Sistematika Penulisan Efektivitas dan Implementasi Kebijakan terkait dengan Bencana Ekologis

16

2.2 Hutan dan Pengelolaan Hutan

Kata hutan dimaknai dengan sebuah wilayah yang penuh pohon-pohonan yang tumbuh tak beraturan atau suatu areal tertentu yang ditumbuhi pepohonan dan didiami berbagai jenis binatang Sukardi, 2005. Menurut Salim 2003 hutan adalah sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu, kelembaban, cahaya, angin, dan sebagainya yang tidak lagi menentukan lingkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh- tumbuhan atau pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas dan tumbuhnya cukup rapat horizontal dan vertikal. Menurut UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 1 butir 2 hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan Khakim, 2004. Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa terdapat dua kepentingan yang terkandung dalam hakekat hutan, yaitu: 1 hutan yang berisi sumberdaya alam hayati adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya dan dapat dimanfaatkan sebagai modal pembangunan nasional penjelasan umum UU No. 41 Tahun 1999; 2 hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem dalam persekutuan alam dan lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hutan juga mempunyai fungsi-fungsi pokok lainnya yaitu fungsi ekologis, ekonomis dan sosial sehingga fungsi hutan itu perlu dilindungi Sukardi, 2005.

2.2.1 Manfaat Hutan

Hutan adalah the Mother of Land, karenanya jika hutan tidak ada, maka tidak akan ada kehidupan. Lebih jelasnya bagi sebuah negara berdaulat, hutan merupakan kekayaan yang memberi manfaat multiguna antara lain sebagaisumber pendapatan, perlindungan tata air, produsen jasa lingkungan. Hutan wajib dikelola dan dimanfaatkan secara optimal, dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran masyarakat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang Santoso, 2008. Hutan memiliki tiga fungsi pokok yang saling terkait dan tidak dapat terpisahkan, yaitu: 1 fungsi ekologis; hutan sebagai suatu sistem penyangga kehidupan antara lain untuk mengatur tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan iklim mikro, menjadi penghasil udara bersih, menjaga siklus makanan serta sebagai tempat pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, 2 fungsi ekonomis, yaitu hutan sebagai sumber yang menghasilkan barang dan jasa baik yang terukur seperti hasil hutan 17 berupa kayu dan non kayu, maupun yang tidak terukur seperti jasa ekoturism; 3 fungsi sosial, yaitu hutan sebagai sumber penghidupan dan lapangan kerja serta kesempatan berusaha bagi sebagian masyarakat terutama yang hidup di dalam dan sekitar hutan, serta untuk kepentingan pendidikan dan penelitian demi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

2.2.2. Pengelolaan Sumberdaya Hutan

Pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia tidak terlepas dari sejarah perkembangan politik atas kebijakan pengelolaan hutan sejak masa kolonial Belanda hingga masa Orde Baru. Kebijakan pengelolaan dan penguasaan hutan Indonesia, dimulai khususnya di pulau Jawa berupa budidaya hutan jati. Sejak masa pemerintahan kolonial Belanda beberapa kebijakan yang berlaku pada masa itu berlaku pula pada masa Orde Baru tanpa mengalami perubahan yang signifikan dan hanya meneruskan kebijakan-kebijakan serta pengelolaan atau management atau manajemen hutan yang telah disusun dan ditetapkan oleh pemerintah kolonial Belanda di masa lalu.

2.2.2.1 Kebijakan Pengelolaan Hutan di Jaman Kolonial Belanda

Pengelolaan sumberdaya hutan saat itu memang diawali dengan pemanfaatan dan pengelolaan hutan jati Tectona grandis, dengan konsentrasi hanya di pulau Jawa dan Madura. Pengelolaan hutan jati dilakukan dengan tujuan sebagai pasokan bahan baku bagi beberapa industri kapal kayu milik pengusaha Belanda dan Cina yang tersebar di sepanjang pantai utara di pulau Jawa, mulai dari Tegal, Jepara, Juwana, Rembang, Tuban, Gresik hingga Pasuruan. Kapal-kapal Belanda dan Cina tersebut dibuat dari kayu jati yang bahan bakunya didapat dari hasil eksploitasi hutan jati dari pulau Jawa yang mengakibatkan terjadinya degradasi wilayah hutan dan sekitarnya. Degradasi hutan di pulau Jawa cepat atau lambat berdampak pada kelangsungan hidup usaha-dagang industri kapal kayu. Kolonial Hindia Belanda mengangkat Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk merehabilitasi kawasan hutan melalui kegiatan reforestasi. Pada tahun 1808 Daendels membentuk Dienst van het Boschwezen Jawatan Kehutanan, sebagai langkah awal kegiatan reforestasi yang memiliki tugas membatasi pemberian izin atau morotarium atas usaha penebangan kayu jati dan memberikan sanksi pidana bagi penebang yang tidak memperoleh izin penebangan kayu di kawasan hutan. Tahun 1849, Pemerintah Kolonial 18 Hindia Belanda mengeluarkan hak untuk mengelola hutan jati kepada beberapa daerah Karesidenan Hak Pengelolaan Hutan Swapraja. Salah satu daerah yang diberikan adalah hak swapraja yang kini merupakan wilayah Kesultanan Yogjakarta di daerah Gunung Kidul. Dalam peraturan pengelolaan swapraja tersebut, Sultan Yogjakarta boleh memungut hasil kayu sekaligus juga berkewajiban untuk menjamin kebutuhan kayu bulat untuk Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Pada tahun 1875, hak pengelolaan hutan jati oleh Kesultanan Yogjakarta ini kemudian ditarik kembali. Seluruh penebangan pohon di wilayah Kesultanan Yogjakarta di daerah Gunung Kidul kembali harus mendapat persetujuan pemerintah Kolonial Hindia Belanda terlebih dahulu lagi seperti sebelumnya. Izin penebangan yang sebelumnya diberikan kepada Kesultanan Jogjakarta, akhirnya diserahkan kepada Jawatan Kehutanan. Namun tidak semua daerah Karesidenan yang telah memiliki hak pengelolaan hutan swapraja dicabut kembali izinnya. Kesultanan Surakarta mendapat hak untuk menanam jati dalam hutan yang sudah ditata dan dikelolanya dan keadaan sampai dengan tahun 1945, ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Pada tahun 1865, kepemilikan pemerintah atas tanah hutan diperkuat melalui: 1Boschhordonantie voor Java en Madoera 1865 atau Undang-Undang Kehutanan untuk Jawa dan Madura mengenai pengelolaan hutan; dan 2 peraturan Domeinverklaring 1870 atau Peraturan Agraria 1870 yang menyebutkan bahwa setiap tanah hutan yang ada di wilayah Hindia Belanda yang tidak dibebani hak milik pihak lain atau tidak dapat dibuktikan adanya hak di atasnya maka menjadi domain pemerintah.Ternyata pelibatan rakyat dan petani lokal seperti yang dimaksud olehDienst Van het Boschwezen Jawatan Kehutanan adalah untuk mendukung sistem tanam paksa Cultuurstelsel yang diberlakukan oleh pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1830-1870.Pada tahun 1874, pemerintah Hindia Belanda mulai mengeluarkanPeraturan Kehutanan untuk mengatur perencanaan pengelolaan hutan dan penebangan kayu hutan secara teratur.Tahun 1895 pemerintah Hindia Belanda membentuk Inrichtings Brigade Bagian Tata Hutan dalam lingkungan Jawatan Kehutanan yang merupakan cikal bakal Badan Planologi Kehutanan. Selanjutnya, pada tahun 1904 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan Hout Arskap Concesies yang mengatur tentang tata penebangan konsesi kayu. Maka berdasarkan atas dasar peraturan tersebut, kemudian beberapa Kesultanan serta Kerajaan mengeluarkan izin konsesi hutan. Pemerintah Hindia Belanda juga mengeluarkan peraturan Bosreglement 1913 yang bertujuan untuk menyempurnakan kembali pengelolaan hutan.Pada tahun 1927, pemerintah Kolonial Hindia Belanda kembali mengeluarkan peraturan Bosordonantie lain yang bertujuan untuk menyempurnakan pengelolaan hutan di wilayah kekuasaan Kolonial Hindia Belanda.