Erosi dan faktor-faktor penyebabnya
Gambar 3. Mengukur biaya erosi tanah di lokasi on-site dengan pendekatan biaya pengganti Barbier 1995
Untuk mengevaluasi biaya erosi tanah dengan pendekatan biaya pengganti, nilai dari jumlah kehilangan unsur hara yang dianggap sama dengan jumlah
penggunaan pupuk digunakan untuk menduga nilai unsur hara yang hilang dari tanah. Pada harga pupuk P
i
, biaya kehilangan unsur hara melalui erosi tanah diukur melalui area B, atau P
i
X
1
-X . Seluruh kehilangan nilai bersih output
berhubungan dengan pengurangan unsur hara tanah A+B. Dalam pendekatan ini, area B dijadikan sebagai suatu perkiraan total kehilangan petani A+B akibat
erosi tanah. Semakin tinggi input yang digunakan maka nilai produk marginal semakin kecil.
Degradasi Lahan
Istilah lahan kritis sering digunakan oleh berbagai Instansi, namun dalam konteks atau pemahaman yang tidak selalu sama. Hal tersebut antara lain karena
penilaian terhadap kekritisan lahan berbeda-beda sesuai dengan tujuan kajian atau pandangannya pada fungsi lahan tersebut. Menurut BPS 1992, luas lahan kritis
P
i
Harga Rp
Tingkat penggunaan input Nilai produk marjinal
X X
1
b
e a
A
B
di Indonesia mencapai 6,8 juta ha, dimana sekitar 72 4,9 juta ha berada di luar kawasan hutan. Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan 1993,
menyatakan luas lahan kritis di Indonesia mencapai 18,3 juta ha yang diantaranya sekitar 59 termasuk semi kritis dan kritis. Sedangkan menurut Dirjen RLPS,
Departemen Kehutanan luas lahan kritis di Indonesia telah mencapai lebih dari 35 juta ha, dimana luas lahan yang kritis dan sangat kritis sudah mencapai lebih dari
2 juta ha dan luas lahan agak kritis dan potensial kritis sudah mencapai lebih dari 30 juta ha. Untuk Jawa Tengah luas lahan kritis ada 1.000.354 ha, berada dalam
kawasan hutan seluas 67.010 ha dan diluar kawasan hutan seluas 933.344 ha
Sinukaban 2003. Sampai saat ini definisi dan kriteria lahan kritis di Indonesia masih
beragam, kondisi ini menyebabkan hasil-hasil penelitian mengenai lahan kritis memberikan informasi yang berbeda, seperti luasan, penyebaran, dan teknik
penanggulangannya. Oleh karena itu perlu dibuat istilah, parameter, dan kriteria yang dapat diterima dan diaplikasikan secara nasional. Salah satu alternatif istilah
untuk itu adalah lahan terdegradasi Irawan et al. 2002. Menurut Irawan et al. 2002, lahan terdegradasi adalah lahan yang
mengalami kemunduran kualitasnya, baik fisik, kimia maupun biologi, sehingga produktivitasnya menurun dan berada pada tingkat kekritisan tertentu. Hal ini
sesuai dengan definisi degradasi lahan, yakni suatu proses kemunduran kualitas atau produktivitas lahan menjadi lebih rendah, baik bersifat sementara maupun
permanen, sehingga pada akhirnya lahan tersebut berada pada tingkat kekritisan tertentu Dent 1993. Dengan demikian lahan terdegradasi atau lahan yang telah
mengalami kemunduran kualitasnya belum tentu kritis, misalnya kualitas sumberdaya lahan masih baik dan tingkat degradasinya tergolong ringan.
Menurut Sinukaban 2003, proses degradasi lahan yang sering mengakibatkan suatu lahan menjadi kritis adalah erosi oleh air maupun angin,
proses penggurunan disertification, pemasaman tanah acidification, penggaraman salinisation, penggenangan waterlogging, penurunan permukaan
tanah organik peatsubsidence, dan penurunan permukaan air bawah tanah over drainage
. Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi proses degradasi lahan
adalah iklim hujan, temperatur, jenis tanah, topografi, vegetasi tipe penggunaan lahan, sistim pertanian, dan manusia sosial, ekonomi, teknologiagroteknologi.
Sitorus 2003 mendefinisikan degradasi tanah sebagai hilangnya atau berkurangnya kegunaan utility atau potensi kegunaan tanah dan kehilangan
atau perubahan kenampakan features tanah yang tidak dapat diganti. Menurut FAO 1993, diacu dalam Sitorus 2003, degradasi tanah adalah proses yang
menguraikan fenomena menurunnya kapasitas tanah untuk mendukung suatu kehidupan.
Menurut Sitorus 2003, terdapat dua kategori degradasi tanah, yaitu
degradasi erosif dan degradasi non-erosif. Degradasi erosif berhubungan dengan
pemindahan bahan atau material tanah akibat erosi oleh kekuatan air dan angin. Degradasi erosif menyebabkan : a hilangnya lapisan atas tanah top soil yang
sering disebut erosi permukaan atau erosi lembar; dan b perubahan bentuk terrain terrain deformation yang disebabkan erosi parit atau erosi alur.
Sedangkan degradasi non-erosif merupakan kerusakan tanah deteriorasi insitu yang merupakan proses degradasi kimia tanah atau fisika tanah. Degradasi kimia
diantaranya meliputi : a hilangnya unsur kimia atau bahan organik; b salinisasi; c asidifikasi acidification; dan d polusi. Degradasi fisika tanah,
meliputi : a pemadatan, pengerakan dan pengelakan compaction, crusting and sealing
; b penjenuhan air water logging; dan c penurunan permukaan tanah subsidence tanah organik, yang disebabkan oleh perbaikan drainase dan
oksidasi bahan organik Sitorus 2003. Menurut pendekatan GLASOD Global Assessment of Soil Degradation
ISRIC 1997, dikenal 5 jenis penyebab degradasi tanah, yaitu : a deforestrasi penebangan hutan, merupakan pembukaan lahan untuk keperluan pertanian,
pemukiman, dan perusahaan kehutanan komersial skala besar; b overgrazing, tidak hanya menyebabkan degradasi vegetasi tetapi juga dapat mengakibatkan
pemadatan tanah dan erosi; c aktivitas pertanian, yaitu meliputi berbagai aktifitas pertanian seperti penggunaan pupuk yang tidak cukup atau berlebihan,
penggunaan air irigasi dengan kualitas jelek, penggunaan alat-alat berat yang tidak tepat, dan tidakkurang memadainya tindakan konservasi tanah; d
eksploitasi vegetasi secara berlebihan untuk penggunaan domestik, misalnya
untuk kayu bakar dan bahan bangunan sehingga vegetasi yang tertinggal tidak dapat memberikan perlindungan yang cukup terhadap erosi tanah; dan e
aktifitas industri, berhubungan langsung dengan polusi tanah. Sinukaban 2003, menyatakan daerah tropika basah humid tropic seperti
Indonesia umumnya mempunyai hujan yang tinggi dengan erosivitas yang tinggi juga serta temperatur yang relatif tinggi sepanjang tahun. Hal ini menyebabkan
proses degradasi lahan menjadi cepat, proses pencucian hara dikomposisi bahan organik, dan mineral terjadi sangat cepat. Sesungguhnya ekosistem seperti ini,
apabila ditumbuhi oleh hutan alami dan tidak terganggu oleh manusia akan mencapai suatu tingkat keseimbangan tertentu. Memang akan terjadi kerusakan
secara alami oleh bencana alam atau kejadian alam tertentu tetapi akan terjadi juga pemulihan kembali recovery secara alami dengan kecepatan yang normal.
Namun apabila ekosistem hutan tersebut dirubah oleh manusia menjadi pertanian maka proses degradasi lahan tersebut akan menjadi lebih cepat dan pemulihan
kembali secara alami menjadi lebih lambat. Hal inilah yang terjadi di Indonesia, terlebih lagi dalam perubahan penggunaan lahan tersebut dilakukan dengan tidak
memegang prinsip pembangunan berkelanjutan, sehingga tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi.
Sitorus 2003, juga menyatakan untuk kasus Indonesia degradasi tanah yang merupakan masalah serius yaitu terjadi terutama pada lahan pertanian di
lahan kering dataran tinggi upland, lahan hutan, dan areal pertambangan. Degradasi tanah di lahan kering dataran tinggi dicirikan oleh erosi yang tinggi,
penurunan bahan organik, pemadatan tanah, dan pengurasanpenurunan kesuburan tanah. Permasalahan ini meningkat dengan tidak cukupnya tindakan
konservasi tanah dan ketidaktepatan pengelolaan lahan, dan secara tidak langsung juga disebabkan adanya eksploitasi hutan secara berlebihan.
Secara umum bentuk degradasi lahan berupa hilangnya lapisan tanah bagian atas, misalnya karena erosi 70, perubahan topografi 13,
kehilangan atau penurunan kesuburan tanah akibat terkurasnya hara tanah 7, penggaraman 4, pemadatan tanah 3,5, dan sisanya 2,5 karena polusi,
pengolahan tanah yang terlalu intensif, hujan asam, dan penurunan permukaan tanah UN-Popin 1995. Berdasarkan hal tersebut, Puslittanak 2002,
mengusulkan kriteria lahan tergedradasi dapat didekati dengan memperhatikan faktor utama atau penyebab terbesar terjadinya proses degradasi lahan, yaitu
erosi dan teknik pengelolaan sumberdaya lahan. Puslittanak 2002, mengusulkan parameter yang harus diperhatikan
untuk penetapan lahan terdegradasi pada ekosistem lahan kering beriklim basah yaitu meliputi: penggunaan lahanvegetasitutupan lahan, lereng, bahan induk
tanah, kenampakan erosi, solum tanah, dan manajemen teknik pengelolaan lahan. Penetapan kriteria lahan terdegradasi diamati berdasarkan pada kondisi
sumberdaya alami natural assessment dan pengaruh kegiatan manusia antrophological assessment. Kondisi sumberdaya alami meliputi: bahan induk
tanah, curah hujan, bentuk wilayah kemiringan lereng, dan kedalaman tanahsolum; sedangkan pengaruh kegiatan manusia, meliputi: jenis vegetasi,
penutupan vegetasi, dan penerapan teknik konservasi tanah dan air. Degradasi lahan pada umumnya disebabkan proses erosi akibat tingginya
curah hujan dan pengelolaan pertanian yang kurang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan Puslittanak 2002. Di wilayah Sub-DAS Progo Hulu,
kebiasaan teknik budidaya dalam usahatani berbasis tembakau kurangtidak mengindahkan kaidah konservasi, kondisi tersebut dilakukan pada kemiringan
yang curam serta curah hujan yang tinggi akibatnya telah menyebabkan terjadinya erosi yang parah. Besarnya prediksi erosi yang terjadi pada wilayah Sub-DAS
Progo Hulu rata-rata sebesar 47,51 tonhatahun; dimana untuk Sub-Sub-DAS Kuas sebesar 66,96 tonhatahun, Sub-Sub-DAS Galeh sebesar 53,02
tonhatahun, Sub-Sub-DAS Progo Hulu sebesar 22,14, dan Sub-Sub-DAS Grabah sebesar 66,90 tonhatahun Proyek Pusat Pengembangan Pengelolaan DAS
1990. Hasil penelitian petak erosi pada lahan usahatani berbasis tembakau dengan kemiringan 62 besarnya erosi tercatat 53,72 tonhatahun Djajadi et al.
1994. Sedangkan pada lahan lincat lahan dengan sifat tanah lengket pada waktu basah dan mengeras pada waktu kering, apabila ditanami tembakau menyebabkan
kematian lebih 50 besarnya erosi tercatat 30,22 tonhatahun Djajadi et al. 2002.
Erosi tanah pada lahan usahatani tembakau di wilayah Sub-DAS Progo Hulu telah berlangsung cukup lama dan disinyalir telah menyebabkan terjadinya