こうえいぼち


(56)

39

1). Pemakaman yang dikelola publik ( 公営墓地 ). 2). Pemakaman kampung( 部落有墓地

ぶ ら く よぼ ち ).

2. Pemakaman pribadi ( 私有墓地 し ゆうぼ ち

), terdiri dari:

1). Pemakaman pribadi yang berbadan hukum, dibagi atas:

a. Pemakaman yang dikelola oleh lembaga agama, dibagi atas: • Pemakaman oleh Jiin ( Otera, Jinja ).

• Pemakaman yang dikelola oleh badan hukum agama. b. Pemakaman yang diperuntukkan untuk umum, dibagi

menjadi 2 bagian, yaitu:

• Pemakaman yang dikelola oleh yayasan

( 財団法人営墓地

ざ い だ ん ほ う じ ん え い ぼ ち ).

• Pemakaman yang dikelola oleh perusahaan

( 社団法人営墓地

し ゃ だ ん ほ う じ ん え い ぼ ち ).

c. Pemakaman yang dikelola oleh perusahaan

( 営利法人営墓地

えいりほうじんえいぼち ).

2). Pemakaman pribadi yang tidak berbadan hukum

( 個人有墓地

こじんゆうぼち ).

Dari pernyataan diatas, maka makam orang Jepang di Delitua, Medan termasuk golongan pemakaman umum (koyubochi) yang dikelola oleh publik (koeibochi). Karena dalam pemikiran masyarakat Jepang terdapat konsep tentang


(57)

40

negara sebagai satu keluarga Ie, sehingga makam yang berada diluar Jepang adalah tanggung jawab dari pemerintah.

Pada awal pembangunan makam, pemerintah Jepang membiayai pembangunan makam di Delitua melalui Konsulat Jendral Jepang di Medan. Setelah pemakaman selesai, dibentuk Badan Pengurus Perkuburan Jepang di Medan. Anggota dari yayasan tersebut juga merupakan anggota dari Konsulat Jendral Jepang, dan Yayasan Warga Persahabatan. Kemudian setiap ketiga lembaga tersebut berkumpul, mereka melakukan donasi untuk pembiayaan perawatan makam tersebut, donasi juga dilakukan pada saat berziarah atau acara pemujaan, seluruh tamu yang datang diharapkan agar menyumbang dana seikhlasnya. Seluruh biaya yang dikeluarkan untuk pemakaman seperti biaya untuk renovasi makam atau bangunan yang rusak, biaya untuk keperluan berziarah, dan untuk menggaji pekerja tiap bulannya diambil dari uang donasi tersebut.

Dari hasil wawancara dengan perwakilan dari Badan Pengurus Perkuburan Jepang di Medan, Ibu Khadijah Umeda, beliau mengatakan “setiap panitia berkumpul, kami mengadakan donasi untuk pembangunan, pemeliharaan, sesajen, dan keperluan-keperluan untuk ziarah, dan juga untuk gaji pekerja. Semua biaya yang dikeluarkan untuk Makam Orang Jepang di Delitua ini diambil dari donasi-donasi yang kita lakukan”.

3.3. PEZIARAH/PENYEMBAHAN

Menurut Aoyama dalam Situmorang (2011:33) pemujaan leluhur sangat melekat dengan sistem Ie, keberadaan Ie, dan Ihai adalah sama. Pemikiran seperti


(58)

41

ini ada sejak zaman Edo. Keluarga Ie dipimpin oleh seorang kepala keluarga (kachou) dan kepemimpinan ini akan diturunkan kepada anak laki-laki pertama, dengan adanya sistem pergantian kepala keluarga ini maka tidak ada lagi pembagian harta warisan dalam keluarga. Kachou mempunyai kekuasaan untuk memutuskan segala hal yang berkaitan dengan kehidupan keluarga. Kachou mempunyai peran penting dalam hal upacara keagamaan dan adat tradisi keluarga. Kachou mengawasi usaha-usaha yang dijalankan Ie, membagi tugas semua anggota keluarga serta mengatur pengeluaran dan pendapatan Ie.

Berdasarkan pemikiran diatas maka yang dianggap berperan sebagai kachou pada kelangsungan makam orang Jepang di Delitua, Medan adalah Badan Pengurus Perkuburan Jepang di Medan yang mengatur segala keperluan untuk pemakaman tersebut, dan mengusahakan agar yang dianggap sebagai generasi-generasi penerus Ie yaitu warga Indonesia keturunan Jepang tetap mengingat siapa leluhurnya.

Berziarah pada makam orang Jepang di Delitua, Medan dilakukan untuk menjaga kelangsungan atau eksistensi dari makam itu sendiri. Kegiatan berziarah atau memberi persembahan (kuyo) pada makam orang Jepang di Delitua, Medan dilakukan pada aki no higan dan haru no higan yang berkisar pada pertengahan bulan Maret dan bulan September. Acara pemujaan dilakukan pada saat shunbun no hi untuk musim semi (haru) dan shubun no hi untuk musim gugur (aki). Shubun no hi dan shunbun no hi adalah hari dimana rentang waktu antara siang dan malam sama.

Menurut narasumber, Bapak Takayuki Kawai, selaku perwakilan dari Konsulat Jendral Jepang, mengatakan bahwa dalam kepercayaan Budha pada hari


(59)

42

shunbun no hi dan shubun no hi matahari menghadap lurus dari timur ke barat. Kemudian pada saat itulah orang yang sudah meninggal menuju ke surga yang berada di sebelah barat matahari, namun mereka akan menghadapi rintangan dalam perjalanan menuju ke barat tersebut maka diadakanlah ziarah untuk mendoakan roh orang yang telah meninggal tersebut bisa sampai di barat dengan selamat.

Pada masa keturunan pertama ziarah dilakukan tiga kali dalam satu tahun yaitu, pada aki no higan dan haru no higan, kemudian juga ada acara bersih atau kerja bakti di area pemakaman. Namun, sekarang kegiatan bersih-bersih tersebut sudah tidak lagi dilakukan.

Peziarah yang datang untuk melakukan pemberian kuyo pada saat ini adalah keturunan kedua, ketiga, dan keempat dari orang-orang yang dimakamkan pada pemakaman tersebut. Kemudian setiap ada kegiatan berziarah, Konsulat Jendral Jepang, Badan Pengurus Perkuburan Jepang di Delitua, dan Yayasan Warga Persahabatan Menghimbau setiap warga Jepang yang ada di Indonesia khususnya di kota Medan atau warga Indonesia keturunan Jepang yang ada di kota Medan untuk datang ke pemakaman dan melakukan pemberian kuyo bersama-sama. Ibu Khadijah Umeda mengatakan “sebelum berziarah, kami menghimbau kepada seluruh anggota warga keturunan atau warga Jepang yang ada di Indonesia untuk ikut berpartisipasi dalam berziarah dengan tujuan agar mereka bisa mengingat nenek moyangnya walaupun bukan nenek moyang secara langsung, namun mereka masih memiliki darah Jepang. Kami mengkhawatirkan apabila keturunan ke-3, ke-4, dan ke-5 tidak lagi mengetahui siapa leluhurnya atau siapa orangtuanya, maka itu sangat disayangkan. Maka mereka dihimbau untuk


(60)

43

mengingat pendahulu mereka yang datang lebih dulu ke Indonesia. Apabila tidak dapat hadir, mereka boleh saja datang sebelum atau sesudah acara berziarah bersama yang diselenggarakan oleh panitia, tidak ada paksaan atau keharusan untuk datang berziarah. Kami menghimbau hanya untuk menjaga kebersamaan dan mendidik generasi berikutnya untuk mengingat para leluhurnya”.

Tidak ada perlengkapan khusus yang harus dibawa pada saat berziarah, biasanya peziarah membawa sesajen seperti buah dan kue-kue. Kue-kue yang dibawa tersebut juga kue-kue yang ada di Indonesia pada umumnya. Kemudian peziarah juga membawa bunga-bunga seperti bunga krisantemum/seruni ataupun bunga-bunga biasa yang dibawa untuk berziarah pada pemakaman orang Indonesia seperti mawar atau melati. Tidak membawa apa-apa untuk berziarah pun dibolehkan.

Kegiatan berziarah atau pemberian kuyo di makam orang Jepang di Delitua tentunya berbeda dengan yang ada di Jepang. Walaupun masih ada yang membakar dupa dan memberikan sesajen, kemudian berdoa di depan butsudan atau kamidana yang tersedia di dalam ruangan, namun di Delitua karena peziarah terdiri dari beragam suku dan kepercayaan maka dalam berdoa dilakukan menurut kepercayaan masing-masing, kegiatan berziarah dinasionalkan dengan mengheningkan cipta yang dipimpim oleh seseorang seperti mengheningkan cipta pada umumnya pada saat upacara bendera di Indonesia.

Ibu Khadijah Umeda mengatakan “pada saat berziarah di makam orang Jepang di Delitua, Medan orang-orang yang datang berdoa menurut kepercayaan agamanya masing-masing, tetapi sebagai hal yang umum biasanya kami melakukan penghormatan dengan mengheningkan cipta. Mengheningkan cipta


(61)

44

dilakukan karena yang menghadiri acara berziarah tersebut terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama kepercayaan, serta juga untuk menjaga kebersamaan dalam menghormati leluhur maka penghormatan di nasionalkan dengan mengheningkan cipta”.

3.4.Acara-Acara Formal dan Informal

Pada makam orang Jepang di Delitua, Medan dilakukan berbagai acara yang diselenggarakan oleh Badan Pengurus Perkuburan Jepang di Medan diantaranya adalah: ritual dalam unsur Budha oleh biksu Budha pada saat pertama kali makam selesai dibangun, kegiatan berziarah yang dilakukan pada saat aki no higan dan haru no higan selain dengan pemberian kuyo ataupun berdoa di depan kamidana atau butsudan biasanya dilakukan dengan mengheningkan cipta yang dipimpin oleh seseorang seperti dalam upacara bendera Indonesia. Kemudian ada juga acara bersih-bersih area pemakaman yang dilakukan setiap setahun sekali. Acara ini diadakan pada generasi keturunan pertama tetapi, sekarang ini tidak lagi rutin dilakukan.

Selain daripada itu, tidak ada lagi acara-acara khusus yang dilakukan di makam orang Jepang di Delitua, Medan. Pekerja hanya harus menjaga agar pemakaman tersebut tetap bersih, dan menjaga makam agar dapat dikunjungi oleh pengunjung dari Jepang ataupun orang Indonesia.

Ibu Siti Aisyah, selaku pekerja mengatakan “saya hanya bertanggung jawab untuk menjaga kebersihan makam ini, kemudian apabila ada pengunjung yang datang saya hanya menemani beliau melihat-lihat ataupun berdoa, apabila pada saat acara yang diselenggarakan oleh panitia, saya hanya membersihkan kembali


(62)

45

makam setelah acara selesai. Saya tidak bertanggung jawab untuk memberikan sesajen atau menyalakan dupa pada altar.”

3.5.Masa Depan Makam Orang Jepang di Delitua

Sistem Ie juga dijadikan sebagai ideologi Negara pada zaman Meiji, sebelumnya Ie hanya terbatas pada kelompok kehidupan sehari-hari. Ie sebagai ideologi negara adalah pengertian bahwa sebuah negara berasal dari kumpulan keluarga-keluarga yang menjadi satu. Menurut Morioka dalam Situmorang (2011: 36) Kazokukokkakan (pandangan negara keluarga) adalah negara sebagai kelompok keluarga besar, hubungan di dalamnya (Kaisar dan rakyat sama dengan orangtua dan anak), rumah kaisar sama dengan rumah seluruh rakyat, sebagai etika dasar adalah Chu dan Ko (pengabdian kepada orangtua dan pengabdian kepada pemimpin adalah satu).

Berdasarkan konsep pemikiran diatas maka makam orang Jepang di Delitua akan tetap terjaga kelestariannya, karena pemerintah Jepang terus mengusahakan agar generasi selanjutnya dari warga Jepang ataupun warga keturunan Jepang di Indonesia tetap mengingat dan menghormati leluhurnya. Walaupun sekarang yang berziarah ke makam orang Jepang di Delitua, Medan adalah keturunan ketiga dan seterusnya, namun pemakaman tersebut masih terawat dan terpelihara berkat adanya usaha-usaha untuk tetap melestarikan pemakaman tersebut. Usaha-usaha tersebut adalah berupa himbauan kepada seluruh warga Jepang di Indonesia, maupun warga Indonesia keturunan Jepang agar dapat menghadiri acara yang diselenggarakan oleh Badan Pengurus Perkuburan Jepang di Medan melalui


(63)

46

Konsulat Jendral Jepang di Medan, kemudian menggaji seseorang untuk menjaga kebersihan makam dan merawat area makam setiap harinya.

Dengan adanya himbauan yang dilakukan Badan Pengurus Perkuburan Jepang di Delitua, Medan sebelum ada acara yang akan diselenggarakan di makam orang Jepang di Delitua, Medan inilah yang membuat kebersamaan warga Jepang maupun warga keturunan Jepang di Indonesia, khususnya di Medan tetap terjaga. Kemudian dengan kebersamaan yang tetap harmonis dan dengan rasa ingin menghormati para leluhur, maka kelangsungan atau eksistensi makam orang Jepang di Delitua akan tetap terjaga.


(1)

Gambar (30)


(2)

Gambar (32) Papan nama di sebelah kiri ruangan.


(3)

Daftar Pertanyaan Wawancara

Narasumber

:

Profesi : Ketua yayasan Pengurus Pemakaman Orang

` Jepang di Medan

Daftar Pertanyaan Wawancara :

1. Dapatkah Bapak/Ibu jelaskan kronologi makam Delitua ini dibangun? 2. Apa alasan dibangunnya makam tersebut?

3. Adakah nilai budaya yang dipegang sehingga pemerintah Jepang memutuskan untuk membangun pemakaman tersebut?

4. Siapa saja yang dimakamkan pada makam tersebut?

5. Apa saja syarat-syarat orang yang boleh dimakamkan di kuburan Delitua tersebut?

6. Bagaimana proses pemakamannya? Adakah ritual-ritual yang dilakukan selama proses pemakaman?

7. Siapa saja yang bekerja pada saat proses pemakaman?

8. Berapa jumlah seluruh makam pada makam di Delitua tersebut? 9. Bagaimana menentukan bentuk makam pada pemakaman tersebut? 10.Apa saja acara-acara pemujaan yang dilakukan?

11.Siapa dan darimana saja yang datang untuk melakukan ziarah atau pemberian kuyo/penyembahan pada makam tersebut?

12.Siapa saja yang turut berperan dalam merawat makam tersebut? 13.Berapa biaya yang dikeluarkan untuk membangun makam?


(4)

14.Berapa biaya yang dikeluarkan untuk perawatan makam per bulannya? 15.Apa saja usaha yang dilakukan dalam merawat makam tersebut?

16.Adakah acara-acara khusus(formal dan informal) yang berhubungan dengan pemeliharaan makam tersebut?

17.Adakah rencana yang belum terwujud yang akan dilakukan pada pemakaman tersebut?


(5)

Narasumber :

Profesi : Peziarah Pemakaman Orang Jepang di Medan

Daftar Pertanyaan Wawancara :

1. Kapan kegiatan berziarah atau pemberian kuyo biasadilakukan pada makam orang Jepang di Delitua?

2. Siapa saja yang biasanya berziarah atau memberikan kuyo pada makam tersebut?

3. Apa saja perlengkapan yang dibawa untuk berziarah? 4. Apa saja kegiatan selama proses ziarah itu berlangsung?

5. Adakah acara-acara khusus yang dibuat oleh Konsulat Jendral Jepang pada makam orang Jepang di Delitua yang melibatkan peziarah atau keluarga dari orang-orang yang dimakamkan pada makam tersebut?

6. Siapakah yang mengkoordinir acara tersebut?

7. Apakah peziarah yang datang dikoordinir atau datang secara sukarela? 8. Jika ada acara khusus, apa alasan acara tersebut dibuat?


(6)

Narasumber :

Profesi : Pekerja Pemakaman Orang Jepang di Medan

Daftar Pertanyaan Wawancara :

1. Apa saja kegiatan perawatan yang dilakukan pada makam orang Jepang di Delitua?

2. Berapa kali dalam seminggu perawatan atau pembersihan makam dilakukan?

3. Adakah waktu-waktu khusus yang dilakukan untuk merawat makam tersebut?

4. Siapa saja yang biasanya datang untuk berziarah di pemakaman ini?

5. Apakah persiapan yang dilakukan jika ada orang yang datang untuk berziarah atau memberikan kuyo/persembahan?

6. Apakah persiapan yang dilakukan jika ada acara yang diselenggarakan Konsulat Jendral Jepang pada makam tersebut?