Dikuatkan dengan pendapat sudiyat, 1978 : 42 bahwa hukum adat pada hakekatnya transaksi bagi hasil ini dapat ditelaah dengan
memperhatikan tiga faktor utama, yaitu : 1 Dasarnya
: ada tanah tapi tidak dikerjakan oleh pemiliknya, karena tidak sempat atau tidak mampu mengusahakan sendiri,
namun ingin memproduktifkannya, sehingga dibuatlah transaksi dengan orang lain supaya orang tersebut mengolah dan menanami
tanah itu
2 Fungsinya : memproduktifkan tanah tanpa pengusahaan sendiri
dan memproduktifkan tenaga kerja tanpa mempunyai tanah sendiri 3 Obyeknya
: tenaga kerja dan tanaman. Pelaksanaan perjanjian bagi hasil di Desa Kaliglagah masih
mendasarkan kepada hukum adat atau kebiasaan setempat secara turun temurun secara lisan atas dasar kesepakatan dan kepercayaan dengan
tujuan saling membantu atau tolong menolong dan gotong royong.
2. Faktor-faktor yang Menjadi Penentu Pelaksanaan Perjanjian Bagi
Hasil di Desa Kaliglagah Kecamatan Loano Kabupaten Purworejo
Dari hasil penelitian diketahui bahwa faktor-faktor yang menentukan imbangan bagi hasil di Desa Kaliglagah yaitu yang disebut
sistem “maro” dan “mertelu” yaitu antara lain karena adanya faktor kesuburan tanah, banyaknya penggarap yang membutuhkan tanah garapan,
luasnya tanah yang tersedia. Faktor-faktor tersebut yang mempengaruhi penggarap dan pemilik tanah dalam menentukan imbangan bagi hasil.
Dengan demikian faktor faktor yang menentukan imbangan bagi hasil di Desa Kaliglagah sama dengan pendapat yang diungkapkan oleh
soekanto dan Taneko, 1986:16-17 yang mengatakan bahwa faktor-
faktornya yaitu: kualitas tanah, luasnya tanah yang tersedia, dan banyaknya penggarap yang memerlukan tanah garapan.
Ketentuan pembagian bagi hasil yang terjadi pada masyarakat Desa Kaliglagah juga sama dan sesuai dengan pendapat Van Dijk 1954:62
bahwa “ perjanjian dalam mana sipemilik tanah mengizinkan orang lain mengerjakan, menanami, dan memetik hasil tanahnya dengan tujuan
membagi hasilnya itu menurut perbandingan yang telah ditentukan sebelumnya itu”.
Faktor- faktor yang menentukan besarnya “bawon” yaitu faktor
sosial dan faktor ekonomi. Yang dapat digolongkan ke dalam faktor sosial adalah tradisi dan hubungan antara penuai dan pemilik tanaman,
sedangkan yang dapat digolongkan faktor ekonomi adalah besarnya hasil tanaman, kualitas produk, jenis padi, penawaran tenaga kerja, dan tenaga
kerja yang dibutuhkannya. Pengertian “bawon” yaitu bagian setiap orang
yang ikut membantu memanen dan dari jumlah perolehan perkilogramnya di hitung dengan perhitungan “bawon mara 5”, artinya setiap jumlah
lima kilogram gabah basah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bagi hasil di Desa
Kaliglagah dapat mensejahterakan masyarakat setempat, imbangan yang diterima oleh masing-masing pihak baik tanaman yang ditanam pada
sawah tadah hujan, maupun tanah sawah tidak ada yang merasa dirugikan. Pendapat diatas membenarkan dari hasil penelitian yang dilakukan
penulis di Desa Kaliglagah bahwa masyarakat peDesaan sudah memiliki
pedoman dalam melakukan perjanjian bagi hasil yang dianut, dipercayai sejak dari nenek moyang mereka. Bahwa hukum adat sangat
mempengaruhi kehidupan sosial, pola pikir, dan tingkah laku masyarakat peDesaan, karena hukum adat sudah lekat dengan ruang lingkup
masyarakat peDesaan.
3. Dampak Yang Timbul dalam Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil di