PENDAHULUAN Pengembangan usahatani lahan kering berkelanjutan berbasis tembakau di sub DAS Progo Hulu (kabupaten Temanggung propinsi Jawa Tengah)

Manfaat Penelitian : 1. Memberikan gambaran kondisi eksisting usahatani lahan kering berbasis tembakau di Sub-DAS Progo Hulu. 2. Menjadi bahan pertimbangan bagi petani, pemerintah daerah, dan peneliti di dalam pengembangan usahatani lahan kering berkelanjutan berbasis tembakau di Sub-DAS Progo Hulu. 3. Sebagai data dasar benchmark data untuk penelitian selanjutnya di bidang konservasi tanah dan air, serta bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam merumuskan sistem usahatani lahan kering berkelanjutan. Kerangka Pemikiran dan Landasan Teori Usahatani lahan kering berbasis tembakau merupakan sistem usahatani lahan kering dimana tanaman tembakau sebagai komoditas unggulan sehingga petani lebih memilih menanam tembakau dibandingkan komoditas lain. Tanaman tembakau ditanam petani pada musim kemarau april-september, sedangkan tanaman jagung dan sayuran cabe, bawang daun, bawang putih, kubis, bawang merah, tomat, dan lainnya ditanam petani pada musim penghujan oktober- maret. Permasalahan utama pada usahatani lahan kering berbasis tembakau UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu adalah kemunduran daya dukung lahan degradasi lahan akibat erosi yang parah dan telah berlangsung selama ini Djajadi 2000; GGWRM-EU 2004. Degradasi lahan pada UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu telah menyebabkan penurunan kesuburan tanah, penurunan produktivitas lahan, serta kerusakan lahan dan terjadinya lahan kritis. Penurunan kesuburan tanah ditandai dengan kebutuhan pupuk kandang dari tahun ke tahun yang semakin meningkat, menurut Rachman et al. 1988 dosis pupuk kandang untuk tanaman tembakau semula cukup sekitar 22,5 tonha, dan pada tahun 2000 telah mencapai sekitar 30 tonha Djajadi 2000. Penurunan produktivitas lahan ditunjukkan oleh tingkat produktivitas tembakau rajangan yang relatif rendah yaitu berkisar 0,28-0,52 tonha dengan rata-rata 0,429 tonha Isdijoso Mukani 2000, lebih rendah dibandingkan tembakau rajangan Madura yang mempunyai produktivitas berkisar 0,58-0,66 tonha Hartono et al. 1991. Sedangkan kerusakan lahan ditandai dengan hilangnya lapisan top soil serta kenampakan adanya erosi alur rill erosion , erosi parit gully erosion, dan bahan induk tanah, serta terjadinya lahan kritis seluas 3.029 ha GGWRM-EU 2004. Perencanaan Sistem Pertanian Konservasi SPK merupakan solusi tepat untuk mengatasi permasalah degradasi lahan dan upaya pengembangan UTLK berkelanjutan berbasis tembakau di Sub-DAS Progo Hulu dalam kerangka pengelolaan DAS yang lestari. Perencanaan SPK bertujuan untuk mewujudkan sistem usahatani yang berkelanjutan, yang merupakan salah satu pendekatan atau implementasi dari pembangunan berkelanjutan upaya mensinkronkan dan memberi bobot yang sama terhadap tiga aspek, yaitu aspek ekologi, aspek ekonomi, dan aspek sosial budaya. Menurut Sinukaban 2007, Sistem Pertanian Konservasi SPK adalah sistem pertanian yang mengintegrasikan tindakanteknik konservasi tanah dan air ke dalam sistem pertanian yang telah ada dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan kesejahteraan petani dan sekaligus menekan erosi, sehingga sistem pertanian tersebut dapat berlanjut secara terus menerus tanpa batas waktu sustainable. SPK merupakan sistem pertanian yang khas kondisi setempat site specifik, dengan demikian maka pemilihan tindakan konservasi tanah, sistem pertanian dan pengelolaannya, serta agroteknologi yang akan diterapkan harus disesuaikan dengan keadaan setempat. Langkah-langkah yang harus dilakukan di dalam perencanaan SPK adalah, meliputi : a inventarisasi keadaan biofisik daerah, b inventarisasi keadaan sosial ekonomi petani, dan c inventarisasi pengaruh luar Sinukaban 2007. Inventarisasi keadaan biofisik wilayah, seperti aspek penggunaan lahan, iklim, geologi, topografi, dan sifat-sifat tanah. Data ini akan diperlukan untuk menganalisis kelas kemampuan lahan, tingkat degradasi lahan yang sudah terjadi, prediksi erosi dan nilai erosi yang dapat ditoleransikan ETol, menentukan agroteknologi yang diperlukan, serta teknik konservasi yang cocok dan memadai. Inventarisasi keadaan sosial ekonomi petani, seperti : jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan, pemilikan lahan, pengetahuan teknologi budidaya dan pasca panen, pendapatan usahatani, serta persepsi tentang erosi dan perspektif keberlanjutan usahatani. Inventarisasi pengaruh luar, seperti pasarpemasaran hasil, perangkat penyuluhan, lembaga keuangan pedesaan, dan organisasi yang berkaitan dengan petani. Kondisi biofisik dan sosial ekonomi merupakan faktor yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan perencanaan SPK untuk pengembangan sistem usahatani lahan kering berkelanjutan berbasis tembakau di Sub-DAS Progo Hulu, sedangkan faktor luar eksternal merupakan pendukung implementasi perencanaan tersebut. Oleh karena itu SPK nantinya dapat diterapkan secara optimal sesuai konsep sistem pertanian berkelanjutan, yaitu pemilihan alternatif agroteknologi dan komoditi dapat mengurangi erosi ≤ nilai ETol , dapat menjamin pendapatan yang cukup tinggi pendapatan petani ≥ nilai kebutuhan hidup layak , serta dapat diterima acceptable dan dapat dikembangkan replicable oleh petani. Berdasarkan pemikiran diatas, maka dilakukan kajian pengembangan usahatani lahan kering berkelanjutan berbasis tembakau di Sub-DAS Progo Hulu, dengan melakukan berbagai kajiananalisis kondisi biofisik lahan dan karakteristik usahatani, serta percobaan teknologi KTA spesifik lokasi untuk pengembangan usahatani lahan kering berkelanjutan berbasis tembakau di Sub-DAS Progo Hulu, sebagaimana disajikan dalam diagram alir kerangka pemikiran pada Gambar 2. Gambar 2. Diagram alir kerangka pemikiran dalam penelitian Indikator Pendapatan ≥ KHL Indikator Erosi ≤ ETol Perencanaan Sistem Pertanian Konservasi Simulasi Agroteknologi Usahatani Lahan Kering Berkelanjutan Berbasis Tembakau di Sub-DAS Progo Hulu Kelas Kemampuan Lahan Prediksi Erosi Nilai ETol Tingkat Degradasi Lahan Percobaan Petak Erosi Plot Erosi DEGRADASI LAHAN Penurunan Kesejahteraan Petani Pendapatan petani menurun, Kebutuhan hidup layak kurang terpenuhi Usahatani Lahan Kering Berbasis Tembakau di Sub-DAS Progo Hulu Penurunan Kualitas Biofisik Lahan kritis, Kesuburan tanah menurun, Produktivitas menurun Karakteristik Sosial-Ekonomi Petani : • Karakteristik petani usahatani • Perspektif keberlanjutan usahatani keterlibatan konservasi Karakteristik Biofisik : • Tanah, geologi, tofografi • Penggunaan lahan • Iklim P E R M A S A L A H A N Pengelolaan Lahan Kurang Sesuai Kaidah Konservasi Analisis Usahatani Batasan dan Ruang Lingkup Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah pengembangan usahatani lahan kering berkelanjutan berbasis tembakau di Sub-DAS Progo hulu. Penelitian ini difokuskan pada kawasan lahan kering di Sub-DAS Progo Hulu yang digunakan untuk usahatani berbasis tembakau, jadi tidak termasuk lahan sawah, kebun campuran, dan hutan. Adapun ruang lingkup penelitian meliputi : 1. Lokasi penelitian adalah kawasan usahatani lahan kering berbasis tembakau di Sub-DAS Progo Hulu. Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air selama periode sebagian besar waktu dalam setahun lahan tegalan. Usahatani berbasis tembakau merupakan sistem usahatani dimana tanaman tembakau sebagai komoditas unggulan utama sehingga petani lebih memilih menanam tembakau dibandingkan komoditas lain. 2. Penelitian kondisi eksisting usahatani lahan kering berbasis tembakau di Sub- DAS Progo hulu, meliputi kondisi biofisik lahan kelas kemampuan lahan, prediksi erosi dan ETol, tingkat degradasi lahan dan karakteristik usahatani jenis pola tanam, karakteristik petani, analisis usahatani dan kelayakan usahatani. 3. Penelitian valuasi kerugian ekonomi akibat erosi difokuskan pada ”on site” lokasi kejadian erosi. 4. Penelitian pengaruh teknologi KTA spesifik lokasi terhadap limpasan permukaan dan erosi dilakukan pada ”teras batu” teras bangku yang diperkuat dengan batu dan teras bangku miring, dengan pemberian mulsa sisa tanaman berupa batang tembakau sisa panen dan rumput Setaria spacelata sebagai penguat teras. 5. Pengembangan usahatani lahan kering berkelanjutan berbasis tembakau di Sub-DAS Progo Hulu diwujudkan dengan perencanaan sistem pertanian konservasi SPK yang dilakukan dengan pendekatan secara komprehensif mengintegrasikan aspek biofisik dan aspek sosial ekonomi dan teknologi KTA bersifat ”site specific” khas kondisi setempat. 6. Usahatani lahan kering berkelanjutan merupakan sistem usahatani lahan kering yang mampu mensinkronkan dan memberi bobot yang sama pada tiga aspek aspek ekologi, ekonomi, dan sosial-budaya dalam satu hubungan yang sinergis untuk mencapai produktivitas dan pendapatan yang cukup tinggi secara terus menerus umur guna 250 tahun, sumberdaya alam lahan, air dan genetik tanaman terpelihara atau tidak terdegradasi, serta sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat. Kebaruan Novelty Kebaruan novelty dari penelitian yang berjudul ”Pengembangan Usahatani Lahan Kering Berkelanjutan Berbasis Tembakau di Sub-DAS Progo Hulu, adalah perumusan pengembangan usahatani lahan kering berkelanjutan berbasis tembakau dengan menggunakan tiga indikator keberlanjutan yaitu : a indikator ekologi nilai prediksi erosi ≤ nilai ETol, b indikator ekonomi pendapatan petani ≥ nilai KHL, dan c indikator sosial teknologi dapat diterapkan dan dikembangkan petani; serta teknologi KTA bersifat spesifik lokasi.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Dampak Erosi Pada Peradaban Manusia Masalah erosi dan dampak yang ditimbulkannya telah dialami manusia sejak manusia mulai bertani, menurut publikasi modern bangsa yang mendiami Mesopotamia sekitar 7000 tahun yang lalu telah mengalami dampak dari erosi dan sedimentasi tersebut Stallings 1957. Sepanjang yang diketahui, peradaban barat timbul di Near East. Kebudayaan itu berkembang terus berabad-abad bergerak kearah timur ke China dan kearah barat terus ke Eropa, dan melintasi lautan Atlantik ke Amerika. Kita selalu diingatkan dari dosa kita untuk rakyat Sumerian dari Mesopotamia, pada lebih dari 6000 tahun yang lalu silam. Perjuangan manusia dengan erosi tanah adalah setua pertanian itu sendiri. Itu dimulai ketika pengembaraan suku-suku purbakala, mungkin di gunung Zagros yang memisahkan Persia dan Mesopotania Stallings 1957. Pada awalnya sulit merusak keseimbangan alam diantara tanaman penutup dan kekuatan penyebab erosi angin dan air. Semakin manusia menjadi beradab, permintaan manusia pada lahan untuk tambahan pangan dan pakaian bertambah. Dia berubah dari kawanan pengembara nomadic menjadi suatu cara budidaya pertanian tertentu dan memulai mengolah tanah. Meningkatnya penggunaan lahan kemudian lebih lanjut merusak tanaman penutup dan menjadikan tanah lebih tidak terlindungi dari kekuatan penyebab erosi. Erosi merupakan persoalan klasik dalam ilmu konservasi tanah dan air. Walaupun erosi merupakan proses alami oleh air dan angin, tetapi aktivitas manusia dalam penggunaan lahan menjadi penyebab utama percepatan erosi. Kerusakan yang ditimbulkan oleh erosi terjadi di dua tempat yaitu pada tanah tempat erosi terjadi dan pada tempat tanah yang terangkut diendapkan. Menurut Arsyad 2006, beberapa dampak erosi di tempat kejadian erosi on-site yaitu antara lain : 1 kehilangan unsur hara dan kerusakan struktur tanah; 2 kemerosotan produktivitas tanah atau bahkan menjadi tidak dapat dipergunakan untuk berproduksi; 3 kerusakan bangunan konservasi dan bangunan lainnya; dan 4 pemiskinan petani. Sedangkan dampak yang terjadi di luar tempat kejadian off-site, antara lain : 1 pelumpuran dan pendangkalan waduk, sungai, saluran dan badan air lainnya; 2 tertimbunnya lahan pertanian, jalan dan bangunan lainnya; 3 hilangnya mata air dan memburuknya kualitas air; 4 kerusakan ekosistem perairan; 5 kehilangan nyawa dan harta akibat banjir; 6 meningkatnya frekuensi dan masa kekeringan; 7 kerugian akibat memendeknya umur waduk; dan 8 meningkatnya frekuensi dan besarnya banjir. Pengelolaan tanah yang salah oleh manusia akan menimbulkan erosi sehingga tanah tidak dapat melakukan fungsinya sebagai unsur produksi, media pengatur tata air, dan media perlindungan lingkungan hidup. Erosi sangat erat kaitannya dengan ketersediaan air terutama ketersediaan air untuk pertumbuhan dan produksi tanaman. Oleh karena itu secara tidak langsung erosi akan menyebabkan terjadinya penurunan produksi tanaman pertanian Pimentel et al. 1995. Kehilangan produksi pertanian yang disebabkan oleh erosi pada akhirnya akan mengancam ketersediaan pangan dunia. Di beberapa tempat, kehilangan tanah akibat erosi merupakan penyebab utama terjadinya krisis pangan dan kekurangan gizi malnutrition World Resources Institute 1992. Membicarakan erosi tidak hanya sebatas pada pembicaraan masalah kehilangan tanah, tetapi secara luas mencakup berbagai aspek kehidupan dan bahkan secara global dapat mengancam stabilitas dunia. Beberapa negara di dunia melaporkan bahwa erosi secara signifikan dapat menurunkan produktivitas pertanian, meningkatkan penggunaan energi, meningkatkan biaya pengganti kehilangan unsur hara serta biaya pengganti fungsi-fungsi lainnya, sehingga diperlukan biaya yang tinggi untuk menangani dampak yang ditimbulkannya. Erosi akan menimbulkan dampak bukan saja kehilangan lapisan atas tanah yang subur yang mengakibatkan penurunan produktivitas, tetapi juga dapat mengakibatkan terjadinya kemiskinan manusia. Masalah erosi dan pengaruhnya terhadap perkembangan peradaban berbagai bangsa, seperti antara lain runtuhnya peradapan Mesopotamia yang legendaris itu telah dipaparkan secara panjang lebar oleh Stallings 1957. Pada peradapan modern, daerah yang paling banyak mengalami erosi umumnya terbatas pada daerah di dalam zone antara 40 Lintang Utara dan 40 Lintang Selatan. Di dalam zone ini tanah-anah daerah tropika adalah yang paling banyak tererosi. Keadaan iklim menentukan kecenderungan erosi oleh karena mencerminkan tidak saja besarnya dan pola curah hujan akan tetapi juga jenis dan pertumbuhan vegetasi serta jenis tanah. Ancaman erosi yang tertinggi terjadi di daerah tropika basah yang telah terganggu vegetasinya dan di daerah agak kering, jika dibandingkan dengan erosi di daerah kering dan daerah tropika basah yang belum terganggu vegetasinya Arsyad 2006. Asia secara keseluruhan memiliki laju erosi tertinggi dibandingkan dengan benua-benua lainnya, yaitu sebesar rata-rata 166 tonkm 2 tahun El-Swaify, Arsyad dan Krisnarajah 1983. Sebagai perbandingan di Australia besarnya erosi rata-rata adalah yang terendah yaitu sebesar 32 tonkm 2 tahun 0,32 tonhatahun atau seperlima erosi di Asia. Secara kasar ditaksir sekitar 39 lahan di India 129 juta hektar dalam tahun 1980 telah mengalami berbagai bentuk kerusakan dan seluas 74 juta hektar dari padanya telah mengalami erosi yang gawat Brown and Flavin 1988, diacu dalam Arsyad 2006. Empat belas 14 propinsi di Philipina diperkirakan telah mengalami erosi gawat pada 50 – 80 luas lahannya. Pada 30 propinsi lainnya erosi gawat telah melanda sekitar 4,5 – 48 dari keseluruhan lahan. Penebangan hutan untuk diambil kayunya atau pembukaan tanah-tanah pertanian baru di bukit- bukit dan gunung-gunung telah merupakan penyebab terjadinya erosi dan sedimentasi yang luar biasa di Indochina, Indonesia, Malaysia, dan Philipina. Ditaksir sekitar 25 juta ton tanah hilang setiap tahun dari Sri Langka. Nepal sebanding dengan Haiti di Carribia dalam menunjukkan kerusakan lahan yang ekstrim di daerah-daerah pegunungan, tekanan penduduk mendorong petani ke arah lahan-lahan perbukitan dan pegunungan yang lebih mudah tererosi. Australia memiliki perbedaan-perbedaan masalah erosi yang impresif pada berbagai zone iklimnya, erosi yang hebat umumnya terjadi dibagian Queesland dan meliputi sekitar 25 Territorial Utara terutama daerah beriklim barat di Darwin dan daerah Teluk. Erosi gawat juga telah dilaporkan pada banyak pulau di Pasifik termasuk Fiji, Hawaii dan kepulauan Cook El-Swaify et al. 1983, diacu dalam Arsyad 2006. Di Amerika Serikat, sejak permulaan tahun 1980-an, petani Amerika dan Departemen Pertanian USDA bersama-sama mengeluarkan lebih satu milyar dollar Amerika per tahun untuk mengendalikan erosi pada tanah-tanah pertanian. Meskipun demikian survei detail yang dilakukan dalam tahun 1982 menunjukkan sekitar 3,1 milyar ton lapisan atas tanah tererosi oleh angin dan air setiap tahunnya, dua milyar ton dari jumlah tersebut dianggap telah melebihi tingkat erosi yang masih dapat dibiarkan. Secara umum untuk setiap ton bijian yang dihasilkan, petani Amerika kehilangan enam ton tanah lapisan atas oleh erosi Brown Wolf 1988, diacu dalam Arsyad 2006. Untuk mengatasi ancaman erosi tersebut Pemerintah Amerika Serikat, mulai tahun 1986 mengeluarkan dana melalui Program Conservation Reserve yang tercantum dalam Food Security Act 1985, melalui dua cara yaitu : a untuk tanah pertanian yang sangat mudah tererosi petani dibayar rata-rata 48 dollar Amerika untuk setiap acre 0,4 hektar lahannya agar tidak ditanami dengan tanaman semusim tetapi ditanami rumput atau hutan, dan b penerapan cara-cara metoda konservasi tanah pada tanah yang tidak begitu mudah tererosi. Untuk kedua program tersebut pemerintah Amerika Serikat dalam tahun 1986 mengeluarkan sebesar 1,4 milyar dollar yang terdiri atas 0,4 milyar untuk membayar petani dan satu milyar dollar untuk menerapkan metoda konservasi. Dalam tahun 2000 diperkirakan Pemerintah Amerika Serikat harus mengeluarkan sekitar 3 milyar dollar untuk program tersebut Arsyad 2006. Di Indonesia, Dames 1955 melaporkan bahwa dari sekitar 1,6 juta hektar tanah di daerah bagian timur Jawa Tengah Yogyakarta, Surakarta dan sebagian Karesidenan Semarang dan Jepara – Rembang telah mengalami erosi berat seluas 36,0, erosi sedang 10,5, erosi ringan 4,5 dan tidak tererosi 49,0. Kerusakan tanah oleh erosi di daerah ini meningkat dengan meningkatnya jumlah penduduk sejak tahun 1900. Tingkat kerusakan erosi meningkat dengan meningkatnya kegiatan penduduk membuka tanah-tanah pertanian tanpa pengelolaan yang benar ditunjukkan oleh Van Dijk dan Vogelzang 1948 dari penelitian mereka di daerah aliran sungai Cilutung suatu anak sungai Cimanuk. Pengukuran yang mereka lakukan dalam tahun 19341935 laju erosi sebesar 28,5 tonhektartahun ekivalen dengan 1,9 mm lapisan tanah BV = 1,5, yaitu lebih dari dua kali lipat dengan laju erosi yang terjadi pada tahun 19111912 yang menurut taksiran sekitar 13,2 tonhektartahun 0,9 mm lapisan tanah, BV = 1,5. Di dalam masa antara tahun 1948-1969 besarnya erosi telah meningkat menjadi 120 tonhektartahun atau 8,0 mmtahun Ditjen. Pengairan 1977, diacu dalam Arsyad 2006. LIPI-NAS Workshop 1968, diacu dalam Arsyad 2006 menaksir di Jawa terdapat antara 1- 1,5 juta hektar tanah yang menderita rusak berat oleh erosi. Harris Suranggadjiwa 1975, diacu dalam Arsyad 2006 melaporkan perkiraan luas tanah kritis di Indonesia meliputi sekitar 25-30 juta hektar, dan diperkirakan meluas dengan 1-2 per tahun. Erosi yang gawat tidak saja terjadi di pulau Jawa yang telah padat penduduknya, tetapi juga telah melanda berbagai bagian dari pulau besar lainnya di Indonesia Arsyad 2006. Luas lahan kritis di Indonesia menurut Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan 1993, mencapai 18,3 juta ha yang diantaranya sekitar 59 termasuk semi kritis dan kritis. Sedangkan menurut Dirjen RLPS, Departemen Kehutanan luas lahan kritis di Indonesia telah mencapai lebih dari 35 juta ha, dimana luas lahan yang kritis dan sangat kritis sudah mencapai lebih dari 5 juta ha dan luas lahan agak kritis dan potensial kritis sudah mencapai lebih dari 30 juta ha Sinukaban 2003. Disamping itu, kerusakan DAS di Indonesia makin lama semakin meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 1984 terdapat 22 DAS dalam keadaan kritis dengan luas sekitar 9,69 juta hektar, pada tahun 1994 meningkat menjadi 39 DAS kritis dengan luas sekitar 12,52 juta hektar Ditjen RRL 1999, pada tahun 2000 meningkat lagi menjadi 42 DAS kritis dengan luas sekitar 23,71 juta hektar, dan meningkat lagi pada tahun 2004 menjadi 65 DAS kritis Ditjen Sumberdaya Air 2004. Erosi dan Biaya Erosi Erosi adalah peristiwa terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami, yaitu air dan angin. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat terkikis dan terangkut kemudian diendapkan pada suatu tempat lain. Proses ini menyebabkan hilangnya lapisan atas tanah yang subur dan baik untuk pertumbuhan serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air Arsyad 2006.

a. Erosi dan faktor-faktor penyebabnya

Hudson 1976 dan Beasley 1972 berpendapat, bahwa erosi adalah proses kerja fisika yang keseluruhan prosesnya menggunakan energi. Energi ini digunakan untuk menghancurkan agregat tanah detachment, memercikan partikel tanah splash, menyebabkan olakan turbulence pada limpasan permukaan, serta menghanyutkan partikel tanah. Pawitan 1990 mengemukakan bahwa erosi merupakan rangkaian dua proses yang berbeda, yaitu 1 proses penghancuran tanah asli atau penghancuran kembali dari lapisan terdeposisi, dan 2 pengangkutan tanah asli yang hancur atau pengangkutan kembali sedimen oleh air. Hal ini sesuai dengan pendapat Rachman 2005, bahwa proses erosi terjadi melalui dua proses yang saling interaktif yaitu proses penghancuran detachment partikel tanah dan proses pengangkutan transport partikel tanah yang sudah dihancurkan. Kedua proses ini terjadi akibat curah hujan rainfall dan aliran permukaan runoff. Kehilangan tanah hanya akan terjadi jika kedua proses tersebut di atas berjalan. Tanpa proses penghancuran partikel-partikel tanah, maka erosi tidak akan terjadi, tanpa proses pengangkutan, maka erosi akan sangat terbatas. Kedua proses tersebut di atas dibedakan menjadi empat sub proses, yaitu: 1 penghancuran oleh curah hujan; 2 pengangkutan oleh curah hujan; 3 penghancuran oleh aliran permukaan; dan 4 pengangkutan oleh aliran permukaan Walling 1982. Jika butir hujan mencapai permukaan tanah, maka partikel-partikel tanah dengan berbagai ukuran akan terpercik splashed ke segala arah, menyebabkan terjadinya penghancuran dan pengangkutan partikel-partikel tanah. Jika aliran permukaan tidak terjadi seluruh curah hujan terinfiltrasi, maka seluruh partikel-partikel yang terdeposit akibat curah hujan akan terdeposit di permukaan tanah. Selanjutnya jika aliran permukaan terjadi, maka partikel- partikel yang terdeposit tersebut akan diangkut ke lereng bagian bawahnya. Beberapa kemungkinan yang dapat terjadi sehubungan dengan empat sub proses di atas, yakni : 1 penghancuran baik oleh curah hujan maupun aliran permukaan lebih kecil dari proses pengangkutan oleh curah hujan dan aliran permukaan; 2 penghancuran baik oleh curah hujan maupun aliran permukaan lebih besar dari proses pengangkutan oleh curah hujan dan aliran permukaan; dan 3 penghancuran baik oleh curah hujan maupun aliran permukaan sama dengan proses pengangkutan oleh curah hujan dan aliran permukaan. Selanjutnya Arsyad 2006 menjelaskan bahwa di daerah beriklim tropika basah, air merupakan penyebab utama terjadinya erosi tanah. Proses erosi oleh air merupakan kombinasi dua sub proses yaitu : 1 penghancuran struktur tanah menjadi butir-butir primer oleh energi jatuh butir-butir hujan yang menimpa tanah D h dan perendaman oleh air yang tergenang proses dispersi, dan pemindahan pengangkutan butir-butir tanah oleh percikan hujan T h ; dan 2 penghancuran struktur tanah D l diikuti pengangkutan butir-butir tanah tersebut T l oleh air yang mengalir di permukaan tanah. Banyak faktor yang mempengaruhi laju erosi tanah. Morgan 1979 mengemukakan bahwa terjadinya erosi tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah : curah hujan, limpasan permukaan aliran permukaan, angin, jenis tanah, lereng, penutup tanah, jumlah penduduk, dan ada atau tidaknya tindakan konservasi tanah lainnya. Sedangkan oleh Arsyad 2006 disimpulkan bahwa erosi adalah akibat interaksi kerja antara faktor-faktor iklim, topografi, vegetasi, dan manusia terhadap tanah yang dituliskan dalam persamaan diskriptif berikut : E = f i, r, v, t, m Dimana E adalah erosi, merupakan fungsi dari faktor iklim i, relief atau topografi r, tanah t, vegetasi v, dan manusia m. Iklim . Unsur iklim yang berpengaruh terhadap proses erosi adalah presipitasi, suhu, dan angin Bennet 1955. Presipitasi merupakan unsur terpenting, khususnya hujan, lebih-lebih di daerah tropika basah seperti di Indonesia. Sifat-sifat hujan yang menentukan besarnya erosi dan limpasan permukaan adalah intensitas, jumlah, dan distribusi hujan Baver 1959. Suhu udara mempengaruhi limpasan permukaan dengan mengubah kandungan air tanah yang menyebabkan perubahan kapasitas infiltrasi, sedangkan angin menentukan kecepatan dan arah jauh butir hujan Schwab et al. 1981. Selama kejadian hujan, intensitas dan besarnya curah hujan menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah, jumlah hujan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap jumlah limpasan permukaan, sedangkan distribusi