78
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dalam akhir penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan mengenai temuan-temuan atas permasalahan yang diteliti, sebagai berikut:
1. Hubungan antara lingkungan, dampak perubahan iklim, dan kehidupan
manusia, yaitu pada masa sekarang, permasalahan perubahan iklim dianggap sebagai suatu masalah yang cukup menjadi perhatian besar bagi umat manusia,
dimana perkembangan perubahan iklim memiliki efek yang tidak sederhana serta perubahannya termasuk cukup cepat dari masa ke masa. Adapun
Perubahan Iklim adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain suhu dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai
sektor kehidupan manusia Kementerian Lingkungan Hidup, 2001. Merespons peningkatan temuan ilmiah atas perubahan iklim, seri konferensi antar-
pemerintah yang fokus pada perubahan iklim dibuat. Pada 1998, konferensi pertama diselenggarakan di Toronto. IPCC melaporkan bahwa dampak
perubahan iklim saat ini sangatlah mengkhawatirkan bagi wilayah-wilayah. Sangat berdampak terhadap lahan pertanian, terhadap wabah penyakit yang
disebabkan oleh perubahan iklim, kenaikan resiko kelaparan dan kekurangan air bersih, kenaikan angka es yang meleleh yang berkaitan dengan musibah
banjir, kehilangan yang signifikan terhadap ekosistem tepi laut, resiko yang sangat tinggi akan tenggelamnya negara-negara kepulauan yang mengancam
keselamatan masyarakatnya, dan juga meningkatkan resiko punahnya banyak
Universitas Sumatera Utara
79 spesies tumbuhan dan hewan. Beberapa sumber hukum yang terkait dengan Isu
lingkungan adalah Konvensi Perubahan Iklim, Protokol Kyoto, 1997 dan Bali Roadmap, 2007; dan konstitusi nasional yang secara menyebutkan tentang
pentingnya kelestarian lingkungan demi hak hidup manusia. 2.
Perbedaan antara pengungsi Refugee yang disebabkan oleh konflik negara dengan pengungsi yang disebabkan oleh perubahan iklim lingkungan Climate
Change Refugee yaitu, Istilah ‘pengungsi’ dan ‘pencari suaka’ memiliki definisi legal dalam hukum internasional, tepatnya di dalam Hukum tentang
Hubungan Internasional, dan juga di dalam Undang-Undang Dasar Indonesia. Seharusnya, tidak ada alasan untuk menyamaratakan semua imigran tanpa
dokumen sebagai ‘ilegal’. ‘Pencari suaka’ adalah istilah yang biasanya digunakan untuk orang yang ingin mendaftarkan diri sebagai pengungsi di
Kantor UNHCR, dengan menyatakan bahwa mereka membutuhkan perlindungan internasional atas alasan yang sesuai dalam Artikel 1A di
Konvensi Pengungsi. Alasan tersebut termasuk penganiayaan oleh karena suku, agama, bangsa atau keanggotaan kelompok sosial atau politik. Pencari suaka
harus melarikan diri dari tanah asli mereka oleh karena ketakutan pada penganaiyaan dan pelanggaraan hak asasi manusia, yaitu termasuk penyiksaan
atau diskriminasi sistematis. Pengungsi Lingkungan mengacu pada imigran yang terpaksa bermigrasi dari rumah mereka atau melarikan diri daerah karena
kompromi yang mereka kesejahteraan dan keamanan hidup, perubahan tersebut terjadi termasuk peningkatan kekeringan, penggurunan, permukaan laut atau
perubahan mendadak dalam kenaikan jangka panjang dalam lingkungan lokal
Universitas Sumatera Utara
80 dan orang-orang pola cuaca musiman. Definisi dan konsep Istilah pengungsi
lingkungan pertama kali diusulkan oleh Lester Brown pada tahun 1976, dan sejak itu telah terjadi lonjakan dalam penggunaan istilah di mana migran
lingkungan dan kategori serupa klaster industri, termasuk Lingkungan imigran terpaksa, pengungsi iklim, displace lingkungan, pengungsi
ekologi, telah digunakan. Menurut 1951 Konvensi PBB tentang Status Pengungsi, pengungsi secara sempit di 1A mendefinisikan siapa
penganiayaan karena ras, agama, kebangsaan, keanggotaan di lapangan seseorang beralasan takut kelompok sosial tertentu atau opini politik, adalah
luar negara kewarganegaraannya dan tidak dapat atau karena seperti takut mau melindungi negara sendiri”. Perbedaan antara pengungsi yang disebabkan oleh
perubahan iklim dengan pengungsi yang disebabkan oleh konflik negara terletak pada penyebab terjadinya aksi pengunugsian yang dilakukan oleh
individu ataupun kelompok tersebut. Walaupun keduanya mengakibatkan dampak buruk bagi para pengungsi, tetapi yang harus kita bedakan adalah jika
Pengungsi Lingkungan terjadi karena adanya efek perubahan iklim yang terjadi di bumi dikarenakan oleh partisipasi negara-negara pada khususnya negara-
negara maju yang tidak memperhatikan lingkungan demi kemajuan negaranya. 3.
Status perlindungan climate change refugee di Negara Penerima ditinjau dari sisi hukum internasional dikarenakan belum adanya perangkat hukum
internasional yang secara khusus mengatur tentang pengungsi lingkungan, maka perangkat hukum yang berkaitan dengan pengungsi adalah Konvensi
Tahun 1951 Tentang Status Pengungsi The 1951 Convention Relating Status
Universitas Sumatera Utara
81 of Refugees dan Protokol tahun 1967 Tentang Status Pengungsi Protocol
Relating to the Status of Refugees 1967. Permasalahan Pengungsi Lingkungan merupakan termasuk kepada permasalahan kemanusiaan karena dalam kasus
ini kebanyakan negara yang menandatangani konvensi pengungsi 1951 maupun negara-negara lain yang belum menandatangani konvensi ini masih
belum mau menerima pengungsi yang mengatasnamakan diri mereka sebagai “Pengngsi Lingkungan” karena jika merujuk kepada pengertian pengungsi
berdasarkan konvensi tersebut, maka “Pengungsi Lingkungan” tidak termasuk kedalam definisi “pengungsi”, maka dari itu para negara penerima masih ragu
untuk menerima pengungsi lingkungan di negara mereka. Berangkat dari kasus Teitiota, maka pada dasarnya PBB ataupun badan internasional lain hanya
dapat membuat peraturan hukum yang berlaku secara internasional hanya untuk Negara-negara yang menjadi anggota dari Organisasi Internasional
tersebut dan juga dapat diterapkan kepada Negara yang telah menandatangani persetujuan untuk mengadopsi perangkat hukum internasional menjadi
perangkat hukum yang sah secara nasional. Dalam hal ini berarti, status perlindungan Pengungsi Lingkungan pada saat ini belum memiliki dasar
hukum yang sah secara internasional. Para Pengungsi Lingkungan hanya dapat mengharapkan rasa simpati dan empati yang dimiliki oleh Negara Penerima
untuk menerima suaka mereka dan menjamin hak asasi mereka sebagai manusia.
Universitas Sumatera Utara
82
B. Saran