b. Pemilik tanah dalam Perjanjian Bagi Hasil memberi izin kepada orang lain sebagai penggarap untuk mengusahakan lahan dan hasilnya dibagi
sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama. c. Penggarap juga berkewajiban untuk mengerjakan atau mengusahakan
lahan tersebut sebaik-baiknya. Jadi Perjanjian Bagi Hasil menurut Hukum Adat pada dasarnya
adalah suatu perjanjian yang timbul dalam masyarakat Hukum Adat antara pemilik tanah dengan petani penggarap dan umumnya perjanjian
tersebut tidak diwujudkan dalam bentuk tertulis tetapi hanya bersifat lisan dengan dasar saling percaya.
2. Bentuk Perjanjian Bagi Hasil
Prosedur Perjanjian Bagi Hasil pada umumnya dilakukan dengan cara lisan antara pemilik tanah dengan penggarap. Sedangkan kehadiran
dan bantuan kepala adat atau kepala Desa tidak merupakan syarat mutlak untuk adanya Perjanjian Bagi Hasil bahkan tidak dilakukan pembuatan
akta dari perbuatan hukum tersebut. Transaksi Perjanjian Bagi Hasil ini umumnya dilakukan oleh :
a. Pemilik tanah sebagai pihak kesatu. b. Petani penggarap sebagai pihak kedua.
3. Isi Perjanjian Bagi Hasil
Isi perjanjian adalah apa yang dinyatakan secara tegas oleh kedua belah pihak didalam perjanjian tersebut. Isi suatu perjanjian dalam
KUHPerdata mencakup banyak hal, karena harus berpedoman pada
ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata yaitu tidak boleh ada kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Isi perjanjian bagi hasil ini
adalah antara lain mencakup hak dan kewajiban masing-masing pihak, resiko, lamanya waktu, pembagian hasil, bentuk pembagian hasil, dan
sebagainya. Salah satu bentuk kewajiban penggarap yaitu bahwa siapa yang
mengerjakan tanahnya orang lain harus menyerahkan setengah dari hasilnya itu kepada si pemilik tanah, hal ini merupakan asas umum dalam
hukum adat. Haar, 2001: 104 Jangka waktu perjanjian bagi hasil itu diadakan dari musim tanam
sampai dengan musim panen. Dengan demikian menurut prinsipnya lama perjanjian satu tahun panen Muhammad, 2000: 118. Jangka waktu
dalam perjanjian bagi hasil dalam hukum adat tidak ditetapkan kedua belah pihak, dan tidak ada ketentuan yang pasti. Pada umumnya
perjanjian bagi hasil ini berakhir atau diakhiri sesudah setiap panen, tergantung pada kesepakatan pemilik tanah atau penguasa tanah dengan
penggarap, dan ada kalanya berlangsung turun-temurun kepada ahli warisnya.
4. Lembaga Tambahan dalam Perjanjian Bagi Hasil
Khususnya di Jawa tengah ada kebiasaan dalam adat, bahwa pada permulaan transaksi ini dibayar “srama” atau “mangkesi”. Arti dari pada
“srama” ini adalah permohonan disertai pemberian, sedangkan “mesi” maksudnya sebagai tanda pengakuan bahwa tanah yang dikerjakan itu
adalah milik orang lain. Wignjodipuro, 1984:213
5. Syarat-syarat Perjanjian Bagi Hasil