METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

42 Indikator kerusakan lingkungan adalah deteriorasi lingkungan yang dicirikan dengan hilangnya sumber daya air, udara, dan tanah; kerusakan ekosistem dan punahnya fauna liar. Indikator pembalakan liar dimaksudkan sebagaikegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat. Indikator Sanksi dimaksudkan sebagai langkah-langkah hukuman yang dijatuhkan oleh suatu negara berdasarkan pelanggaran terhadap perundangundangan yang berlaku di suatu daerah atau negara. Dalam melaksanakan analisis konten, substansi peraturan dan perundangundangan akan dilihat berdasarkan 4 indikator yang telah disebutkan di atas. Analisis didasarkan pada kata kunci ataupun kesamaan arti persepsi terhadap definisi indikator terkait. Apabila substansi berisikan kata kunci dari indicator yang diacu, maka peraturan tersebut dapat dikategorikan mengandung indicator tersebut eksplisit dan dikelompokkan pada pemahaman sama. Hal ini berarti setiap orang yang membaca substansi peraturan tersebut dan mengaitkan dengan indicator yang ditetapkan akan memiliki pemahaman yang sama. Apabila substansi mengandung perngertian terkait dengan indikator namun tidak secara jelas eksplisit sehingga belum tentu penafsiran seseorang akan sama. Hal demikian dikategorikan pada kelompok implisit dan pemahaman multi tafsir. Hasil analisis konten akan direpresentasikan dengan tabel seperti yang tertera pada Tabel 3.2. Tabel 3.2. Analisis konten terhadap substansi peraturan dan perundangundangan Hierarki Sistem Hukum Indonesia Nomor Peraturan Pasal Topik Utama Indikator Ekspli sit Implisit Pemaha man Sama Multi Tafsir Sust Dev Pembalakan Liar Termasuk Pencurian Kayu Kerusakan Lingkungan Sanksi 43 Identifikasi peraturan dan perundangundangan yang terkait dengan pembalakan liar dibatasi hanya pada tingkat nasional dengan asumsi bahwa peraturan di level yang lebih rendah akan mengikuti sistem hukum yang berlaku secara nasional. Apabila sistem peraturan yang berlaku secara nasional sudah baik, maka dapat dipastikan bahwa sistem hukum di level yang lebih rendah akan baik pula. Berdasarkan hasil analisis konten akan dilakukan analisis kesenjangan dengan mengelompokkan kembali hasil analisis konten dalam kategori yang sesuai sebagai berikut : - Peraturan dan perundangundangan terkait indikator belum ada; - Peraturan dan perundangundangan terkait indikator sudah ada, namun masih bersifat implisit sehingga bersifat multi tafsir - Peraturan perundangundangan terkait indikator sudah ada, dan tertulis secara eksplisit sehingga dikategorikan pada pemahaman yang sama. Berdasarkan kelompok yang disebut di atas, maka dapat dicari usulan solusi terhadap kategori hasil analisis tersebut. Kasus riil yang terjadi di Provinsi Riau akan dicoba diaplikasikan pada model ini untuk tujuan uji coba validasi model. Berdasarkan hasil uji coba akan diusulkan saran kebijakan yang perlu dilakukan dalam rangka memperbaiki sistem hukum dan kebijakan peratuan perundang-undangan yang terkait dengan pembalakan liar. 44

IV. DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN DI PROVINSI RIAU

4.1 Kondisi Geologi, Topografi, Hidrologi, dan Iklim

Wilayah Provinsi Riau merupakan hamparan yang relatif datar dan memiliki konfigurasi dataran rendah. Jenis tanah terbesar adalah podsolik merah kuning yang tersebar di daerah perbukitan sebelah timur dan latosol merah di sebelah barat. Tanah ini mempunyai tingkat kesuburan yang rendah. Hal ini berhubungan dengan tingkat keasaman tanah, kandungan hara yang rendah, kandungan liat tinggi dan adanya unsur-unsur beracun dalam tanah. Kedalaman tanah bervariasi dari 40 cm sampai lebih dari 150 cm. Pada daerah-daerah sekitar puncak bukit dan lereng atas bukit, kedalaman solum tanahnya hanya 30-50 cm, sedangkan pada lereng bawah berkisar antara 50-100 cm. Topografi secara umum relatif datar dan sedikit bergelombang, sampai berbukit-bukit dengan kelerengan curam. Wilayah dengan topografi berbukit dengan kelerengan curam antara lain terdapat di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh dengan ketinggian mencapai 843 m dpl. Daerah Provinsi Riau beriklim tropis basah dengan rata-rata curah hujan berkisar antara 2000-3000 mm per tahun yang dipengaruhi oleh musim kemarau dan musim hujan. Daerah yang sering ditimpa hujan setiap tahun adalah Rokan Hulu yaitu 210 hari, Kota Pekanbaru 209 hari, Kabupaten Indragiri Hulu dan Kampar 178 hari, dan yang terakhir adalah Kabupaten Siak dengan jumlah hari hujan 52 hari. Jumlah curah hujan tertinggi pada tahun 2006 terjadi di Kabupaten Kampar dengan curah hujan sebesar 3.507,0 mm, disusul Kota Pekanbaru sebesar 3.046,1 mm, sedangkan curah hujan terendah terjadi di Kabupaten Siak sebesar 991 mm. Menurut klasifikasi curah hujan dari Schmidt dan Ferguson, kawasan berhutan di Provinsi Riau sebagian besar termasuk tipe iklim B. Curah hujan rata-rata tahunan antara 2000-3000 mm. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Oktober sekitar 347 mm dan terendah terjadi pada bulan Juli yaitu sekitar 83 mm. Temperatur udara rata-rata bulanan berkisar antara 25,6-27,7 ºC. Temperatur maksimum terjadi pada bulan Agustus sebesar 33ºC, dan minimum terjadi pada bulan Januari sebesar 20,8 ºC. Kelembaban udara cukup tinggi, yaitu antara 81 persen sampai 90persen.Kelembaban udara maksimum hampir terjadi di sepanjang tahun kecuali bulan Juli. Kelembaban minimum terjadi pada bulan Agustus sebesar 46 persen. 45 Provinsi Riau sebelum dimekarkan menjadi dua provinsi baru mempunyai luas total 359.883.64 hektar dengan proporsi sebesar 71,33 persen 235.306.00 ha berupa lautan dan 28,67 persen 94.577.64 hektar berupa daratan. Pada wilayah daratan terdapat 15 sungai dengan 4 sungai di antaranya memiliki fungsi sebagai sarana perhubungan yaitu: 1 Sungai Siak dengan panjang 300 km dan kedalaman sekitar 8-12 m; 2 Sungai Rokan dengan panjang 400 km dan kedalaman sekitar 6-8 meter; 3 Sungai Kampar dengan panjang 400 km dan kedalaman sekitar 6 m; 4 Sungai Indragiri dengan panjang 500 km dan kedalaman sekitar 6-8 m. Keempat sungai ini berhulu di pegunungan daratan tinggi Bukit Barisan dan bermuara di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Letak, luas, dan batas wilayah administratif Provinsi Riau adalah sebagai berikut: 1 luas wilayah sebesar 8.915.015,09 ha luas sesudah pemekaran dengan Provinsi Kepulauan Riau; 2 keberadaan batas wilayahnya membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut Cina Selatan, terletak antara 1°15´ Lintang Selatan sampai 4°45´ Lintang Utara atau antara 100°03´-104°19´ Bujur Timur dan 6°50´-1°45´ Bujur Barat; dan 3 secara administratif pemerintahan wilayah Provinsi Riau terdiri atas 11 kabupaten dan kota, sembilan kabupaten dan dua kota. Kabupaten dan Kota di Provinsi Riau terbagi lagi menjadi 129 kecamatan, 190 kelurahan dan 1.236 desa. Luas wilayah masing-masing kabupaten dan kota di Provinsi Riau disajikan pada Tabel 4.1. Provinsi Riau berbatasan di sebelah utara dengan Selat Singapura dan Selat Malaka, di sebelah selatan dengan Provinsi Jambi dan Selat Berhala, di sebelah timur berbatasan dengan Laut Cina Selatan Provinsi Kepulauan Riau, dan di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Sumatera Utara. Tabel 4.1 Luas Wilayah Kabupaten dan Kota di Provinsi Riau KabupatenKota Ibukota Luas Ha Kuantan Singingi Teluk Kuantan 520 216,13 5,84 Indragiri Hulu Rengat 767 626,66 8,61 Indragiri Hilir Tembilahan 379 837,12 15,48 Pelalawan Pangkalan Kerinci 1 240 413,95 13,9 Siak Sri Indrapura 823 357,00 9,24 46 Sumber: Riau dalam Angka 2007

4.2 Tata Ruang Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan di Provinsi Riau secara umum didominasi oleh penggunaan lahan hutan dan pertanian. Hutan di Provinsi Riau menempati luas sekitar 51,25 persen dari total area daratan dan terbagi dalam beberapa kategori: hutan lindung 2.66 persen,hutan suaka alam 6,19 persen, hutan produksi 39,79 persen dan hutan mangrove 1,61 persen. Tabel 4.2 menyajikan jenis hutan serta luasan di Provinsi Riau. Tabel 4.2 Luas hutan di Provinsi Riau tahun 2006 Sumber: Pemda Provinsi Riau 2006 Di Provinsi Riau juga terdapat penggunaan lahan hutan bakau yang bertujuan untuk melestarikan mangrove sebagai pembentuk ekosistem hutan bakau dan tempat berkembang biaknya berbagai biota laut, disamping sebagai pelindung pantai dari pengikisan air laut abrasi dan bagi perlindungan usaha budidaya di belakangnya. Kabupaten Indragiri Hilir memiliki areal hutan bakau yang paling luas, yaitu seluas 63.534,01 ha atau 45.89persen dari luas total keseluruhan, diikuti Kabupaten Bengkalis seluas 47.600,02 ha atau 34,38persen dan Kota Dumai seluas 11.582,79 ha atau 8,36persen. Kampar Bangkinang 1 092 819,71 12,26 Rokan Hulu Pasir Pengarayan 722 977,68 8,11 Bengkalis Bengkalis 1 204423,05 13,51 Rokan Hilir Bagan Siapi-api 896 142,93 10,05 Pekanbaru Pekanbaru 300,86 630,71 Dumai Dumai 203 900,00 2,29 Provinsi Riau Pekanbaru 8 915 015,09 100,00 No Fungsi Hutan Luas Hutan 1 Hutan Lindung 228.793,82 2,66 2 Hutan Suaka Alam 831.852,65 6,19 3 Hutan Produksi Tetap 1.605.762,78 18,67 4 Hutan Produksi Terbatas 1.815.949,74 21,12 5 Non-Kawasan Hutan 4.277.964,39 49,75 6 Hutan Mangrove Bakau 138.433,62 1,61 47 Tabel 4.3 Luas Areal Hutan Bakau Provinsi Riau No Kabupaten Luas ha 1 Indragiri Hilir 63.534,01 45.89 2 Bengkalis 47.600,02 34.38 3 Dumai 11.582,79 8.36 Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Riau, 2008 Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional Provinsi Riau, luas lahan pertanian pada tahun 2006 adalah 43.290,63 ha yang terdiri dari luas lahan kering sebesar 2.965.251 ha, dan sisanya adalah lahan pertanian sawah. Penggunaan lahan untuk pertanian yang dominan adalah untuk perkebunan dan tanaman pangan. Tanaman perkebunan yang relatifpotensial di daerah ini ialah kelapa sawit, karet, kelapa, kopi dan cengkeh. Luas lahan yang digunakan untuk kelapa sawit 1.530.153,39 ha, kelapa 551.612,78 ha, karet 514.469,72 ha, cengkeh 24,30 ha dan kopi 10.816,43 ha. Sub-sektor tanaman pangan terdiri atas tanaman padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu dan ubi jalar. Data tanaman pangan meliputi luas panen dan produksi tanaman bahan makanan, sayur-sayuran dan buah-buahan. Selama periode 2006 luas panen tanaman padi mengalami peningkatan sebesar 1,26 persen yaitu dari 134.418 ha menjadi 136.117 ha.

4.2.1 Lahan Kritis

Luas lahan kritis di Provinsi Riau pada tahun 2006 mencapai 7.116.530,88 ha atau 82 persen dari luas provinsi dan terdapat dihampir semua kawasan hutan baik hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas, hutan produksi konversi, dan areal penggunaan lain. Meluasnya lahan kritis di Provinsi Riau Gambar 4.1. tahun 2006 menunjukkan bahwa bencana ekologis yang kerap terjadi belakangan ini di wilayah Provinsi Riau terkait nyata dengan perubahan tutupan hutan tropis Indonesia di wilayah tersebut yang mengakibatkan lahan menjadi kritis dan memicu kebakaran hutan, longsor, banjir bandang, dan lain sebagainya. 48 57595.81 1480611.8 4701516.41 2306658.7 108355.77 500000 1000000 1500000 2000000 2500000 3000000 3500000 4000000 4500000 5000000 TIDAK KRITIS POTENSIAL KRITIS AGAK KRITIS KRITIS SANGAT KRITIS Tingkat Kekritisan Lahan L u a s H a Gambar 4. 1 Luas lahan kritis di Provinsi Riau pada tahun 2006 Sumber : Ditjen RLPS, 2006 Luas lahan kritis dalam kawasan hutan berdasarkan tata guna hutan di Provinsi Riau pada tahun 2006 tercatat seluas 1,50 juta ha dengan lokasi terluas terdapat di Kabupaten Bengkalis diikuti Kabupaten Kampar dan Kabupaten Rokan Hilir Tabel 4.4. Perubahan yang terjadi mengakibatkan biodiversity lost dan mempengaruhi aspek komunitas kehidupan biologis dan hidroorologis secara holistik dan harmonis. Infrastruktur jalan raya beraspal yang dibangun dalam hutan alam juga memberikan sumbangan besar terhadap hilangnya tajuk saat penebangan. Tabel 4.4. Lahan kritis di Provinsi Riau No Kabupaten Luas ha 1 Bengkalis 285.936,70 19,09 2 Kampar 244.696,27 16,33 3 Rokan Hilir 208.073,59 13,89 Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Riau, 2008