Produktivitas tembakau berdasarkan tingkat degradasi lahan

109 Foto kiri : Koakan yang sudah diberi pupuk kandang dan ditutup tanah lahan degradasi berat, tanah regosol Foto kanan : Bawang putih ditanam mengelilingi koakan lahan degradasi berat, tanah litosol Gambar 24. Sistem tanam pada “koakan” lubang untuk pupuk dan untuk tempat tanam tahun 2008 Cara pemberian pupuk atau penanaman dengan sistem ”koakan” merupakan teknologi spesifik lokasi yang dimiliki petani, sangat baik untuk mengatasi kondisi kesuburan tanah di lokasi penelitian yang relatif rendah dan banyaknya kerikil di dalam solum tanah 15-90, dengan indeks stabilitas agregat tanah 40 atau tidak stabil Lampiran 9b. Ini terjadi karena diakibatkan oleh sistem pengolahan tanah sangat intensif over intensif yang dilakukan petani sejak dulu dengan melakukan pembalikan tanah sedalam 30-50 cm setiap menjelang tanam tembakau setiap tahunnya, bertujuan untuk meningkatkan kapasitas drainase untuk menghindarkan kelebihan air pada daerah perakaran. Karena agregat tanah menjadi hancur, akibatnya koloid serta fraksi liat dan debu yang banyak menjerab unsur hara sangat mudah terlarutkan oleh air hujan terbawa aliran permukan ke sungai menuju laut. Hal ini bukan hanya berdampak pada hilangnya lapisan atas tanah yang subur, namun dapat pula menyebabkan usahatani menjadi semakin tidak efisien karena input usahatani terutama pupuk akan banyak hilang terbawa erosi. 110 Karakteristik Petani Pada UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu Analisis karakteristik petani pada usahatani lahan kering berbasis tembakau UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu dilakukan secara deskriptif pada 125 responden. Secara sederhana didapatkan hasil karakteristik petani yang disajikan pada Tabel 23, Tabel 24, Tabel 25, Tabel 26, dan Tabel 27. Tabel 23. Umur petani pada UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu tahun 2008 No. Umur Responden tahun Jumlah Responden Persentase 1. 20 2. 21-30 14 11,2 3. 31-40 40 32,0 4. 41-50 39 31,2 5. 51-60 20 16,0 6. 60 12 9,6 Jumlah 125 100,0 Nilai Maksimum tahun 77 Nilai Minimum tahun 21 Rata-rata tahun 45 Sumber : Dianalisis dari data primer 2008 Tabel 24. Tingkat pendidikan petani pada UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu No. Tingkat Pendidikan Responden Jumlah Responden Persentase 1. Tidak Lulus SD 3 2,4 2. SD 83 66,4 3. SMP SLTP 21 16,8 4. SMASTMSMEA SLTA 16 12,8 5. Perguruan Tinggi 2 1,6 Jumlah 125 100,0 Tabel 25. Luas lahan garapan petani pada UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu No. Luas Penguasaan Lahan Responden ha Jumlah Responden Persentase 1. 0,50 71 56,8 2. 0,50 - 1,00 42 33,6 3. 1,01 - 2,00 9 7,2 4. 2,00 3 2,4 Jumlah 125 100,0 Nilai Maksimum ha 2,50 Nilai Minimum ha 0,17 Rata-rata ha 0,66 111 Tabel 26. Pengalamansebagai petani pada UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu No. Lama Responden Sebagai Petani tahun Jumlah Responden Persentase 1. ≤ 10 21 16,8 2. 11-20 34 27,2 3. 21-30 42 33,6 4. 31-40 22 17,6 5. 41-50 5 4,0 6. 50 1 0,8 Jumlah 125 100 Nilai Maksimum tahun 52 Nilai Minimum tahun 4 Rata-rata tahun 23 Sumber : Dianalisis dari data primer 2008 Tabel 27. Jumlah anggota keluarga petani pada UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu No. Jumlah Anggota Keluarga Responden Jumlah Responden Persentase 1. 2-3 18 14,4 2. 4-5 91 72,8 3. 6-7 15 12,0 4. 7 1 0,8 Jumlah 125 100 Nilai Maksimum 8 Nilai Minimum 2 Rata-rata 5 Sumber : Dianalisis dari data primer 2008 Pada Tabel 23, Tabel 24, Tabel 25, Tabel 26, dan Tabel 27, memperlihatkan bahwa kepala keluarga petani pada UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu mempunyai umur berkisar 21-77 tahun, secara umum berusia 21-60 tahun 90,4; dengan tingkat pendidikan rendah hanya lulus SD dan tidak lulus SD yaitu sebanyak 68,8; mempunyai luas lahan garapan berkisar 0,17-2,50 hektar dengan rata-rata 0,66 hektar, dimana luas lahan garapan kurang dari 0,5 hektar sebanyak 56,8, luas lahan garapan 0,5-1,0 hektar sebanyak 33,6, dan luas lahan garapan di atas 1,0 hektar sebanyak 9,6; berpengalaman sebagai petani diatas 10 tahun yaitu sebanyak 83,2 , dengan jumlah anggota keluarga berkisar 2-8 jiwa dengan rata-rata 5 jiwa. 112 Karakteristik Produksi Tanaman Pada UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu Nilai rata-rata produksi dari berbagai jenis tanaman pada UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu berfluktuasi setiap tahunnya Tabel 28, kemungkinan disebabkan oleh pengaruh musim atau serangan hama pennyakit. Produksi jagung pada tahun 2008 hanya 1,67 ton pipilan keringha disebabkan oleh banyaknya angin kencang pada musim tanam tahun 20072008 yang mengakibatkan banyak tanaman jagung yang roboh dan produksi sangat menurun, yaitu hanya sekitar 44,3 dibandingkan produksi tahun 2007 3,78 ton pipilan keringha. Tabel 28. Nilai rata-rata produksi dan harga berbagai jenis tanaman pada UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu tahun 2007 dan tahun 2008 No Jenis Tanaman Produksi kgha Produksi kgha Harga Rpkg 1. Tembakau a 614 591 30.000-300.000 2. Jagung b 3.775 1.671 2.000-2.500 3. Cabe c 2.723 5.860 5.500-16.000 4. Bawang Daun d - 8.969 1.200-2.000 5. Bawang Putih e 4.528 3.801 2.000-2.500 6. Kubis f 21.716 15.840 500-1.000 7. Bawang Merah g 6.392 4.144 5.000-5.500 8. Tomat h - 31.888 700-1.750 Keterangan : : data produksi tahun 2007 diolah dari data BPS Kabupaten Temanggung 2008 : data produksi tahun 2008 diolah dari data hasil survei petani responden tahun 2008 : harga yang berlaku di tingkat petani harga pasar tahun 2008 a = dalam kg rajangan keringha; b = dalam kg pipilan keringha; c = dalam kg buah segarha; d = dalam kg daun segarha; e = dalam kg umbi keringha; f = dalam kg kol segarha g = dalam kg umbi keringha; h = dalam kg buah segarha Tabel 28, juga menunjukkan bahwa produktivitas tembakau rajangan kering berkisar 0,59-0,61 tonha, dengan harga berkisar dari Rp. 30.000,- - Rp. 300.000,-kg sesuai mutu tembakau rajangan kering yang dihasilkan Lampiran 22 Lampiran 23. Menurut Isdijoso dan Mukani 2000, produktivitas tembakau rajangan di Kabupaten 113 Temanggung berfluktuasi setiap tahunnya berkisar 0,28-0,52 tonha dengan rata-rata 0,429 tonha. Ini jauh lebih rendah dibandingkan tembakau asepan Boyolali yang memiliki produktivitas sekitar 1,2 tonha Syukri 1991, dan juga masih lebih rendah dibandingkan tembakau rajangan Madura yang memiliki produktivitas berkisar 0,58- 0,66 tonha Hartono et al. 1991. Produksi tanaman tembakau pada UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu pada musim tanam tahun 2008 Tabel 29 berkisar 504-674 kg rajangan keringha, bervariasi sesuai jenis pola tanam dan agroekosistem setempat, serta memiliki harga rata-rata berkisar Rp. 64.500,- - Rp. 88.000,-kg. Menurut Purlani dan Rachman 2000, tembakau rajangan temanggung mempunyai harga yang sangat beragam sesuai dengan mutu tembakau rajangan yang dihasilkan. Mutu tembakau rajangan Tabel 29. Nilai rata-rata produksi dan harga berbagai pola tanam pada UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu tahun 2008 No Jenis Tanaman Produksi kgha Harga Rata-rata Rpkg Tanaman ke-1 Tanaman ke-2 Tanaman ke-1 Tanaman ke-2 1. Jagung-Tembakau 1.671 b 635 a 2.100 74.000 2. Cabe-Tembakau 5.860 c 504 a 9.000 70.000 3. Bawang Daun-Tembakau 8.969 d 608 a 1.600 88.000 4. Bawang Putih-Tembakau 3.801 e 594 a 2.100 80.500 5. Kubis-Tembakau 15.840 f 674 a 750 64.500 6. Bawang Merah-Tembakau 4.144 g 592 a 5.250 87.500 7. Tomat-Tembakau 31.888 h 654 a 1.200 73.500 Sumber : Dianalisis dari data primer 2008 Keterangan : a = dalam kg rajangan keringha; b = dalam kg pipilan keringha; c = dalam kg buah segarha; d = dalam kg daun segarha; e = dalam kg umbi keringha; f = dalam kg kol segarha g = dalam kg umbi keringha; h = dalam kg buah segarha yang dihasilkan diklasifikasikan dari mutu A, B, C, D, E, F, G, H, I, dan J, dinilai berdasarkan warna, aroma, dan pegangan body. Mutu A merupakan mutu paling 114 rendah dengani harga pasar sekitar Rp. 30.000,-kg, sedangkan mutu I-J mempunyai harga pasar Rp. 300.000,- - Rp. 400.000,-kg merupakan mutu paling tinggi atau istimewa dan sering disebut sebagai tembakau rajangan temanggung mutu “srintil”. Menurut Basuki et al. 2000, berdasarkan mutu yang dihasilkan dan letak daerah penanamannya, tembakau di lahan tegalan yang berada di lereng gunung Sumbing dan gunung Sindoro dapat dikelompokkan menjadi empat 4 golongan yaitu : a Tembakau Lamuk yaitu berada di lereng timur gunung Sumbing, pada ketinggian 1.100 m d.p.l. dengan kultivar Kemloko dapat menghasilkan mutu srintil super istimewa mutu J, meliputi wilayah kecamatan Tembarak dan Tlogomulyo; b Tembakau Lamsi yaitu berada di lereng utara gunung Sumbing, pada ketinggian 1.100 m d.p.l. dengan kultivar Kemloko dapat menghasilkan mutu srintil istimewa mutu I, meliputi wilayah kecamatan Bulu dan Parakan; c Tembakau Paksi yaitu berada di lereng timur gunung Sindoro, pada ketinggian 1.100 m d.p.l. dengan kultivar Kemloko dapat menghasilkan mutu srintil cukup istimewa mutu H, meliputi wilayah kecamatan Ngadirejo; dan d Tembakau Tualo yaitu berada di lereng selatan gunung Sindoro, pada ketinggian 1.100 m d.p.l. dengan kultivar Kemloko dan Sitieng dapat menghasilkan mutu sedang mutu G, meliputi wilayah kecamatan Parakan dan Bansari. Analisis Pendapatan dan Kelayakan Usahatani Berdasarkan hasil analisis pendapatan usahatani selama setahun pada UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu Lampiran 24 dan Tabel 29, didapatkan nilai rata-rata distribusi produksi, biaya, penerimaan, pendapatan dan kelayakan usahatani berdasarkan jenis tanaman Tabel 30, dan nilai distribusi biaya, penerimaan, pendapatan dan luas minimal lahan garapan berdasarkan pola tanam Tabel 31. Tabel 30, memperlihatkan bahwa biaya usahatani berbagai jenis tanaman pada UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu berkisar dari Rp. 1.911.000,- - Rp. 25.445.000,- hamusim, dengan pendapatan usahatani berkisar dari - Rp. 2.481.000,- - Rp. 29.633.000,-hamusim. Jenis tanaman cabe memerlukan biaya usahatani paling tinggi, 115 Tabel 30. Distribusi produksi, biaya, penerimaan, pendapatan dan kelayakan usahatani berdasarkan jenis tanaman per musim tanam pada UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu tahun 2008 No Jenis Tanaman Produksi Biaya Rphamusim Penerimaan Rphamusim Pendapatan Rphamusim Nilai RC 1. Tembakau 591 a 15.184.000 44.881.000 29.633.000 2,97 2. Jagung 1.671 b 1.911.000 3.509.000 1.597.000 1,96 3. Cabe 5.860 c 25.445.000 52.743.000 27.297.000 2,06 4. Bw Daun 8.969 d 8.099.000 14.350.000 6.251.000 1,79 5. Bw Putih 3.801 e 10.464.000 7.982.000 -2.481.000 0,77 6. Kubis 15.840 f 7.860.000 11.880.000 4.019.000 1,53 7. Bw Merah 4.144 g 15.041.000 21.754.000 6.712.000 1,45 8. Tomat 31.888 h 21.130.000 38.266.000 17.136.000 1,80 Sumber : Dianalisis dari data primer 2008 Keterangan : a = dalam kg rajangan keringha; b = dalam kg pipilan keringha; c = dalam kg buah segarha d = dalam kg daun segarha; e = dalam kg umbi keringha; f = dalam kg kol segarha g = dalam kg umbi keringha ; h = dalam kg buah segarha diikuti tanaman tomat, tembakau, bawang merah, bawang putih, bawang daun, kubis, dan jagung. Tanaman tembakau memberikan pendapatan usahatani tertinggi Rp 29.633.000,-ha5bl; RC 2,97, diikuti cabe Rp 27.297.000,-ha7bl; RC 2,06, tomat Rp. 17.136.000,-ha5bl; RC 1,80, bawang merah Rp. 6.712.000,-ha4bl; RC 1.45, bawang daun Rp. 6.251.000,-ha3bl; RC 1,79, kubis Rp. 4.019.000,-ha3bl; RC 1,53, jagung Rp. 1.597.000,-ha4-5bl; RC 1,96, serta bawang putih yaitu rugi - Rp. 2.481.000,-ha4bl; RC 0,77. Tabel 31, memperlihatkan bahwa biaya usahatani berbagai jenis pola tanam pada UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu berkisar dari Rp. 19.459.000,- - Rp. 36.434.000,-hath, dengan pendapatan usahatani berkisar dari Rp. 30.411.000,- - Rp. 51.611.000,-hath. Jenis pola tanam cabe-tembakau memerlukan biaya usahatani paling tinggi, diikuti tomat-tembakau, bawang merah-tembakau, bawang putih- tembakau, bawang daun-tembakau, kubis-tembakau, dan jagung-tembakau. Jenis pola tanam yang memberikan pendapatan usahatani tertinggi adalah jenis pola tanam cabe-tembakau 116 Tabel 31. Distribusi biaya, penerimaan, pendapatan dan luas minimal lahan garapan berdasarkan jenis pola tanam per tahun pada UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu tahun 2008 No Jenis Pola Tanam Biaya Rphath Penerimaan Rphath Pendapatan Rphath Nilai RC Luas Lm ha 1. Jagung-Tembakau 19.459.000 50.470.000 31.010.000 2,59 0,64 2. Cabe-Tembakau 36.434.000 88.046.000 51.611.000 2,41 0,39 3. BwDaun-Tembakau 25.286.000 67.894.000 42.607.000 2,72 0,47 4. BwPutih-Tembakau 25.423.000 55.835.000 30.411.000 2,20 0,66 5. Kubis-Tembakau 22.803.000 55.326.000 32.522.000 2,42 0,61 6. BwMerah-Tembakau 30.319.000 73.593.000 43.274.000 2,42 0,46 7. Tomat-Tembakau 35.844.000 86.350.000 50.505.000 2,41 0,40 Sumber : Dianalisis dari data primer 2008 Keterangan : Lm = Lahan minimal garapan ha untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup layak Rp. 20.000.000,-KKtahun; Lampiran 25 Rp. 51.611.000,hath; RC 2,41, diikuti tomat-tembakau Rp. 50.505.000,-hath; RC 2,41, bawang merah-tembakau Rp. 43.274.000,-hath; RC 2,42, bawang daun- tembakau Rp. 42.607.000,-hath; RC 2,72, kubis-tembakau Rp. 32.522.000,-hath; RC 2,42, jagung-tembakau Rp. 31.010.000,-hath; RC 2,59, serta bawang putih- tembakau Rp. 30,411.000,-hath; RC 2,20. Luas minimal lahan garapan yang dibutuhkan petani untuk mencapai kebutuhan hidup layak KHL berkisar antara 0,39- 0,66 ha sesuai jenis pola tanam yang dipilih, yaitu untuk pola tanam cabe-tembakau 0,39 ha, diikuti tomat-tembakau 0,40 ha, bawang merah-tembakau 0,46 ha, bawang daun-tembakau 0,47 ha, kubis-tembakau 0,61 ha, jagung-tembakau 0,64 ha, dan bawang putih-tembakau 0,66 ha. Analisis Pendapatan dan Kebutuhan Hidup Layak Luas lahan garapan keluarga petani pada usahatani lahan kering berbasis tembakau di Sub-DAS Progo Hulu berkisar 0,17-2,50 ha dengan rata-rata 0,66 ha, jumlah anggota keluarga rata-rata 5 orang, dan nilai KHL Kebutuhan Hidup Layak 117 berdasarkan perhitungan Rp. 20.000.000,-KKth Lampiran 25. Hasil analisis ragam anova pengaruh jenis pola tanam terhadap variabel biaya dan pendapatan usahatani tertera pada Lampiran 26. Selanjutnya hasil uji beda rerata pengaruh jenis pola tanam terhadap biaya dan pendapatan usahatani, serta pendapatan petani disajikan pada Tabel 32. Tabel 32. Pengaruh jenis pola tanam terhadap biaya, penerimaan dan pendapatan, serta pendapatan petani dari kegiatan usahatani seluas 0,66 ha No Jenis Pola Tanam Biaya Rphath Penerimaan Rphath Pendapatan Rphath Pendapatan Petani RpKKth 1. Jagung-Tembakau 19.459.000 a 50.470.000 31.010.000 a 20.466.600 2. Cabe-Tembakau 36.434.000 c 88.046.000 51.611.000 b 34.063.200 3. BwDaun-Tembakau 25.286.000 ab 67.894.000 42.607.000 ab 28.120.600 4. BwPutih-Tembakau 25.423.000 ab 55.835.000 30.411.000 a 20.071.200 5. Kubis-Tembakau 22.803.000 a 55.326.000 32.522.000 a 21.464.500 6. BwMerah-Tembakau 30.319.000 bc 73.593.000 43.274.000 ab 28.560.800 7. Tomat-Tembakau 35.844.000 c 86.350.000 50.505.000 b 33.333.300 Sumber : Dianalisis dari data primer 2008 Keterangan : : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam setiap kolom tidak berbeda nyata pada Uji HSD taraf 5 Tabel 32, memperlihatkan bahwa jenis pola tanam jagung-tembakau dan kubis- tembakau memerlukan biaya usahatani paling rendah, berbeda nyata dengan cabe- tembakau yang memerlukan biaya usahatani paling tinggi. Jenis pola tanam cabe- tembakau memberikan pendapatan usahatani paling tinggi, berbeda nyata dengan jagung-tembakau, kubis-tembakau, dan bawang putih-tembakau yang memberikan pendapatan usahatani paling rendah. Jenis pola tanam bawang daun-tembakau mempunyai nilai RC paling tinggi, diikuti jagung-tembakau, kubis-tembakau, bawang merah-tembakau, cabe-tembakau, tomat-tembakau, dan bawang putih-tembakau mempunyai nilai RC paling rendah. 118 Pendapatan petani dari kegiatan usahatani untuk semua jenis pola tanam masih diatas nilai KHL, yaitu berkisar Rp. 20.071.200,- - Rp. 34.063.200,-KKth Tabel 32. Hal tersebut dikarenakan tembakau temanggung rajangan selama ini digunakan sebagai bahan baku utama rokok kretek pemberi rasa dan aroma mempunyai nilai ekonomi tinggi harga jual Rp. 30.000,- - Rp. 300.000,-kg; mutu A sampai I. Disamping itu tanaman pasangan dalam pola tanam juga mempunyai harga cukup tinggi Tabel 29, yaitu cabe Rp. 9.000,-kg, jagung Rp. 2.100,-kg, bawang daun Rp. 1.600,-kg, bawang merah Rp. 5.250,-kg, kubis Rp. 750,-kg, dan bawang putih Rp. 2.100,-kg; harga jatuh. Tanaman cabe mampu menambah nilai pendapatan sekitar Rp. 27.297.000,-ha, diikuti tomat sekitar Rp. 17.136.000,-ha, bawang merah sekitar Rp. 6.712.000,-ha, bawang daun sekitar Rp. 6.251.000,-ha, kubis sekitar Rp. 4.019.000,- ha, jagung sekitar Rp. 1.597.000,-ha, dan bawang putih rugi - Rp. 2.481.000,-ha Tabel 30. Analisis Keberlanjutan UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu Indikator keberlanjutan sistem UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu ditentukan berdasarkan nilai prediksi erosi dan pendapatan usahatani prediksi erosi ≤ nilai ETol dan pendapatan usahatani ≥ nilai KHLKebutuhan Hidup Layak. Kajian pengaruh pola tanam terhadap nilai pendapatan usahatani dan prediksi erosi hanya dilakukan pada jenis pola tanam jagung-tembakau dan cabe-tembakau yang merupakan pola tanam dominan. Berdasarkan hasil analisis pengaruh pola tanam jagung-tembakau dan cabe-tembakau terhadap pendapatan usahatani Lampiran 27 dan prediksi erosi Lampiran 28, didapatkan nilai pengaruh pola tanam terhadap pendapatan petani dan prediksi erosi berdasarkan kelas kemiringan lereng pada Tabel 33 dan Gambar 25. Pada Tabel 33 dan Gambar 25, menunjukkan bahwa untuk pola tanam jagung- tembakau, nilai prediksi erosi pada kemiringan lereng 3-8 dan 8-15 27,21 tonhath dan 35,97 tonhath lebih kecil dari nilai ETol 48,72 tonhath dan 36,61 tonhath, sedangkan pada kemiringan lereng 15-30 dan kemiringan lereng 30 nilai prediksi erosi 75,06 tonhath dan 116,63 tonhath lebih besar dari nilai ETol 37,87 tonhath 119 dan 23,43 tonhath. Untuk pola tanam cabe-tembakau, nilai prediksi erosi pada kemiringan lereng 3-8 31,75 tonhath lebih kecil dari nilai ETol 48,72 tonhath, sedangkan pada kemiringan lereng 8-15, 15-30 dan 30 nilai prediksi erosi 41,96 tonhath, 87,57 tonhath dan 136,06 tonhath lebih besar dari nilai ETol 36,61 tonhath, 37,87 tonhath dan 23,43 tonhath. Berkaitan dengan analisis keberlanjutan sistem UTLKBT tersebut diatas, maka untuk pola tanam jagung-tembakau pada kemiringan lereng lebih dari 15 nilai prediksi nilai ETol dan tidak menunjukkan indikator keberlanjutan, sedangkan pola tanam cabe-tembakau pada kemiringan lereng lebih dari 8 nilai prediksi erosi nilai ETol dan tidak menunjukkan indikator keberlanjutan. Oleh karena itu untuk mewujudkan sistem UTLKBT yang berkelanjutan diperlukan penyempurnaan tindakan konservasi yang sesuai dan memadai nilai prediksi erosi ≤ ETol. Tabel 33. Pengaruh pola tanam jagung-tembakau dan cabe-tembakau terhadap nilai pendapatan petani dan prediksi erosi berdasarkan kelas kemiringan lereng pada UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu tahun 2008 Jenis Pola Tanam Kemiringan LerengElevasi m dpl Pendapatan Usahatani Rphath Pendapatan Petani RpKKth A tonhath ETol tonhath Jagung- Tembakau 3-8 910-1.510 25.223.140 16.647.000 27,21 48,72 8-15 720-1.480 25.600.800 16.896.000 35,97 36,61 15-30 850-1.770 33.893.450 22.369.000 85,78 37,87 30 1.050-1.940 35.499.700 23.429.000 116,66 23,43 Cabe- Tembakau 3-8 910-1.510 50.329.800 33.217.000 31,75 48,72 8-15 720-1.480 57.628.000 38.034.000 41,96 36,61 15-30 850-1.770 51.414.250 33.933.000 100,08 37,87 30 1.050-1.940 48.488.700 32.002.000 136,10 23,43 Sumber : Dianalisis dari data primer 2008 Keterangan : : pendapatan petani dari kegiatan usahatani seluas 0,66 ha 120 Gambar 25. Pengaruh pola tanam terhadap nilai prediksi erosi dan pendapatan petani dari kegiatan usahatani seluas 0,66 ha berdasarkan kelas kemiringan lereng Keterangan : E-JT = prediksi erosi pada pola tanam jagung-tembakau E-CT = prediksi erosi pada pola tanam cabe-tembakau P-JT = pendapatan petani pada pola tanam jagung-tembakau P-CT = pendapatan petani pada pola tanam cabe-tembakau Pada Tabel 33 dan Gambar 25, juga memperlihatkan bahwa pendapatan petani dari kegiatan usahatani seluas 0,66 ha untuk pola tanam cabe-tembakau pada semua kelas kemiringan lereng 3-8, 8-15, 15-30, dan 30 yaitu Rp. 33.217.000,- KKth, Rp.38.034.000,-KKth, Rp. 33.933.000,-KKth, dan Rp. 32.002.000,-KKth lebih besar dari nilai KHL Rp. 20.000.000,-KKth. Untuk pola tanam jagung- tembakau pada kemiringan lereng 3-8 dan 8-15 Rp. 16.647.000,-KKth dan Rp. 16.896.000,-KKth lebih kecil dari nilai KHL, sedangkan pada kemiringan lereng 15- 30 dan 30 Rp. 22.369.000,-KKth dan Rp. 23.429.000,-KKth lebih besar nilai KHL. Hal ini disebabkan, pada kemiringan lereng 15-30 dan 30, walaupun produksi tembakau rajangan semakin menurun Lampiran 27, namun mempunyai mutu dan harga lebih baik. Pada kemiringan 3-8 dan 8-15, karena berada pada elevasi ketinggian tempat lebih rendah 910-1.510 m dpl dan 720-1.480 m dpl, sehingga 121 tembakau rajangan yang dihasilkan mempunyai mutu lebih rendah mutu A, B, C, D, E, F dan G; harga Rp. 30.000,-kg - Rp. 150.000,-kg dibandingkan pada kemiringan lereng 15-30 elevasi 850-1.770 m dpl dan kemiringan lereng 30 elevasi 1.050- 1.940 m dpl mempunyai mutu lebih tinggi mutu A, B, C, D, E, F, G, H, dan I; harga Rp. 30.000,-kg - Rp. 300.000,-kg. Harga rata-rata tembakau rajangan kering pada kemiringan lereng 3-8 Rp. 55.017,-kg, kemiringan lereng 8-15 Rp. 59.966,-kg, kemiringan lereng 15-30 Rp. 80.331,-kg, dan kemiringan lereng 30 Rp. 94.090,- kg. Menurut Purlani dan Rachman 2000, mutu tembakau rajangan yang dihasilkan petani sangat dipengaruhi oleh ketinggian tempat elevasi, disamping kondisi iklim dan jenis tanah. Semakin meningkat elevasi semakin meningkat mutu tembakau rajangan yang dihasilkan dan semakin meningkat harga jualnya. Untuk mutu istimewasrintil mutu H, I, dan J hanya dapat dihasilkan pada lahan dengan ketinggian tempat di atas 1.100 atau 1.200 m dpl dengan kondisi iklim yang mendukung. 122 Valuasi Kerugian Ekonomi Akibat Erosi Pada UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu Banyaknya unsur hara yang hilang akibat erosi tergantung pada besarnya erosi dan unsur hara yang terkandung dalam bagian tanah yang tererosi. Valuasi kerugian ekonomi akibat erosi didasarkan pada perhitungan biaya erosi tanah di lokasi on site dengan pendekatan biaya pengganti replacement cost approach dari nilai kehilangan unsur hara C-organik, N, P, dan K akibat erosi pada setiap satuan lahan. Hasil perhitungan nilai kehilangan unsur hara dan biaya ganti rugi kehilangan unsur hara tertera pada Lampiran 29 sd 31. Berdasarkan perhitungan tersebut ditunjukkan bahwa nilai biaya ganti rugi kehilangan unsur hara akibat erosi 519.488,07 tonth atau rata-rata 70,21 tonhath pada UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu sebesar Rp. 23.687.272.374,- th atau rata-rata Rp. 3.201.608,-hath, dengan rincian Tabel 34. Tabel 34. Nilai kehilangan hara dan biaya ganti rugi kehilangan hara akibat erosi pada UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu tahun 2008 Komponen Unsur Hara Nilai Kehilangan Hara Nilai Kehilangan Hara Setara Pupuk Nilai Biaya Ganti Rugi Kehilangan Unsur Hara Rphath C-Organik 1,49 ton C-Orghath 7,15 ton Pukanhath 1.251.412 N 94,96 kg Nhath 211,03 kg Ureahath 815.614 P 62,37 kg Phath 173,25 kg SP-36hath 840.250 K 36,41 kg Khath 60,68 kg KClhath 294.332 Total 3.201.608 Sumber : Dianalisis dari data primer 2008 Keterangan : Pukan = pupuk kandang dari kotoran sapi Hasil kajian ini menunjukkan bahwa erosi yang terjadi pada UTLKBT di Sub- DAS Progo Hulu bukan hanya berdampak pada hilangnya lapisan atas tanah yang subur dan menyebabkan kapasitas produktivitas tanah menjadi berkurang, namun juga dapat menyebabkan usahatani menjadi semakin tidak efisien karena input usahatani terutama pupuk akan banyak hilang terbawa erosi. 123 Percobaan Teknologi Konservasi Tanah dan Air KTA Spesifik Lokasi Pada UTLKBT Di Sub-DAS Progo Hulu

a. Tindakan konservasi tanah dan air yang telah dilakukan petani

Percobaan teknologi konservasi tanah dan air KTA spesifik lokasi ini bertujuan untuk menciptakan teknologi KTA yang efektif menekan limpasan permukaan dan erosi, serta dapat diterima acceptable dan dapat dikembangkan replicable oleh petani setempat; sehingga petani secara mandiri dapat mendisain sistem usahatani lahan kering berkelanjutan berbasis tembakau di Sub-DAS Progo Hulu. Didasarkan pada tujuan tersebut, maka teknologi konservasi tanah yang dikaji adalah diramu dari teknologi KTA yang telah ada atau dilakukan petani dilokasi penelitian. Di wilayah penelitian sebagian besar petani sudah menyadari pentingnya usaha konservasi tanah untuk menyelamatkan keberlangsungan sistem usahataninya, namun teknologi KTA yang diterapkan belum memadai atau tidak mampu mencegah terjadinya degradasi lahan, sehingga perlu ada tambahan inovasi agar teknologi KTA yang telah dibangun lebih efektif menekan erosi, seperti dengan tambahan penanaman rumput penguat teras dan pemberian mulsa sisa tanaman. Untuk daerah yang dijumpai banyak mengandung batuan dipermukaan lahannya sebagian wilayah dengan jenis tanah litosol, regosol coklat kelabu, dan regosol coklat kemerahan, petani secara turun temurun telah membuat teras bangku yang diperkuat dengan batu atau teras bangku dari tumpukan batu menurut kontur contur rockstone walls , disebut sebagai ”teras batu”. Untuk daerah lainnya yang tidak dijumpai banyak batu dipermukaan lahanya sebagian wilayah dengan jenis tanah latosol coklat dan latosol coklat kekuningan, petani membuat teras bangku miring keluar, disebut sebagai ”teras miring”. Sebagaimana ditunjukkan pada Lampiran 32. Untuk mencegah degradasi lahan diperlukan teknologi KTA yang dapat menekan erosi sampai dibawah nilai ETol erosi yang dapat ditoleransikan. Oleh karena itu, upaya menciptakan sistem UTLK berkelanjutan berbasis tembakau di Sub-DAS Progo Hulu tidaklah cukup hanya dengan satu teknologi konservasi saja, sehingga perlu ada tambahan inovasi agar teras yang telah dibangun teras batu atau teras miring lebih efektif menahan 124 erosi, yaitu dengan cara dikombinasikan dengan teknik konservasi yang lain. Berbagai penelitian menyebutkan bahwa metode vegetatif banyak direkomendasikan karena selain dapat menekan erosi juga dapat menjamin peningkatkan produktivitas lahan, murah dan mudah dilaksanakan petani Abdurrahman et al. 1996; Ai Dariah et al. 1994; Medina et al . 2000. Ramuan teknologi KTA yang dikaji merupakan kombinasi dari teknologi lokal yang sudah ada teras batu dan teras miring dengan perlakuan penanaman rumput Setaria spacelata sebagai penguat teras dan pemberian mulsa sisa tanaman. Mengingat pola tanam petani pada UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu adalah : tembakau-jagung dan tembakau- sayuran, dimana tembakau ditanam pada musim kemarau april-september dan pada musim hujan oktober-maret ditanami jagung atau sayuran cabe, kubis, bawang putih, bawang daun, bawang merah dan tomat. Oleh karena itu sisa tanaman yang digunakan pada perlakuan mulsa yaitu berupa batang tembakau dari hasil sisa panen. Batang tanaman tembakau hasil sisa panen pada UTLKBT di wilayah Sub-DAS Progo Hulu berkisar 10,12-20,16 tonha batang tembakau basah, dengan rata-rata 13,95 tonha atau sekitar 14 tonha Tabel 20, dan selama ini oleh petani digunakan sebagai kayu bakar untuk memasak.

b. Pengaruh teknologi konservasi tanah dan air KTA spesifik lokasi terhadap

limpasan permukaan dan erosi Hasil pengamatan limpasan permukaan dan erosi selama bulan april sampai september 2009 dari percobaan petak erosi tertera pada Lampiran 33 Lampiran 34. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan ramuan teknik konservasi spesifik lokasi terhadap limpasan permukaan dan erosi tertera pada Lampiran 35. Selanjutnya hasil uji beda rerata menggunakan uji beda nyata jujur HSD uji Tukey dari pengaruh perlakuan ramuan teknik konservasi spesifik lokasi terhadap limpasan permukaan dan erosi disajikan pada Tabel 35 dan Gambar 26. 125 Tabel 35. Pengaruh perlakuan teknologi konservasi tanah spesifik lokasi terhadap limpasan permukaan dan erosi pada kemiringan 30, 45, dan 70 April-September 2009 No Perlakuan Curah Hujan L.P CH P.L Erosi tonha P.E 30 45 70 Rata-rata 1. Teras Batu 600 mm 1 2 3 TB0 38,7 31,02 26,84 9,11 22,32 a TB1 32,9 ab 14,9 25,20 21,27 7,98 18,15 ab 18,7 TB2 26,5 b 31,6 18,79 13,95 5,51 12,75 b 42,9 TB3 29,6 ab 23,5 26,66 24,57 7,32 19,51 ab 12,6 Rata-rata 25,41 a 21,65 a 7,48 b 2. Teras Miring 645 mm 4 5 6 TM0 35,9 a 61,02 66,04 68,62 65,22 a TM1 28,6 ab 21,7 48,40 54,82 62,25 55,15 ab 15,4 TM2 22,8 b 36,7 41,81 47,69 46,23 45,24 b 30,6 TM3 27,4 ab 23,9 46,42 54,57 55,21 52,06 ab 20,2 Rata-rata 49,41 a 55,78 a 58,07 a Keterangan : L.P = limpasan permukaan rata-rata curah hujan; P.L = penurunan limpasan permukaan dibandingkan kontrol P.E = penurunan erosi dibandingkan kontrol : Angka-angka pada baris atau kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji HSD taraf 5 : 1= pada teras batu dengan kemiringan lereng 30 memiliki bidang olah 3,4-4,5 m 2= pada teras batu dengan kemiringan lereng 45 memiliki bidang olah 1,9-2,2 m 3= pada teras batu dengan kemiringan lereng 70 memiliki bidang olah 1,4-1,8 m : 4= pada teras miring dengan kemiringan lereng 30 memiliki bidang olah 3,4-3,6 m 5= pada teras miring dengan kemiringan lereng 45 memiliki bidang olah 3,2-3,5 m 6= pada teras miring dengan kemiringan lereng 70 memiliki bidang olah 3,1-3,4 m Tabel 35, memperlihatkan bahwa perlakuan TB2 dan TM2 penanaman rumput setaria sebagai penguat teras dan pemberian mulsa batang tembakau 14 tonha secara nyata mampu menurunkan limpasan permukaan 31,6 dan 36,7 dan erosi 42,9 dan 30,6 dibandingkan kontrol TB0 = teras batu pola petani dan TM0 = teras miring pola petani. Diikuti perlakuan TB3 dan TM3 tumpangsari koro merah dan pemberian mulsa batang tembakau 7 tonha mampu menekan limpasan permukaan 23,5 dan 23,9 dan erosi 12,6 dan 20,2, dan perlakuan TB1 dan TM1 penanaman rumput setaria sebagai penguat teras dan pemberian mulsa batang tembakau 7 tonha mampu menekan limpasan permukaan 14,9 dan 21,7 dan erosi 18,7 dan 15,4. Hal 126 demikian dikarenakan sisa tanaman batang tembakau yang dipakai sebagai mulsa bahan yang disebarkan diatas permukaan tanah dapat menghalangi energi butiran hujan yang jatuh ke permukaan tanah, hujan yang jatuh ditahan oleh mulsa sehingga butir-butir tanah tidak terdispersi dan terangkut oleh aliran permukaan. Disamping itu mulsa yang berserakan di atas permukaan tanah mampu memperlambat limpasan permukaan sehingga dapat meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah, serta mengurangi daya penguras atau daya hancur dan daya angkut air limpasan Lal 1976; Suwardjo 1981; Arsyad 2006. Gambar 26. Pengaruh teknologi konservasi terhadap limpasan permukaan dan erosi Pada teras batu Tabel 35, ditunjukkan bahwa semakin meningkat kemiringan lereng semakin menurun erosi, hal ini disebabkan karena semakin meningkat kemiringan lereng semakin pendek lebar teras bidang olah, yaitu pada kemiringan 70 lebar teras 1,4-1,8 m lebih pendek dibandingkan pada kemiringan 45 1,9-2,2 m dan pada kemiringan 30 3,4-4,5 m. Dengan semakin pendeknya lebar teras mengakibatkan bidang olah semakin lebih datar, sehingga memberi kesempatan air hujan untuk lebih 127 dapat meresap ke dalam tanah infiltrasi dan mengurangi jumlah dan kecepatan limpasan permukaan. Hasil analisis ragam Anova uji dua arah two ways antar perlakuan teknologi konservasi dan jenis teras terhadap nilai erosi disajikan pada Lampiran 36. Selanjutnya hasil uji beda rerata menggunakan uji beda nyata jujur HSD uji Tukey dari pengaruh teknik konservasi dan kemiringan lereng terhadap nilai erosi disajikan Tabel 36. Hasil analisis ragam Lampiran 36, menunjukkan bahwa perlakuan teknik konservasi berpengaruh nyata terhadap besarnya erosi nilai P 0,05, demikian juga perbedaan jenis teras berpengaruh sangat nyata terhadap besarnya erosi nilai P 0,01. Tabel 36. Pengaruh perlakuan teknologi KTA dan jenis teras terhadap erosi April-September 2009 1. Perlakuan Teknologi Konservasi Rata-rata Erosi tonha 0 TB0TM0 43,78 a 1 TB1TM1 36,66 ab 2 TB2TM2 28,99 b 3 TB3TM3 35,79 ab 2. Jenis Teras 1 TB 18,19 a 2 TM 54,43 b Keterangan : : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji HSD taraf 5 Tabel 36, menunjukkan bahwa rataan erosi pada perlakuan teknologi konservasi 2 teknologi konservasi pola petani + rumput Setaria spacelata sebagai penguat teras + mulsa batang tembakau 14 tonha lebih kecil dan berbeda nyata dengan rataan erosi pada perlakuan teknologi konservasi pola petani 0 = teras batu atau teras miring, rataan erosi pada perlakuan teknologi konservasi 1 1 = teknologi konservasi pola petani + rumput Setaria spacelata sebagai penguat teras+ mulsa batang tembakau 7 tonha dan teknologi konservasi 3 3 = teknologi konservasi pola petani + tumpangsari koro merah dengan tembakau + mulsa batang tembakau 7 tonha lebih kecil dan tidak berbeda nyata dengan rataan erosi pada perlakuan teknologi konservasi pola petani. Hal ini sejalan 128 dengan hasil penelitian Sinukaban et al. 2007 yang menyatakan bahwa efektivitas mulsa sisa tanaman dalam menekan erosi sangat ditentukan oleh jumlah dan daya tahan bahan mulsa terhadap proses dekomposisi. Menurut Arsyad 2006, daya guna mulsa juga ditentukan oleh persentase penutupan tanah oleh bahan mulsa. Pada penutupan mulsa jerami sama atau lebih dari 60 dapat menekan erosi paling sedikit 54 dan pada penutupan mulsa jerami hanya 30 erosi yang dapat ditekan hanya sebesar 37 Sinukaban et al. 2007. Menurut Suwardjo 1981, efektivitas penggunaan mulsa sisa tanaman selain dipengaruhi oleh jumlah, juga dipengaruhi oleh macam bahan, bentuk, dan ukurannya. Mulsa dari sisa tanaman sebaiknya dipergunakan bahan yang proses pelapukannya tidak terlalu cepat, seperti : jerami padi, alang-alang, batang jagung dan sorgum. Dari hasil pengamatan dilapang terlihat bahwa mulsa batang tembakau merupakan salah satu bahan yang proses pelapukan tidak terlalu cepat, bahkan setelah lebih dari satu musim tanam belum terlapukkan. Perlakuan pemberian mulsa batang tembakau pada percobaan plot erosi ditujukkan pada Lampiran 37. Tingkat erosi yang terjadi pada teras miring secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan teras batu Tabel 36, hal ini disebabkan teras miring merupakan teras bangku miring keluar sehingga bidang olah areal untuk bertanam tidak datar tetapi miring, tingkat kemiringan bidang olah ini semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kemiringan lahan. Sedangkan teras batu merupakan teras bangku dari tumpukan batu menurut kontur teras bangku yang diperkuat dengan batu, memiliki bidang olah yang relatif lebih datar. Selain itu kemungkinan lainnya adalah adanya perbedaan jenis tanah. Percobaan plot erosi pada teras batu mempunyai jenis tanah Litosol kedalaman tanah 0,25-0,45 m dengan tekstur lempung berpasir pasir 74,0, debu 7,9, dan liat 18,1, sedangkan percobaan plot erosi pada teras miring mempunyai jenis tanah Latosol Coklat Kekuningan kedalaman tanah 0,90-1,60 m dengan tekstur lempung pasir 29,4, debu 40,9, dan liat 29,7. Pada teras miring memiliki jenis tanah Latosol Coklat Kekuningan yang tekstur tanahnya didominasi oleh 129 fraksi ringan debu 40,9 yang sangat mudah terlarutkan dan terbawa limpasan permukaan, maka begitu tanah jenuh air dan terjadi limpasan permukaan, tanah menjadi sangat mudah tererosi. Menurut Arsyad 2006, fraksi debu sulit membentuk struktur yang mantap dan oleh karenanya tanah yang mengandung fraksi debu lebih tinggi akan lebih peka terhadap erosi. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu ditunjukkan bahwa pemberian mulsa sisa tanaman disamping dapat menekan limpasan permukaan dan erosi, juga dapat mencegah kehilangan air melalui evaporasi, memperkecil proses dispersi tanah, merangsang agregasi tanah, memperbaiki struktur tanah, mempertahankan kapasitas memegang air, menghambat pertumbuhan gulma, dan mengurangi fluktuasi suhu tanah Kohnke Bertrand 1959; Lal 1976; Suwardjo 1981; Arsyad 2006. Selain itu dalam jangka waktu panjang peranannya semakin meningkat mirip seresah di bawah hutan, sehingga efektif untuk mengurangi aliran permukaan dengan tingkat erosi yang sangat rendah, meningkatkan kandungan C-organik dan N total tanah, serta dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme di dalam tanah. Berdasarkan hasil analisis di laboratorium Lampiran 38, menunjukkan bahwa batang tembakau sisa hasil panen, mempunyai kandungan C-Org berkisar 38,20-41,46, nilai CN ratio berkisar 35-49, serta kadar hara N berkisar 0,85-1,08 lebih tinggi dari kadar hara N pada jerami padi dan Vetiter akar wangi; kadar hara P berkisar 0,49-0,63 lebih tinggi dari kadar hara P pada jerami padi, mucuna sp, flemingia, gutemala, dan vetiter; kadar hara K berkisar 1,25-1,99 hampir sama dengan kadar hara K pada jerami padi, mucuna sp, flemingia, gutemala, dan vetiter. Penanaman rumput Setaria spacelata sebagai penguat teras dapat mengurangi aliran permukaan, penyaring partikel-partikel tanah yang terbawa aliran permukaan, dan mengurangi longsor. Hal ini dikarenakan rumput Setaria spacelata tumbuhnya rendah, rapat dan menyebar, serta punya perakaran serabut yang lebat. Manfaat lain rumput Setaria spacelata yaitu untuk penyedia bahan pakan bagi ternak, karena sangat disukai oleh ternak sapi dan juga kambing. Berbagai penelitian yang dilakukan Puslittanak menunjukkan strip rumput Setaria spacelata dapat menekan erosi dan aliran permukaan