Pembentukan TanahSoil TINJAUAN PUSTAKA

33 dan membatasi kerusakan hutan-kerusakan hutan dan hasil-hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit dan 2 mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Peraturan Pemerintah yang mengikutinya yaitu PP No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, telah mendefinisikan perlindungan hutan sebagai usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak,kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Sukardi 2008 menyatakan bahwa usaha perlindungan hutan ditujukan untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan agar kelestarian hutan tetap terpelihara. Perlindungan hutan harus dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan lingkungan atau ekosistem secara global. Juga ditegaskan oleh Soemarwoto 1991 bahwa lingkungan global adalah lingkungan hidup sebagai suatu keseluruhan, yaitu wadah kehidupan yang di dalamnya berlangsung hubungan saling mempengaruhi interaksi antara makhluk hidup komponen hayati dengan lingkungan tempat hidupnya komponen non-hayati. Penegakan aturan hukum akan berjalan efektif apabila tingkat kepatuhan compliance masyarakat terhadap hukum itu besar. Hirakuri 2003 membandingkan perbedaan compliance tingkat kepatuhan hukum dalam bidang kehutanan yang relatif tinggi di Finlandia dan negara Brazil yang relatif rendah. Tingkat compliance yang tinggi di Finlandia dipengaruhi oleh beberapa faktor signifikan, yaitu 1 economic incentives; 2 forest extension, institutional management and cooperation; 3 small-scale forestry; 4 forest management plans; dan 5 penerapan forest-certification, sementara di Brazil beberapa permasalahan terkait pengelolaan hutan dan tingkat kepatuhan terhadap hukum yang relatif rendah antara lain dikarenakan: 1 Complicated administrative procedures for procursing logging permit; 2 Deficient processes for forest control; 3 Law rates of compliance with forest law, 4 ineffectiveness within the legal systems for imposing penalties on violators; 5 Institutional problems within enforcement division; 6 Sarce financial resources allocated to field enforcement; dan 7 less economic. 34 Faktor-faktor dari dua wilayah riset yang dikemukakan oleh Hirakuri tersebut menjelaskan secara rinci bahwa keberhasilan penegakan hukum wajib didukung dengan pembenahan instrumen lainnya yang terkait didalamnya. Penegakan hukum pembalakan liar atau illegal logging dapat dipandang sebagai bagian dari hukum lingkungan hidup yang mengedepankan model pidana lingkungan yang harus bersifat terpadu. Sesungguhnya apabila peraturan perundang-undangan Lex Specialist tentang pembalakan liar atau illegal logging tidak berjalan secara efektif, maka dimungkinkan untuk menggunakan asas yang lebih tinggi lagi yaitu Asas Subsidiaritas yang menyatakan bahwa hukum pidana seyogyanya digunakan sebagai langkah akhir. Asas yang termuat pada bagian penjelasan umum UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup PLH ini, mensyaratkan tiga hal yang harus terpenuhi sebelum hukum pidana diterapkan. Ketiga syarat itu boleh diberlakukan bilamana: 1 sanksi dibidang hukum lain tidak efektif; 2 tingkat kesalahan pelaku atau akibat atau dampaknya relatif besar; 3 dan telah menimbulkan keresahan dimasyarakat Noor, 2007. Gambar 2.4. Proses Perkembangan Kejahatan Pembalakan Liar atau Illegal Logging di Indonesia Sumber: Dudley dalam Colfer dan Rsodarmo 2003: 439-464 35 Berdasarkan pertimbangan yang telah dikemukakan sebelumnya dan melihat dampak yang telah ditimbulkan dari praktek pembalakan liar atau illegal logging secara hampir merata terjadi di seluruh wilayah administratif Provinsi Riau, maka Polda Riau pada periode 2007-2008 berupaya menjerat pelaku delik pidana pembalakan liar atau illegal logging dengan menggunakan Asas Subsidiaritas, Asas Ultimum Remidium, sampai dengan Asas Premum Remidium. Tingkatan Asas dalam hiraki yang dimungkinkan dalam koridor sistem hukum tampak dalam Gambar 2.5 sebagai berikut. Gambar 2.5. Hiraki Asas dalam Sistem Hukum Positif Sumber: Beragam Sumber yang diolah oleh Peneliti Kewenangan Polri sebagai Alat Negara Penegak Hukum tersebut memang hanya terbatas sampai pada level Asas Premum Remidium. Untuk melangkah kepada sebuah upaya penyelamatan lingkungan hidup yang kohesif, holistik, dan terpadu berkelanjutan terukur, terkendali diperlukan sebuah upaya lebih tinggi lagi. Upaya tersebut terdapat didalam kewenangan yang secara eksklusif hanya dimiliki oleh seorang Kepala Negara yang juga sebagai Kepala Pemerintahan Republik Indonesia. Indrayana, 2008. Secara pribadi seorang Presiden RI mempunyai hak untuk dapat mengeluarkan KEPPRES, serta bersama-sama DPR RI sesuai dengan mandat dalam UUD 45 dapat mengeluarkan PERPPU Peraturan Pengganti Undang Undang. Keputusan Presiden KEPPRES yang diterbitkan merupakan bentuk perwujudan dari hak prerogatif yang melekat kepada jabatan seorang Presiden. 36 Dasar hukum yang dapat digunakan pada umumnya dalam penerbitan Keputusan Presiden berdasarkan kewenangan khusus ada didalam Pasal 4 ayat 1 UUD 45, sedangkan untuk PERPU terdapat dalam Pasal 22 ayat 1, 2, 3 UUD 45. Selama kurun waktu Repelita masa lalu, pemerintah Indonesia telah banyak mengeluarkan Keputusan Presiden dan dapat dilihat pada output Keppres yang dikeluarkan selama masa pemerintahan tersebut Erliana, 2005. Tabel 2.2 Klasifikasi Khusus-Umum KeppresKeputusan Presiden RI, Berdasarkan Wewenang Administrasi Negara Masa Mantan Presiden Soeharto 1987- 1998 No Tahun Khusus Umum Jumlah 1 1987 19 34 53 2 1988 16 46 62 3 1989 19 45 64 4 1990 11 49 60 5 1991 11 48 59 6 1992 22 46 68 7 1993 36 82 118 8 1994 15 72 87 9 1995 24 66 90 10 1996 28 71 99 11 1997 15 38 53 12 1998 14 63 77 230 25,84 660 74,16 890 100 Sumber: Erliana, Keputusan Presiden: Analisis Keppres 1987-1998, 2005 Erliana 2005 juga menyebutkan bahwa walau Keputusan Presiden Republik Indonesia adalah pernyataan kehendak dalam bidang Ketatanegaraan dan Ketatapemerintahan yang berisi peraturan umum regeling dan keputusan beshicking namun ada kemungkinan cakupan KEPPRES tersebut dalam kenyataannya jauh lebih luas, walaupun juga dibatasi 37 pada lingkup administrasi negara. Diterangkan lebih lanjut bahwa KEPPRES yang berdasarkan aturan ketentuan pada UUD 45 Pasal 4 ayat 1 yang berbentuk beleid mengandung kerancuan. Adanya kewenangan diskresi justru mengakibatkan dispute yang terjadi antara pemerintah saat itu dengan para aktivis lingkungan hidup atau Walhi. Para aktivis lingkungan hidup Walhi ini mewakili kepentingan masyarakat luas yang telah kehilangan akses atas kedaulatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup milik mereka sendiri. Tuntutan Walhi melalui berbagai peradilan di Indonesia, selama kurun waktu berlangsungnya pemerintahan rezim Orde Baru, tidak pernah berhasil karena dibenturkan pada KEPPRES beleids regel yang dikaitkan dengan pelaksanaan peraturan kebijakan policy rules yang eksploitatif dan bersifat searah tanpa pelibatan masyarakat setempat ditempat kejadian, padahal mereka merupakan pemangku kepentingan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development di Indonesia. Perubahan paradigma pengelolaan hutan dari timber management ke sustainable forest resources based management merupakan suatu misi besar dalam manajemen sumberdaya lingkungan hidup yang kompleks. Perubahan paradigma forest resources based management yang dibingkai dengan law enforcement akan membawa konsekuensi terhadap complience atau kepatuhan atas rule and regulation sistem ekonomi kehutanan Indonesia yang berkelanjutan yang juga memperhitungkan nilai total ekonomi potensi sumberdaya hutan secara utuh, komprehensif dan berkelanjutan. 38

III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian yang dipilih adalah di wilayah adminsitratif Provinsi Riau Gambar 3.1. Penelitian dilaksanakan pada tahun 2005 hingga tahun 2007. Gambar 3.1 Peta Wilayah atau Lokasi Penelitian di Wilayah Administratif Propinsi Riau Sumber: Pemerintah Daerah, Provinsi Riau, 2007

3.2. Metodologi

Dalam pelaksanaan penelitian ini digunakan pendekatan sistem. Pendekatan sistem merupakan cara pandang yang bersifat menyeluruh holistic yang memfokuskan pada integrasi dan keterkaitan antar komponen. Pendekatan ini dapat mengubah cara pandang dan pola berpikir dalam menangani permasalahan dengan menggunakan model yang merupakan penyederhanaan dari sebuah sistem. Model digunakan karena lebih mudah untuk memahami sesuatu yang lebih sederhana dibandingkan dengan sistem sesungguhnya yang lebih kompleks Hartrisari, 2007. Cara pemecahan masalah yang dimulai dengan mengidentifikasi kebutuhan pelaku dan mengintegrasikan keseluruhan kebutuhan pelaku dalam suatu sistem dan operasi. Ciri 39 pendekatan sistem adalah mencari semua faktor yang penting untuk memperoleh solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah dan membuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional Eriyatno, 1999. Gambar 3.2 menyajikan tahapan pendekatan sistem. Gambar 3.2 Pendekatan Sistem Hartrisari, 2007 Pemangku kepentingan stakeholders dalam penelitian ini adalah komponen trias politica dalam pemerintahan suatu negara yaitu legislatif yang berfungsi dalam membuat peraturan perundang-undangan, eksekutif yaitu komponen yang menjalankan pemerintahan termasuk implementasi sistem hukum dan perundang-undangan, yudikatif yaitu komponen terkait penerapan sanksi hukum bila terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan serta masyarakat. Analisis kebutuhan terhadap stakeholders dapat dilihat pada tabel 3.1. mulai selesai Analisis Kebutuhan Formulasi Masalah Identifikasi Sistem Pemodelan Sistem Verifikasi dan Validasi Implementasi mulai mulai selesai selesai Analisis Kebutuhan Formulasi Masalah Identifikasi Sistem Pemodelan Sistem Verifikasi dan Validasi Implementasi 40 Tabel 3.1. Analisis kebutuhan stakeholders dalam sistem hukum dan perundang- undangan yang terkait pembalakan liar No Stakeholders Kebutuhan 1 Legislatif Kelengkapan peraturan perundang-undangan 2 Eksekutif Implementasi peraturan perundang-undangan 3 Yudikatif Keadilan dan kepastian hukum 4 Masyarakat Equality before the law Berdasarkan tahap analisis kebutuhan terlihat bahwa tidak ditemukan kebutuhan yang kontradiktif. Semua stakeholders menginginkan penegakan hukum dan kesamaan hak di mata hukum law enforcement dan equality before the law. Hasil identifikasi sistem berupa diagram input output dapat dilihat pada gambar 3.3. Gambar 3.3. Diagram Input Output untuk Model Sistem Kebijakan dan Hukum Pemberantasan Pembalakan Liar 41 Berdasarkan diagram input output akan disusun model Sistem Kebijakan dan Hukum Pemberantasan Pembalakan Liar. Dalam penelitian ini tahap penyusunan model dimulai dari identifikasi sistem hukum dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembalakan liar. Teknik analisis untuk penyusunan model adalah analisis konten dan analisis kesenjangan. Analisis konten bertujuan untuk mempelajari seluruh kandungan tertentu terhadap target penelitian tertentu di dalam beberapa entitas yang diteliti, sementara Analisis kesenjangan bertujuan untuk melihat dan menilai kesenjangan dari seluruh sumber data sekunder yang tersedia terhadap penerapan atau implementasinya. Validasi model akan didasarkan pada kasus yang terjadi di Provinsi Riau selama tahun 2007. Analisis pada hasil putusan hukum akan dijadikan masukan pada model yang dibangun.

3.3 Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari: 1 data primer yang merupakan data yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti; dan 2 data sekunder yang merupakan data dari penelitian yang sebelumnya telah dilakukan oleh orang lain. Data primer pada penelitian ini terdiri dari fakta kasus pelanggaran hukum yang terjadi di Provinsi Riau sedangkan data sekunder adalah seluruh peraturan perundangan dan hukum yang terkait dengan pembalakan liar yang digunakan di Republik Indonesia.

3.4. Tahapan Penelitian

Seperti telah disebutkan sebelumnya, penelitian ini menggunakan pendekatan sistem yang dimulai dari identifikasi peratutan perundangundangan yang terkait dengan pembalakan liar. Model akan disusun berdasarkan hasil identifikasi akan dilakukan analisis konten terhadap isi dari peraturan perundang-undangan tersebut. Analisis konten akan didasarkan pada empat indikator yaitu Sustainable Development, Kerusakan Lingkungan, Pembalakan Liar dan Sanksi. Adapun definisi dari 4 indikator tersebut adalah sebagai berikut: Indikator Sustainable Development dimaksudkan sebagai proses pembangunan lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb yang berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan Brundtland Report, PBB, 1987. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. 42 Indikator kerusakan lingkungan adalah deteriorasi lingkungan yang dicirikan dengan hilangnya sumber daya air, udara, dan tanah; kerusakan ekosistem dan punahnya fauna liar. Indikator pembalakan liar dimaksudkan sebagaikegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat. Indikator Sanksi dimaksudkan sebagai langkah-langkah hukuman yang dijatuhkan oleh suatu negara berdasarkan pelanggaran terhadap perundangundangan yang berlaku di suatu daerah atau negara. Dalam melaksanakan analisis konten, substansi peraturan dan perundangundangan akan dilihat berdasarkan 4 indikator yang telah disebutkan di atas. Analisis didasarkan pada kata kunci ataupun kesamaan arti persepsi terhadap definisi indikator terkait. Apabila substansi berisikan kata kunci dari indicator yang diacu, maka peraturan tersebut dapat dikategorikan mengandung indicator tersebut eksplisit dan dikelompokkan pada pemahaman sama. Hal ini berarti setiap orang yang membaca substansi peraturan tersebut dan mengaitkan dengan indicator yang ditetapkan akan memiliki pemahaman yang sama. Apabila substansi mengandung perngertian terkait dengan indikator namun tidak secara jelas eksplisit sehingga belum tentu penafsiran seseorang akan sama. Hal demikian dikategorikan pada kelompok implisit dan pemahaman multi tafsir. Hasil analisis konten akan direpresentasikan dengan tabel seperti yang tertera pada Tabel 3.2. Tabel 3.2. Analisis konten terhadap substansi peraturan dan perundangundangan Hierarki Sistem Hukum Indonesia Nomor Peraturan Pasal Topik Utama Indikator Ekspli sit Implisit Pemaha man Sama Multi Tafsir Sust Dev Pembalakan Liar Termasuk Pencurian Kayu Kerusakan Lingkungan Sanksi