Tanah telah berkembang menjadi salah satu simbol kekayaan atau kekuasaan. Dengan memiliki tanah yang luas seseorang secara sosiologis
ditempatkan pada status sosial tertentu dalam strata masyarakat.
B. Perjanjian Bagi Hasil
1. Latar Belakang Perjanjian Bagi Hasil
Dasar perjanjian bagi hasil tanah ialah misalnya, saya ada sebidang tanah, tetapi tidak ada kesempatan atau kemauan untuk
mengusahakannya sendiri sampai berhasil, tapi biarpun begitu saya hendak memungut hasil tanah itu dan saya membuat persetujuan dengan
orang lain supaya ia bisa mengerjakannya. Dasar dari pada transaksi bagi hasil ini adalah pemilik tanah ingin
memungut hasil dari tanahnya atau ingin memanfaatkan tanahnya, tetapi ia tidak dapat mengerjakan sendiri tanahnya itu. Muhammad, 2000: 117
Hakekat perjanjian ini, dapat diselami dengan memperhatikan tiga faktor utama, yaitu :
a. Dasarnya : Saya memiliki sebidang tanah, tapi tidak ada kesempa
tan atau semangat untuk mengusahakan sendiri sampai berhasil, oleh karena itu Saya mengadakan
perjanjian dengan orang lain supaya ia dapat mengerjakan, menanami,dan memungut hasil dari
tanahnya disertai ketentuan sebagian dari hasil panen harus diserahkan kepada Saya.
b. Fungsinya : memproduktifkan tanah tanpa pengusahaan sendiri
dan memproduktifkan tenaga kerja. c. Objeknya
: tenaga kerja dan tanaman bukan tanah. Sudiyat, 1978 : 42
Sebagai latar belakang terjadinya Perjanjian Bagi Hasil antara lain ialah karena :
a. Bagi Pemilik tanah : 1 Mempunyai tanah tidak mampu atau tidak berkesempatan untuk
mengerjakan tanah sendiri. 2 Keinginan mendapatkan hasil tanpa susah payah dengan memberi
kesempatan pada orang lain mengerjakan tanah miliknya. b. Bagi Penggarap pemaro :
1 Tidak atau belum mempunyai tanah garapan dan atau tidak mempunyai pekerjaan tetap.
2 Kelebihan waktu bekerja karena pemilik tanah terbatas luasnya, tanah sendiri tidak cukup.
3 Keinginan mandapatkan tambahan hasil garapan. Hadikusuma, 1989 : 141
2. Pola-pola Bagi Hasil
Sesuai dengan yang sudah diperjanjikan pada permulaan perjanjian bagi hasil, apabila waktu panen tiba akan diadakan pembagian
hasil panen antara pemilik tanah dengan penggarap. Mengenai pembagian hasil panen ini untuk tiap-tiap daerah di Indonesia tidak ada
keseragaman. Hal ini tergantung pada beberapa faktor antara lain : luas tanah yang tersedia, kualitas tanah, banyaknya penggarap yang
memerlukan tanah garapan dan tingkat kesuburan tanah. Apabila kualitas tanah baik, maka pemilik tanah akan
memperoleh bagian yang lebih besar. Dengan demikian ketentuan- ketentuannya adalah sebagai berikut :
a. Pemilik tanah dan penggarap mendapat bagian yang sama besar disebut “maro” 1 : 1.
b. Pemilik tanah mendapat 23 bagian dari hasil panen, sedang penggarap memperoleh 13 bagian, yang disebut dengan “mertelu”.
c. Pemilik tanah mendapat 15 bagian untuk tanaman kacang. Soekanto dan Soleman B. Taneko, 1986 : 16-17
Perjanjian dalam mana si pemilik tanah mengizinkan orang lain mengerjakan, menanami, dan memetik hasil tanahnya dengan tujuan
membagi hasilnya itu menurut perbandingan yang telah ditentukan sebelumnya itu. Dijk, 1954 : 62.
Perbandingan pembagian hasil antara pihak-pihak yang berjanji itu sebagian besar tergantung dari subur tidaknya dan letak, atau keadaan
dan tempat tanah itu.
3. Penggolongan Tanah menurut Haknya