Biaya erosi tanah TINJAUAN PUSTAKA
mengusulkan kriteria lahan tergedradasi dapat didekati dengan memperhatikan faktor utama atau penyebab terbesar terjadinya proses degradasi lahan, yaitu
erosi dan teknik pengelolaan sumberdaya lahan. Puslittanak 2002, mengusulkan parameter yang harus diperhatikan
untuk penetapan lahan terdegradasi pada ekosistem lahan kering beriklim basah yaitu meliputi: penggunaan lahanvegetasitutupan lahan, lereng, bahan induk
tanah, kenampakan erosi, solum tanah, dan manajemen teknik pengelolaan lahan. Penetapan kriteria lahan terdegradasi diamati berdasarkan pada kondisi
sumberdaya alami natural assessment dan pengaruh kegiatan manusia antrophological assessment. Kondisi sumberdaya alami meliputi: bahan induk
tanah, curah hujan, bentuk wilayah kemiringan lereng, dan kedalaman tanahsolum; sedangkan pengaruh kegiatan manusia, meliputi: jenis vegetasi,
penutupan vegetasi, dan penerapan teknik konservasi tanah dan air. Degradasi lahan pada umumnya disebabkan proses erosi akibat tingginya
curah hujan dan pengelolaan pertanian yang kurang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan Puslittanak 2002. Di wilayah Sub-DAS Progo Hulu,
kebiasaan teknik budidaya dalam usahatani berbasis tembakau kurangtidak mengindahkan kaidah konservasi, kondisi tersebut dilakukan pada kemiringan
yang curam serta curah hujan yang tinggi akibatnya telah menyebabkan terjadinya erosi yang parah. Besarnya prediksi erosi yang terjadi pada wilayah Sub-DAS
Progo Hulu rata-rata sebesar 47,51 tonhatahun; dimana untuk Sub-Sub-DAS Kuas sebesar 66,96 tonhatahun, Sub-Sub-DAS Galeh sebesar 53,02
tonhatahun, Sub-Sub-DAS Progo Hulu sebesar 22,14, dan Sub-Sub-DAS Grabah sebesar 66,90 tonhatahun Proyek Pusat Pengembangan Pengelolaan DAS
1990. Hasil penelitian petak erosi pada lahan usahatani berbasis tembakau dengan kemiringan 62 besarnya erosi tercatat 53,72 tonhatahun Djajadi et al.
1994. Sedangkan pada lahan lincat lahan dengan sifat tanah lengket pada waktu basah dan mengeras pada waktu kering, apabila ditanami tembakau menyebabkan
kematian lebih 50 besarnya erosi tercatat 30,22 tonhatahun Djajadi et al. 2002.
Erosi tanah pada lahan usahatani tembakau di wilayah Sub-DAS Progo Hulu telah berlangsung cukup lama dan disinyalir telah menyebabkan terjadinya
degradasi lahan di wilayah tersebut, yang ditandai dengan hilangnya lapisan tanah bagian atas dan menurunkan produktivitas lahan. Hasil penelitian Winarno
1993, disimpulkan bahwa di daerah lereng timur gunung Sumbing usahatani berbasis tembakau sebagian besar 42,9 wilayahnya mempunyai kemampuan
lahan dalam kategori kelas IV faktor pembatas erosi, kedalaman efektif, dan drainase, kemudian dalam kategori kelas III seluas 37,1 faktor pembatas
drainase dan kedalaman efektif, diikuti kategori kelas VI seluas 14,1 faktor pembatas erosi dan kemiringan lereng, kategori kelas VII seluas 3,4 faktor
pembatas erosi dan kemiringan lereng, dan kategori kelas VIII seluas 2,3 faktor pembatas erosi dan singkapan batuan. Dengan tingkat produktivitas
lahan sebagian besar 49,4 wilayahnya termasuk sedang, kemudian tingkat produktivitas lahan rendah seluas 25,2, tingkat produktivitas lahan sangat
rendah seluas 12,2, dan tingkat produktivitas lahan tinggi seluas 11,2. Dan termasuk kedalam kelas kesesuaian lahan untuk tanaman tembakau dalam
kategori tingkat kelas cukup sesuai S
2
, hampir sesuai S
3
, dan tidak sesuai secara permanen N, dengan jenis pembatas pada subkelas yaitu meliputi :
kondisi perakaran, retensi hara, ketersediaan hara, dan medan. Menurut GGWRM-EU 2004, saat ini Sub-DAS Progo Hulu memiliki lahan kritis dan
sangat kritis seluas 3.029 ha atau 12,9 dari luas wilayahnya; dimana meliputi Sub-Sub DAS Galeh seluas 1.658 ha, Sub-Sub DAS Kuas seluas 912 ha, Sub-Sub
DAS Progo Hulu seluas 454 ha, dan Sub-Sub DAS Grabah seluas 5 ha.
Kemampuan Lahan
Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi. Semua faktor tersebut mempengaruhi potensi lahan
disamping akibat kegiatan manusia baik pada masa lalu maupun sekarang Hardjowigeno Widiatmaka 2001.
Evaluasi lahan merupakan suatu proses penilaian suatu lahan sehingga sesuai dengan kondisinya pada penggunaan-penggunaan tertentu. Evaluasi lahan
terdiri dari evaluasi kuantitatif dan evaluasi kualitatif, tetapi evaluasi kualitatif adalah langkah pertama dalam evaluasi lahan dengan melakukan klasifikasi lahan.
Tergantung pada tujuan evaluasi, klasifikasi lahan dapat berupa klasifikasi
kemampuan lahan atau klasifikasi kesesuaian lahan. Klasifikasi kemampuan lahan digunakan untuk penggunaan pertanian secara umum yaitu untuk lahan pertanian,
padang pengembalaan ternak, hutan dan cagar alam, sedangkan klasifikasi kesesuaian lahan bersifat spesifik untuk suatu tanaman crop specifik atau untuk
penggunaan tertentu seperti: klasifikasi kesesuaian lahan untuk tanaman semusim, klasifikasi kesesuaian lahan untuk tanaman tahunan, klasifikasi kesesuaian lahan
untuk irigasi, dan sebagainya. Klasifikasi kemampuan lahan land capability classification adalah
penilaian lahan
komponen-komponen lahan
secara sistematik
dan pengelompokannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang
merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari Arsyad 2006.
Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang banyak digunakan adalah sistem USDA United States Departement of Agriculture yang dikemukakan oleh
Klingebiel dan Montgomery 1973, diacu dalam Arsyad 2006 dan Hardjowigeno Widiatmaka 2001. Menurut sistem ini lahan dikelompokkan ke dalam tiga
kategori yaitu kelas, sub-kelas, dan satuan pengelolaan manegement unit. Penggolongan ke dalam kelas, sub-kelas dan unit didasarkan atas kemampuan
lahan tersebut untuk memproduksi pertanian secara umum, tanpa menimbulkan kerusakan dalam jangka panjang. Pengelompokan di dalam kelas didasarkan atas
intensitas faktor penghambat. Jadi kelas kemampuan adalah kelompok unit lahan yang memiliki tingkat pembatas atau penghambat yang sama jika digunakan
untuk pertanian yang umum. Tanah dikelompokkan ke dalam delapan kelas yang ditandai dengan huruf Romawi dari I sampai VIII. Ancaman kerusakan atau
hambatan meningkat berturut-turut dari kelas I sampai kelas VIII, seperti terlihat pada Gambar 4.
Dalam tingkat kelas, kemampuan lahan menunjukkan kesamaan besarnya faktor-faktor penghambat. Tanah dikelompokkan ke dalam kelas I sampai kelas
VIII, dimana semakin tinggi kelasnya, kualitas lahannya semakin jelek berarti resiko kerusakan dan besarnya faktor penghambat bertambah dan pilihan
penggunaan lahan yang dapat diterapkan semakin terbatas. Tanah kelas I sampai IV merupakan lahan yang sesuai untuk usaha pertanian, sedangkan kelas V
sampai VIII tidak sesuai untuk usaha pertanian atau diperlukan biaya yang sangat tinggi untuk pengelolaannya Hardjowigeno Widiatmaka 2001.
KELAS KEMAMPUAN
LAHAN INTENSITAS DAN PILIHAN PENGGUNAAN
MENINGKAT
C A
G A
R A
L A
M
H U
T A
N L
IN D
U N
G
H U
T A
N P
R O
D U
K S
I
T E
R B
A T
A S
P E
N G
E M
B A
L A
A N
T E
R B
A T
A S
P E
N G
E M
B A
L A
A N
S E
D A
N G
P E
N G
E M
B A
L A
A N
IN T
E N
S IP
G A
R A
P A
N
T E
R B
A T
A S
G A
R A
P A
N S
E D
A N
G
G A
R A
P A
N I
N T
E N
S IF
G A
R A
P A
N S
A N
G A
T
IN T
E N
S IF
H A
M B
A T
A N
A N
C A
M A
N M
E N
IN G
K A
T ,
K E
S E
S U
A IA
N D
A N
P IL
IH A
N
P E
N G
G U
N A
A N
B E
R K
U R
A N
G
I II
III IV
V VI
VII VIII
Gambar 4. Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan lahan Klingebiel dan
Montgomery 1973, diacu dalam Arsyad 2006
Faktor penghambat atau ancaman kerusakan meningkat dari kelas I sampai kelas VIII. Lahan kelas I merupakan lahan yang paling tinggi kemampuannya
dan mempunyai paling banyak alternatif kemungkinan penggunaannya, seperti untuk pertanian intensif. Sedangkan lahan kelas VIII merupakan lahan yang
paling rendah kemampuannya dengan kemungkinan penggunaan paling terbatas, misalnya hanya cocok untuk hutan lindung atau cagar alam. Tanah pada kelas I
sampai IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan sesuai untuk berbagai penggunaan seperti untuk penanaman tanaman pertanian umumnya
tanaman semusim dan tahunan, rumput untuk makanan ternak, padang rumput
dan hutan. Tanah pada kelas V, VI dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman pohon-pohon atau vegetasi alami. Dalam beberapa hal tanah kelas V dan VI dapat
menghasilkan dan menguntungkan untuk beberapa jenis tanaman tertentu seperti buah-buahan, tanaman hias atau bunga-bungaan dan bahkan jenis sayuran bernilai
tinggi dengan pengelolaan dan tindakan konservasi tanah dan air yang baik. Tanah dalam lahan kelas VIII sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami Arsyad 2006.
Usahatani Tembakau Di Lahan Kering Kabupaten Tembakau
Berlainan dengan lahan sawah dataran rendah, agroekologi lahan kering sangat beragam, karena elevasi dan jenis tanah yang berbeda, relatif peka erosi,
adopsi teknologi rendah, dan ketersediaan modal kecil Manwan et al. 1988. Notohadiprawiro 1988, menyarankan pengertian lahan kering adalah lahan
tadah hujan rainfed yang dapat diusahakan secara sawah lowland,wetland atau secara tegal atau ladang upland. Lahan kering pada umumnya berupa lahan
atasan, kriteria yang membedakan lahan kering adalah sumber air. Sumber air bagi lahan kering adalah air hujan, sedangkan bagi lahan basah disamping air
hujan juga dari sumber air irigasi. Menurut Kurnia et al. 2000, lahan kering didefinisikan sebagai hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi
dalam penggunaannya sepanjang tahun. Kendala utama yang dihadapi dalam pengelolaan lahan kering adalah
cepatnya penurunan produktivitas tanah. Pada tanah yang bervegetasi hutan asli, unsur hara terpelihara dalam daur tertutup, sehingga sangat sedikit terjadi
kehilangan unsur hara. Kehilangan hara lewat pencucian ke bawah akan diimbangi penyerapan oleh akar tanaman ke atas, selanjutnya daur tanaman akan
kembali ke permukaan tanah William Joseph 1970. Sistem usahatani di lahan kering belum banyak dipahami secara mendalam,
biasanya terletak di DAS bagian hulu dan tengah. Kendala lingkungan dan kondisi sosial-ekonomi petani, serta keterbatasan sentuhan teknologi konservasi yang
sesuai menyebabkan kualitas dan produktivitas dari sistem usahatani yang ada masih sangat terbatas.
Pada umumnya usahatani lahan kering yang dilakukan petani hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari. Oleh karenanya pemilihan jenis
tanaman yang diusahakan masih berorientasi pada jenis komoditas subsistens, seperti padi gogo, jagung, kacang tanah, dan ubi kayu. Sistem usahatani yang
demikian, disadari maupun tidak akan mempercepat terbentuknya lahan kritis dan marginal. Sebagian besar lahan marginal dikelola oleh petani miskin, yang tidak
mampu melaksanakan upaya-upaya konservasi, sehingga makin lama kondisinya makin memburuk. Lahan tersebut pada umumnya terdapat di wilayah desa
tertinggal, dan hasil pertaniannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup penggarap bersama keluarganya Karama Abdurrachman 1995.
Problematika petani miskin yang semakin terdesak menggunakan lahan marginal akan menyebabkan petani dan lahan terjebak dalam lingkaran yang
saling memiskinkan. Petani miskin di lahan yang miskin akan terus saling memiskinkan apabila faktor-faktor penyebabnya tidak dibenahi Sinukaban 1997.
Pemilihan skala prioritas mana yang harus ditanggulangi lebih dahulu apakah kemiskinan atau kerusakan lingkungan menghadapkan pada pilihan yang sulit.
Pilihan yang sulit ini menyebabkan pemutusan siklus yang saling memiskinkan ini haruslah dilakukan secara bersamaan antara pengendalian kerusakan lingkungan
dan pengentasan kemiskinan Sinukaban Sihite 1993. Pada kondisi lahan yang telah terdegradasi berat tidak mudah untuk
ditingkatkan produktivitasnya, makin parah tingkat kekritisan lahan makin serius gangguan terhadap lingkungan dan makin sukar untuk meningkatkan
produktivitas lahannya. Lahan-lahan demikian harus direhabilitasi sesegera mungkin dengan baik, sehingga tidak terancam erosi lagi dan produktivitas lahan
dapat ditingkatkan. Mengingat lahan kering marginal dan kritis tersebut sebagian besar terletak di DAS bagian hulu dan tengah, maka pembangunan usahatani
konservasi di lahan kering tersebut bukan saja bertujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan dan kesejahteraan penduduknya, tetapi fungsinya lebih jauh
lagi untuk menyelamatkan lingkungan hidup disekitarnya termasuk sampai daerah hilir.
Tanaman tembakau Nicotiana tabacum L. pertama kali masuk Indonesia kira-kira tahun 1630, kemudian berkembang ke berbagai daerah di Indonesia.
Salah satunya di lereng gunung Sumbing dan gunung Sindoro Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Melalui proses adaptasi yang cukup lama, akhirnya
terbentuk populasi tembakau temanggung yang mempunyai sifat morfologi dan fisiologi yang khas Rochman Suwarso 2000.
Tembakau temanggung sesuai ditanam di dataran tinggi 700 m d.p.l. sampai dengan 1500 m d.p.l., curah hujan yang dibutuhkan antara 2.200-3.100
mmtahun dengan 8-9 bulan basah dan 3-4 bulan kering. Daerah penanamannya sampai saat ini masih terpusat di lereng gunung Sumbing dan gunung Sindoro
Kabupaten Temanggung Basuki et al. 2000. Hasil survei Balittas melaporkan bahwa penyebaran tembakau temanggung meluas sampai ke Kabupaten
Magelang, Wonosobo, dan Kendal, yang di kenal dengan sebutan tembakau temanggungan Balittas 1989.
Tembakau temanggung mempunyai ciri aromatis dengan kadar nikotin tinggi 3-8, merupakan ”lauk” untuk rokok kretek yang sulit dicari
penggantinya serta berperan sebagai pemberi rasa dan aroma, sehingga hampir semua pabrik rokok kretek membutuhkan tembakau jenis ini. Di samping itu,
daun bawah tembakau temanggung diolah dalam bentuk kerosok sebagai komoditas ekspor dengan nama tembakau kedu VO. Pada tahun 1994 volume
ekspor sebesar 192,7 ton dengan nilai 156,5 juta US dan pada tahun 1997 meningkat menjadi 390,5 ton dengan nilai 349,7 juta US Mukani Isdijoso
2000. Usahatani tembakau temanggung menyumbang 70-80 terhadap total
pendapatan petani, karena itu upaya-upaya untuk meningkatkan atau mempertahankan hasil dan atau mutu akan besar pengaruhnya terhadap
peningkatan pendapatan petani Balittas 1994, diacu dalam Rochman Suwarso 2000. Sejak berkembangnya produksi rokok keretek di Indonesia, tembakau
temanggung rajangan merupakan salah satu tipe tembakau yang sangat dibutuhkan oleh pabrik rokok sebagai bahan baku utama pembuatan rokok,
dengan komposisi antara 14-26 Isdijoso et al. 1995. Tembakau Temanggung merupakan bahan baku penting untuk rokok
kretek, karena berperan sebagai sumber pemberi rasa dan aroma yang khas. Produktivitas yang dicapai petani rata-rata 0,441tonha dan luas areal 19.204 hath
Dalmadiyo 1996 sehingga rata-rata produksi yang dicapai 8.468,96 tonth, sedangkan rata-rata kebutuhan tembakau Temanggung setiap tahun sekitar
16.530,99 ton Azis 1995. Kekurangannya dipenuhi dengan tembakau dari luar Temanggung walaupun kualitasnya lebih rendah, sebagian dipenuhi dari luar
Kabupaten Temanggung terutama dari Kabupaten Magelang, Wonosobo dan Kendal.
Kendala utama pada budidaya tembakau Temanggung adalah kemunduran daya dukung lahan karena erosi dan meningkatnya intensitas beberapa serangan
penyakit yang disebabkan oleh nematoda Meloidogyne spp., bakteri Ralstonia solanacearum, dan cendawan Phytophthora nicotianae Murdiyati et al. 1991.
Lahan yang demikian ini lazim disebut “lahan lincat”. Kultivar-kultivar lokal tembakau temanggung yang berkembang saat ini
adalah Kemloko, Gober dan Sitieng. Dari ketiga kultivar tersebut, Kemloko areal penanamannya paling luas Basuki et al. 2000.
Areal penanaman tembakau temanggung selama ini terus meningkat, hal ini disebabkan karena peranannya sebagai pemberi rasa dan aroma rokok kretek
belum dapat digantikan oleh tembakau jenis lain. Pada tahun 1980-an, dengan meningkatnya produksi rokok kretek rata-rata selama lima tahun 1985-1989
sebesar 21 per tahun, telah menyebabkan kebutuhan akan tembakau temanggung semakin meningkat Balitttas 1990. Menurut Djajadi et al. 1992
luas rata-rata penanaman tembakau temanggung sekitar 12.000 hatahun. Pada tahun 1994-1998, luas penanaman tembakau temanggung sudah berkisar antara
17.227 – 21.064 hatahun Isdijoso Mukani 2000. Berdasarkan data selama lima tahun 1994-1998 rata-rata areal tembakau seluas 19.461 ha atau 22,4
dari luas lahan Kabupaten Temanggung 87.065 ha, bahkan pada tahun 2001 areal tembakau mencapai 24.239 ha atau 27,8 dari luas lahan yang ada.
Secara proporsional tembakau temanggung berkontribusi sekitar 14-18 terhadap kebutuhan tembakau rokok kretek Mastur 2003. Di antara komoditas
yang diusahakan petani, tembakau temanggung merupakan komoditas penting, karena mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Keunggulan komparatif wilayah
Temanggung sebagai penghasil tembakau adalah pemberi rasa dan aroma rokok kretek yang sulit dicari penggantinya. Dengan daya tarik di atas, sejak akhir
tahun tujuh puluhan, penanaman tembakau dilakukan terus menerus bahkan
bertambah sampai ke perbukitan dan daerah resapan air, akibatnya lereng gunung Sumbing dan gunung Sindoro kini mengalami kerusakan.
Sistem Pertanian Berkelanjutan
Pertanian berkelanjutan merupakan salah satu pendekatanimplementasi dari pembangunan berkelanjutan. Dalam The Bruntland Commission Report
Tahun 1987 yang berjudul “Our Common Future” dijelaskan batasan atau pengertian tentang pembangunan berkelanjutan, sebagai berikut : “Sustainable
Development is defined as development that meet the needs of the present without compromising the ability of futuregenerations to meet their own needs”
, artinya : Pembangunan Berkelanjutan merupakan pembangunan yang dapat menjamin
terpenuhinya kebutuhan penduduk generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk dapat memenuhi kebutuhannya Mitchell
et al . 2010.
Dari batasandefinisi tersebut diatas dapat dikemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan mengandung tiga pengertian, yaitu : 1 memenuhi
kebutuhan penduduk saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan penduduk di masa yang akan datang, 2 tidak melampaui daya dukung lingkungan ekosistem, dan
3 mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dengan menyelaraskan manusia dan pembangunan dengan sumberdaya alam.
Menurut Munasinghe 1993, pembangunan berkelanjutan memiliki tiga tujuan utama yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, yaitu :
tujuan sosial sosial objective, tujuan ekonomi economic objective, dan tujuan ekologi ecological objective. Dengan demikian pembangunan berkelanjutan
adalah upaya mensinkronkan, mengintegrasikan dan memberi bobot yang sama terhadap tiga aspek, yaitu : aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek
lingkungan hidup. Pembangunan ekonomi dan lingkungan hidup harus dipandang sebagai sesuatu yang terkait erat dan tidak boleh dipisahkan atau
dipertentangkan. Hal yang ingin dicapai dengan pembangunan berkelanjutan adalah menggeser titik berat pembangunan dari hanya pembangunan ekonomi
menjadi pembangunan yang mencakup pembangunan sosial budaya dan lingkungan hidup. Pembangunan berkelanjutan bukanlah merupakan suatu
situasi harmoni yang tetap dan statis, akan tetapi merupakan suatu proses perubahan dimana eksploitasi sumberdaya alam, arah investasi, orientasi
perkembangan teknologi dan perubahan kelembagaan konsisten dengan kebutuhan pada saat ini dan kebutuhan dimasa mendatang. Dengan demikian
konsep pembangunan berkelanjutan merupakan upaya untuk mengintegrasikan tiga aspek kehidupan, yaitu aspek ekonomi, sosial budaya, dan ekologi dalam
satu hubungan yang sinergis Sitorus 2004. Ada tiga komponen utama yang harus diperhatikan dalam upaya pertanian
berkelanjutan sehubungan dengan pembangunan berkelanjutan itu sendiri, yaitu kegiatan pertanian harus menunjang terjadinya pertumbuhan ekonomi economic
growth , meningkatkan kesejahteraan sosial social walfare, dan memperhatikan
kelestarian lingkungan environmenta integrity. Oleh karena itu implementasi pertanian
berkelanjutan harus
memperhatikan ketahanan
lingkungan environmental resilience, serta memberikan dampak positif terhadap kehidupan
masyarakat dan lingkungan fisik; seperti kualitas dan kuantitas air yang semakin baik, keanekaragaman hayati yang makin pulih, dan degradasi lahan yang makin
berkurang. Menurut FAO 1995, pertanian berkelanjutan dan pembangunan pedesaan
didefinisikan sebagai pengelolaan sumberdaya alam yang konservatif dengan orientasi teknologi dan perubahan institusi sebagai suatu cara untuk mencapai
hasil yang berkelanjutan dimana sumberdaya lahan, air, genetik tanaman dan hewan terpelihara atau lingkungan tidak terdegradasi, teknologi yang tepat, dan
memberikan pendapatan yang tinggi secara terus menerus dan sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat.
Mubyarto dan Santosa 2003, menyatakan bahwa Pertanian agriculture: budaya bertani bukan hanya merupakan aktivitas ekonomi untuk menghasilkan
pendapatan bagi petani saja. Lebih dari itu, pertanianagrikultur adalah sebuah cara hidup way of life atau livehood bagi sebagian besar petani di Indonesia.
Oleh karena itu pembangunan sistem pertanian harus menempatkan subjek petani, sebagai pelaku sektor pertanian secara utuh, tidak saja petani sebagai homo
economicus , melainkan juga sebagai homo socius dan homo religius, dengan
mengkaitkan unsur-unsur nilai sosial-budaya lokal, yang memuat aturan dan pola
hubungan sosial, politik, ekonomi, dan budaya ke dalam kerangka paradigma pembangunan sistem pertanian.
Perencanaan Sistem Pertanian Konservasi
Tjokroamidjojo 1976, diacu dalam Arwindrasti 2006 menyatakan bahwa secara umum perencanaan sering dipergunakan sebagai suatu alat atau
cara untuk mencapai tujuan dengan lebih baik. Akan tetapi, alasan yang lebih kuat untuk melakukan perencanaan adalah : 1 diharapkan terdapatnya suatu
pengarahan kegiatan atau adanya pedoman bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang ditujukan kepada pencapaian tujuan pembangunan, 2 dengan
perencanaan maka dapat dilakukan suatu perkiraan forecasting terhadap hal- hal yang mungkin terjadi dalam masa pelaksanaan yang akan dilalui, dan 3
perencanaan memberikan kesempatan untuk memilih berbagai alternatif tentang cara yang terbaik atau kesempatan untuk memilih kombinasi cara yang terbaik.
Hicks 1987, diacu dalam Arwindrasti 2006, menyatakan bahwa perencanaan adalah memilih dan menghubungkan fakta dan memuat serta
menggunakan asumsi-asumsi mengenai masa yang akan datang dengan jalan menggambarkan dan merumuskan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk
mencapai hasil-hasil yang diinginkan. Menurut Lassey 1977, diacu dalam Arwindrasti 2006, perencanaan sangat ditentukan oleh kondisi sosial ekonomi
dan sistem ekologi yang berlangsung pada wilayah yang direncanakan. Perencanaan diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa
merusak penyangga kehidupan atau lingkungannya. Perencanaan pertanian konservasi terletak pada sejauhmana keberhasilan
upaya-upaya peningkatan produktivitas lahan disertai dengan kegiatan konservasi tanah. Pemahaman terhadap aspek ini penting dalam rangka
meningkatkan keberhasilan pertanian konservasi yaitu selain meningkatkan pendapatan, juga diarahkan untuk perbaikan lahan dan pengendalian erosi
dengan menerapkan teknik-teknik konservasi tanah. Secara konsepsional pertanian konservasi adalah suatu usaha pertanian
menetap dengan menerapkan intensifikasi pertanian disertai penerapam teknik konservasi tanah, dan merupakan pertanian yang tangguh serta mempunyai
landasan yang kuat dengan pandangan ke masa depan. Pertanian konservasi ini menggunakan tanah secara efisien dalam jangka waktu yang tidak terbatas.
Menurut Arsyad 2006, usaha konservasi tanah ditujukan untuk : 1 mencegah kerusakan tanah oleh erosi, 2 memperbaiki tanah yang rusak, dan 3
memelihara dan meningkatkan produktivitas tanah agar dapat digunakan untuk waktu yang tidak terbatas. Dengan demikian konsep pertanian konservasi
adalah menyesuaikan penggunaan tanah sesuai dengan kemampuan daya dukungnya, dan memberikan perlakuan serta penggunaan teknologi yang sesuai
dengan syarat-syarat yang diperlukan, sehingga tanah tersebut dapat digunakan secara terus menerus tanpa mengurangi produktivitasnya. Menurut Direktorat
Konservasi Tanah 1993, tinjauan pertanian konservasi terletak pada perbaikan sistem usahatani untuk meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani
sekaligus perbaikan dan pemeliharaan kesuburan tanah melalui usaha-usaha konservasi tanah, sehingga tanah tersebut dapat digunakan secara terus menerus
tanpa mengurangi produktivitasnya. Esensi usahatani konservasi menurut Gliesman 1990 adalah untuk meningkatkan produktivitas lahan atau
pendapatan petani dan mengendalikan erosi. Secara operasional hal ini dapat diwujudkan dengan penerapan Sistim Pertanian Konservasi Conservation
Farming System Sinukaban 2007.
Menurut Sinukaban 2007, Sistem Pertanian Konservasi SPK adalah sistim pertanian yang mengintegrasikan tindakanteknik konservasi tanah dan air
ke dalam sistim pertanian yang telah ada dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan kesejahteraan petani dan sekaligus menekan
erosi sehingga sistim pertanian tersebut dapat berlanjut secara terus menerus tanpa batas waktu sustainable. Jadi tujuan utama pertanian konservasi bukan
menerapkan tindakanteknik konservasi tanah dan air saja tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan mempertahankan pertanian yang lestari.
Oleh sebab itu dalam SPK akan diwujudkan ciri-ciri sebagai berikut: 1 Produksi pertanian cukup tinggi sehingga petani tetap bergairah melanjutkan usahanya; 2
Pendapatan petani yang cukup tinggi, sehingga petani dapat mendisain masa depan keluarganya dari pendapatan usahataninya; 3 Teknologi yang diterapkan
baik teknologi produksi maupun teknologi konservasi adalah teknologi yang dapat
diterapkan sesuai dengan kemampuan petani dan diterima oleh petani dengan senang hati sehingga sistim pertanian tersebut dapat dan akan diteruskan oleh
petani dengan kemampuannya secara terus menerus tanpa bantuan dari luar; 4 Komoditi pertanian yang diusahakan sangat beragam dan sesuai dengan kondisi
biofisik daerah, dapat diterima oleh petani dan laku di pasar; 5 Laju erosi kecil minimal, lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan, sehingga produktivitas
yang cukup tinggi tetap dapat dipertahankanditingkatkan secara lestari dan fungsi hidrologis daerah terpelihara dengan baik sehingga tidak terjadi banjir di musim
hujan dan kekeringan di musim kemarau; serta 6 Sistem penguasaanpemilikan lahan dapat menjamin keamanan invesati jangka panjang longterm Investment
Security dan menggairahkan petani untuk terus berusaha tani.
Agar ciri diatas terwujud, maka dalam SPK itu harus diterapkan kaidah- kaidah konservasi tanah dan air yang menempatkan setiap bidang tanah itu dalam
penggunaan yang sesuai dengan kemampuannya dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan untuk itu. Oleh sebab itu di dalam SPK akan
diintegrasikan tindakan konservasi tanah dan air yang sesuai dan memadai ke dalam sistim pertanian yang cocok untuk setiap daerah yang dapat diterima dan
dilaksanakan oleh masyarakat setempat. Ciri di atas menunjukkan bahwa SPK itu adalah sistim pertanian yang
khas kondisi setempat site specific. Hal ini berarti bahwa SPK itu harus sesuai dengan kondisi setempat; SPK yang cocok di suatu tempat, belum tentu cocok di
tempat lain. Dengan perkataan lain, SPK yang dapat berkelanjutan di suatu tempat tidak dapat dipaksakan di tempat lain kalau memang tidak sesuai. Oleh sebab itu
menurut Sinukaban 2007, untuk membangun suatu SPK atau menyempurnakan sistim pertanian yang sedang berjalan menjadi SPK langkah-langkah berikut harus
dilakukan: 1 Inventarisasi keadaan biofisik daerah seperti: tanah sifat fisik dan kimia, drainase, penggunaan lahan, topografi, iklim, dan degradasi lahan. Data
ini akan diperlukan untuk menentukan kelas kemampuan lahankesesuaian lahan untuk tanaman tertentu, agroteknologi yang diperlukan, teknik konservasi yang
cocok dan memadai, serta tingkat kerusakan tanah yang sudah terjadi; 2 Inventarisasi keadaan sosial ekonomi petani seperti besarnya keluarga,
pendidikan, keadaan ekonomi, tujuan keluarga, pemilikan lahan, pengetahuan
tentang teknologi pertanian, persepsi tentang erosi dan sebagainya; serta 3 Inventarisasi pengaruh luar seperti pasarpemasaran hasil, harga-harga hasil
pertanian, keadaanjarak ke tempat pemasaran, perangkat penyuluhanlatihan, koperasi, organisasi kemasyarakatan yang berkaitan dengan petani, dan lainnya.
Simulasi Model Dinamis
Model adalah abstraksi atau penyederhanaan dari sistem yang sebenarnya Hall Day 1977; Suratmo 2002, atau gambaran abstrak tentang suatu sistem,
dimana hubungan antara peubah-peubah dalam sistem digambarkan sebagai hubungan sebab akibat Mize Cok 1968, diacu dalam Darsiharjo 2004.
Menurut Muhammadi et al. 2001, model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses. Model dapat dikelompokkan
menjadi model kuantitatif, kualitatif, dan model ikonik. Model kuantitatif adalah model yang berbentuk rumus-rumus matematik, statistik, atau komputer. Model
kualitatif adalah model yang berbentuk gambar, diagram, atau matriks, yang menyatakan hubungan antar unsur. Dalam model kualitatif tidak digunakan
rumus-rumus matematik, statistik, atau komputer. Model ikonik adalah model yang mempunyai bentuk fisik sama dengan barang yang ditirukan, meskipun
skalanya dapat diperbesar atau diperkecil. Dengan model ikonik tersebut dapat diadakan percobaan untuk mengetahui perilaku gejala atau proses yang ditirukan.
Model yang baik dan benar adalah model yang mengandung atribut fungsional yang penting dari sistem yang sebenarnya.
Sistem adalah seperangkat elemen yang saling berinteraksi, membentuk kegiatan atau suatu prosedur yang mencari pencapaian tujuan atau tujuan-tujuan
bersama Turban 1993; Simatupang 1994; Eriyatno 2003. Syarat awal untuk memulai berpikir sistemik adalah adanya kesadaran untuk mengapresiasikan dan
memikirkan suatu kejadian sebagai sebuah sistem systemic approach. Kejadian apapun baik fisik maupun non fisik, dipikirkan sebagai unjuk kerja atau dapat
berkaitan dengan unjuk kerja dari keseluruhan interaksi antar unsur sistem tersebut dalam batas lingkungan tertentu.
Menurut Eriyatno 2003 yang dimaksud dengan pendekatan sistem adalah merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan melakukan
identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Multidimensi
adalah salah satu prinsip terpenting cara berpikir secara sistemik Gharajedaghi 1999. Dengan mempertimbangkan berbagai kendala, Eriyatno 2003
menyimpulkan ada tiga karakteristik dalam pendekatan sistem yaitu kompleks, dinamis, dan probabilistik.
Pembuatan model berdasarkan konsep berpikir sistem dimulai dengan suatu model mental, kemudian dijabarkan dalam suatu kerangka konsep,
pembuatan diagram simpal kausal, pembuatan diagram alir, simulasi model untuk melihat perilaku, dan akhirnya uji sensitivitas serta analisis kebijaksanaan
Muhammadi et al. 2001. Suatu model dinamik adalah kumpulan dari variabel-variabel yang saling
mempengaruhi antara satu dengan lainnya dalam suatu kurun waktu Muhammadi et al
. 2001. Setiap variabel berkorespondensi dengan suatu besaran yang nyata atau besaran yang dibuat sendiri. Semua variabel tersebut memiliki nilai numerik
dan sudah merupakan bagian dari dirinya. Menurut Bapedal dan LP-ITB 1998, model metode sistem dinamik erat hubungannya dengan pertanyaan-pertanyaan
tentang tendensi dinamik sistem komplek, yaitu pola-pola tingkah laku yang dibangkitkan sistem itu dengan bertambahnya waktu. Pemodelan metode sistem
dinamik erat hubungannya dengan kecenderungan-kecenderungan dinamis sistem yang komplek, berbeda dengan metode ekonometrik yaitu tidak didominasi oleh
penggunaan data historis time series data, melainkan melalui pengembangan asumsi-asumsi tentang struktur sistem.
Model sistem dinamis merupakan salah satu pendekatan permodelan terutama dalam hal pemahaman tentang bagaimana dan mengapa gejala dinamik
suatu sistem terjadi. Untuk mengetahui perilaku dinamisnya, model yang telah dibangun harus disimulasikan, maka diperlukan penggunaan komputer untuk
mengadakan simulasi PPE LP-ITB 1996. Simulasi adalah peniruan perilaku suatu gejala atau proses. Simulasi bertujuan untuk memahami gejala atau proses
tersebut, membuat analisis dan membuat peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Tahap-tahap simulasi adalah penyusunan konsep,
pembuatan model, simulasi, dan validasi hasil simulasi Muhammadi et al. 2001.
Menurut Djojomartono 1993, dalam membangun model simulasi komputer terdapat enam tahap yang saling berhubungan yang harus diperhatikan,
yaitu : 1 identifikasi dan definisi sistem; 2 konseptualisasi sistem; 3 formulasi model; 4 simulasi model; 5 evaluasi model; dan 6 penggunaan
model dan analisis kebijakan.
Hasil-Hasil Penelitian Pada Usahatani Lahan Kering Berbasis Tembakau di Kabupaten Temanggung
Kondisi topografi lahan untuk usahatani berbasis tembakau di Kabupaten Temanggung adalah datar, bergelombang sampai berbukit. Dan sebagian besar
areal usahatani tembakau berupa lahan kering lahan tegal yaitu sekitar 75 Djajadi et al. 1994 atau 53-60 Dinas Perkebunan Dati II Temanggung 1998,
diacu dalam Isdijoso Mukani 2000, dan sisanya lahan sawah. Daerah bertopografi datar didominasi oleh lahan sawah dengan ketinggian tempat 500-
700 m d.p.l., sedang daerah bergelombang dan berbukit berupa lahan tegal dengan ketinggian 700-1500 m d.p.l. Lahan-lahan tegal tersebut sebagian besar
mempunyai kemiringan lereng lebih 30 Djajadi 2000. Ditinjau dari mutu tembakau yang dihasilkan, semakin tinggi tempat
penanaman akan semakin tinggi mutu tembakau yang dihasilkan. Secara umum mutu tembakau lahan tegal lebih tinggi dari tembakau lahan sawah, pada lahan
tegal akan dihasilkan tipe tembakau rajangan hitam yang memperoleh harga lebih tinggi, sedangkan pada lahan sawah akan dihasilkan tipe tembakau rajangan
kuning dengan harga yang lebih rendah Mukani et al. 1995. Menurut Rachman dan Djajadi 1999; Isdijoso Mukani 2000 melaporkan bahwa mutu tertinggi
tembakau yang dihasilkan dari lahan sawah adalah mutu tengah mutu D dan E, sedangkan untuk lahan tegal yang berada diatas ketinggian 1100 m dpl dapat
menghasilkan mutu tertinggi mutu G, H dan I yang disebut mutu srintil. Oleh karena itu areal penanaman tembakau terus berkembang pada daerah-daerah
dengan ketinggian lebih dari 1000 m d.p.l., yang berupa lahan kering dengan kemiringan lebih 30.
Berdasarkan peta tingkat bahaya erosi, dapat dikriteriakan bahwa empat sentra penanaman tembakau Lamuk, Lamsi, Paksi, dan Toalo termasuk daerah
dengan tingkat bahaya erosi yang berat sampai sangat berat Fak. Geografi UGM dan Sub-BRLKT Opak-Progo 1987, diacu dalam Djajadi 2000. Hal ini dapat
dimengerti karena lahan daerah usahatani tembakau tersebut mempunyai kemiringan lebih dari 30 dan curah hujan sebesar 2.400 mmtahun. Lahan-
lahan demikian seharusnya sudah diperuntukkan tanaman tahunan, yang berfungsi sebagai daerah perlindungan hidrologis Djajadi 2000.
Besarnya prediksi erosi yang terjadi pada lahan usahatani tembakau di Sub-DAS Progo Hulu rata-rata sebesar 47,51 tonhatahun Proyek Pusat
Pengembangan Pengelolaan DAS 1990. Besarnya erosi pada lahan dengan kemiringan 62 tercatat 53,72 tonhatahun Djajadi et al. 1994.
Percobaan penelitian upaya konservasi lahan pada usahatani lahan kering berbasis tembakau di Temanggung yang telah dilakukan, diantaranya percobaan
plot erosi 22 m x 4 m di Desa Glapansari, Kec. Parakan, Kabupaten Temanggung pada ketinggian tempat 900 m dpl pada musim tanam tahun
19911992 Dajajadi et al. 1994, disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Erosi yang terjadi pada berbagai teknik konservasi di lahan usahatani berbasis tembakau
Perlakuan Teknik Konservasi Th. 19911992 Nop-Agt
Erosi tonhath
PE Kontrol sesuai pola petani
53,72 b Teras bangku + Rumput Setaria + Flemingia
9,61 a 82,1
Teras gulud + Rumput Setaria + Flemingea 16,48 a
69,3 Rorak
16,50 a 69,3
Sumber : Djajadi et al. 1994 Keterangan :
:
angka dalam kolom yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata uji BNT 5.
PE : penurunan erosi dibandingkan kontrol Hasil pada Tabel 1, menunjukkan bahwa perlakuan teras bangku dengan
rumput setaria dan flemingia dapat menurunkan tingkat erosi sebesar 82,1 dibandingkan perlakuan petani kontrol, diikuti perlakuan rorak dapat
menurunkan erosi sebesar 69,3 dibandingkan kontrol, dan perlakuan teras gulud dengan rumput setaria dan flemingea dapat menurunkan erosi 69,3.
Tabel 2. Kadar unsur hara dalam tanah yang terangkut erosi pada berbagai teknik konservasi di lahan usahatani berbasis tembakau
Perlakuan C-org
BO N-total
P
mgkg
K
me100 g
Kontrol sesuai pola petani 1,40 c
2,41 b 0,13 a
5,67 a 1,15 b
Teras bangku + Rumput Setaria + Flemingia
1,10 a 1,90 a
0,13 a 4,67 a
0,85 a Teras gulud + Rumput Setaria
+ Flemingea 1,22 b
2,22 b 0,13 a
7,13 a 0,88a
Rorak 1,31 bc
2,27 b 0,14 a
6,67 a 0,87 a
Sumber : Djajadi et al. 1994 Keterangan :
: angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 5.
Pada Tabel 2, memperlihatkan bahwa ketiga perlakuan teknik konservasi tersebut secara nyata menurunkan kadar C-organik dan bahan organik, serta
kadar K yang terangkut pada tanah yang tererosi.