84
DAFTAR PUSTAKA A.
BUKU
Wagiman. 2012. Hukum Pengungsi Internasional. Jakarta : Sinar Grafika. Bambang Sunggono. 2009. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. Achmad Romsan., et al. 2003. Pengantar Hukum Pengungsi Internasional, Bandung: Sanic
Offset. Jane A. Bullock., et al. 2016. LIVING WITHCLIMATE CHANGE: How Communites Are
Surviving and Thriving in a Changing Climate, Boca Raton: CRC Press. Lorraine Elliott and Mely Caballero-Anthony. 2013. Human Security and Climate Change in
Southeast Asia : Managing risk and resilience, New York: Routledge. Pittock, A. Barrie. 2009. Climate change : the science, impacts and solutions, Aurstalia:
CSIRO PUBLISHING. Sugiyono. 2009. Statistika Untuk Penelitian, Bandung: Alfabeta.
Sulaiman Hamid. 2002. Lembaga Suaka Dalam Hukum Internasional, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
B. Instrumen Hukum
United Nation Convention Relating to the Status of Refugees 1951 Konvensi PBB tahun 1951 tentang Pengungsi.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Conference on Environment and Development Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim.
Protokol Kyoto, 1997 dan Bali Road Map, 2007.
Universitas Sumatera Utara
85 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
The Convention Relating to the Status of Stateless Persons 1954 yang mengatur tentang orang-orang yang tidak memiliki warga negara.
The Convention on the Reduction of Statlessness 1961 mengatur tentang pengurangan terhadap jumlah orangorang yang tidak memiliki warga negara pihak dengan
memberikan status kewarganegaraan terhadap anak-anak mereka yang lahir di negara itu.
The Fourth Geneva Convention Relative to the Protection of Civillian Persons in Time of War 1949 mengatur tentang perlindungan terhadap penduduk sipil pada waktu
perang. The 1967 Unatied Nations Declaration on Territorial Asylum 1967 bertujuan memelihara
perdamaian dan keamanan internasional, mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa dan untuk menyelesaikan masalah-masalah internasional dalam
bidang ekonomi, sosial, budaya atau yang bersifat kemanusiaan.
C. Jurnal
Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia diterbitkan oleh Jesuit Refugee Service Indonesia Mei 2013.
Xin-Ying Ni. A Nation Going Under: Legal Protection for “Climate Change Refugees”. Boston College International and Comparative Law Review. Volume 38, Issue 2,
Article 07. 2015. http:lawdigitalcommons.bc.eduiclrvol38iss27
. Angela Williams. Turning the Tide: Recognizing Climate Change Refugees in International
Law. LAW POLICY, Vol. 30, No. 4, October 2008.
D. Website Internet
http:www.pemanasanglobal.netkutubkenaikan_permukaan_laut_dunia.htm ; Diakses pada
tanggal 09 Maret 2016, pada pukul 20.15 WIB
Universitas Sumatera Utara
86 www.medkes.com201501dampak-perubahan-iklim-bagi-kesehatan.html
; Diakses pada tanggal 09 Maret 2016, pada pukul 20.20 WIB
https:en.wikipedia.orgwikiWorld_Climate_Conference ; Diakses pada tanggal 09 Maret
2016, pada pukul 20.30 WIB http:www.medkes.com201501dampak-perubahan-iklim-bagi-kesehatan.html
; Diakses pada tanggal 09 Maret 2016, pada pukul 23.28 WIB
https:en.wikipedia.orgwikiNational_security ; Diakses pada tanggal 02 Maret 2016, pada
pukul 21.05 WIB. http:www.dw.comidapa-kata-media-asia-tenggara-tentang-krisis-pengungsia-18456959
; Diakses pada tanggal 02 Maret 2016, pada Pukul 20.45 WIB.
https:gegechrist.wordpress.com20081021permasalahan-dan-hak-pengungsi-refugee ;
Diakses pada tanggal 02 Maret 2016, pada Pukul 20.30 WIB. http:jurnalhukum.blogspot.co.id200905perubahan-iklim-dalam-perlindungan.html
; Diakses Pada Tanggal 25 Februari 2016, pada pukul 13.05 WIB.
https:id.wikipedia.orgwikiKonferensi_Perubahan_Iklim_Perserikatan_Bangsa- Bangsa_2007
; Diakses pada tanggal 25 Februari 2016, pada pukul 13.15 WIB. http:www.environmentmagazine.orgArchivesBack20IssuesNovember-
December202008Biermann-Boas-full.html ; Diakses pada tanggal 23 februari 2016,
pada pukul 15.30 WIB. https:achmadchusaibi.wordpress.comperubahan-iklim-2
; Diakses pada tanggal 20 februari 2016, pada pukul 20.10 WIB.
https:reddandrightsindonesia.wordpress.com20110317sejarah-konvensi-perubahan-iklim- bernad-steni
; Diakses pada tanggal 20 februari 2016, pada pukul 20.15 WIB.
Universitas Sumatera Utara
87 http:www.lfip.orgenglishpdfbali-
seminarPerubahan20Wajah20Ancaman2020Keamanan20Domestik20- 20mayjen20sudrajat.pdf
; Diakses pada tanggal 21 februari 2016, pada pukul 19.45 WIB.
http:afha34musdalifa.blogspot.co.id201203perubahan-iklim-dan-dampaknya-dalam.html ;
Diakses pada tanggal 21 februari 2016, pada pukul 14.00 WIB.
http:www.bbc.comindonesiamajalah201511151116_majalah_dampak_perubahaniklim? ocid=socialflow_facebook
; Diakses pada tanggal 05 februari 2016, pada pukul 15.55
WIB
http:www.slideshare.netiekesiswantokul-model-dinamika-atmosfer-dalam-perubahan- iklim-dan-pengaruhnya-terhadap-presipitasi-pada-lingkungan-pertanian
; Diakses pada tanggal 15 Maret 2016, pada pukul 15.15 WIB
http:scied.ucar.edulongcontentclimate-change-and-vector-borne-disease ; Diakses pada
tanggal 15 Maret 2016, pada pukul 00.13 WIB http:www.faktailmiah.com20111208keanekaragaman-hayati-dan-perubahan-iklim-dari-
yang-buruk-ke-arah-yang-lebih-buruk.html ; Diakses pada tanggal 23 Maret 2016, pada
pukul 12.51 WIB http:environment.nationalgeographic.comenvironmentglobal-warmingbig-thaw
; Diakses pada tanggal 23 Maret 2016, pada pukul 12
Universitas Sumatera Utara
48
BAB III KAJIAN UMUM TENTANG CLIMATE CHANGE REFUGEE
A. Pengertian dan Jenis Pencari Suaka
1. Pengertian Pencari Suaka
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Suaka berarti tempat mengungsi berlindung, menumpang atau menumpang hidup dengan meminta kepada
Negara lain. Pencari suaka adalah orang yang telah mengajukan permohonan untuk
mendapatkan perlindungan namun permohonannya sedang dalam proses penentuan. Apabila permohonan seorang pencari suaka itu diterima, maka ia akan
disebut sebagai pengungsi, dan ini memberinya hak serta kewajiban sesuai dengan undang-undang negara yang menerimanya.
41
Pencari suaka adalah seseorang yang menyebut dirinya sebagai pengungsi, namun permintaan mereka akan perlindungan belum selesai dipertimbangkan.
Seorang pencari suaka yang meminta perlindungan akan dievaluasi melalui prosedur penentuan status pengungsi RSD, yang dimulai sejak tahap pendaftaran
atau registrasi pencari suaka. Selanjutnya setelah registrasi, UNHCR dibantu dengan penerjemah yang kompeten melakukan interview terhadap pencari suaka
tersebut. Proses interview tersebut akan melahirkan alasan – alasan yang melatarbelakangi keputusan apakah status pengungsi dapat diberikan atau ditolak.
Pencari suaka selanjutnya diberikan satu buah kesempatan untuk meminta
41
Lihat pada situs internet http:www.unhcr.or.ididsiapa-yang-kami-bantupencari-suaka, diakses pada tanggal 27 Maret 2016, pada pukul 13.27 WIB
Universitas Sumatera Utara
49 banding atas permintaannya akan perlindungan internasional yang sebelumnya
ditolak.
42
Sampai dengan akhir February 2015, sebanyak 7,315 pencari suaka terdaftar di UNHCR Jakarta secara kumulatif dari Afghanistan 59, Iran 8, Somalia
8 dan Iraq 6.
43
Penentuan praktis apakah seseorang disebut pengungsi atau tidak, diberikan oleh badan khusus pemerintah di negara yang ia singgahi atau badan PBB untuk
pengungsi UNHCR. Prosentase permohonan suaka yang diterima sangat beragam dari satu negara ke negara lain, bahkan untuk satu negara yang sama.
Setelah menunggu proses selama bertahun-tahun, para pencari suaka yang mendapatkan jawaban negatif tidak dapat dipulangkan ke negara asalnya, yang
membuat mereka terlantar. Para pencari suaka yang tidak meninggalkan negara yang disinggahinya biasanya dianggap sebagai imigran tanpa dokumen. Pencari
suaka, terutama mereka yang permohonannya tidak diterima, semakin banyak yang ditampung di rumah detensi
.
Sangat tidak memungkinkan bagi pencari suaka untuk meninggalkan negeri asal mereka tanpa membawa dokumen yang memadai dan visa. Maka, banyak
pencari suaka terpaksa memilih perjalanan yang mahal dan berbahaya untuk memasuki negara-negara secara tidak wajar di mana mereka dapat memperoleh
status pengungsi.
42
lihat pada situs internet http:www.unhcr.or.ididsiapa-yang-kami-bantupencari-suaka, diakses pada tanggal 20 Maret 2016, pada pukul 11.25 WIB.
43
Loc.Cit.
Universitas Sumatera Utara
50 Istilah ‘pengungsi’ dan ‘pencari suaka’ memiliki definisi legal dalam hukum
internasional, tepatnya di dalam Hukum tentang Hubungan Internasional, dan juga di dalam Undang-Undang Dasar Indonesia. Seharusnya, tidak ada alasan untuk
menyamaratakan semua imigran tanpa dokumen sebagai ‘ilegal’. ‘Pencari suaka’ adalah istilah yang biasanya digunakan untuk orang yang
ingin mendaftarkan diri sebagai pengungsi di Kantor UNHCR, dengan menyatakan bahwa mereka membutuhkan perlindungan internasional atas alasan
yang sesuai dalam Artikel 1A di Konvensi Pengungsi. Alasan tersebut termasuk penganiayaan oleh karena suku, agama, bangsa atau keanggotaan kelompok sosial
atau politik. Pencari suaka harus melarikan diri dari tanah asli mereka oleh karena ketakutan pada penganaiyaan dan pelanggaraan hak asasi manusia, yaitu termasuk
penyiksaan atau diskriminasi sistematis. Pencari suaka bukanlah ‘imigran ilegal’ oleh karena mereka tidak memiliki
paspor atau visa yang tepat. Banyak orang yang perlu membuat permohonan untuk status pengungsi, tetapi tidak memiliki atau bahkan belum berkesempatan
mendapat dokumen tersebut. Misalnya, jika orang dilahirkan di tempat yang tidak bernegara, dengan suku yang tidak dikenal oleh pemerintah mereka, atau mereka
pernah mengalami diskriminasi sistematis, ada kemungkinan mereka tidak akan mendapatkan surat kelahiran atau dokumen identifikasi, apalagi paspor atau visa.
Ada juga penduduk yang termasuk dalam daftar hitam politik dan tidak bisa melarikan diri dari negara asli mereka menggunakan nama asli mereka. Setiap
kasus yang ada berbeda, dan di Indonesia, Kantor UNHCR bertanggungjawab untuk menilai aplikasi status pengungsi oleh pencari suaka yang terdaftar.
Universitas Sumatera Utara
51 Ada orang yang dilihat sebagai ‘tidak bernegara’ menurut hukum
internasional, karena mereka tidak diterima sebagai warga negara manapun. UNHCR memperhatikan bahwa meskipun orang tidak bernegara juga merupakan
pengungsi, dua kategori ini mempunyai sifat legal yang berbeda. UNHCR menanggap kedua kelompok tersebut sebagai kelompok yang memerlukan
perhatian khusus. 2.
Pengungsi lintas batas Refugee, Pencari Suaka Asylum Seeker, Pengungsi
Internal Internally Displaced Persons atau IDPs, dan Migran.
Pengungsi lintas batas Refugee adalah seseorang yang terpaksa meninggalkan negaranya dan tidak dapat kembali kecuali situasi negara membaik.
Mereka tidak mendapat perlindungan dari pemerintahnya sendiri. Pencari suaka Asylum Seeker adalah orang yang sedang mencari
perlindungan untuk mendapatkan status sebagai pengungsi lintas batas Refugee. Mereka sedang menunggu proses pengakuan akan klaimnya.
Pengungsi internal adalah orang yang terpaksa berpindah dari tempat tinggalnya akibat konflik, bencana alam atau sebab lainnya namun masih berada
di dalam wilayah negara mereka sendiri. Migran adalah orang yang memilih untuk meninggalkan negaranya untuk
mencari kehidupan yang lebih baik. Mereka menentukan sendiri kemana akan beremigrasi dan dapat kembali ke negaranya sewaktu-waktu. Migran memperoleh
perlindungan dari pemerintah negara asalnya. Dari pemaparan diatas, dapat diketahui bahwa perbedaan istilah – istilah
tersebut terdapat pada legal status yang dibawa oleh orang-orang yang berpindah
Universitas Sumatera Utara
52 tempat tinggal, terlepas dari apapun alasan mereka untuk meninggalkan tempat
asal mereka apakah karena pengaruh eksternal individual ancaman keselamatan, dll ataupun karena pengaruh internal mereka sendiri.
Berdasarkan pelaksanaan tugas UNHCR sebagai lembaga internasional yang berperhatian terhadap kasus pengungsi sering kali memunculkan istilah
Pengungsi Mandat dan Pengungsi Statuta. Istilah-istilah yang dipergunakan tersebut bukan merupakan istilah yuridis, melainkan sebutan yang dipergunakan
untuk alasan praktis. Maksud dari istilah tersebut adalah sebagai berikut :
44
Pengungsi Mandat dipergunakan untuk menunjuk orang-orang yang diakui
statusnya sebagai pengungsi oleh UNHCR sesuai dengan fungsi, wewenang atau mandat yang ditetapkan oleh statuta UNHCR
Pengungsi Statuta adalah orang-orang yang memenuhi kriteria sebagai
pengungsi menurut instrumen-instrumen Internasional sebelum tahun 1951. Jadi kedua istilah ini hanya dipakai untuk membedakan antara “pengungsi
sebelum Konvensi 1951” dengan “pengungsi menurut Konvensi 1951”.
45
B. Perbedaan antara pengungsi yang disebabkan oleh perubahan iklim dengan
pengungsi yang disebabkan oleh konflik negara. 1.
Pengungsi Lingkungan Pengungsi Lingkungan mengacu pada imigran yang terpaksa bermigrasi
dari rumah mereka atau melarikan diri daerah karena kompromi yang mereka kesejahteraan dan keamanan hidup, perubahan tersebut terjadi termasuk
44
Romsan Achmad. Dkk, Pengantar Hukum Pengungsi Internasional : Hukum Internasional dan Prinsip-Prinsip Perlindungan Internasional. UNHCR Regional Representation
Jakarta in Republic of Indonesia. Tahun 2003. Hal 30-31.
45
Ibid. Hal. 31
Universitas Sumatera Utara
53 peningkatan kekeringan, penggurunan, permukaan laut atau perubahan mendadak
dalam kenaikan jangka panjang dalam lingkungan lokal dan orang-orang pola cuaca musiman, seperti hujan terganggu. migran Lingkungan mungkin melarikan
diri atau bermigrasi ke negara lain, mungkin juga migrasi internal di dalam negeri mereka sendiri. Namun, istilah migran lingkungan sampai batas tertentu dapat
digunakan secara bergantian dengan serangkaian istilah yang serupa seperti pengungsi lingkungan, pengungsi iklim, migran iklim, meskipun istilah ini
antara perbedaan yang dilombakan. Meskipun perkembangan migran lingkungan persatuan dan definisi yang jelas dari masalah, seperti konsep telah
menjadi perhatian pada tahun 2000, sebagai pembuat kebijakan, lingkungan dan ilmuwan sosial berusaha untuk konsep dampak sosial potensial dari perubahan
iklim, dan umum degradasi lingkungan. Definisi dan konsep Istilah pengungsi lingkungan pertama kali diusulkan
oleh Lester Brown pada tahun 1976, dan sejak itu telah terjadi lonjakan dalam penggunaan istilah di mana Migran Lingkungan dan kategori serupa klaster
industri, termasuk Imigran Lingkungan Terpaksa, Pengungsi Iklim, Pengungsi Perubahan Iklim, Displacee Lingkungan, Pengungsi Ekologi,
telah digunakan. Perbedaan antara istilah ini kurang penting dibandingkan common denominator mereka: Mereka semua menunjukkan bahwa ada driver
kebijakan lingkungan dan migrasi manusia terkait, dan dapat menentukan
Universitas Sumatera Utara
54 hubungan antara perluasan dasar hukum pengungsi, yang membantu untuk
menganalisis.
46
Menurut 1951 Konvensi PBB tentang Status Pengungsi, pengungsi secara sempit di 1A mendefinisikan siapa penganiayaan karena ras, agama,
kebangsaan, keanggotaan di lapangan seseorang beralasan takut kelompok sosial tertentu atau opini politik, adalah luar negara kewarganegaraannya dan tidak dapat
atau karena seperti takut mau melindungi negara sendiri”. Meskipun konsep adalah Protokol 1967 untuk Konvensi Pengungsi dan konvensi regional di Afrika
dan Amerika Latin diperluas untuk mencakup yang melarikan diri dari perang atau kekerasan lain di negara ini yang tidak memberikan jangka panjang karena
para pengungsi di status hukum mereka saat Konvensi perlindungan dari perubahan lingkungan.
IOM diusulkan imigran lingkungan didefinisikan sebagai berikut: “Migran Lingkungan yang, untuk perubahan tiba-tiba atau bertahap kehidupan
mereka dan kondisi hidup buruk mempengaruhi alasan lingkungan menarik, terpaksa meninggalkan rumah kebiasaan mereka, atau memilih untuk melakukan
staf temporer atau permanen sehingga, individu atau kelompok, dan yang bergerak baik di rumah mereka atau di luar negeri”.
Istilah ini mengacu pada pengungsi iklim dipaksa untuk pindah tiba-tiba atau bertahap karena perubahan lingkungan alam terkait perubahan iklim
setidaknya tiga kali dampak subset migrasi lingkungan: kenaikan permukaan laut, peristiwa cuaca ekstrim, kekeringan dan kelangkaan air.
46
Lihat situs internet https:en.wikipedia.orgwikiEnvironmental_migrant, diakses pada tanggal 26 Maret 2016, pada pukul 13.54 WIB
Universitas Sumatera Utara
55 Namun, belum diterima secara universal pendatang lingkungan atau
pengungsi iklim didefinisikan. Dengan demikian, IOM dikembangkan meliputi kompleksitas masalah definisi kerja.
Definisi kerja diakui
Imigran Lingkungan tidak hanya mereka yang terlantar akibat peristiwa lingkungan, dan mereka migrasi yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan.
gerakan diinduksi lingkungan dapat terjadi di dalam dan di perbatasan
internasional;
Mungkin jangka pendek dan jangka panjang; dan
Perpindahan penduduk dipicu oleh kekuatan lingkungan dapat memaksa masalah.
IOM mengusulkan tiga jenis migrasi lingkungan:
Migrasi Lingkungan Darurat: Orang-orang yang melarikan diri sementara karena bencana lingkungan atau peristiwa lingkungan yang tak terduga.
Contoh: seseorang dipaksa untuk meninggalkan karena badai, tsunami, gempa bumi, dll.
Migrasi Lingkungan Terpaksa: siapa yang memiliki, yang meninggalkan akibat
kerusakan lingkungan. Contoh: seseorang terpaksa meninggalkan karena lingkungan mereka, seperti penggundulan hutan, kerusakan pesisir lambat
kerusakan.
Migrasi lingkungan Motivasi juga dikenal sebagai migran ekonomi lingkungan: Siapa yang memilih untuk meninggalkan, untuk menghindari
kemungkinan masalah di masa depan orang. Contoh: Seseorang yang
Universitas Sumatera Utara
56 meninggalkan karena penurunan hasil panen yang disebabkan oleh
penggurunan. Konvensi Pengungsi tidak berlaku karena tidak ada ketentuan untuk alasan
apapun yang berhubungan dengan lima konvensi penganiayaan atau bahaya serius. Pengadilan menolak masyarakat internasional itu sendiri atau negara dapat
dikatakan memiliki karbon dioksida atau gas rumah kaca lainnya emisi historis tinggi adalah penganiayaan untuk tujuan Konvensi Pengungsi argumen.
Analisis ini perlu menentukan tipe yang diuraikan dalam Konvensi Pengungsi tidak mengecualikan negara penganiayaan berat mempengaruhi
pengalaman seseorang dari perubahan iklim dapat datang dengan kemungkinan Konvensi Pengungsi.
Berdasarkan Konvensi Internasional, untuk perlindungan pengungsi kadang- kadang menyebabkan masalah lingkungan, konflik bersenjata, dan mungkin
berikutnya kekerasan seluruh bagian dari populasi atau kompresi langsung. Bantuan kemanusiaan dapat dipolitisasi, terutama berikutnya adalah rentan dalam
kelompok tertentu dalam negara kasus target diskriminasi langsung. Pengadilan banding New Zealand juga menolak untuk menyerukan
keputusan pada tahun 2014. Dalam banding lebih lanjut ke Mahkamah Agung Selandia Baru dikonfirmasi aplikasi sebelumnya untuk status pengungsi putusan
yang tidak menguntungkan, Mahkamah Agung juga menolak dalil dari perubahan iklim atau bencana alam lain yang disebabkan oleh kerusakan
lingkungan” adalah mustahil untuk menciptakan cara untuk memasuki pengungsi konvensi atau orang yang dilindungi yurisdiksi.
Universitas Sumatera Utara
57 Drew memperhatikan banding atas kasus migrasi ke Selandia Baru dan
Perlindungan Pengadilan untuk keluarga atas dasar Tuvalu. Pengusiran mereka adalah karena mereka mengatasnamakan diri mereka sebagai pengungsi
perubahan iklim, yang akan menderita kerusakan lingkungan yang menyebabkan kesulitan di dalam Tuvalu pada tahun 2014.
Keluarga Tuvalu sukses di tingkat banding mereka, karena menurut undang- undang imigrasi, ada indikasi bahwa wajar keadaan luar biasa yang bersifat
kemanusiaan sebagai izin untuk tempat tinggal keluarga Tuvalu dimasukkan dalam masyarakat Selandia Baru telah membawa cukup besar keluarganya pindah
ke Selandia Baru. Organisasi
Internasional untuk
Migrasi IOM memperkirakan akan meningkat tahun ini skala migrasi global akibat perubahan iklim naik dengan
cepatnya. Oleh karena itu, kami menyarankan bahwa para pembuat kebijakan di seluruh dunia untuk mengambil sikap proaktif tentang masalah tersebut.
Organisasi Internasional untuk Migrasi oleh 146 negara anggota dan 13 negara pengamat dan dalam mempromosikan manajemen migrasi, untuk
memastikan migrasi yang manusiawi dan tertib di imigrasi kerjasama yang erat pemerintah menguntungkan dan sosial.
Selain itu, kunjungan Oliver Smith, dari PBB dan anggota kelompok ahli antropologi, majalah geografis nasional menunjukkan: setidaknya ada 2.000
pengungsi lingkungan di seluruh dunia, kelompok UN bilang- dari perang dan
Universitas Sumatera Utara
58 penindasan politik dikombinasikan dengan pengungsi. Oleh karena itu penting
bahwa kita mulai menyadari divisi pengungsi baru-baru ini.
47
Keadilan Lingkungan Foundation EJF berpikir yang akan dipaksa untuk beralih karena perubahan iklim saat ini tidak ada orang yang sepenuhnya
dipahami dalam hukum internasional. EJF berpendapat bahwa instrumen hukum multilateral baru yang dibutuhkan untuk memberikan perlindungan secara khusus
untuk menangani kebutuhan mereka melarikan diri degradasi lingkungan dan perubahan pengungsi iklim. Mereka juga menyatakan bahwa lebih banyak uang
yang dibutuhkan untuk membantu negara-negara berkembang beradaptasi dengan perubahan iklim.
Sujatha Byravan dan Sudhir Chella Rajan telah menganjurkan adopsi perjanjian internasional, istilah pengungsi iklim dan menyediakan mereka
dengan hak-hak politik dan hukum, termasuk warga negara lain, mengingat tanggung jawab dan kemampuan negara-negara tersebut.
Dalam beberapa kasus, banjir yang disebabkan oleh hasil perubahan iklim atau kondisi lain menghasilkan sejumlah besar negara pengungsi, dan
pembentukan pagar untuk menjaga konflik antara negara-negara tetangga pengungsi tersebut. Bangladesh - India pagar perbatasan utama terpisah, studi
kasus menunjukkan bahwa, orang-orang dari daerah yang hancur dari tanah yang subur untuk menghasilkan kemungkinan melarikan diri dari kekerasan. Migrasi
saat ini telah menyebabkan konflik skala kecil.
48
47
Lihat https:en.wikipedia.orgwikiEnvironmental_migrant, diakses pada tanggal 7 maret 2016. Pada pukul 17.09 WIB.
48
Loc.Cit.
Universitas Sumatera Utara
59 2.
Perbedaan antara pengungsi yang disebabkan oleh perubahan iklim dengan pengungsi yang disebabkan oleh konflik negara.
“After exploring the link between climate change and displacement, the notion of an “environmental refugee” is considered as a possible platform from
which to begin integrating the needs of those affected by climate change displacement into the international legal system”.
49
Konsep pengungsi lingkungan merupakan konsep yang terbilang baru dewasa ini dibandingkan dengan konsep pengungsi yang selama ini kita ketahui.
Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, menjabarkan definisi pengungsi sebagai “seseorang yang dikarenakan oleh ketakutan yang beralasan akan penganiayaan,
yang disebabkan oleh alasan an ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu dan keanggotaan partai politik tertentu, berada diluar Negara
kebangsaannya dan tidak menginginkan perlindungan dari Negara teresebut.
50
Perbedaan antara pengungsi yang disebabkan oleh perubahan iklim dengan pengungsi yang disebabkan oleh konflik negara terletak pada penyebab terjadinya
aksi pengungsian yang dilakukan oleh individu ataupun kelompok tersebut. Walaupun keduanya mengakibatkan dampak buruk bagi para pengungsi, tetapi
yang harus kita bedakan adalah jika Pengungsi Lingkungan terjadi karena adanya efek perubahan iklim yang terjadi di bumi dikarenakan oleh partisipasi negara-
negara pada khususnya negara-negara maju yang tidak memperhatikan lingkungan demi kemajuan negaranya.
49
Williams. Angela, Turning the tide : recognizing climate change refugees in international law, 2008, Baldy Center for Law and Social Policy, Hal. 2.
50
Lihat http:www.unhcr.or.ididsiapa-yang-kami-bantupengungsi, diakses pada tanggal 8 maret 2016, pada pukul 22.07 WIB.
Universitas Sumatera Utara
60 Aksi dari negara-negara ini, pada khususnya yang menjadi penyumbang
terbesar kerusakan lingkungan yang mengakibatkan perubahan iklim yang cukup ekstrim dan menyebabkan efek di negara-negara lainnya berbeda dengan aksi dari
suatu negara yang hanya memiliki konflik dengan negara lain. Dalam arti bahwa jika pengungsi lingkungan merasakan dampak yang sangat merugikan bagi
negaranya dan masyarakatnya dikarenakan perbuatan pihak lain secara global, maka pengungsi yang diakibatkan oleh konflik antar negara biasanya karena
permasalahan bilateral atau permasalahan “pribadi” yang terjadi antar kedua negara tersebut.
Tentu saja hal ini menurut penulis lebih merugikan para pengungsi lingkungan daripada pengungsi yang dikarenakan konflik antar negara, karena
penulis merasa posisi pengungsi lingkungan seperti “you have to lose yours, your land, your home, your family, your country, just because of the collective sin from
countries. They got their rewards and you got their punishments”. Memang, sebenarnya membahas masalah pengungsi terlepas apapun
kejadian yang mengakibatkan mereka harus mencari tempat lain dan keluar dari negara mereka demi keselamatan hidup mereka merupakan sesuatu yang
memprihatinkan. Tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk dalam hal ini, tetapi jika di pertimbangkan kembali ada beberapa perbedaan yang dapat kita
pertimbangkan mengapa penulis mengatakan posisi pengungsi lingkungan lebih dirugikan dalam kasus ini :
Universitas Sumatera Utara
61
Pengungsi Lingkungan harus kehilangan semua harta benda dikarenakan oleh colateral damage yang disebabkan oleh seluruh dunia tentang kerusakan
lingkungan.
Pengungsi Lingkungan belum mendapatkan status yang jelas terutama secara hukum tentang perlindungan dan jaminan hidup mereka di masa depan
dikarenakan kasus ini merupakan kasus yang masih baru dan korban yang terkena efek dari kasus ini belum sebanyak korban karena kasus konflik antar
negara.
Pembahasan tentang Pengungsi Lingkungan atau “climate change refugee” masih sangat sedikit di dunia hukum internasional serta belum adanya
perjanjian internasional atau sumber hukum internasional yang mengatur secara khusus tentang permasalahan “climate change refugee” sehingga
berakibat tidak adanya negara yang mau bertanggung jawab dan memberikan suaka terhadap Pengungsi yang diakibatkan oleh efek rusaknya lingkungan.
C. Dasar hukum yang berkaitan dengan perlindungan pencari suaka Refugee
Demi menjalankan
tugas-tugasnya secara efektif dalam menanggulangi masalah pengungsi oleh UNHCR maupun subyek hukum internasional lainya,
terdapat beberapa instrument hukum yang mengatur tentang pengungsi yaitu: 1.
Konvensi Tahun 1951 Tentang Status Pengungsi The 1951 Convention Relating Status of Refugees dan Protokol tahun 1967 Tentang Status Pengungsi
Protocol Relating to the Status of Refugees 1967. Konvensi Tentang Status Pengungsi Tahun 1951 dan Protokol Tahun 1967
tersebut mengandung tiga ketentuan yaitu:
Universitas Sumatera Utara
62
Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan definisi siapa saja yang tidak termasuk dalam pengertian pengungsi.
Ketentuan yang mengatur tentang status hukum pengungsi termasuk hak-hak
dan kewajiban-kewajiban pengungsi di negara dimana mereka menetap.
Ketentuan lain yang berkaitan dengan penerapan instrumen pengungsi baik dari sudut prosedur administratif maupun diplomatik.
2. Instrumen lain yang mendukung:
The Convention Relating to the Status of Stateless Persons 1954 yang
mengatur tentang orang-orang yang tidak memiliki warga negara.
The Convention on the Reduction of Statlessness 1961 mengatur tentang pengurangan terhadap jumlah orangorang yang tidak memiliki warga negara
pihak dengan memberikan status kewarganegaraan terhadap anak-anak mereka yang lahir di negara itu.
The Fourth Geneva Convention Relative to the Protection of Civillian Persons
in Time of War 1949 mengatur tentang perlindungan terhadap penduduk sipil pada waktu perang.
The 1967 Unatied Nations Declaration on Territorial Asylum 1967 bertujuan
memelihara perdamaian dan keamanan internasional, mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa dan untuk menyelesaikan
masalah-masalah internasional dalam bidang ekonomi, sosial, budaya atau yang bersifat kemanusiaan.
Universitas Sumatera Utara
63
BAB IV LEGALITAS STATUS PERLINDUNGAN CLIMATE CHANGE REFUGEE
DI NEGARA PENERIMA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL
A. Climate Change Refugee Sebagai Permasalahan Kemanusiaan
Pada sub-bab ini penulis akan membahas bagaimana pengungsi lingkungan merupakan salah satu permasalahan kemanusiaan. Pada masa sekarang ini, kita
menyadari bahwa permasalahan lingkungan merupakan salah satu perhatian utama negara-negara di dunia. Dari terjadinya perubahan iklim, pemanasan
global, naiknya level permukaan laut, dan kasus tenggelamnya negara-negara kecil kepulauan menyebabkan permasalahan lingkungan memiliki kaitan akibat
dengan hak hidup serta perlindungan manusia. Dalam hal ini, dikarenakan kasus pengungsi lingkungan merupakan hal
yang baru muncul di kalangan masyarakat dunia dan belum memiliki dasar kepastian hukum akan statusnya, maka kasus ini merupakan hal yang termasuk
kedalam perhatian masyarakat dunia, tidak hanya masalah nasional bagi negara pengirim dan negara penerima, namun juga menjadi permasalahan kemanusiaan.
Masalah ini tentu saja sangat menyulitkan bagi dunia internasional, terutama bagi negara tuan rumah. Satu sisi mereka dituntut untuk membantu para
pengungsi atas nama kemanusiaan, namun disisi lain dengan jumlah pengungsi yang sangat besar tentu saja akan membebani pelayanan kesehatan, pedidikan,
sarana air dan cadangan bahan pangan negara mereka. Karena hal tersebut sering
Universitas Sumatera Utara
64 terjadi pengungsi tidak mendapatkan hak-haknya secara layak, bahkan mereka
diperlakukan dengan tidak manusiawi. Menurut Konvensi 1951 mengenai Status Pengungsi, pengungsi lintas batas
menyatakan bahwa pengungsi lintas batas refugee adalah seseorang yang “oleh karena rasa takut yang wajar akan kemungkinan dianiaya berdasarkan ras, agama,
kebangsaan, keanggotaan pada suatu kelompok sosial tertentu, atau pandangan politik, berada di luar negeri kebangsaannya, dan tidak bisa atau, karena rasa takut
itu, tidak berkehendak berada di dalam perlindungan negeri tersebut.” Permasalahan Pengungsi Lingkungan merupakan termasuk kepada
permasalahan kemanusiaan karena dalam kasus ini kebanyakan negara yang menandatangani konvensi pengungsi 1951 maupun negara-negara lain yang
belum menandatangani konvensi ini masih belum mau menerima pengungsi yang mengatasnamakan diri mereka sebagai “Pengngsi Lingkungan” karena jika
merujuk kepada pengertian pengungsi berdasarkan konvensi tersebut, maka “Pengungsi Lingkungan” tidak termasuk kedalam definisi “pengungsi”, maka dari
itu para negara penerima masih ragu untuk menerima pengungsi lingkungan di negara mereka.
Di sisi lain, jika dikaitkan dengan rasa kemanusiaan sesungguhnya seluruh umat manusia mengecam perlakuan negara-negara di dunia yang masih enggan
untuk menerima kelompok-kelompok pengungsi ke negara mereka. Seperti pernyataan yang dikutip oleh media asia tenggara Krisis kemanusiaan ini
mendatangkan citra yang negatif terhadap ASEAN tulis Khoo Ying Hooi di portal berita Malaysia, The Malaysian Insider. Insiden ini menunjukkan kembali
Universitas Sumatera Utara
65 inti dari banyak masalah di ASEAN, dan menjadi tekanan besar pada blok
regional ini untuk memikirkan kembali prinsip non-intervensi dalam urusan internal di negara-negara tetangga, tambahnya.
51
Pernyataan tersebut berkaitan dengan permasalahan pengungsi Rohingya yang pada status-quo nya sedang
terombang-ambing di tengah lautan karena ditolak oleh negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, bahkan Indonesia sendiri.
Para pengungsi lingkungan tidaklah lepas dari ketakutan akan hal ditolaknya pengajuan hak atas suaka yang mereka ajukan. Seperti halnya dalam kasus warga
negara pulau Kiribiti yang mengajukan claim atas statusnya sebagai pengungsi lingkungan kepada negara New Zealand. Dalam kasus ini, permohonan ditolak
oleh pengadilan setempat dikarenakan tidak adanya konvensi atau dasar hukum yang mengatur tentang pengungsi dengan status ”Pengungsi Lingkungan”.
Claiming Kiribati is “beyond redemption” and “at the point of no return,” President Tong has encouraged neighboring states to open their doors to I-
Kiribati who must flee their home country.
52
Pernyataan Presiden Karibiti tentang bagaimana keadaan Negara Karibiti yang berstatus sangat memprihatinkan dikarenakan oleh akibat dari kenaikan level
permukaan air laut, dimana hal ini merupakan salah satu akibat dari perubahan iklim yang mengakibatkan Negara ini tenggelam dan memohon kepada negara-
negara tetangga agar dapat menerima Pengungsi yang berasal dari Karibiti yang harus meninggalkan rumah mereka karena kasus ini. Dalam hal ini dapat kita lihat
51
Lihat situs internet http:www.dw.comidapa-kata-media-asia-tenggara-tentang-krisis- pengungsia-18456959, diakses pada tanggal 25 Maret 2016, pada pukul 09.05 WIB
52
Lihat: Xing-Yin Ni, A Nation Going Under: Legal Protection for “Climate Change Refugees”, Boston Collage International and Comparative Law Review, Article 07 Volume 38,
Hal 334.
Universitas Sumatera Utara
66 bagaimana Presiden Karibiti sebagai perwakilan dari rakyatnya meminta bantuan
atas nama kemanusiaan untuk menerima mereka jika mereka harus melakukan pengungsian atas nama “Pengungsi Lingkungan”.
Tidak dapat kita hindari bahwa persoalan kerusakan lingkungan dan akibatnya merupakan kesalahan dari umat manusia yang tidak memperkirakan
akibat lebih lanjut atas pembangunan dan perkembangan yang dilakukan atas nama Negara tetapi mengorbankan aspek-aspek lain dari kehidupan manusia itu
sendiri. Oleh karena itu, berkaitan tentang permasalahan Pengungsi Lingkungan yang merupakan Collective Effect daripada perbuatan manusia sudah sepantasnya
termasuk kedalam kategori permasalahan kemanusiaan. B.
Climate Change Refugee dari sisi Negara penerima Permasalahan Pengungsi Lingkungan tidak hanya dapat dilihat dari sudut
pandang Pengungsi Lingkungan itu saja, tetapi dapat kita tinjau dari sudut pandang Negara Penerima Pengungsi Lingkungan tersebut, karena dalam hal ini
terdapat beberapa aktor yang dapat kita bahas. Kedatangan Pengungsi ke Negara Penerima dianggap dapat menyebabkan
beberapa kerugian, seperti kerugian ekonomi, keamanan nasional, serta kestabilan politik di Negara Penerima. Mungkin permasalahan ini juga yang akan dihadapi
oleh Negara penerima terkait dengan permasalahan Pengungsi Lingkungan karena pada dasarnya akar permasalahan mereka ialah sama, yaitu mencari suaka.
Pada sub-bab ini, penulis akan berusaha menjabarkan hal-hal yang mungkin dilihat oleh Negara Penerima terkait dengan penerimaan Pengungsi Lingkungan
yaitu:
Universitas Sumatera Utara
67 1.
Prinsip non refoulement Sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 Konvensi mengenai Status
Pengungsi Tahun 1951 merupakan aspek dasar hukum pengungsi yang melarang negara untuk mengusir atau mengembalikan seseorang ke negara asalnya dimana
kehidupan dan kebebasannya akan terancam, dan oleh karenanya mengikat semua negara yang menjadi peserta Konvensi Tahun 1951. Namun sering kali dalam
keadaan yang terdesak, para pengungsi segera memilih untuk meninggalkan negara asalnya dan mencari perlindungan di negara yang mereka rasa aman tanpa
tahu apakah negara tersebut merupakan negara peserta Konvensi Tahun 1951 atau bukan.
Pengungsi berhak atas sejumlah hak seperti perlindungan dan bantuan yang disesuaikan dengan keadaan masing-masing. Salah satu perlindungan yang paling
mendasar dari penanganan Pengungsi adalah Pengungsi dapat menikmati perlindungan dari pemulangan yang sewenang-wenang ke negara dimana mereka
menghadapi resiko penganiayaan. Prinsip ini dikenal dengan prinsip non refoulement dan seringkali hal ini disebut sebagai tonggak dari perlindungan
internasional terhadap pengungsi. Hak ini secara khusus dijelaskan dalam Pasal 33 ayat 1 dari Konvensi Tahun 1951, yaitu:
“Tidak satupun dari Negara-negara Yang Mengadakan Perjanjian akan mengusir atau mengembalikan seorang pengungsi dengan cara apapun ke
perbatasan wilayah-wilayah dimana kehidupan atau kebebasannya akan
Universitas Sumatera Utara
68 terancam oleh karena suku, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok
sosial tertentu atau pendapat politiknya”.
53
Pengecualian dari prinsip non refoulement dijabarkan dengan sempit. Pengecualian hanya boleh diterapkan dalam keadaan tertentu seperti tersebut
dalam Pasal 33 ayat 2 Konvensi Tahun 1951. Syarat-syarat dalam pasal tersebut hanya boleh diterapkan jika pengungsi yang dimaksud merupakan ancaman yang
serius terhadap keamanan negara dimana ia mencari suaka atau orang tersebut telah diputuskan oleh pengadilan yang tidak mungkin naik banding lagi untuk
kejahatan yang sangat serius dan selanjutnya masih menjadi ancaman bagi masyarakat di negara dimana ia mencari suaka.
Prinsip non refoulement oleh beberapa ahli hukum internasional dikategorikan sebagai ius cogens, dimana ius cogens dapat diartikan sebagai suatu
norma dasar hukum internasional. Norma dasar hukum internasional menurut Konvensi Wina 1969 yaitu suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat
internasional sebagai suatu norma yang tidak boleh dilanggar dan hanya bisa diubah oleh norma dasar hukum internasional baru yang sama sifatnya. Oleh
karena tersebut, prinsip non refoulement harus tetap diterapkan di suatu negara dimana pengungsi mencari perlindungan, walaupun Negara tersebut tidak
menandatangani Konvensi PBB 1951 tentang Pengungsi.
54
2. Faktor-faktor pertimbangan Negara Penerima Pengungsi Lingkungan untuk
menerima Pengungsi Lingkungan.
53
Konvensi mengenai Status Pengungsi Tahun 1951, Pasal 33 ayat 1.
54
Lihat, Titik Juniati Ismaniar dan Gede Marhaendra Wija Atmadja,. Penerapan “Prinsip Non Refoulement” terhadap pengungsi dalam Negara yang bukan merupakan peserta Konvensi
mengenai status Pengungsi tahun 1951. Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Universitas Sumatera Utara
69 1
Faktor Keamanan Nasional Pada skenario pertama, faktor yang paling utama yang mungkin akan dilihat
oleh Negara Penerima terkait dengan kasus ini adalah tentang isu keamanan nasional. “keamanan nasional” pengertiannya menjadi semakin luas, bukan hanya
meliputi ancaman dari dalam internal threat danatau luar external threat, tetapi juga ancaman azymutal yang bersifat global tanpa bisa dikategorikan
sebagai ancaman luar atau dalam. Seirama dengan itu, watak dan wajah ancaman juga berubah multi dimensional. Sebab-sebab konflik menjadi, semakin majemuk
dan tidak bisa semata-mata dibatasi sebagai ancaman militer.
55
Dalam perkembangannya di samping persoalan-persoalan keamanan tradisional yang dapat mengancam Negara Penerima baik secara langsung
maupun tidak langsung, muncul pula masalah-masalah keamanan jika menerima Pengungsi Lingkungan yang notabane-nya belum memiliki dasar hukum
internasional secara tertulis yang lebih langsung mempengaruhi keamanan nasional, yakni isu ancaman keamanan non tradisional non traditional security
issues yang meliputi isu-isu terorisme terrorism, lalu lintas obat terlarang drugraficking, penyelundupan senjata small weapons arms smuggling,
penyelundupan orang people smuggling, perdagangan wanita dan anak-anak women and children trafficking yang hampir kesemuanya merupakan kejahatan
lintas negara transnational crime yang notabene ikut melengkapi masalah- masalah keamanan domestik tersebut.
55
Lihat http:www.lfip.orgenglishpdfbali- seminarPerubahan20Wajah20Ancaman2020Keamanan20Domestik20-
20mayjen20sudrajat.pdf, diakses pada tanggal 21 Maret 2016, pada pukul 20.05 WIB
Universitas Sumatera Utara
70 2
Faktor Ekonomi Selain tentang isu keamanan nasional, sebagai Negara Penerima mungkin
juga akan melihat isu ekonomi sebagai pertimbangan untuk menerima para Pengungsi Lingkungan. Dalam menerima selain isu keamanan nasional, isu
ekonomi merupakan salah satu perhatian utama Negara Penerima. Seperti yang tercantum di dalam Konvensi PBB tahun 1951 tentang Pengungsi pada BAB III
tentang pekerjaan yang memberi penghasilan serta pada BAB IV tentang kesejahteraan, dimana Negara Penerima haruslah menjamin hak-hak
kesejahteraan para Pengungsi secara ekonomi seperti menyediakan pekerjaan yang memberi penghasilan dan hal-hal lainnya.
Bagi Negara yang ingin menerima Pengungsi Lingkungan yang tidak menandatangani Konvensi Pengungsi, hal ini juga tidak lepas dari perhatian
mereka. Pada dasarnya para Pengungsi Lingkungan tidak akan mengharapkan hal yang terlalu istimewa atau hak-hak khusus ketika mereka mengungsi ke Negara
lain. Tetapi, ketika suatu Negara menerima Pengungsi Lingkungan, maka itu berarti bahwa mereka harus menyediakan tempat tinggal, persediaan makanan dan
air bersih, obat-obatan, pakaian, hingga pekerjaan yang layak bagi para pengungsi demi kelanjutan hidup mereka. Hal ini tentu saja bisa dianggap sebagai
permasalahan baru bagi Negara Penerima. Memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut berarti pemerintah Negara Penerima haruslah mengeluarkan dana yang
tidak sedikit yang memiliki kaitan dengan keseimbangan ekonomi Negara Penerima tersebut. Apalagi jika Negara Penerima masih tergolong kedalam negara
berkembang, maka ketika Negara tersebut menerima Pengungsi Lingkungan maka
Universitas Sumatera Utara
71 isu ekonomi merupakan isu yang cukup sensitif jika berkaitan dengan Negara
Penerima yang kesejahteraannya juga belum mencapai kata “Cukup Sejahtera”. 3
Faktor Sosial Hal tersebut juga dapat mempengaruhi permasalahan lain seperti Isu
Social Gab dan juga pada akhirnya bisa berkaitan dengan permasalahan kecemburuan sosial.
Isu Social Gab bukanlah hal yang tidak mungkin terjadi dalam hal
penerimaan Pengungsi Lingkungan. Seperti yang kita ketahui bahwa kedatangan kelompok Pengungsi Lingkungan yang merupakan berasal dari Negara lain,
dimana para Pengungsi Lingkungan tersebut memiliki perbedaan dengan Negara Penerima baik dalam hal geografis maupun dalam hal kebiasaan budaya dan
sosial masyarakat tersebut. Misalnya saja perbedaan kebiasaan yang dimiliki oleh para Pengungsi
Lingkungan yang melekat dalam diri mereka, serta perbedaan budaya yang mungkin saja cukup jauh dengan budaya di Negara Penerima. Belum lagi adanya
isu permasalahan perbedaan bahasa yang akan menambah kesulitan para Pengungsi Lingkungan dengan Penduduk Negara Penerima. Seperti yang kita
ketahui bahwa bahasa merupakan alat komusikasi yang sangat penting dalam kehidupan manusia untuk bisa bersosialisasi dengan manusia lain. Maka dari itu
permasalahan bahasa merupakan salah satu hal yang menyebabkan hal kesenjangan sosial yang akan terjadi di Negara Penerima Pengungsi Lingkungan
akan semakin tampak jaraknya.
Universitas Sumatera Utara
72 Permasalahan kecemburuan sosial yang penulis sebutkan diatas juga
merupakan akibat dari perlakuan Negara Penerima terhadap Pengungsi Lingkungan yang mungkin diartikan sebagai perlakuan khusus dilihat dari sudut
pandang Warga Negara asli Negara Penerima tersebut, yang dapat menciptakan rasa ketidak-adilan bagi Warga Negara Asli suatu Negara Penerima Pengungsi
Lingkungan. Karena jika Negara Penerima merupakan Negara Berkembang, maka hal ini akan besar kemungkinannya untuk terjadi. Karena ada beberapa karakter
masyarakat di Negara berkembang, yaitu: General characteristics of the developing countries are as follows:
56
Average income per capita of the population were generally low.
Education levels low average population.
Life expectancy lower average population.
Population growth rate per year is quite high.
The mortality rate is relatively high population per year.
Livelihoods of the population is generally patterned agrarian.
Narrow the field work.
Commodity exports of raw materials, rather than processed ingredients.
The majority of the population live in rural areas.
Low levels of population health.
High unemployment figures.
56
Lihat pada situs internet http:dailytape.com20110901the-characteristics-of- developed-and-developing-countries.html, diakses pada tanggal 20 Maret 2016, pada pukul 22.15
WIB.
Universitas Sumatera Utara
73 Dari penjabaran di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa karakteristik dari
masyarakat di Negara berkembang ialah terbatasnya wawasan tentang pendidikan, politik, serta ekonomi. Yang dimana jika masyarakat di Negara Penerima akan
merasa bahwa pemerintah Negara akan lebih fokus terhadap penanganan Pengngsi Lingkungan, maka hal ini yang akan memacu rasa kecemburuan sosial terhadap
Pengungsi Lingkungan yang mengakibatkan timbulnya permasalahan lain di dalam Negara Penerima yang berstatus Negara Berkembang.
C. Status perlindungan Climate Change Refugee dari perspektif hukum
internasional Setelah menjelajahi hubungan antara perubahan iklim dan perpindahan
penduduk, gagasan dari pengungsi lingkungan dianggap sebagai platform yang mungkin dari mulai mengintegrasikan kebutuhan mereka yang terkena dampak
perubahan iklim perpindahan ke dalam sistem hukum internasional. Namun, keterbatasan penerapan Konvensi PBB tahun 1951 berkaitan
dengan Status Pengungsi Konvensi Pengungsi, bersama-sama dengan kebingungan yang meluas dan skeptisisme mengenai terminologi yang berkaitan
dengan pengungsi lingkungan, berpendapat bahwa pendekatan ini tidak efektif. Selagi kerangka kerja perubahan iklim saat ini sudah menyerukan kerjasama
regional sehubungan kegiatan adaptasi, ada ruang untuk perjanjian pasca-Kyoto untuk memfasilitasi hukum regional dan pengembangan kebijakan dalam
menanggapi perpindahan penduduk yang diakibatkan oleh perubahan iklim.
57
57
Lihat Angela Williama, 2008. Turning the tide : Recognizing Climate Change Refugees in International Law, LAW POLICY, Vol. 30, No. 4.
Universitas Sumatera Utara
74 Selama akhir tahun 1980-an, tiga kategori pengungsi lingkungan
telah diidentifikasi yang membentuk dasar dari diskusi pada topik Climate Change Refugees, yaitu:
Kategori pertama, merupakan orang-orang yang mengungsi akibat stres
lingkungan sementara tetapi akan kembali ke tempat tinggal mereka setelah daerah tersebut telah pulih kembali, seperti bahaya bencana alam atau
kecelakaan lingkungan.
Kedua, Pengungsi Lingkungan yang mungkin termasuk orang-orang yang terlantar secara permanen yang telah dimukimkan kembali di tempat lain
karena perubahan lingkungan permanen yang dalam banyak kasus, merupakan dampak perbuatan manusia, seperti proyek bendungan besar.
Kategori ketiga, Pengungsi Lingkungan yang dimana orang-orang yang telah
bermigrasi baik sementara atau permanen mencari kualitas hidup yang lebih baik sebagai akibat dari degradasi progresif sumber daya lingkungan.
Interpretasi berikutnya telah berusaha untuk mengkarakterisasi pengungsi lingkungan berdasarkan faktor-faktor seperti lingkungan tertentu
raison dêtre untuk migrasi deforestasi, naiknya permukaan laut, darat degradasi, kelangkaan air, dan sebagainya, durasi migrasi sementara,
jangka panjang, permanen, perbedaan antara provokasi alam dan buatan manusia Degradasi sumber daya alam, kecelakaan industri, perang dan konflik,
perubahan iklim, dan migrasi dalam kaitannya dengan batas negara internal atau perpindahan lintas batas.
Universitas Sumatera Utara
75 Konvensi PBB tahun 1951 tentang Pengungsi dibuat dalam respon terkait
dengan meningkatnya pengungsi akibat pasca perang eropa pada waktu itu mengakibatkan definisi dan hal-hal yang mengatur tentang status pengungsi
menjadi terbatas dan sempit untuk interpretasi secara legal. Ada dua elemen inti sebagai syarat untuk memenuhi status Pengungsi
menurut Konvensi PBB 1951. Pertama, Pasal 1A mensyaratkan bahwa harus ada cukup beralasan atas rasa takut dianiaya dan kedua, alasan penganiayaan yang
terbatas terhadap ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu atau pendapat politik. Tidak ada ketentuan yang jelas untuk pengungsi yang
diciptakan oleh perubahan lingkungan dalam definisi ini. Beberapa telah berusaha untuk menyatakan bahwa pengungsi lingkungan yang saat ini cocok dalam
definisi Konvensi Pengungsi dengan mengklaim bahwa degradasi lingkungan yang disebabkan pemerintah adalah bentuk penganiayaan.
Berdasarkan Konvensi PBB 1951, Pengungsi terbatas pada situasi di mana hasil dari terpaksa melakukan migrasi manusia yang melintasi batas-batas negara.
nasib Pengungsi Lingkungan berada di luar kewenangan dari Konvensi Pengungsi, dan dengan demikian, orang tersebut tidak dilindungi oleh kerangka
hukum pengungsi internasional. Ini menunjukkan sejauh mana pendekatan tradisional untuk perlindungan
pengungsi tidaklah cocok untuk mengatasi tantangan kontemporer pengungsi lingkungan. Dalam banyak situasi mengenai pengungsi lingkungan, mungkin,
pada kenyataannya, ada. Baik unsur kesalahan iuran pada bagian dari pemerintah negara bagian yang juga bisa menghalangi pemerintah yang seharusnya
Universitas Sumatera Utara
76 bertanggung jawab untuk kesejahteraan individu seperti di mana pembangunan
yang disponsori pemerintah, proyek telah menyebabkan terciptanya pengungsi lingkungan, atau Negara hanya mungkin dapat menawarkan bantuan untuk
warganya di mana perubahan lingkungan memiliki efek yang besar sehingga dukungan internasional adalah satu-satunya pilihan yang layak misalnya, di mana
kenaikan permukaan laut mengancam keberadaan negara pulau kecil. Berdasarkan kasus Teitota yang mengajukan klaim sebagai Pengungsi
Lingkungan di pengadilan New Zealand, walaupun dalam kasus ini kasus Teitota ditolak oleh pengadilan New Zealand, namun menurut pengadilan ini, jika pada
waktu yang akan datang akan ada kasus yang diajukan terkait dengan Pengungsi Lingkungan, maka pengadilan tidak akan menutup kemungkinan bahwa
perlindungan bagi Pengungsi Lingkungan tidak akan diakui, jika terbukti benar di pengadilan.
“Although Teitiota’s claim ultimately failed, the High Court did not hold that Refugee Convention protections could never be extended to climateinduced
migrants. This leaves open the possibility that future claims brought by
individuals fleeing climate change might prove successful.”
58
Berangkat dari kasus diatas, maka pada dasarnya PBB ataupun badan internasional lain hanya dapat membuat peraturan hukum yang berlaku secara
internasional hanya untuk Negara-negara yang menjadi anggota dari Organisasi Internasional tersebut dan juga dapat diterapkan kepada Negara yang telah
58
Lihat Xing-Yin Ni, 20015. Boston College International Comparative Law Review:
A Nation Going Under: Legal Protection for “Climate Change Refugees”, Volume 38 Issue 2.
Universitas Sumatera Utara
77 menandatangani persetujuan untuk mengadopsi perangkat hukum internasional
menjadi perangkat hukum yang sah secara nasional. Dalam hal ini berarti, status perlindungan Pengungsi Lingkungan pada saat
ini belum memiliki dasar hukum yang sah secara internasional. Para Pengungsi Lingkungan hanya dapat mengharapkan rasa simpati dan empati yang dimiliki
oleh Negara Penerima untuk menerima suaka mereka dan menjamin hak asasi mereka sebagai manusia.
Universitas Sumatera Utara
78
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan